Bab 12
Kebanggaan Sang Naga
Huang Rong siap untuk memotong ayam itu ketika mereka mendengar suara dari arah belakang, “Porsi ketiga. Aku mau pantatnya!”
Kedua anak muda itu melompat. Mana mungkin ada orang bisa mendekati mereka tanpa ketahuan? Mereka berpaling dan melihat seorang pengemis, sudah tua tapi penuh tenaga. Orang itu berwajah kotak, berjenggot dan gesit, tetapi agak gemuk. Pakaiannya penuh tambalan, tetapi sangat bersih. Ia memegang sebatang tongkat hijau dengan sebelah tangannya, yang terbuat dari batu pualam bening yang terlihat seperti bambu, dan ia juga memegang kantong arak merah yang besar. Ia kelihatan sangat kepingin dan tidak sabaran, sehingga orang yang melihatnya akan punya kesan bahwa jika bagiannya tidak diberikan, ia akan merebut dengan paksa! Sebelum kedua anak muda itu sempat menjawab, tanpa diundang ia duduk tepat di hadapan mereka. Ia mengambil kantong araknya, lalu membukanya, dan aroma arak yang harum dengan segera memenuhi udara di sekitar mereka. Ia meneguk beberapa kali seolah sangat haus, lalu menutup kantong itu. Ia berkata kepada Guo Jing, “Mau minum ya, anak muda?”
Guo Jing merasa bahwa orang itu agak kurang sopan, tapi ia bisa melihat bahwa dia bukan orang sembarangan, jadi ia tidak berani kurang ajar. “Tidak, terima kasih,” katanya sopan. “Saat ini aku tidak ingin minum, tapi kalau kau mau minum, silakan saja.”
“Dan kau, nona cilik?” tanya pengemis itu kepada Huang Rong. “Kau mau minum?”
Huang Rong menggelengkan kepalanya. Tiba-tiba ia melihat bahwa tangan yang memegang kantong arak itu hanya memiliki empat jari, jari telunjuknya putus di ruas pertama. Ia terkejut dan teringat akan pembicaraan antara para pendeta Tao dan Orang-orang Aneh yang didengarnya dari luar jendela di penginapan pada hari itu. Saat itu mereka menyinggung sesuatu tentang Dewa Pengemis Sembilan Jari. “Mungkinkah ini sebuah keberuntungan?” ia bertanya-tanya dalam hati. “Apa betul kita kebetulan ketemu Lao Qianbei itu? Coba kita selidiki dulu…” Mata si pengemis itu menatap lekat-lekat ke arah ayam di tangannya, dan air liurnya seolah-olah menetes penuh harap. Huang Rong hampir tidak sanggup menahan rasa gelinya. Ia lalu memotong ayam itu menjadi dua bagian, dan bagian ekornya diberikannya kepada pengemis itu. Pancingannya mengena, pengemis itu merebutnya dan langsung menggigitnya bulat-bulat. Sambil melahap pantat ayam, ia tak henti-hentinya memuji, “Wuah, enak! Enak! Bahkan aku, kepala semua pengemis, tidak bisa bikin ‘Ayam Pengemis’ yang lebih enak dari ini!” Huang Rong tersenyum dan menawarkan sepotong lagi untuknya.
“Wah, jangan,” protesnya. “Kalian kan belum makan!” Tapi upaya sopan-santun itu sia-sia, kelihatannya juga hanya basa-basi. Nyatanya ia segera merebut ayam yang disodorkan itu, dan dalam waktu singkat ayam itu hanya tinggal tulang.
Lalu ia menepuk-nepuk perutnya dan berseru, “Haduh, perut! Perut! Bukankah sudah lama kau tidak diisi ayam yang seenak itu?”
Huang Rong tertawa terbahak-bahak, “Aku dengan sangat kebetulan memasak ‘Ayam Pengemis’, dan sekarang jadi penghuni perut mulia Si Raja Pengemis! Betul-betul sebuah kehormatan!”
Pengemis itu juga tertawa terbahak-bahak, “Nona cilik, kau ini lumayan berani juga!” Ia mengeluarkan sebuah benda yang kelihatannya seperti senjata rahasia terbuat dari emas dari sakunya. “Kemarin,” jelasnya. “aku lihat ada orang-orang yang bertengkar gara-gara sesuatu yang tidak jelas. Salah satunya melemparkan senjata rahasia yang berkilau seperti emas. Aku yang beruntung, jadi kuambil beberapa batang. Sebetulnya bagian dalamnya cuma logam biasa, hanya supaya kelihatan bagus bagian luarnya dilapisi emas. Nih, anak muda, ambil saja! Kalau perlu bisa dijual.”
Guo Jing menggelengkan kepalanya, “Kami menganggap Lao Qianbei sebagai teman. Kalau orang mengundang teman untuk makan, ya tidak terima bayaran.” Dengan berkata begitu, ia mengagungkan aturan sopan-santun bangsa Mongol.
Merasa ditolak, si pengemis itu menggaruk-garuk kepalanya. “Kalau seperti itu, aku jadi malu! Aku sama sekali tidak sulit mengemis sisa makanan dari orang. Tapi hari ini kalian memberiku ayam yang seenak itu. Keuntungan seperti itu, aku tidak bisa membalas, ini…”
“Buat apa ngomong soal keuntungan dan membalas hanya untuk sepotong kecil ayam itu,” kata Guo Jing. “Terus terang saja, kami mencuri ayam itu…”
“Kami mengambil ayam itu sambil lewat,” tegas Huang Rong. “Dan kau juga mengambil ayam itu sambil lewat. Jadi impas.”
Pengemis itu tertawa terbahak-bahak. “Kalian berdua,” katanya. “lucu juga. Aku suka kalian berdua. Bagus, bagus, kalau kalian punya keinginan, katakan saja.” Guo Jing tahu bahwa ia sedang menawarkan untuk membantu mereka, dan lagi-lagi itu melanggar aturan sopan-santun yang dikenalnya, jadi ia menggelengkan kepala.
Tapi Huang Rong ikut campur, “Sebetulnya, ‘Ayam Pengemis’ ini bukan sesuatu yang istimewa! Aku punya beberapa macam masakan lagi yang siap untuk kau cicipi. Bagaimana kalau ikut kami saja?”
“Bagus sekali!” seru si pengemis, terpesona. “Bagus sekali!”
“Siapa nama Qianbei?” tanya Guo Jing.
“Margaku Hong,” jawab pengemis itu. “Dan aku anak ke tujuh di keluargaku. Kalian anak-anak muda ini boleh panggil aku Qigong1.”
“Ternyata memang dia,” pikir Huang Rong. “Dewa Pengemis Sembilan Jari! Tapi dia kelihatannya lebih muda dari Pendeta Qiu, masa dia satu generasi dengan guru Tujuh Pendekar Quanzhen? Hm! Sebetulnya ayahku juga tidak terlalu tua, biarpun begitu dia ternyata setingkat dengan Qigong! Berarti Tujuh Pendekar Tao itu memang tidak becus, mereka hanya buang-buang waktu!” Ia memang selalu tidak suka kepada Qiu Chuji karena memaksa Guo Jing untuk menikahi Mu Nianci.
Mereka pergi ke arah Selatan dan tiba di sebuah kota kecil, dan mereka memesan kamar di sebuah penginapan. “Aku ke pasar dulu,” kata Huang Rong. “Kalian berdua laki-laki, istirahat dulu sebentar.”
“Dia… dia istri mudamu ya?” tanya Qigong kepada Guo Jing sambil tersenyum kecil sementara mengamati gadis itu pergi. Muka pemuda itu memerah, ia tidak berani membantah atau mengiyakan. Qigong tertawa terbahak-bahak, dan kemudian mulai tiduran di sebuah kursi. Lebih dari satu setengah jam kemudian, Huang Rong akhirnya kembali dan sibuk di dapur. Guo Jing ingin membantunya tetapi gadis itu tertawa dan menutup pintu. Satu setengah jam lewat lagi.
Qigong menguap, menggeliat, lalu menarik nafas dalam-dalam. “Baunya enak sekali,” katanya. “Tapi makanan apa ini? Ini agak aneh…” Ia menjulurkan lehernya mencoba mengintip melalui pintu dapur. Melihatnya tidak sabaran dan begitu kepingin, Guo Jing diam-diam tertawa. Aroma lembut masakan tercium dari dapur, tetapi Huang Rong masih belum kelihatan.
Qigong tak tahan lagi. Ia menggaruk-garuk kepalanya, menggosok-gosok pipinya, bangun dan duduk lagi, dan lagi, rasanya seakan-akan sedang berada di atas bara api. “Aku memang begini,” katanya, mengaku kepada Guo Jing. “Aku punya sifat rakus yang tidak menyenangkan. Kalau sudah kepingin makan, aku langsung melupakan segala-galanya!” Ia membuka telapak tangannya untuk menunjukkan keempat jarinya. “Kata orang kuno, telunjuk goyang-goyang2. Alangkah benarnya ucapan itu! Setiap kali aku melihat atau mencium bau makanan yang asli atau istimewa, telunjukku yang sebelah kanan gemetaran terus. Gara-gara itu, aku pernah mengacaukan satu urusan penting. Lalu aku jadi sangat marah, maka kuambil pisau, terus kupotong jari itu!” Guo Jing terperanjat, sementara Qigong melanjutkan, “Tapi sayangnya sia-sia saja jariku hilang, karena aku masih tetap rakus.”
Saat itu Huang Rong muncul, tersenyum sambil membawa sebuah baki kayu besar yang diletakkannya di atas meja. Di situ terdapat tiga mangkuk nasi, sebuah cawan arak, dan dua mangkuk besar berisi hidangan utama. Guo Jing mencium aroma lezat yang sangat mengundang selera. Di salah satu mangkuk terdapat sekumpulan sate daging berukuran besar. Terlepas dari aromanya, tidak tampak ada keistimewaan lainnya. Mangkuk lainnya berisi sup bening yang berwarna hijau seperti batu pualam, di atasnya terapung banyak buah ceri dan sepuluh kelopak bunga berwarna merah muda. Di bawahnya ada rebung muda yang masih segar. Perpaduan ketiga warna merah-putih-hijau itu sungguh enak dipandang. Indera penciuman jadi ikut serta karena sup itu mengeluarkan aroma bunga teratai yang lembut.
Hong Qigong tidak perlu diberi tahu dua kali! Tanpa perlu minum araknya, ia mengacung-acungkan sumpitnya dan mengambil dua tusuk sate yang dimakannya dengan rakus. Kelezatan segera memenuhi rongga mulutnya. Ini lebih dari sekedar daging sapi! Saat dikunyah, sensasi rasa yang berbeda-beda menyerangnya. Kadang berminyak dan berair, di lain saat terasa segar. Aneka macam rasa saling mendahului dalam rangkaian variasi kompleks dan tak terduga, mirip serangan dari seorang jago kungfu. Terkejut dan girang, ia mengamati tusuk-tusuk sate itu dari jarak dekat, dan melihat masing-masing terdiri dari empat macam bahan yang saling terkait dengan cara tertentu. Ia memejamkan matanya, mencoba untuk menikmati semua rasa itu dengan lebih baik. “Hmm,” katanya. “Ini ada daging paha kambing, lainnya ada kuping babi yang dicelup susu, yang ketiga seperti ginjal anak sapi, yang satunya… yang satunya…”
“Kalau kau bisa menebak,” kata Huang Rong menyeringai. “berarti kau memang luar biasa…”
Ia belum menyelesaikan kalimatnya ketika Qigong berseru, “Ini paha rusa dicampur daging kelinci!”
“Hebat!” sorak gadis itu. “Tepat sekali!”
Guo Jing betul-betul tercengang. “Membuat sate itu bukan pekerjaan mudah!” katanya kepada diri sendiri. “Anehnya Qigong bisa membedakan lima rasa daging yang dicampur-campur itu!”
“Hanya ada lima jenis daging,” lanjut Qigong. “tapi campuran daging babi dan kambing ini punya rasa tertentu, daging rusa dan sapi lain lagi… di situ ada berapa banyak variasi, itu yang aku tidak tahu.”
“Kalau urutan variasinya tidak dihitung,” kata Huang Rong sambil tersenyum. “ada dua puluh lima variasi, yang berhubungan dengan lima kali lima kelopak bunga prem. Sama seperti sate itu melambangkan sebuah seruling, masakan ini juga punya nama — kita sebut saja ‘Bunga Prem Jatuh Ke Alunan Seruling Giok’. Variasi yang kau tanyakan tadi berarti ada semacam urutan penempatan untuk hasil ujian. Qigong, kau lulus ujian, kau memang seorang ahli makanan!”
“Hebat!” kata pengemis itu kepada diri sendiri. Tak seorang pun tahu ia sebetulnya sedang memuji nama makanan itu ataukah keahliannya sendiri dalam mengenali rasa. Lalu ia meletakkan dua buah ceri di dalam sendok dan berkata sambil tertawa, “Sup daun teratai ini, dengan rebung dan ceri, sungguh sangat cantik, orang jadi tidak tega memakannya!” Ia menelannya dan menjerit, “Ah!” Lalu ia bergumam kepada diri sendiri, sambil terpana, “Eh?” Ia mengambil dua lagi, dan menjerit lagi, “Ah! Kesegaran daun teratai, rasa rebung, manisnya ceri, semuanya melompat ke lidah kita, tapi masih ada lagi, buah ceri itu setelah dilubangi, pasti diisi bahan lain…” Ia memejamkan matanya, berusaha merasakan lebih teliti.
“Ceri ini berisi,” katanya ragu-ragu. “Apa isinya?” Ia memejamkan mata sekali lagi. “Ini daging burung!” gumamnya. “Bukan… kalau bukan ayam hutan, maka ini daging burung perkutut! Ya ini pasti daging burung perkutut!”
Ia membuka mata. Ketika melihat Huang Rong mengacungkan jempol, ia tak dapat menyembunyikan rasa bangganya akan diri sendiri. “Jadi apa nama sup ini, yang berisi daun teratai, rebung, ceri dan burung perkutut?” tanyanya.
“Hong Lao Qianbei,” kata Huang Rong. “kau belum menyebutkan nama satu bahan lagi.”
“Ya?” ia terkejut, lalu memperhatikan sup itu lebih cermat. “Betul, masih ada kelopak bunga ini…”
“Tepat sekali!” tegas Huang Rong. “Kau bisa menebak apa kira-kira namanya dari kelima bahan ini?”
“Kalau ini sebuah teka-teki, aku mengaku kalah,” katanya. “Cepat sebutkan apa namanya?”
“Kuberi petunjuk,” kata Huang Rong. “Kau hanya perlu memikirkan Kitab Kidung Pujian.”
“Wah, tidak!” protes Qigong. “Aku tidak tahu apa-apa soal isi buku-buku semacam itu.”
“Sekuntum bunga melambangkan kecantikan,” jelas Huang Rong. “Dan buah ceri melambangkan mulut kecilnya, betul tidak?”
“Ah, kalau begitu ini sup kecantikan!”
“Bukan,” kata Huang Rong sambil menggelengkan kepalanya. “Bambu itu melambangkan kerendahan hati. Maka ini melambangkan seorang pria sejati, seperti juga teratai adalah jenis bunga yang paling terkenal. Jadi bambu dan bunga itu berhubungan sangat erat dengan seorang pria sejati.”
“Oh,” kata Qigong. “Berarti ini adalah ‘Pria sejati dan Kecantikan’?”
“Nah, bagaimana dengan burung perkutut?” kata Huang Rong. “Sebenarnya, semuanya itu kembali lagi ke syair pertama dalam Kitab Kidung Pujian, yang berakhir dengan ‘Pria sejati itu sedang mencari teman baik’. Jadi sup ini bernama Sup Mencari Kebaikan3.”
Qigong tertawa terbahak-bahak. “Karena ada sup yang begini kompleks dan aneh, maka bagus juga kalau namanya juga kompleks dan aneh. Bagus, bagus sekali! Kau sendiri juga seorang anak yang kompleks dan aneh, aku jadi ingin tahu siapa itu orang yang kompleks dan aneh yang jadi ayahmu… Apa pun juga, pokoknya sup ini sungguh enak, rasanya jauh lebih enak dari sup ceri yang pernah kumakan, kira-kira sepuluh tahun yang lalu, di istana.”
“Kau menyelinap ke dapur istana?” tanya Huang Rong. “Coba ceritakan tentang semua makanannya, aku akan mencoba memasak sesuatu yang akan kau sukai.”
Qigong sedang menikmati sup dan tidak punya waktu untuk menjawab. Ia baru berhenti ketika mangkuk itu kering. “Di dapur istana,” jelasnya. “jelas banyak makanan enak, tapi kurasa tidak ada yang bisa dibandingkan dengan dua macam masakanmu ini… Ah, kalau memang ada, ya itu ‘Lima Cita Rasa Bebek Mandarin’. Itu memang enak, tapi aku tidak tahu bagaimana membuatnya.”
“Dan Kaisar yang mengundangmu?” tanya Guo Jing.
“Sudah pasti,” kata Qigong sambil tertawa. “Kaisar yang mentraktir aku, tapi dia sendiri tidak tahu! Aku bersembunyi di balik balok besar di dapur istana selama tiga bulan dan mencicipi semua makanan yang dibuat untuk Kaisar. Kalau kupikir enak, ya kusimpan untuk diriku sendiri, kalau tidak ya kuberikan kepada Kaisar! Semua koki percaya bahwa di situ banyak hantunya!”
“Orang ini betul-betul keterlaluan rakusnya,” pikir Guo Jing dan Huang Rong. “Tapi dia juga sangat berani!”
“Anak muda,” kata Qigong sambil tertawa. “pacar cilikmu ini sungguh juru masak terbaik di dunia. Kebahagiaanmu terjamin! Astaga! Kenapa aku tidak ketemu wanita seperti ini ketika aku masih muda?” Ia tampak sangat menyesal. Huang Rong dengan sedikit senyuman menyiapkan sisa makanan untuk Guo Jing dan dirinya sendiri. Satu mangkuk nasi sudah lebih dari cukup untuknya, sedangkan pemuda itu menyisihkan empat mangkuk besar. Cara menata makanan yang indah untuk dia kelihatannya tidak banyak berpengaruh.
Qigong menggelengkan kepalanya sambil menghela nafas. “Seperti banteng sedang mengunyah peoni. Sayang, sayang sekali!” Huang Rong menutup mulutnya dengan tangan untuk menahan tawa.
“Banteng — masa mereka suka peoni?” tanya Guo Jing kepada diri sendiri. “Banyak banteng di Mongolia, tapi di situ tidak ada peoni. Sebetulnya aku tidak pernah melihat ada banteng makan peoni. Tapi kenapa dia terus-terusan bilang ‘Sayang’?”
Qigong menepuk-nepuk perutnya sendiri dan berkata, “Bagus. Kalian berdua pasti bisa kungfu, soal itu aku bisa melihatnya. Si Cilik ini rela menyibukkan diri memasak makanan enak untuk aku, sudah pasti dia ingin sesuatu, dan kelihatannya, ingin belajar kungfu dari aku. Betul kan? Bagus, aku tahu setelah makan enak rasanya tidak masuk akal kalau aku pergi begitu saja tanpa memberi imbalan. Ayo, ayo sini!” Ia mengambil kantung arak dan tongkat bambunya, lalu keluar.
Guo Jing dan Huang Rong mengikutinya sampai mereka tiba di luar kota. “Nah, apa yang ingin kau pelajari?” Qigong mendesak Guo Jing.
“Ilmu silat kan banyak macamnya,” pikir Guo Jing. “Kalau aku ingin belajar sesuatu, apa dia yakin bisa mengajariku?”
Sementara Guo Jing termenung, Huang Rong mulai bicara, “Qigong, kungfunya kalah dari aku, karena itu dia seringkali marah setiap kali berusaha mengungguli aku.”
“Kapan aku marah?” protes Guo Jing. Huang Rong memberi isyarat supaya ia diam.
“Yang kulihat adalah,” kata Hong Qigong sambil tertawa. “Semua gerakannya itu mantap dan meyakinkan, artinya dia punya dasar neigong yang kuat. Mana mungkin dia kalah darimu? Bagaimana kalau kalian coba adu kekuatan?”
Huang Rong minggir beberapa langkah dan berseru, “Jing Gege, ayo mulai!” Guo Jing ragu-ragu.
“Kalau kau tidak mau menunjukkan kemampuanmu,” kata Huang Rong. “bagaimana Lao Qianbei akan memperbaiki kesalahanmu? Siap!” Ia melompat ke arah Guo Jing dan menyerang dengan telapak tangan. Guo Jing menangkis, tetapi ia sudah mengubah taktik dan menendang.
“Bagus, Xiao Yatou!” kata Qigong. “Itu langkah cantik!”
“Kau harus serius,” kata Huang Rong dengan suara rendah.
Guo Jing berkonsentrasi dan dengan cermat melakukan jurus Pegunungan Selatan yang diajarkan oleh Nan Xiren. Huang Rong bertahan dengan gesit, melompat lurus ke atas dan ke belakang. Lalu tiba-tiba ia mengubah tekmik dan melakukan jurus Dewa Pedang Pulau Bunga Persik ciptaan ayahnya. Jurus tangan kosong ini seperti namanya ‘Dewa Pedang’, diambil dari ilmu pedang. Ia menggerakkan tangannya ke semua arah, lawannya dikelilingi oleh bayangan tangan, tidak dapat memastikan mana yang tipuan dan mana yang asli. Seolah-olah ada hembusan angin kuat di hutan itu yang merontokkan ribuan bunga. Keindahan gerakan itu terletak pada keringanan dan aura keanggunannya, sedemikian rupa sehingga Huang Rong tampak seperti kupu-kupu yang sedang terbang. Karena tenaga dalamnya kurang kuat, serangannya tidak sekuat dan sekejam seharusnya. Hal ini menjadi tidak terlalu berarti, karena Guo Jing yang terpana akan banyaknya bayangan di depan matanya telah kehilangan akal bagaimana seharusnya mempertahankan diri. Dalam hitungan detik, ia menerima pukulan di kedua bahunya, dada dan punggung. Ia tidak terluka karena Huang Rong tidak menyerang dengan sepenuh tenaga. Huang Rong melangkah mundur sambil tersenyum.
“Bagus, Rong’Er!” seru Guo Jing dengan kagum. “Pertunjukan kungfu tangan kosongmu sungguh indah!”
“Ayahmu hebat,” kata Hong Qigong dengan nada dingin. “Untuk apa kau menyuruhku mengajar anak bodoh ini?”
Huang Rong terkejut. “Menurut ayahku,” pikirnya. “Sejak ia menciptakan kungfu Dewa Pedang Pulau Bunga Persik ini, ia sendiri pun tidak pernah menggunakannya, bagaimana mungkin Hong Lao Qianbei mengenalinya?” Ia mendesak, “Qigong, kau kenal ayahku?”
“Sudah pasti, dia Si Sesat Timur, aku Pengemis Utara. Masa kami tidak pernah mengadu ilmu silat?”
“Ia bertarung dengan ayahku,” pikir Huang Rong. “Dan masih bisa selamat. Itu sungguh mencengangkan. Sekarang aku mengerti bagaimana Pengemis Utara bisa disetarakan dengan Si Sesat Timur!”
“Dan bagaimana kau mengenali aku?” desaknya lagi.
“Cobalah berkaca!” jawab Hong Qigong. “Hidung dan matamu, mirip tidak dengan ayahmu? Pertama-tama aku tidak memikirkannya, kupikir mukamu hanya agak familiar, tapi pameranmu barusan membongkar semuanya! Kau kira aku tidak kenal kungfu Pulau Persik? Meskipun aku tidak pernah melihat jurus ini, tapi aku berani jamin, orang sepintar ayahmu pasti bisa menciptakannya. Hei, hei… dan lagi, nama dua masakanmu itu apa? ‘Bunga Prem Jatuh Dalam Alunan Seruling Giok’, dan ‘Sup Teman Baik’, tak diragukan lagi, itu hasil karya ayahmu.”
“Kau sungguh bisa membaca pikiran,” kata Huang Rong sambil tertawa. “Lalu, menurutmu, ayahku sangat kuat ya?”
“Tentu saja dia kuat,” kata Qigong dengan dingin. “Tapi dia bukan yang terkuat di dunia!”
“Lalu, sudah pasti kau yang terkuat di dunia?” seru Huang Rong memuji.
“Tidak juga,” kata Qigong. “Dua puluh tahun yang lalu, kami berlima, Si Sesat Timur, Racun Barat, Pengemis Utara, Kaisar Selatan dan Dewa Pusat, bertemu di Puncak Hua Shan untuk mengadu ilmu. Pertandingan itu berlangsung tujuh hari tujuh malam. Akhirnya, Dewa Pusat membuktikan diri sebagai yang terkuat, dan kami semua senang melihatnya.”
“Lalu siapa si ‘Dewa Pusat’ ini?” tanya Huang Rong.
“Ayahmu tidak pernah memberitahumu?”
“Tidak, kata ayah di dunia persilatan ada lebih banyak kejahatan daripada kebaikan. Jadi tidak ada gunanya seorang perempuan dari keluarga baik-baik mendengarkan semua itu. Dia memarahi aku dengan sangat kasar, dia tidak lagi menyayangi aku, makanya aku melarikan diri. Dia tidak mau berurusan denganku lagi…” Dengan muka sedih ia menundukkan kepalanya.
“Monster tua itu,” maki Qigong. “Apa…”
“Jangan menghina ayahku!” seru Huang Rong.
“Sayangnya aku selalu miskin!” seru Qigong sambil tertawa. “Jadi tidak ada orang mau menikah denganku. Kalau tidak, maka aku akan punya anak yang sebaik kau, dan tidak akan pernah kutinggalkan!”
“Sudah pasti,” kata Huang Rong, tertawa. “Kalau aku pergi, siapa yang akan memasak untukmu!”
“Cukup adil,” kata Qigong sambil menghela nafas. “Yah, untuk menjawab pertanyaanmu, Dewa Pusat adalah pendiri Perguruan Quanzhen, Wang Chongyang. Tapi sejak kematiannya, sangat sulit untuk menentukan siapa yang terbaik di dunia persilatan!”
“Perguruan Quanzhen?” kata Huang Rong. “Di situ ada pendeta yang benama Qiu, lainnya bernama Wang, lalu yang lain lagi Ma. Mereka semuanya Pendeta Tao [hidung kerbau][#niubi “Niu Bi, istilah untuk mengejek orang”]. Kurasa kungfu mereka agak payah! Kalau mereka bertarung, kalau bukan keracunan ya pasti cedera dalam dua atau tiga jurus.”
“Oh ya? Mereka tak diragukan lagi adalah murid-murid Wang Chongyang. Kelihatannya di antara semua muridnya, Qiu Chuji adalah yang paling kuat… Tapi, sudah pasti mereka tidak akan bisa menandingi paman guru mereka, Zhou Botong.” Ketika mendengar nama ini, Huang Rong terkejut. Ia bermaksud mengatakan sesuatu, lalu berhenti sendiri.
Guo Jing yang cukup puas mendengarkan pembicaraan mereka tiba-tiba menyela, “Itu benar, Ma Dao Zhang bilang mereka punya seorang paman guru, tapi dia tidak menyinggung siapa nama pendeta Tao ini.”
“Zhou Botong bukan penganut Tao,” sahut Hong Qigong. “Ia orang awam, yang diajar langsung oleh kakak seperguruannya, Wang Chongyang — eh, anak bodoh, kau kelihatannya agak canggung! Apa ayah mertuamu, yang begitu baik dan pintar itu, sungguh menghargaimu?” Guo Jing, yang tidak merasa punya ayah mertua, tergagap, ia tidak tahu bagaimana harus menanggapi.
“Ayahku belum ketemu dia,” kata Huang Rong sambil tersenyum. “Kalau kau baik hati dan sudi memberikan petunjuk, maka ayahku akan sedikit menghargai dia.”
“Bajingan cilik,” gerutu Qigong. “bahkan sepersepuluh kungfu ayahnya pun belum becus, tapi sudah mewarisi segala akal bulus dan kepintarannya! Tidak usah menjilat, aku tidak suka pujianmu! Lagipula, aku tidak pernah punya murid! Siapa mau murid goblok begitu? Kau suruh aku mengajari suami cilikmu! Bah, pengemis tua ini tidak mau ditipu!”
Huang Rong menundukkan kepala, mukanya merah. Ia tidak pernah berniat belajar kungfu. Ayahnya sendiri sangat tangguh, tapi ia tak pernah serius belajar dari ayahnya, mengapa ia harus belajar dari Qigong? Tapi kungfu Guo Jing tidak cukup bagus, dan keenam gurunya menganggapnya Xiao Yaonu (Penyihir Perempuan Cilik), jadi ia senang bisa bertemu dengan seorang ahli seperti Qigong. Ia berharap orang tua itu akan mewariskan sedikit ilmunya kepada kekasihnya, jadi Guo Jing tidak perlu takut di hadapan guru-gurunya dan juga Qiu Chuji dengan semua jajaran pendeta Tao itu, seperti tikus bertemu kucing. Qigong sangat rakus dan suka bercanda, tetapi ia tidak bodoh. Ternyata selama ini Qigong sudah mengendus maksudnya.
Sambil bergumam sendiri, pengemis tua itu pergi tanpa menoleh sedikit pun ke belakang. Kedua anak muda itu berdiri diam lama sekali.
“Rong’Er,” kata Guo Jing, akhirnya. ”Lao Qianbei itu punya sifat yang sangat unik!” Huang Rong mendengar suara berdesir di antara dedaunan, di atas mereka, dan menyadari bahwa Qigong telah mengambil jalan melingkar untuk kembali ke situ secara diam-diam, ke atas pohon.
“Dia orang baik,” katanya kemudian. “Dan kungfunya jauh lebih kuat dari ayahku.”
“Dia belum menunjukkan ilmunya,” kata Guo Jing dengan suara keras, ia bertanya-tanya. “Kau tahu dari mana?”
“Ayahku yang bilang.”
“Tepatnya dia bilang apa?”
“Dia bilang, di dunia sekarang ini, hanya ada satu orang yang bisa mengalahkannya, dan itu adalah Si Dewa Pengemis Sembilan Jari, Hong Qigong. Untungnya, karena Lao Qianbei itu selalu bertualang, maka mereka jarang ketemu untuk duel.”
Kenyataannya, setelah ia pergi, Qigong menggunakan ilmu meringankan tubuhnya yang luar biasa itu dan kembali ke atas pohon, jauh di atas kepala kedua anak muda itu. Ia ingin mendengarkan pembicaraan mereka dan meyakinkan diri bahwa mereka bukan dikirim oleh Huang Yaoshi untuk mencuri ilmunya. Ocehan Huang Rong membuatnya bangga. “Jadi Huang Yaoshi tidak pernah mau mengakui keunggulanku,” pikirnya. “Tapi dalam hati bagaimana pun juga dia tetap mengagumi aku!” Padahal semuanya itu hanya karangan Huang Rong.
“Aku tidak belajar apa pun yang hebat dari ayahku,” lanjut Huang Rong. “Tapi itu semuanya salahku. Aku terlalu suka bersenang-senang dan tidak pernah berminat belajar. Beruntung bisa ketemu Hong Lao Qianbei dan kalau dia mau mengajariku, pasti akan jauh lebih baik daripada belajar dari ayahku. Sayangnya aku menyinggung perasaannya, meskipun aku tidak bermaksud begitu.” Lalu ia mulai terisak. Mula-mula ia hanya berpura-pura, dan Guo Jing berusaha menghiburnya. Lalu ia memikirkan kematian ibunya, kekerasan ayahnya, dan mulai sungguh-sungguh menangis. Qigong yang di atas pohon hampir yakin.
“Kudengar ayahku bilang,” lanjut Huang Rong sambil terisak-isak. “bahwa Hong Lao Qianbei punya ilmu luar biasa yang belum ada tandingannya, bahkan Wang Chongyang juga segan. Disebut… disebut… apa ya? Aku lupa… Lagipula sudah di ujung mulut selama ini, aku sebetulnya ingin mohon supaya dia mau mengajarimu, itu disebut…” Sebetulnya ia sama sekali tak tahu ilmu apa itu, jadi hanya mengoceh bertele-tele.
Mendengarnya ragu-ragu, seperti berusaha menemukan nama yang tidak juga ketemu, Qigong tidak tahan lagi dan berteriak sambil melompat turun dari atas pohon itu. “Itu disebut Delapan Belas Jurus Penakluk Naga!4”
Guo Jing dan Huang Rong melompat kaget, yang satu sungguh-sungguh kaget, lainnya hanya pura-pura.
“Ah, Hong Lao Qianbei,” seru Huang Rong. “Bagaimana kau bisa di atas pohon? Terbang ya? Ya betul, itu Delapan Belas Jurus Penakluk Naga! Tepat sekali! Bagaimana aku bisa lupa? Ayahku bilang kungfu yang paling dikaguminya di dunia ini adalah Delapan Belas Jurus Penakluk Naga!”
Qigong sangat senang. “Kalau begitu ayahmu mengerti kebenaran! Aku percaya setelah Wang Chongyang meninggal, dia menganggap dirinya yang paling kuat di dunia ini!” Ia berbalik ke arah Guo Jing. “Sebetulnya kungfumu tidak kalah dengan pacar kecilmu ini. Masalahnya hanya jurus tangan kosongmu itu sama sekali tidak tepat sasaran.” Ia berpaling lagi kepada Huang Rong dan memerintah, “Yatou5, kau kembali ke penginapan!”
Huang Rong menyadari bahwa ia akan memberi pelajaran kepada Guo Jing, maka ia pun pergi dengan puas. Qigong berkata dengan serius kepada Guo Jing, “Kau berlutut dan berjanji, bahwa tanpa seijinku kau tidak akan meneruskan kungfuku kepada siapa pun juga, termasuk perempuan kecilmu itu!”
Guo Jing sangat malu. “Kalau Rong’Er memaksa, lalu bagaimana aku harus menolak?” pikirnya. Ia berkata, “Qianbei, aku tidak mau belajar darimu. Memangnya kenapa kalau kungfunya lebih bagus dari aku?”
“Dan kenapa tidak mau?” tanya Hong Qigong.
“Kalau dia menyuruhku mengajarinya, aku tidak bisa menolak tanpa menyinggung perasaannya, dan aku tidak bisa menerima tanpa menyinggung perasaanmu.”
“Meskipun pikiranmu sangat sederhana,” kata Hong Qigong sambil tertawa. “Kau punya hati yang baik, dan kau bicara langsung. Itu bagus. Baiklah, aku akan mengajarimu satu pukulan yang disebut Naga Angkuh Punya Penyelasan6. Aku membayangkan bahwa meskipun Huang Youshi sangat ingin meniru ilmuku, tapi dia terlalu bangga akan dirinya sendiri, jadi dia tidak akan melakukannya. Dalam banyak hal ilmu kami berbeda sama sekali. Aku tidak bisa belajar ilmunya, dan dia juga tidak bisa belajar ilmuku…” Sambil berkata begitu ia menekuk lutut kirinya, berputar dan meluruskan lengannya, membuat lingkaran dengan tangan yang di atas dan mendorong keluar dengan sebelah tangan lainnya. Telapak tangannya menyentuh pohon pinus besar, dan ‘Kreekkk’, pohon itu patah! Guo Jing berdiri terpaku, ia terkejut melihat kekuatan pukulan itu.
“Pohon ini tidak bisa bergerak,” kata Qigong. “Kalau ini manusia, jelas dia akan mencoba menghindar, kesulitan dari teknik ini adalah menyerang dengan tepat sehingga lawan bagaimana pun juga tidak bisa menghindarinya, dan juga harus kuat, maka begitu pukulanmu mendarat, ‘krekkk’, lawan langsung roboh seperti pinus ini!” Ia mengulangi peragaan itu dua kali, lalu menjelaskan secara rinci bagaimana memusatkan dan mengerahkan tenaga dalam. Itu hanya satu pukulan, tetapi pelajaran pertama itu memakan waktu lebih dari satu jam.
Guo Jing tidak pintar, akan tetapi ia punya dasar tenaga dalam yang bagus. Mempelajari kungfu semacam ini, yang terdiri dari rangkaian gerakan sederhana, tetapi membutuhkan tenaga yang kuat, sangat cocok baginya. Ia berlatih dengan cermat, dan dua jam kemudian ia sudah menguasai sebagian besar teknik ini.
“Gerakan Si Cilik itu,” kata Hong Qigong. “lebih banyak tipuan daripada serangan yang sesungguhnya. Kalau kau mencoba mengikutinya, ia akan berputar-putar di sekelilingmu seolah-olah kau seekor keledai dungu, dan kau akan selalu kalah. Kau tidak akan pernah bisa secepat dia. Kalau kau pikir setelah sekian banyak serangan tipuan, maka selanjutnya pasti yang sebenarnya, tapi ternyata tidak, selanjutnya tetap akan palsu. Nah setelah itu kau mengira serangan berikutnya palsu lagi, tapi ternyata dia akan mengirimkan pukulan yang serius, dan kau langsung dalam bahaya!” Guo Jing mengangguk setuju.
“Karena itu, untuk mengatasi dia cara yang paling cerdik adalah, kita tidak mau tahu apakah serangan itu tipuan atau bukan. Begitu dia menyerang, kau dengan segera mengirimkan Kang Long You Hui yang kau pelajari ini. Berhadapan dengan kekuatan seranganmu, ia akan terpaksa mundur dan bertahan, dengan begitu segala tipuannya akan seperti jatuh ke dalam air.”
“Dan selanjutnya?” tanya Guo Jing.
“Apa maksudmu ‘selanjutnya’?” sahut Hong Qigong. “Dasar goblok! Kau kira dia mampu bertahan terhadap pukulan yang kuajarkan barusan?”
“Tapi kalau dia tidak mampu bertahan,” kata Guo Jing, kuatir. “bukankah dia bisa terluka?”
Qigong menggelengkan kepalanya dan menghela nafas. “Jika orang hanya mengirimkan pukulan sepenuh tenaga dan tidak bisa menyerang secara terukur. Jika orang tidak dapat mengendalikan berat-ringan kekuatannya, kekerasan atau kelembutannya, bagaimana orang dapat menganggap dirinya menguasai Delapan Belas Jurus Penakluk Naga?”
Guo Jing sungguh ingin menyetujui hal itu, tetapi ia lalu mengambil keputusan berdasarkan dalam hati, “Karena aku belum bisa mengendalikan tenaga pukulanku dengan sempurna, maka aku tidak akan bertarung dengan Rong’Er!”
“Kau tidak percaya?” kata Hong Qigong. “Nah, kalau begitu cobalah sendiri!”
Guo Jing mengambil posisi, menirukan gaya Hong Qigong. Ia memilih sebatang pohon pinus yang agak ramping, lalu memukulnya dengan keras. Pohon itu bergetar, tetapi sama sekali tidak patah, apalagi roboh.
“Dasar tolol,” kata Qigong. “Buat apa kau mengguncangkan pohon ini? Mau menangkap tupai atau menjatuhkan biji pinus?” Muka Guo Jing memerah karena malu, ia tertawa dengan lagak menyangkal, tak tahu bagaimana harus menjawab.
“Tadi sudah kuberi contoh,” kata Hong Qigong lagi. “Kita perlu menempatkan lawan sedemikian rupa, supaya dia tidak bisa mundur atau melarikan diri. Pukulanmu barusan sebenarnya sudah cukup kuat, tapi pohon pinus ini hanya perlu goyang-goyang sedikit, dan dia jadi tidak kena sepenuh tenaga. Yang penting di sini adalah, kau harus belajar pendekatan yang benar, dan memukul sedemikian rupa sehingga si pohon tidak bisa bergerak, supaya kau bisa langsung mematahkannya.”
Penjelasan ini mencerahkan Guo Jing, “Kalau begitu,” katanya dengan gembira. “serangan itu harus sangat cepat, dan dikirim sedemikian rupa, sehingga lawan tidak sempat bertahan.”
Qigong menatapnya dengan muram, “Itu sudah pasti. Kau sudah sangat lama berusaha sampai berdarah-darah, hanya untuk memahami prinsip ini? Wah, orang betul-betul bisa bilang kau ini tidak pintar. Karena pukulan ini dikenal sebagai ‘Naga Angkuh Punya Penyesalan’ — intinya bukan pada kata ‘Angkuh’, tapi justru pada kata ‘Penyesalan’ itu. Kalau orang berkonsentrasi pada kekerasan murni — tenaga kasar — maka sedikit otot sudah cukup. Kalau itu benar, bagaimana jurus ini bisa dikagumi Huang Yaoshi? Ini seperti ungkapan kuno, ‘Naga yang angkuh itu sendiri menyesal, kelebihannya tidak akan bertahan lama’. Itu alasannya kalau ada pengiriman, harus selalu ada yang dipertahankan. Kalau kau mengirim sepuluh tenaga, penting untuk mempertahankan dua puluh tenaga di dalam dirimu. Pada hari ketika kau sungguh tahu bagaimana menghargai konsep tentang ‘Penyesalan’, maka kau akan bisa bilang bahwa kau sudah memahami tiga puluh persen dari jurus ini. Seperti arak tua yang bagus, perlu waktu untuk matang. Mula-mula rasanya memang tidak terlalu kuat, tetapi setelah matang, akan sungguh-sungguh menyuguhkan rasa yang memabukkan. Itu menjelaskan arti kata ‘Penyesalan’.”
Guo Jing tidak mengerti apa-apa tentang masalah ini, tetapi ia mencoba menghafalnya untuk merenungkannya nanti. Untuk belajar kungfu, ia selalu memakai metode yang sama, ‘Kalau orang lain bisa mencernanya di pagi hari, aku sepuluh hari!’ Kemudian ia berkonsentrasi mempelajari pukulan itu. Awalnya, pohon pinus itu menyerap setiap pukulan yang diterimanya. Menjelang akhir, pukulan ini menjadi semakin kuat, tetapi pohon itu semakin tidak berguncang. Ia menyadari bahwa ia telah maju dan agak senang. Telapak tangannya menjadi merah dan bengkak, tetapi ia tidak mengobatinya dan terus berlatih dengan tekad bulat, tidak pernah santai.
Hong Qigong yang awalnya tertawa melihat kegigihannya, sudah berbaring di tanah dan mendengkur pulas. Guo Jing merasa jauh lebih nyaman setelah ia berhasil menguasai tenaganya — untuk mengirim serangan dan mempertahankannya. Ia memusatkan tenaga ke arah titik ‘Dan Tian’, ia mendorong telapak tangannya ke depan dengan keras, lalu dengan segera menariknya, begitu bagus sehingga pohon itu tidak bergerak sama sekali. Dengan senang pemuda itu mengulangi cara yang sama, sambil mengumpulkan tenaga di ujung telapak tangannya. Ia mendengar suara ‘kreekk!’, dan pohon pinus kecil itu patah.
“Bagus!” jerit Huang Rong yang melihat dari kejauhan. Ia pelan-pelan mendekat sambil membawa keranjang yang berat.
Bahkan sebelum membuka mata, Hong Qigong sudah mencium aroma lezat dari makanan yang dibawanya. “Baunya enak! Baunya sangat enak!” teriaknya, melompat berdiri. Ia merebut keranjang dari tangan gadis itu dan membuka tutupnya. Ia melihat sepiring paha kodok panggang, bebek yang sangat gemuk cocok untuk Delapan Harta Karun7, dan semangkuk besar mie. Dengan girang ia menerkam makanan itu, terus memuji sambil melahapnya. Tapi karena mulutnya penuh, orang tidak mengerti apapun yang dikatakannya. Dalam sekejap mangkuk berisi paha kodok dan bebek itu licin bersih. Menyadari bahwa Guo Jing belum makan, pengemis tua itu merasa agak malu. “Ayo, makanlah,” katanya. “mie ini lumayan…” Dan karena merasa sangat tidak enak, ia menambahkan, “Mie ini bahkan lebih enak daripada bebek!”
Huang Rong tertawa dan berkata, “Hong Lao Qianbei masih belum mencicipi masakanku yang terbaik.”
Saking terkejut dan girangnya, pengemis tua itu langsung bertanya, “Masakan apa? Masakan apa lagi?”
“Kau tidak mungkin menyebutkan semuanya,” kata Huang Rong. “Misalnya, tumis kol, tahu kukus, telur rebus, irisan daging…”
Sebagai ahli makan yang berpengetahuan luas, Hong Qigong tahu persis bahwa seorang juru masak sejati baru akan menunjukkan bakatnya dalam menghidangkan masakan yang paling sederhana. Seperti juga dalam seni bela diri, cara yang sangat menakjubkan dalam melakukan gerakan paling sederhana menunjukkan ciri khas seorang pendekar kelas atas. Kata-kata Huang Rong tadi membuatnya begitu senang, sehingga ekspresi mukanya hampir-hampir memohon. “Bagus, bagus,” katanya. “Aku selalu bilang kau ini si cilik yang berani. Jadi kau mau supaya aku yang beli kol dan tahu ya?”
“Buang-buang waktumu,” kata Huang Rong sambil tertawa. “Apa yang kau beli juga belum tentu cocok.”
“Cukup adil,” kata Hong Qigong. “Hanya kau sendiri yang bisa memilih semua bahanmu.”
“Barusan,” kata Huang Rong. “Kulihat dia mematahkan pohon pinus. Dia sudah lebih kuat dari aku.”
“Wah, sama sekali tidak,” protes Qigong. “Bocah ini jauh dari sasaran. Batang pohon itu seharusnya terpotong rapi. Coba kau lihat, semuanya bengkok-bengkok seperti mata gergaji, kasar sekali. Kungfunya sungguh payah! Selain itu, pohon ini sangat kurus, mirip tongkat — bukan, malah mirip tusuk gigi! Anak ini jauh sekali dari sasaran!”
“Tapi kalau dia menyerangku dengan jurus ini, aku tidak akan bisa membela diri,” bantah Huang Rong. “Ini semuanya salahmu! Lain kali kalau dia menggangguku, bagaimana aku bisa melawan?”
Hong Qigong yang ingin supaya dia kembali bersikap normal, tidak ingin mengganggunya lebih jauh, ia bisa melihat kelicikan bocah kecil itu. “Jadi menurutmu aku harus bagaimana?”
“Ajari aku sesuatu yang bisa mengalahkannya. Setelah itu aku akan memasak untukmu.”
“Baiklah, kita sepakat,” kata Qigong. “Dia hanya belajar satu jurus, mudah untuk mengalahkannya. Aku akan mengajarimu teknik melarikan diri yang disebut Xiao Yao You8 untuk mengatasi ini.” Tidak lama setelah selesai berbicara, ia bangkit untuk memperagakannya. Ia melompat ke kanan dan ke kiri, dengan anggun dan gesit, sementara lengan bajunya yang besar berkibar.
Huang Rong cepat belajar, diam-diam mengingat setiap gerakan. Ketika orang tua itu menyelesaikan rangkaiannya, ia sudah setengah mempelajarinya. Setelah ia memberikan semua instruksi tambahan, tidak butuh lebih dari dua jam bagi gadis itu untuk melakukan dengan sempurna tiga puluh enam gerakan Xiao You You itu. Akhirnya ia melakukan gerakan itu bersama-sama Hong Qigong. Mereka bergerak bersama dan melompat bersamaan, yang satu ke kanan, yang lain ke kiri, berputar-putar seperti burung layang-layang giok dan meluncur seperti elang besar di langit. Pada akhir dari tiga puluh enam gerakan, mereka mendarat dengan kaki mereka pada waktu yang bersamaan. Sambil saling memandang, mereka tertawa terbahak-bahak dan Guo Jing bertepuk tangan dengan penuh semangat.
“Si kecil ini seratus kali lebih pintar dari kau,” kata Hong Qigong kepada Guo Jing.
“Gerakan dan variasinya begitu banyak,” kata Guo Jing kagum sambil menggaruk kepalanya. “Bagaimana dia bisa belajar secepat itu? Dan bagaimana dia bisa tidak lupa? Aku, waktu belajar gerakan kedua, aku sudah lupa yang pertama!”
Qigong tertawa terbahak-bahak, “Memang kau benar-benar tidak bisa mempelajari Xiao Yao You ini! Bahkan jika kau hafal langkah-langkahnya, dalam prakteknya kau tidak punya semangat untuk melangkah seperti itu! Kau akan melakukannya dengan susah payah dan kikuk, belajar teknik ini akan menjadi beban berat bagimu!”
“Kau benar!” Guo Jing dengan tertawa mengakui.
“Xiao Yao You ini,” kata Hong Qigong, “kupelajari waktu aku masih muda. Aku ajarkan kepada si kecil ini karena jurus itu pasti akan memperkuat gaya kungfu dia. Sebetulnya ini tidak cocok dengan gaya kungfuku saat ini, makanya aku tidak lagi menggunakannya selama sepuluh tahun terakhir.” Yang ingin dikatakannya adalah bahwa Xiao Yao You sebetulnya jauh lebih lemah ketimbang Delapan Belas Jurus Penakluk Naga.
Huang Rong sangat senang. “Hong Lao Qianbei, kalau kalah lagi, pasti dia tidak senang. Tolong ajari dia beberapa jurus lain.” Ia sendiri tidak punya niat untuk belajar, dan itu hanya dalih untuk mendorong pengemis tua itu untuk memberi lebih banyak pelajaran pada kekasihnya. Jika benar-benar ingin belajar kungfu, ia memiliki seorang guru besar hebat dalam diri ayahnya, yang keterampilannya tidak akan pernah bisa ia pelajari sepenuhnya.
“Bocah bodoh ini,” kata Hong Qigong. “Dia bahkan belum sepenuhnya mencerna satu pukulan yang kuajarkan. Dia menggigit lebih dari yang bisa dia kunyah! Selama kau menyiapkan banyak makanan untukku, aku akan mengabulkan semua keinginanmu!”
“Ya sudah,” kata Huang Rong sambil tersenyum. “Aku ke pasar dulu.” Hong Qigong tertawa terbahak-bahak dan kembali ke penginapan, meninggalkan Guo Jing sendirian di hutan pinus, di mana ia kembali berlatih dengan tekun dan gigih sampai jauh malam.
Malam itu, Huang Rong memang menyiapkan sepiring kol dan sepiring penuh tahu untuk Qigong. Ia dengan hati-hati memilih kol yang paling empuk, lalu menggorengnya dengan minyak ayam dan suwiran kaki bebek. Tapi sepiring penuh tahu itu benar-benar luar biasa – ia memotong ham menjadi dua dan kemudian membuat dua puluh empat rongga bulat kecil di mana ia meletakkan bola-bola tahu, sebelum menutup ham dan mulai mengukusnya. Di akhir proses memasak, rasa ham sudah meresap ke dalam tahu, sedangkan hamnya sendiri tidak ada. Setelah mencicipi hidangan ini, Hong Qigong tentu saja kegirangan. Tahu kukus ini punya nama yang terinspirasi oleh puisi Tang dan disebut Malam Bulan Purnama di Dua Puluh Empat Jembatan.
Jika gadis itu tidak punya ilmu keluarga yang disebut Menyaring Inti Bunga Anggrek, sepuluh jarinya yang gesit dan halus akan tidak mampu memotong tahu yang rapuh menjadi dua puluh empat bola kecil . Untuk melakukannya dibutuhkan kehalusan yang sama besarnya dengan mengukir karakter di atas sebutir beras atau mengukir gambar kapal di atas kulit kacang. Memotong tahu menjadi kotak-kotak memang mudah, tetapi mana ada bulan purnama berbentuk persegi?
Setelah makan malam, masing-masing pergi tidur. Hong Qigong heran melihat Guo Jing dan Huang Rong pergi ke kamar yang terpisah. “Hah? Bukankah kalian suami istri? Kenapa kau tidak tidur di kamar yang sama?”
Huang Rong, yang bercanda dengannya tanpa ragu, merasa malu. Pipinya memerah dan terlihat kesal ia berkata, “Qianbei, kalau kau terus omong kosong, aku tidak mau masak besok!”
“Apa?” Hong heran. “Kapan aku omong kosong?” Setelah merenung sejenak, ia menyadari, “Aku memang sudah tua dan pikun,” katanya sambil tertawa. “Kau jelas berpakaian seperti seorang gadis dan bukan seorang istri. Karena itu kalian bertunangan secara diam-diam, tanpa persetujuan orang tua, atau mak comblang, atau upacara perkawinan. Jangan kuatir, aku akan menjadi perantaramu. Jika ayahmu tidak menerima, aku akan menantangnya untuk berduel dan kita akan bertarung — astaga — selama tujuh hari tujuh malam jika perlu, sampai dia menyerah!”
Huang Rong justru kuatir akan masalah ini, dan dia takut ayahnya tidak akan menyukai Guo Jing. Kata-kata pengemis tua itu membuatnya gembira dan ia kembali ke kamarnya, wajahnya berseri-seri.
Keesokan harinya, Guo Jing kembali ke hutan pinus saat fajar. Ia berlatih sekitar dua puluh putaran dengan banyak keringat dan bersukacita atas kemajuan yang dicapainya. Tiba-tiba ia mendengar suara berbicara di antara pepohonan.
“Shifu,” sebuah suara berkata, “kita pasti sudah jalan lebih dari tiga puluh li kali ini, kan?”
“Memang,” jawab suara lain, “kemajuanmu dalam ketahanan sudah lumayan…”
Suara ini terasa sangat akrab bagi Guo Jing, yang kemudian melihat empat orang muncul, yang pertama berambut putih dan kulit kemerahan. Itu tidak lain adalah musuh nomor satunya, Liang Ziweng, Si Dewa Ginseng! Ia diam-diam menggigil dan melangkah pergi. Tapi Liang Ziweng sudah mengenalinya. “Kau pikir mau kemana?” serunya sambil melompat ke depan untuk mengejar. Tiga pria lainnya adalah muridnya. Melihat guru mereka mengejar musuh, mereka berpencar untuk mengepung pemuda itu.
“Amannya, aku harus keluar dari hutan pinus dan kembali ke penginapan,” kata Guo Jing pada dirinya sendiri, sambil berlari lebih cepat lagi. Tapi murid pertama Liang Ziweng menghalangi jalannya dan berteriak, sambil menyilangkan kedua telapak tangannya, “Bajingan kecil, berlutut!”
Ia menyerang dengan teknik qinna (tangkap dan kendalikan) yang diajarkan oleh gurunya dan berusaha untuk mencengkeram dada Guo Jing. Pemuda itu menekuk kaki kirinya sedikit, dengan tangan terentang ke dalam dia membuat lingkaran dengan telapak tangan kanannya dan menyerang dengan kuat. Pukulan yang baru saja dia pelajari, Naga Angkuh Punya Penyesalan. Lawannya merasakan tenaga yang tiba-tiba menerpa dan berusaha untuk menghindarinya, tetapi tenaga itu sangat kuat sehingga mematahkan lengannya dan melemparkannya sejauh 1 zhang (sekitar 3,3m) atau lebih, membuatnya kehilangan kesadaran. Guo Jing tidak pernah percaya bahwa pukulannya akan sekuat itu, tetapi tidak bisa menunggu lebih lama, dan melanjutkan pelariannya.
Terkejut dan kesal, Liang Ziweng melompat ke hadapannya. Guo Jing baru saja meninggalkan pohon pinus ketika ia menemukan Si Dewa Ginseng di depannya. Sangat ketakutan, ia mengambil posisi dan meluncurkan sekali lagi jurus Naga Angkuh Punya Penyesalan yang baru dipelajarinya. Liang Ziweng tidak mengenal jurus ini, tetapi setelah merasakan kekuatannya, ia tahu bahwa ia tidak dapat menanganinya. Ia harus berguling ke tanah untuk menghindarinya. Guo Jing mengambil kesempatan untuk melarikan diri lagi.
Saat Liang Ziweng pulih, pemuda itu sudah sampai di depan penginapan. Guo Jing berteriak, “Rong’Er, celaka! Itu si jahat yang mau minum darahku!”
Huang Rong menjulurkan kepalanya ke luar jendela. “Bagaimana tua bangka itu bisa ada di sini?” ia bertanya pada dirinya sendiri. “Tidak apa-apa. Aku akan mencoba Xiao Yao You baru ini.” Ia berseru, “Jing ge ge, jangan takut dengan tua bangka itu. Hadapi saja. Aku akan datang untuk membantumu, dan kita akan memberinya pelajaran yang bagus!”
“Rong’er tidak tahu kekuatan monster tua ini,” kata Guo Jing pada dirinya sendiri. “itu sebabnya ia bicara seenaknya.” Tapi Liang Ziweng sudah melompatinya. Dalam menghadapi kekerasan serangan itu, pemuda itu tidak punya pilihan lain selain meluncurkan sekali lagi Naga Angkuh Punya Penyesalan. Liang Ziweng berputar dan mengelak beberapa kaki ke samping, tetapi lengannya yang terulur hampir tersentuh oleh kekuatan telapak tangan dan meninggalkan rasa terbakar dan menyakitkan. Dewa Ginseng itu diam-diam ketakutan, kagum bahwa anak ini dalam waktu beberapa bulan telah berkembang pesat. “Ini pasti,” pikirnya, “karena darah ular yang mahal itu.” Pikiran ini menguasainya, dan ia melompat lagi untuk menyerang. Guo Jing membela diri lagi dengan pukulan yang sama. Sadar bahwa ia tidak mampu melawan, Liang Ziweng mundur. Memperhatikan bahwa anak muda itu tampaknya tidak punya pukulan menakutkan lainnya untuk mengunggulinya, ketakutan Liang berkurang. ”Shazi,” teriaknya. “Kau cuma bisa satu pukulan itu ya?”
Guo Jing masuk tepat ke dalam perangkapnya, “Bahkan dengan satu pukulan ini,” jawabnya. “Kau tetap tidak akan bisa menghindarinya!” Ia maju, dan meluncurkan sekali lagi Kang Long You Hui. Liang Ziweng mengelak dan melompat ke belakang Guo Jing untuk menyerangnya. Ia berbalik dan berusaha menyerang lagi dengan cara yang sama, tetapi lawannya sekali lagi menyelinap di belakangnya. Pemuda itu, yang hanya tahu bagaimana melakukan serangan frontal, benar-benar terganggu dan tidak bisa menghadapinya.
Melihatnya di ambang kekalahan, Huang Rong berseru, “Jing Gege, biar yang aku melawannya!” Ia melompat ke depan dan menempatkan diri di antara kedua orang itu, menyerang Liang Ziweng dengan telapak tangan dan tendangannya. Liang Ziweng membalas serangan itu. Guo Jing mundur dua langkah untuk mengawasi mereka. Huang Rong telah mempelajari dengan baik teknik Xiao Yao You yang luar biasa itu, tetapi selain fakta bahwa ia sudah mempelajarinya, terlalu dini untuk sungguh-sungguh menguasainya. Liang Ziweng sebenarnya jauh lebih kuat dari dia. Oleh karena itu, tanpa perlindungan yang diberikan oleh rompi kulitnya, ia pasti sudah terkena beberapa pukulan dan pasti sudah lama terluka. Bahkan sebelum mengerahkan tiga puluh enam gerakan penuh dari Xiao Yao You, ia sudah kehilangan akal. Murid-murid Liang Ziweng, sambil mendukung kakak seperguruan mereka yang terluka, mengamati pertarungan tersebut dan melihat guru mereka menang, terus bersorak untuk memberikan semangat kepadanya.
Guo Jing bersiap untuk membantu Huang Rong ketika tiba-tiba terdengar suara Hong Qigong berteriak dari balik jendela, “Pukulan berikutnya disebut ‘Anjing Jahat Menghalangi Jalan’!”
Sangat terkejut, Huang Rong mengamati bahwa Liang Ziweng, kaki terbentang dengan kuat dalam ‘Sikap Kuda’ dan tinjunya direntangkan secara horizontal, memang mengambil sikap ‘Si Harimau Jahat Menghalangi Jalan’. Dia tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa di dalam hati. “Hong Qigong mengubah nama pukulan ini, tapi bagaimana dia bisa menebak bahwa itu akan terjadi?”
Lalu ia mendengar pengemis tua itu berteriak lagi, “Dan pukulan berikutnya adalah ‘Ular Bau Menghirup Air’!”
Ia menyadari bahwa maksudnya adalah ‘Naga Hijau Menghirup Air’, yang mana orang merentangkan tinjunya ke depan, berarti membuka kelemahan di belakang. Tidak lama setelah ketua pengemis itu selesai bicara, ia sudah menyelinap ke belakang Liang Ziweng. Si Dewa Ginseng memang secara efektif menggunakan ‘Naga Hijau Menghirup Air’, tetapi si gadis yang sebelumnya sudah diperingatkan, mengambil keuntungan dengan menyerang dari belakang. Ia lolos dari bahaya hanya karena penguasaan teknisnya yang luar biasa, dan bisa mengganti gerakannya di tengah jalan, lalu bergerak menjauh untuk menyelamatkan diri. Ia mendarat di atas jari kakinya, marah dan sekaligus terkejut. “Siapa orang hebat yang bersembunyi di dalam gubuk?” teriaknya ke arah jendela. “Kenapa tidak menunjukkan diri!” Tapi tidak ada suara di balik jendela. Liang Ziweng kebingungan. “Bagaimana dia bisa menebak semua gerakanku?”
Mendapat dukungan dari seorang guru hebat, sekarang Huang Rong tidak takut apa-apa. Ia berbalik mengambil inisiatif dan mulai menyerang. Liang Ziweng menggunakan pukulan maut, sehingga gadis itu terpaksa menahan serangannya. “Jangan takut!” teriak Hong Qigong. “Dia akan melakukan ‘Monyet Berpantat Busuk Memanjat Pohon’!”
Huang Rong tertawa terbahak-bahak, ia mengangkat tinjunya dan menyerang ke bawah. Liang Ziweng menggunakan jurus ‘Gorila Fenomenal Memanjat Pohon’, yang setelah melompat tinggi, akan diteruskan dengan menyerang ke bawah. Tetapi Huang Rong sudah mendahuluinya, kalau ia meneruskan lompatannya, maka ia hanya akan menyodorkan kepalanya dengan cuma-cuma. Sekali lagi ia terpaksa harus mengubah tekniknya secara mendadak. Dalam sebuah pertarungan, kalau lawan berhasil membaca gerakan kita, kekalahan kita hanya menunggu waktu. Untung bagi Dewa Ginseng, ia jauh lebih kuat dari Huang Rong, karena itu ia masih bisa meloloskan diri dari situasi buruk pada detik terakhir.
Ia tiba-tiba melompat ke belakang dan berteriak kepada Guo Jing, “Kalau kau tetap ngotot tidak mau bertarung sendiri, aku akan bertindak kasar kepada gadis ini!” Ia mengubah taktik dan menghujani pukulan seperti badai, sedemikian rupa sehingga gadis itu tidak punya waktu untuk menyesuaikan diri, dan Hong Qigong juga tidak sempat meramalkan langkah-langkahnya. Ketika melihat orang yang dicintainya dalam bahaya, dan hanya bisa mengelak ke kiri-kanan, Guo Jing sekali lagi mengirimkan jurus ‘Naga Angkuh Punya Penyesalan’. Liang Ziweng melompat mundur.
“Jing Gege,” kata Huang Rong. “Beri dia tiga pukulan!” Ia berbalik dan kembali ke penginapan.
Guo Jing bersiap-siap, menunggu serangan Liang Ziweng. Teknik apa pun yang dipakai Liang Ziweng untuk menyerang, ia tetap menggunakan jurus Naga Angkuh Punya Penyesalan. Lawannya terkejut dan marah, bertanya-tanya dalam hati, “Entah dari mana bocah dungu ini belajar jurus aneh itu, dan mengapa hanya satu jurus?” Tapi meskipun Si Bocah Dungu itu hanya punya satu jurus andalan, ternyata ia tetap patut diperhitungkan, Liang Ziweng tidak bisa berbuat apa-apa. Karena mencapai kebuntuan, mereka berdua diam di posisi masing-masing.
Liang Ziweng kemudian berseru, “Shazi, sebaiknya kau hati-hati!” Ia melompat ke arah pemuda yang menjadi lawannya itu, yang masih terus bertahan menggunakan jurusnya yang sudah terbukti ampuh. Lian Ziweng mengubah arah di tengah udara, dan mendadak menyerang menggunakan tiga Jarum Penembus Tulang, yang mengincar pemuda itu dari tiga arah yang berbeda. Ketika Guo Jing buru-buru mengelak, Liang Ziweng menerjang ke depan secepat kilat dan mencengkeram tengkuk bajunya. Dengan sangat ketakutan si pemuda bereaksi dengan menyikut dada lawannya. Ia lebih kaget lagi ketika merasa sikutnya seolah terbenam ke sebuah benda lunak seperti kapas.
Tepat ketika Liang Ziweng sedang bersiap untuk melakukan sebuah serangan fatal, ia mendengar seruan Huang Rong, “Hei, Monster Tua! Coba lihat!” Karena tahu bahwa gadis itu punya banyak akal bulus, Liang Ziweng tidak mau mengambil resiko. Ia menotok titik akupuntur ‘Jianjing’ di tubuh Guo Jing, sehingga pemuda itu tidak bisa bergerak, sebelum berpaling. Ia melihat gadis itu mendekat perlahan sambil membawa sebatang tongkat bambu, warna hijaunya sejernih batu pualam. Benda itu membuatnya terpaku, kaku seperti patung. “Hong…” gumamnya gemetar. “Ketua… Qigong…!”
“Kenapa kau belum juga membebaskan dia?” ancamm Huang Rong.
Pada saat mendengar orang menebak semua langkah-langkahnya sebelum ia sendiri melakukannya, ia sangat terkejut, namun ia sama sekali tidak menyangka bahwa orang itu ternyata adalah Hong Qigong. Sekarang, dengan adanya tongkat bambu itu, ia langsung menyadari bahwa suara yang didengarnya tadi sungguh-sungguh adalah suara orang yang paling ditakutinya di dunia ini. Merasa ngeri, ia buru-buru membebaskan totokan Guo Jing.
Sambil mengacungkan tongkat itu, Huang Rong mendekatinya dan berkata dengan serius, “Hong Lao Qianbei ingin bertanya, kenapa kau lagi-lagi berani melakukan kejahatan di sini? Sungguh lancang!”
Liang Ziweng menjatuhkan diri berlutut. “Wanbei tidak tahu kalau Ketua Qigong ada di sini,” ia tergagap. “Kalaupun wanbei punya sedikit nyali, tetap tidak akan berani menyinggung Ketua Qigong.”
“Bagaimana pun juga, orang ini sangat kuat,” pikir Huang Rong. “Kenapa dia bisa begitu ketakutan hanya dengan menyebutkan nama Qigong? Kenapa juga dia memanggilnya Ketua Qigong?” Tapi ia tidak menunjukkan apa yang sedang dipikirkannya sama sekali, dan malah memperlihatkan ekspresi mengancam. “Lalu hukuman apa yang pantas bagimu?”
“Kumohon supaya kau mengatakan sesuatu yang baik tentang aku di hadapan Guru Besar Qigong. Tolong bilang bahwa Liang Ziweng menyadari kesalahannya, dan memohon supaya Ketua Qigong sudi mengampuni nyawanya.”
“Kalau cuma satu kata yang baik tentang kau, kenapa tidak? Tapi beberapa patah kata, rasanya permintaanmu agak keterlaluan. Lain kali kau jangan pernah lagi bikin susah kami berdua!”
“Hambamu ini sudah terlanjur menyinggungmu karena tidak tahu,” sahut Liang Ziweng. “Kalau kau tidak berpikir buruk tentang aku, maka selanjutnya aku tidak akan berani…”
Huang Rong, yang merasa bangga akan dirinya sendiri, tersenyum dan melangkah kembali ke penginapan sambil bergandengan tangan dengan Guo Jing. Di dalamnya mereka menemukan Hong Qigong sedang duduk di belakang meja yang tertata rapi, dengan sebuah pisau di tangan kirinya dan sepasang sumpit di tangan kanan, bersiap untuk menyantap hidangan yang tersedia. “Guru Besar Qigong,” kata Huang Rong sambil tertawa. “Dia berlutut, dan sama sekali tidak berani menggerakkan sehelai rambut pun!”
“Berikan dia tempat persembunyian untuk melampiaskan kekesalanmu,” kata Qigong. “Dia pasti tidak akan berani membela diri.”
Dari jendela Guo Jing melihat Liang Ziweng berlutut ketakutan, ketiga muridnya juga ikut berlutut di belakangnya. Mereka berempat nampak sangat menderita. Dalam hati ia merasa kasihan, dan berkata, “Qigong Qianbei, kenapa tidak memaafkan mereka saja.”
“Kau sungguh-sungguh bocah tidak berguna,” omel Qigong. “Ada orang datang mengganggumu, dan kau bahkan tidak sanggup membela diri. Kau hanya bisa menerima nasib, dan sekarang malah memaafkan musuhmu! Aku ingin tahu, bagaimana kau bisa sebodoh ini?” Guo Jing tidak pasti harus menjawab bagaimana.
“Biar aku yang menanganinya,” kata Huang Rong sambil tertawa. Ia mengambil tongkat bambu dan berjalan keluar dari penginapan. Liang Ziweng masih berlutut dengan penuh hormat, mukanya sangat ketakutan.
“Hong Qigong bilang, kalau kau masih terus melakukan kejahatan,” kata Huang Rong dengan suara menggelegar. “maka lehermu perlu digorok. Tapi untungnya Kakak Jing-ku baik hati, dia terus-terusan memohon supaya kau diampuni — begitu ngototnya dia, sampai akhirnya Qigong setuju untuk mengampunimu. Ia menggunakan tongkat bambu itu untuk memukul pantat Liang Ziweng sambil berteriak, “Ayo cepat masuk sana!”
Liang Ziweng bicara ke arah jendela, “Guru Besar Qigong, aku datang menemuimu, untuk berterima kasih karena mengampuni nyawaku!” Tapi tanggapan yang ada hanya sepi. Liang Ziweng tidak berani bangkit berdiri, dan masih terus berlutut merendahkan diri. Setelah beberapa saat, Guo Jing muncul dan melambaikan tangan. “Hong Lao Qianbei sedang tidur,” katanya dengan nada rendah. “Jangan mengganggunya…” Mendengar itu, Liang Ziweng bangkit, ia menatap pasangan anak muda itu dengan penuh kebencian, lalu pergi bersama ketiga muridnya.
Huang Rong, dengan hati penuh sukacita kembali ke penginapan. Ia melihat Hong Qigong sedang berbaring di atas meja, mendengkur. Ia menyentuh bahunya untuk membangunkannya. “Qigong!” panggilnya. “Tongkat ajaibmu ini punya kekuatan luar biasa. Karena kau tidak memakainya, kenapa tidak kau berikan saja kepadaku?”
Hong Qigong mengangkat kepalanya, menguap, dan berkata, “Omonganmu meremehkan tongkat itu,” ia tertawa. “Itu bisa dibilang alat kerja gurumu. Seorang pengemis tanpa tongkat pemukul anjing, kelihatannya bakal seperti apa?”
Huang Rong terus mengetuk-ngetuk tongkat itu sambil menyeringai, “Kungfumu begitu hebat. Orang bahkan takut mendengar suaramu. Kenapa kau kau masih perlu tongkat ini?”
“Kau setan licik,” kata Qigong, tertawa. “Cepat bikin makanan, biar kujelaskan semuanya sekarang…” Huang Rong menurut, dan buru-buru pergi ke dapur untuk menyiapkan tiga macam makanan ringan.
Dengan tangan kiri memegang cawan arak, dan tangan kanan memegang ham yang dikunyah perlahan-lahan, mulai penuturannya. “Pepatah mengatakan, ‘Semua yang punya kesamaan, akan membentuk dirinya sendiri’. Orang-orang rendahan membentuk serikat. Para bandit di jalan yang kerjanya merampok orang, juga membentuk serikat mereka sendiri. Begitu juga kami, yang menjalani hidup dengan cara mengemis sisa makanan dari orang lain, juga punya serikat. Punya kelompok, atau partai…”
“Aku mengerti,” kata Huang Rong sambil merangkap tangannya. “Orang tua bermarga Liang itu memanggilmu Ketua Qigong, berarti kau Ketua Para Pengemis ya?”
“Tepat sekali. Kalau kami berkeliling, dan ada orang memasang anjing untuk mengawasi kami, kalau kami tidak bersatu dalam sebuah kelompok, bagaimana kami bisa hidup? Untuk rakyat jelata, saat ini di Utara ada di bawah kekuasaan Kekaisaran Jin, dan yang di Selatan ada di bawah kekuasaan Kekaisaran Song, tetapi semua pengemis di negeri ini…”
“Entah mereka di Utara atau Selatan,” sela Huang Rong, “ada di bawah kekuasaanmu!”
“Eehh, ya,” kata Qigong menyetujui, sambil tersenyum. “Tongkat bambu dan kantong arak ini sudah diwariskan dari generasi ke generasi, mulai dari akhir Dinasti Tang. Dengan kata lain, ini diwariskan dari seorang Ketua Partai Pengemis kepada ketua berikutnya. Untuk kami, para pengemis, ini seperti stempel giok dari Kaisar Kecil.”
“Itu sebabnya tidak kau berikan kepadaku,” kata Huang Rong sambil menjulurkan lidahnya.
“Kenapa tidak?” sahut Hong Qigong.
“Kalau semua pengemis di negeri ini datang kepadaku untuk menyelesaikan urusan mereka, itu bisa jadi bencana!”
“Kau benar,” kata Qigong sambil menghela napas. “Karena aku lemah dan malas, beban menjadi Ketua Kai Pang sangat berat untukku. Karena aku tidak bisa menemukan orang yang bisa kupercaya, maka aku harus menanggung…”
“Makanya Si Liang itu takut kepadamu. Kalau semua pengemis mengejarnya, maka ia akan mengalami malapetaka. Kalau setiap pengemis menjatuhkan seekor kutu di kerah bajunya, maka itu akan mengganggunya sampai akhir hayatnya.” Hong Qigong dan Guo Jing tertawa terbahak-bahak.
“Bukan,” kata Qigong, setelah beberapa saat. “Bukan hanya karena itu. Dia juga takut kepadaku.”
“Kenapa?” tanya Huang Rong.
“Sekitar dua puluh tahun yang lalu dia melakukan sebuah kejahatan besar, dan aku menimpanya…”
“Kejahatan apa?” kejar Huang Rong.
“Bangsat tua itu,” kata Qigong, ragu-ragu. “Dia mempercayai pepatah kuno ‘Kumpulkan Yin untuk memberi makan Yang’, dan mengumpulkan beberapa perawan, lalu — eehh — merusak mereka… Kurasa maksudnya ingin mendapatkan hidup abadi.”
“Apa maksudnya ‘merusak mereka’?” tanya Huang Rong penasaran. Anak itu, setelah kematian ibunya pada saat melahirkan dia, hanya dibesarkan oleh ayahnya. Setelah pengkhianatan dan larinya Chen Xuanfeng dan Mei Chaofeng, Huang Yaoshi yang murka membuat semua muridnya menjadi cacat, dan mereka semuanya pergi. Tidak ada orang lain yang tersisa di Pulau Persik selain beberapa orang pelayan yang bisu tuli. Karena hal ini, tidak ada orang yang menceritakan kepada gadis kecil itu mengenai apa yang terjadi di antara pria dan wanita. Sejak itu, ia lalu bertemu dengan Guo Jing dan merasakan sukacita, dan kelembutan luar biasa dalam kebersamaan mereka. Kalau mereka berpisah, meskipun hanya sesaat, perasaan murung dan kesendirian yang tak tertahankan akan membenamkan dirinya. Ia percaya bahwa menjadi suami-istri tidak lebih dari sekedar bersama-sama tanpa pernah berpisah dari pasangannya. Itu sebabnya sejak lama ia sudah menganggap Guo Jing adalah suaminya, tanpa mengerti tentang hubungan fisik secara alamiah. Dengan begitu, pertanyaannya menempatkan Hong Qigong dalam posisi sulit.
“Merusak tubuh perawan,” kejarnya dengan penasaran, “adalah membunuh mereka?”
“Bukan,” sahut Hong Qigong menanggapi. “Kalau seorang perempuan sampai mengalami hal semacam itu, rasanya akan lebih buruk dari mati. Pepatah kuno mengatakan, ‘Menjadi tidak terhormat adalah kuburan, mati kelaparan bukan apa-apa’. Itu sudah mewakili apa yang kumaksud…”
Huang Rong tetap tidak mengerti. “Apa maksudnya memotong telinga atau hidung dengan pisau?”
“Bah!” omel Qigong, merasa pusing. “Sama sekali bukan. Setan cilik, sebaiknya kau pulang dan tanya ibumu…”
“Ibuku sudah meninggal…”
“Aahh!” kata Si Pengemis Tua. “Kalau begitu kau akan mengerti setelah malam pengantinmu bersama pacarmu yang bodoh ini!”
Muka Huang Rong memerah, akhirnya ia mengerti bahwa hal itu adalah sesuatu yang memalukan. Ia berkata dengan lembut, “Kalau kau tidak mau menjelaskan… Kalau begitu, kau menimpa Si Tua Bangka itu pada saat dia melakukan kejahatan. Itu semua di masa lalu, kan?”
Qigong merasa lega melihatnya tidak lagi mendesak dengan pertanyaan-pertanyaan yang memalukan, lalu melanjutkan, “Yah, aku memang ikut campur, itu benar. Aku menangkap bajingan itu, aku melabraknya, mencabut semua rambutnya! Setelah itu kusuruh dia mengantarkan semua perempuan itu pulang. Dan berjanji dengan sungguh-sungguh untuk tidak melakukannya lagi. Kalau sampai ia mengulanginya, maka ia akan sangat menyesal bahwa ia pernah dilahirkan ke dunia ini. Kelihatannya sejauh ini dia sudah tidak pernah lagi melakukan hal semacam itu, makanya aku membebaskannya tadi.” Lalu ia menambahkan, “Ya ampun, apa rambutnya tumbuh lagi?”
“Oh iya!” kata Huang Rong sambil tertawa. “Mencabut semua rambut… itu kedengarannya sangat lucu.” Mereka bertiga lalu sibuk menghabiskan makanan di atas meja.
“Guru Qigong,” kata Huang Rong kemudian, “Kalaupun sekarang kau ingin memberikan tongkat ini kepadaku, aku juga tidak mau. Tapi kami tidak mungkin selalu ada di dekatmu. Bagaimana kalau suatu saat Si Liang itu muncul, dan berkata, ‘Nah, bajingan cilik! Waktu itu kalian berlindung di balik nama Ketua Qigong, dan kau memukulku dengan tongkat bambu. Sekarang aku ingin membalas dendam, dan mencabut semua rambutmu!’ Lalu kami harus bagaimana? Waktu Jing Gege menghadapi dia, satu-satunya jurus andalannya, Naga Angkuh Menyesal, tentu saja sangat hebat. Tapi hanya itu. Aku yakin Si Liang itu pasti mengira, ‘Haha, Guru Besar Qigong punya kungfu tak terbatas, tapi kalau urusan mengajar murid, ini betul-betul bukan apa-apa!‘”
“Aku tahu pasti,” kata Qigong. “Kau sengaja menceritakan semua ketololan ini, maksudnya untuk memprovokasi aku, supaya aku mengajarkan semua ilmuku kepada kalian berdua! Yah, selama kau menyiapkan makanan kesukaanku, aku tidak akan mengecewakan kalian.”
Huang Rong sangat senang, ia menggandeng tangan Hong Qigong dan berjalan menuju ke hutan pinus.
Hong Qigong mengajarkan jurus kedua kepada Guo Jing, yang disebutnya ‘Naga Terbang Di Surga’. Untuk melakukan gerakan itu, orang harus melompat tinggi di udara dan memukul keras dari atas ke bawah, sebuah gerakan yang sangat hebat. Guo Jing memerlukan waktu tiga hari untuk menguasainya. Selama tiga hari itu Hong Qigong punya kesempatan untuk menikmati sepuluh macam masakan lezat lain yang bahkan lebih lezat dari sebelumnya. Huang Rong sendiri tidak meminta apa pun untuk dirinya sendiri, asalkan Hong Qigong mau mengajar orang yang dicintainya, hal itu sudah cukup baginya.
Dalam waktu sebulan, Hong Qigong mengajarkan lima belas dari keseluruhan Delapan Belas Jurus Penakluk Naga. Mulai dari Naga Angkuh Punya Penyesalan sampai ke Mengintip Naga Di Lapangan.
Kedelapan Belas Jurus Penakluk Naga itu adalah ilmu silat Hong Qigong yang terakhir. Ia mempelajarinya dari gurunya sendiri, dan jurus tersebut adalah kungfu yang kendaraan yang melambungkan reputasinya sampai ke tingkat yang sekarang. Jumlah jurus tentu saja terbatas, tetapi semuanya dipenuhi kekuatan yang luar biasa. Pada saat berlangsungnya pertarungan di Huashan yang pertama, ketika Lima Pendekar Besar saling mengukur kekuatan, jurus itu masih belum mencapai puncak kesempurnaan, tetapi sudah mampu mencengangkan dan membangkitkan rasa kagum semua orang. Karena itu Qigong seringkali menyesali diri, kalau saja dia tidak malas menyempurnakan jurus itu, gelar sebagai Pendekar Nomor Satu di dunia persilatan mustinya bukan jatuh ke tangan Wang Chongyang, tetapi justru ke tangannya!
Semula, Hong Qigong hanya berniat mengajarkan dua atau tiga dari total delapan belas jurus tersebut kepada Guo Jing, tetapi Huang Rong sungguh seorang koki yang tak tertandingi. Setiap hari ia selalu menyiapkan masakan baru dengan rasa yang istimewa, tidak pernah sekali pun ada yang terulang. Si Pengemis Tua tidak mampu memaksa diri untuk pergi. Makanya, dari hari ke hari, tak terasa ia sudah mengajarkan lima belas jurus. Guo Jing tidak bisa memahami jurus-jurus itu dengan cepat, tetapi dari sedikit yang sudah dikuasainya, selalu dilatihnya berulang-ulang siang dan malam. Bekerja keras dengan penuh keyakinan seperti ini membuatnya menguasai semua jurus itu dengan sangat baik. Apa yang kurang dari dia adalah tenaga, yang akan bisa dicapai seiring dengan berjalannya waktu dan latihan rutin. Karena itu, dalam waktu sebulan lebih kungfunya telah meningkat secara drastis, seolah-olah ia telah menjelma menjadi orang lain!
Pagi itu, setelah sarapan, Qigong berkata sambil menghela napas, “Anak-anakku, kita sudah bersama lebih dari sebulan, sekarang waktunya bagi kita untuk berpisah…”
“Wah, jangan!” protes Huang Rong. “Aku masih punya beberapa masakan kecil yang belum pernah kau cicipi…”
“Tak ada pesta yang tak usai, tapi soal makanan memang tak ada batasnya… Aku tidak pernah mengajar orang lain lebih dari tiga hari. Tapi sekarang sudah lebih dari tiga puluh hari! Kalau diteruskan, bisa jadi malapetaka!”
“Kenapa begitu?”
“Yah, berarti kau merampok segala yang kuketahui.”
“Kau mulai dengan sangat baik, kenapa tidak menyelesaikannya. Mengajarkan keseluruhan Delapan Belas Jurus Penakluk Naga akan menjadi sebuah prestasi besar!”
“Bah! Itu akan menjadi prestasi besar bagi kalian berdua, bukan bagiku!” Huang Rong cemas, dan bertanya-tanya dalam hati, bagaimana caranya membuat Hong Qigong mau mengajarkan sisa tiga jurus itu kepada Guo Jing. Tetapi Si Pengemis Tua tidak memberinya waktu, ia menyelipkan kantong arak ke punggungnya, lalu pergi tanpa mengatakan apa-apa lagi.
Guo Jing berusaha mengejarnya, tetapi Qigong pergi dengan sangat cepat, dan menghilang dalam sekejap mata. Pemuda itu berlari ke hutan pinus dan memanggil-manggil, “Qigong, Qigong…!” Huang Rong ikut memanggil. Tiba-tiba sebuah bayangan muncul dari balik pohon pinus, itu Hong Qigong. “Anak-anak brengsek, kenapa kalian masih menggangguku! Kalau kalian ingin supaya aku mengajar lebih banyak lagi, itu sama sekali tidak mungkin!”
“Kau sudah mengajarkan terlalu banyak,” kata Guo Jing. “Aku merasa lebih dari puas, ingin apa lagi! Justru aku yang masih belum berterima kasih untuk semua kebaikanmu.” Ia lalu berlutut dan kowtow, membenturkan dahinya ke tanah beberapa kali.
Air muka Hong Qigong berubah. “Hentikan!” serunya. “Semua yang kuajarkan itu bukan apa-apa, selain hanya bayaran untuk semua makanan yang disiapkannya untukku! Tidak pernah ada hubungan guru dan murid di antara kita!” Bersama dengan kalimat itu, ia juga berlutut dan kowtow di hadapan Guo Jing.
Karena terkejut, Guo Jing hendak melakukan kowtow lagi, tetapi Hong Qigong mengulurkan tangan dan menekan titik akupuntur yang membuatnya kaku, dalam posisi lutut setengah tertekuk. Pengemis Tua itu baru melepaskannya setelah ia sendiri bersujud empat kali di hadapannya. “Ingat baik-baik,” katanya sekali lagi. “Jangan pernah bilang bahwa kau bersujud di hadapanku, dan bahwa kau adalah muridku!” Setelah mengerti bahwa ia sangat keras kepala, Guo Jing tidak berusaha menentangnya.
“Guru Besar Qigong,” keluh Huang Rong. “kau sangat baik kepada kami, dan sekarang kita harus berpisah. Aku ingin menyiapkan makanan untukmu, tapi setelah ini kurasa tidak akan ada kesempatan lagi…”
“Kenapa tidak?” tanya Qigong.
“Banyak orang ingin mencelakai kami, bukan hanya Si Dewa Ginseng Tua itu. Suatu saat nanti kami pasti akan mati di tangan mereka.”
“Kematian itu apa sih,” jawab Hong Qigong sambil tersenyum. “Semua orang pasti akan mati kalau sudah saatnya.”
“Tentu saja,” jawab Huang Rong. “Mati sebetulnya bukan apa-apa. Tapi mereka akan menangkapku, setelah tahu bahwa kau mengajarkan kungfu kepadaku dan aku memasak untukmu. Mereka akan memaksaku menyiapkan semua makanan yang kubuat untukmu untuk mereka makan, bukankah hal itu akan merusak reputasimu?”
Hong Qigong tahu jelas bahwa gadis itu sedang mencoba untuk mengakalinya lagi, tetapi pikiran bahwa ada orang yang memaksanya membuat makanan lezat, sedangkan ia sendiri justru tidak mencicipi hidangan itu, membuatnya marah. “Siapa sih orang-orang jahat yang mengancam kalian ini?” desaknya.
“Ada seorang pendekar tua dari Sungai Kuning,” kata Huang Rong. “Namanya Sha Tongtian. Cara makannya sangat menjijikkan. Sungguh bisa merusak masakanku!”
“Tidak usah takut kepada Sha Tongtian,” kata Qigong sambil menggelengkan kepalanya. “Dalam satu atau dua tahun, Si Bodoh Guo Jing ini akan jauh lebih hebat dari dia. Tidak ada yang perlu ditakuti…”
Huang Rong lalu menyebutkan nama Biksu Tibet Lingzhi dan Peng Lianhu. “Juga tidak usah takut!” jawab Hong Qigong lagi.
Tapi ketika ia menyebutkan nama Si Ketua Muda Gunung Onta Putih, Ouyang Ke, kelihatannya Hong Qigong terdiam sejenak. Lalu menanyakan tentang gerakan dan gaya kungfu dari Ouyang Ke, sebelum akhirnya menganggukkan kepalanya, “Itu ternyata betul-betul dia!”
Melihat keseriusannya, Huang Rong juga jadi serius. “Dia memang sangat hebat, kan?”
“Tidak ada yang perlu ditakui dari Ouyang Ke,” kata Qigong. “Tapi pamannya, Si Racun Barat, dialah yang patut kalian takuti!”
“Racun Barat? Tapi sekuat apapun dia, pasti tidak mungkin lebih hebat dari kau sendiri, kan?”
Qigong tidak menjawab. Ia diam sejenak sebelum akhirnya berkata, “Kami cukup seimbang, tapi itu dua puluh tahun yang lalu… Dan sepanjang dua puluh tahun ini, dia pasti latihan jauh lebih keras daripada aku yang malas dan rakus ini. Hah, tapi mau mengalahkan Pengemis Tua ini, ya pasti tidak segampang itu…”
“Kalau begitu dia pasti tidak bisa mengalahkanmu!”
“Akan kita lihat nanti,” kata Hong Qigong. “Karena keponakan dari Si Racun Tua, Ouyang Feng, mengincar kepalamu, kita harus berhati-hati. Aku akan makan masakanmu lima belas hari lagi, tapi sebaiknya kita jelaskan dulu sebelumnya. Kalau dalam waktu lima belas hari ini, kau sampai menyuguhkan makanan yang sama dua kali, maka aku akan langsung angkat kaki…”
Huang Rong senang sekali. Ia sudah memutuskan untuk menggunakan semua bakatnya. Tak hanya tidak mengulangi makanan yang sama, ia bahkan menyuguhkan variasi tak terbatas untuk mie dan nasi dalam setiap hidangan. Pangsit goreng, pangsit tim, pangsit rebus, nasi goreng, bubur beras, ketan, bakpao berbentuk bunga, bihun, dan sejenis sup kacang. Qigong sendiri harus bekerja keras mengajarkan kedua anak muda itu bagaimana cara beradaptasi dalam segala jenis pertarungan, bagaimana cara bereaksi, dan bertahan dengan lebih baik. Tapi ia tidak pernah mengajarkan sisa tiga jurus dari Delapan Belas Jurus Penakluk Naga. Guo Jing sendiri tentu saja memperdalam lima belas jurus yang sudah dipelajarinya, dan seiring dengan kemajuannya, semua pelajaran dari Keenam Orang Aneh dari Jiangnan juga meningkat secara drastis. Hong Qigong sebelum usia tiga puluh belajar kungfu yang sangat beragam, dan mempelajari teknik tangan kosong yang nyaris tak terhingga banyaknya. Dari semuanya itu ia sengaja memilih teknik yang sangat aneh untuk Huang Rong, tapi itu hanya untuk bercanda. Semuanya itu hanya terlihat indah, sederhana dan langsung, tetapi fungsinya dalam pertarungan nyata sangat jauh dibandingkan dengan Lima Belas Jurus Penakluk Naga yang dipelajari Guo Jing. Huang Rong hanya suka bermain-main, jadi ia tidak menanggapi pemuridan itu dengan serius, dan hanya mempelajari semua teknik yang diajarkan untuk menyenangkan diri.
Suatu sore ketika Guo Jing sedang melatih pukulannya, Huang Rong sedang memanjat pohon untuk mengumpulkan rebung dan buah prem sebagai bahan untuk masakan yang tidak umum, yang bernama ‘Tiga Sahabat Musim Dingin’, yang memiliki tiga aroma khas.
Hong Qigong tidak bisa menahan air liurnya, lalu ia membungkuk ke arah rerumputan dan memancing keluar seekor ular biru sepanjang dua kaki.
“Ular!” jerit Huang Rong.
Dengan tangan kirinya Hong Qigong memndorong pundak Huang Rong, memaksanya mundur beberapa kaki. Rerumputan tebal itu bergerak-gerak lagi, memperlihatkan lebih banyak ular. Hong Qigong memukul ular-ular itu dengan tongkatnya, tepat di kepalanya. Huang Rong bersorak. Tiba-tiba dua ekor ular menyelinap di belakangnya dan berhasil menggigitnya.
Hong Qigong tahu, meskipun kecil tetapi ular biru teramat sangat berbisa. Bisanya sangat berbahaya. Ia berusaha memikirkan cara untuk menangkal racunnya. Suara desis ular terus terdengar, dan timbunan ular terlihat dalam jarak sepuluh zhang dari tempat mereka. “Bagaimana keadaanmu?” tanya Qigong.
“Aku tidak apa-apa,” kata Huang Rong sambil tertawa. Ketakutan melanda Guo Jing ketika melihat dua ekor ular masih bergantung di tubuh Huang Rong.
Hong Qigong menyuruh Guo Jing berhati-hati. Dalam kecemasannya Guo Jing sudah menyingkirkan seekor ular. Ia melihat darah menetes dari kepala ular itu, ternyata ular itu sudah mati. Hong Qigong mengerti. “Ayahmu memberimu perisai landak.” Ketika menggigitnya, ular itu dengan segera mati tertusuk duri landak di perisainya. Ketika Guo Jing menarik ular lainnya dari tubuh Huang Rong, lebih banyak ular lagi muncul dari arah hutan. Hong Qigong memasukkan obat herbal kuning ke dalam mulut dan mengunyahnya. Saat itu sekitar seribu ekor ular sudah datang dari dalam hutan, dan masih lebih banyak lagi yang menyusul.
“Guru Qigong, ayo kita menyingkir dari sini,” kata Guo Jing.
Hong Qigong tidak menjawab. Sebaliknya, ia membuka kantong araknya dan minum seteguk besar dari situ. Ia mencampur obat herbal dengan arak, lalu memuntahkannya dari kiri ke kanan, menciptakan setengah lingkaran di sekitar pohon.
Ketika seekor ular mencoba melewati lingkaran itu, ular itu langsung mati. Tak seekor ular pun berani lagi menerobos lingkaran arak itu. Sebetulnya yang ada di barisan depan berusaha mundur, akan tetapi di belakang mereka ada lebih banyak ular yang datang dari dalam hutan. Kedua kelompok itu saling bertabrakan, menyebabkan pemandangan menggeliat-geliat penuh kekacauan. Huang Rong bertepuk tangan dengan girang. Dari dalam hutan itu tiba-tiba terdengar suara aneh, sebelum tiga orang berpakaian putih muncul dari situ. Mereka menggunakan sebuah tiang untuk menghalau ular-ular itu, seolah-olah mereka adalah kawanan sapi. Huang Rong merasa semua itu lucu, lalu tiba-tiba ia merasa ingin muntah. Hong Qigong memukul seekor ular dengan tongkat penggebuk anjingnya, lalu ia menggunakan jari untuk mengeluarkan empedunya.
“Cepat telan ini,” katanya kepada Huang Rong. “Jangan menggigit atau mengunyahnya, atau kau akan merasa sangat kesakitan.” Setelah menelan empedu ular itu, dada Huang Rong terasa lega.
“Jing Gege, kau merasa pusing?” tanyanya. Guo Jing menggelengkan kepalanya.
Karena sudah minum darah ular raksasa, Guo Jing sudah kebal terhadap lebih dari seratus jebis racun. Ular juga takut ketika mencium bau darah di tubuh Guo Jing. Ketika datang dari dalam hutan, mereka hanya mengincar Hong Qigong dan Huang Rong.
“Guru Qigong,” kata Huang Rong. “Ular-ular ini dipelihara oleh manusia.” Hong Qigong mengangguk, dan menatap ketiga orang berpakaian putih itu dengan marah. Mereka bertiga juga marah ketika melihat Hong Qigong memberikan empedu ular kepada Huang Rong. Mereka segera mengatur barisan ular.
“Bangsat kalian bertiga!” teriak salah satu dari mereka. “Kalian sudah bosan hidup ya?”
“Kalian bertigalah bangsat yang bosan hidup!” balas Huang Rong.
Hong Qigong menepuk pundak Huang Rong sebagai tanda setuju. Ketiga orang itu makin marah. Orang setengah baya yang bermuka pucat dan berdiri di tengah mengirimkan tiang yang dipegangnya ke arah Huang Rong dengan kekuatan yang mengejutkan. Hong Qigong menangkis tiang itu dengan tongkatnya. Orang itu terkejut, dan menarik tiang itu dengan kedua tangannya. Hong Qigong menggerakkan tongkatnya sambil berteriak, “Enyahlah!”
Orang itu tersandung, dan tergelincir jatuh di tengah-tengah tumpukan ular mayng mematikan. Untungnya ia sudah makan obat herbal sebelumnya, jadi ular-ular itu tidak mau menggigitnya. Kedua orang lainnya terkejut dan mundur selangkah. “Bagaimana?” kata mereka. Sebetulnya teman mereka jatuh dengan begitu kerasnya, sampai menimpa sepuluh ekor ular, dan merasa penat di sekujur tubuhnya.
Salah seorang yang berkulit putih menyodorkan tiang untuk membantunya. Mereka tidak berani melawan lagi.
“Siapa yang berani menahan ular kami dengan obat itu?” tanya si orang yang bermuka pucat. Hong Qigong tertawa dan tidak menghiraukannya.
“Kalian siapa, sembarangan mengirim ular untuk mencelakai orang lain?” tanya Huang Rong.
Ketiga orang itu saling berpandangan, mencoba menemukan kata-kata untuk menjawab, sementara seorang pria lain yang berpakaian putih muncul di ujung hutan. Ia berjalan dengan santai melewati sela-sela di antara ular sambil berkipas. Guo Jing dan Huang Rong segera mengenalinya sebagai Ouyang Ke, Majikan Gunung Onta Putih, yang kehadirannya di tengah-tengah kawanan ular itu membuat mereka semua menyebar.
Ketiga orang itu segera menceritakan mengenai kehebatan kungfu Hong Qigong dan situasi yang mereka hadapi. Ouyang Ke terkejut. Lalu ia mengangguk.
“Karena tidak mengerti, tiga pelayan ini sudah menyinggung Lao Qianbei, aku minta maaf.” Lalu ia berpaling kepada Huang Rong sambil tersenyum. “Ah, si nona ada di sini,” katanya. “Aku siap melayanimu.”
Huang Rong mengalihkan perhatiannya kepada Hong Qigong. “Guru Qigong, kau harus menyingkirkan telur busuk ini.” katanya.
Hong Qigong mengangguk, lalu berkata kepada Ouyang Ke. “Kenapa kau menggiring ular-ular berbisa ini melewati pedesaan di siang bolong? Kau terang-terangan ingin menggunakan mereka untuk melakukan kejahatan. Sasaranmu siapa?”
“Ular-ular ini sudah berjalan jauh,” kata Ouyang Ke. “Mereka tidak bisa makan dengan cara biasa.”
“Berapa banyak orang yang sudah kau celakai?” tanya Hong Qigong.
“Kami menggiring mereka melewat pedesaan,” jawab Ouyang Ke. “Tidak terlalu banyak orang yang terluka.”
Hong Qigong melotot. “Tidak terlalu banyak orang!” katanya. “Margamu Ouyang, kan?”
“Itu betul,” kata Ouyang Ke. “Nona ini pasti sudah menceritakannya. Dan siapa nama Qianbei yang terhormat?”
“Orang tua ini satu generasi lebih tua dari kau,” kata Huang Rong. “Kalau dia bilang, kau bisa mati ketakutan!” Tapi Ouyang Ke tidak marah, ia meliriknya sekilas.
“Kau keponakan Ouyang Feng, kan?” kata Hong Qigong.
Ouyang Ke tidak menjawab, tetapi ketiga orang lainnya berteriak, “Hei Tua Bangka! Berani benar kau memanggil nama majikan kami!”
“Aku mengucapkan hal-hal yang tidak diucapkan orang lain,” kata Hong Qigong sambil tersenyum santai.
Ketiga gembala ular itu masih terus berteriak kepada Hong Qigong, sementara Pengemis Tua itu, yang tadinya duduk di tanah dengan tongkatnya, tiba-tiba muncul di udara seperti seekor burung raksasa. Ia menghantam ke bawah tiga kali dengan begitu cepat sehingga orang-orang itu tidak sempat bereaksi. Sebelum tubuh mereka jatuh ke tanah, Hong Qigong sudah melompat ke udara lagi.
“Hebat!” sorak Huang Rong. “Kenapa yang ini belum kau ajarkan kepadaku, Guru Qigong?”
Ketika tiga orang gembala itu bangkit, mereka tidak bisa bersuara karena Hong Qigong telah memukul otot kecil di dagu, yang terhubung ke rahang mereka.
Ouyang Ke yang terkesiap berkata kepada Hong Qigong, “Qianbei kenal pamanku?”
“Jadi rupanya kau keponakan Ouyang Feng,” kata Hong Qigong. “Sudah lebih dari dua puluh tahun aku tidak ketemu Si Racun Tua. Apa dia belum mati?”
Ouyang Ke marah, tetapi ia tahu betul bahwa Hong Qigong punya kungfu tingkat tinggi. Dan karena mengenal pamannya, maka ia pastilah salah seorang tua yang punya kekuatan sangat besar. “Paman selalu bilang bahwa dia tidak akan mati sebelum kawan-kawannya.” kata Ouyang Ke. “Jadi dia tidak berani berangkat ke Surga sebelum kau.”
Hong Qigong memandang ke langit dan tertawa. “Bagus, kau memutar balik ucapanku dan mempermalukan aku!” katanya. “Nah, kenapa kau membawa semua harta karun ini?” lanjutnya sambil menunjuk ke arah ular.
“Aku seumur hidup tinggal di daerah Barat,” jawab Ouyang Ke. “Ini pertama kalinya aku berkunjung ke wilayah pusat[^zhong-yuan]. Perjalanan ini sangat jauh, sepi dan membosankan, jadi aku membawa ular-ular ini sebagai teman.”
“Itu bohong besar!” kata Huang Rong. “Mana mungkin perjalananmu bisa dibilang ‘sepi’, kalau ada begitu banyak istri dan selir yang menemanimu!”
Ouyang Ke membuka kipasnya dengan mendadak, dan menatap Huang Rong dari sebelah atas kipas itu. Ia tertawa dan mengutip sebuah puisi, “Tidak ada seorang pun di dalam hatiku yang jauh, namun hari ini ia telah bertemu dengan Sang Puteri.”
Huang Rong mengejeknya dengan ekspresi mukanya. “Aku tidak butuh pujianmu, sama seperti aku juga tidak butuh kau rindukan.” katanya.
Ouyang Ke tidak bisa bicara, ia terpesona oleh kecantikan seorang dewi yang dimiliki Huang Rong, dan juga ekspresi mukanya yang menyenangkan.
“Pamanmu memerintah wilayah Barat dengan tangan besi, karena itu tak ada orang yang mendisiplinkanmu,” kata Hong Qigong. “Jadi kau datang ke wilayah pusat dengan anggapan bahwa kau bisa berbuat sesukamu. Yah, hari ini, dengan memandang muka pamanmu aku membebaskanmu. Enyahlah dari hadapanku!”
Ouyang Ke menahan diri untuk menyumpah-nyumpah. Ia tahu bahwa dirinya sama sekali bukan tandingan Hong Qigong, jadi ia dengan patuh mengundurkan diri, meskipun merasa sangat tidak senang. “Wanbei mohon diri. Kalau Qianbei tetap sehat dalam beberapa tahun ini, dan tidak menderita penyakit berat, silakan berkunjung ke Gunung Onta Putih.”
Hong Qigong tertawa. “Bajingan kecil, kau berani menantang duel ya! Kalau aku datang, itu tidak akan ada hubungannya dengan perjanjian apapun. Dua puluh tahun sebelum kemarin, pagi-pagi sekali, kelompok kita sudah saling bergebrak, dan hasilnya kita seimbang. Tidak bakal ada duel lagi sampai kapanpun.”
Air mukanya berubah drastis. “Kau masih juga di sini, bukannya enyah jauh-jauh dari hadapanku!” teriak Hong Qigong.
Ouyang Ke lagi-lagi terkejut. “Aku hanya belajar tiga puluh persen dari kungfu paman,” pikirnya. “Orang ini kelihatannya tidak bohong. Aku terima kekalahan memalukan ini untuk sementara, dan lain kali baru membalasnya.” Ouyang Ke tetap tidak menjawab, dan ketiga gembala ular itu, yang dagunya masih sakit kena tonjok Si Pengemis Tua, tidak bersuara. Sambil melirik ke arah Huang Rong, Ouyang Ke berbalik dan berjalan kembali ke arah hutan.
Ketiga orang lainnya membuat suara aneh untuk menggiring ular-ular mereka, tetapi karena dagu mereka yang sakit suara itu terdengar sangat lemah dan buruk. Seperti ombak, ular-ular itu kembali ke arah hutan, meninggalkan sisa lendir yang berkilau di atas tanah.
“Guru Qigong,” kata Huang Rong. “Dari mana asalnya ular-ular itu? Apa mereka sungguh-sungguh dipelihara?”
Hong Qigong tidak menjawab. Ia meneguk arak dari kantongnya, lalu menghapus keringat dari alisnya dengan lengan jubahnya sambil menghela napas lega. “Berbahaya sekali,” katanya. “Sungguh berbahaya.”
“Kenapa?” tanya Guo Jing dan Huang Rong.
“Ular-ular berbisa itu hanya sementara terhalang karena usahaku,” kata Hong Qigong. “Mereka akan segera bisa menyeberang ke sini. Jumlahnya begitu banyak, akan seperti banjir besar. Bagaimana cara kita bisa membendungnya. Untungnya orang-orang itu kurang pengalaman, jadi mereka tidak menyadari tipuanku karena aku menggertak mereka sedemikian rupa. Kalau Si Racun Tua yang datang, kalian bocah-bocah ini bisa dalam kesulitan besar.”
“Orang tua ini tidak takut,” kata Hong Qigong sambil tertawa. ‘Kalian yang melarikan diri. Tapi kalau Si Racun Tua mengirimkan pukulannya, bagaimana kalian bisa melarikan diri?”
“Masa paman orang itu segitu hebatnya?” kata Huang Rong tidak percaya.
Hong Qigong tertawa. “Hebat? Si Sesat Timur, Racun Barat, Pengemis Utara, Kaisara Selatan, dan Dewa Pusat. Ayahmu adalah Si Sesat Timur, Ouyang Feng adalah Si Racun Barat. Wang Zhenren, Wang Chongyang, Si Dewa Pusat, sudah meninggal. Sisanya, kami berempat, yang sempat bertarung delapan babak dan tetap seimbang. Apa ayahmu tidak hebat?” tambahnya. “Apa kemampuanku sendiri bisa diabaikan?”
Huang Rong sebelumnya sempat bertanya-tanya sendiri mengenai hal ini, tetapi ia tidak pernah betul-betul memahaminya. “Ayahku orang baik, mengapa orang menyebutnya ‘Sesat’ dan ‘Jahat’, aku tidak suka nama julukannya!” ia bertanya.
“Secara pribadi, ayahmu barangkali sangat menyukai nama julukannya,” kata Hong Qigong sambil tertawa. “Orang itu punya semangat yang sangat aneh. Ia mengikuti pemikirannya sendiri yang tidak umum. Apa ini bukan ‘sesat’? Aku yakin cikal-bakal dari kungfu ortodoks ada di dalam aliran Quanzhen!”
“Kau sudah belajar neigong aliran Quanzhen, kan?” ia bertanya kepada Guo Jing.
“Ma Yu mengajarku selama dua tahun,” jawab Guo Jing.
“Pasti, pasti — kau pasti tidak bisa melatihnya dalam waktu singkat!” kata Qigong. “Kalau tidak, mana mungkin kau bisa menguasai Jurus Penakluk Naga, kalau tidak punya dasar neigong yang kuat.”
“Siapa itu Kaisar selatan?” tanya Huang Rong.
“Kaisar Selatan itu sungguh-sungguh seorang Kaisar,” kata Hong Qigong. Guo Jing dan Huang Rong kaget.
“Maksudmu Kaisar Negeri Song?” tanya Huang Rong.
Hong Qigong tertawa terbahak-bahak. “Kaisar kanak-kanak itu hanya cukup kuat untuk makan sebuah mangkuk emasnya. Kalau ada dua, ia tidak akan kuat mengangkat keduanya sekaligus. Kaisar Selatan yang ini bukan Kaisar Song. Bukan! Di antara kami berempat, ayahmu dan aku adalah yang agak lemah, tetapi ‘api selatan mengalahkan emas dari barat’! Sungguh benar, Si Racun Tua, Ouyang Feng, tidak bisa mengungguli bintangnya.”
Guo Jing dan Huang Rong sangat ingin mendengar kelanjutan ceritanya, tetapi Pengemis Tua itu tenggelam dalam pikirannya sendiri dan diam saja. Mereka tidak memaksanya. Hong Qigong memandang langit, alisnya berkerut seolah-olah sedang memikirkan persoalan yang sangat berat. Ia berjalan sendirian kembali ke penginapan.
Tiba-tiba Guo Jing dan Huang Rong mendengar suara robekan. Saat Hong Qigong melewati pintu gerbang menuju ke penginapan, lengan jubahnya tersangkut paku dan meninggalkan lubang besar. Huang Rong terkesiap, tetapi Hong Qigong tidak memperhatikan. Ia terus berjalan seolah-olah sedang melamun.
“Biar kutambal,” kata Huang Rong. Ia pergi ke ruang pengelola penginapan dan meminjam jarum dan benang. Lalu ia menjahit lubang di lengan jubah Hong Qigong.
Hong Qigong tersadar dari lamunannya ketika melihat Huang Rong dan jarum jahit di tangannya. Dengan kasar ia merampas jarum itu dan berlari ke luar pintu gerbang. Dengan penasaran Guo Jing dan Huang Rong mengikutinya ke luar, tetapi mereka hanya melihat Hong Qigong melemparkan jarum berkilau itu ke luar. Huang Rong melihat jarum itu bergerak melengkung dan akhirnya membunuh seekor belalang. Ia bersorak kegirangan.
“Ini bisa dipakai,” kata Hong Qigong, terlihat puas. “Cara ini bisa dipakai dengan baik!”
Guo Jing dan Huang Rong menunggu penjelasan selanjutnya.
“Si Racun Barat, Ouyang Feng, suka memelihara ular dan serangga beracun.” kata Hong Qigong. “Menemukan cara menangani ular-ular biru itu sama sekali tidak mudah!” Ia berhenti sejenak sebelum melanjutkan, “Waktu aku melihat Ouyang muda itu dan menganggapnya tidak baik, dan teringat pamannya yang suka menentang semua orang, aku tahu kalian berdua perlu satu cara untuk mengusir ular-ular itu, karena aku belum tentu ada di dekat kalian untuk menyelamatkan kalian.”
Huang Rong merangkapkan tangannya. “Kau mau menggunakan jarum untuk menancapkan ular-ular itu ke tanah.”
Hong Qigong tersenyum kepadanya. “Anak ini sungguh pintar. Kita hanya perlu bicara satu kalimat, dan dia langsung tahu yang selanjutnya.”
“Kau tidak ingin memakai obat herbal kuning itu lagi?” tanya Huang Rong. “Kau hanya perlu memuntahkannya bersama arak, dan ular-ular itu tidak akan berani mendekat.”
“Cara itu tidak bisa bertahan lama,” kata Hong Qigong. “Sekarang aku harus berlatih ‘Bunga-bunga Tercurah Dari Langit’, yang memakai jarum. Ular-ular itu akan muncul suatu saat nanti, dan aku akan menembakkan jarum-jarum ini, membunuh mereka satu per satu. Setelah aku mengumpulkan cukup jarum, aku akan membunuh semua ular itu dalam waktu kira-kira dua minggu.” Guo Jing dan Huang Rong tertawa.
“Aku akan mencari jarum-jarum itu,” kata Huang Rong. Ia segera beranjak pergi menuju ke pasar.
Hong Qigong menghela napas dengan kagum. “Jing’er, kenapa tidak kau suruh dia membagi dua kecerdasan dan kepandaiannya, dan memberikan setengahnya untukmu?”
“Membagi dua kecerdasan dan kepandaian?” kata Guo Jing. “Kau tidak bisa membelah yang itu.”
Huang Rong pulang dari pasar ketika sudah mendekati waktu makan berikutnya. Ia mengambil dua bungkus jarum jahit dari keranjangnya, dan berkata sambil tersenyum, “Aku membeli semua jarum yang ada di kota. Kurasa besok semua pria akan kelabakan diomeli oleh istri mereka.”
“Kenapa?” tanya Guo Jing.
“Percuma saja mereka diomeli,” kata Huang Rong. “Sudah tidak ada lagi satu jarum pun tersisa di kota.”
Hong Qigong tertawa terbahak-bahak. “Bukankah kalian berdua ingin belajar tentang senjata rahasia? Nah, sekarang biar kulihat seberapa besar usaha kalian untuk belajar. Tidak ada kesempatan lagi untuk belajar dari pengemis tua ini setelah ini. Akhirnya ternyata pengemis tua ini pintar juga. Dengan tidak menikah aku tidak perlu tersiksa harus berurusan dengan perempuan!” Huang Rong tertawa dan mengikutinya ke luar.
“Guru Qigong, aku tidak mau belajar,” kata Guo Jing.
“Kenapa?”
“Qianbei sudah mengajarkan begitu banyak kungfu, dan aku masih belum latihan dengan baik,” kata Guo Jing.
Hong Qigong memahaminya. Guo Jing tidak mau serakah. Pengemis tua itu memang sudah mengatakan bahwa ia tidak mau mengajarkan kungfu lain lagi, tetapi situasi darurat akhir-akhir ini menyebabkan belajar kungfu baru menjadi sangat penting. Kendatipun demikian, kalau Guo Jing lagi-lagi membiarkan Hong Qigong mmengajarinya, maka ia akan menjadi seorang oportunis. Sambil menganggukkan kepala, Hong Qigong menarik tangan Huang Rong dan berkata, “Kita berlatih!”
Setelah sendirian, Guo Jing kembali berlatih lima belas Jurus Penakluk Naga yang sudah dipelajarinya itu, dan itu semakin meningkatkan pemahamannya.
Huang Rong berlatih ‘Bunga-bunga Tercurah dari Surga’ selama sepuluh hari. Ia belajar bagaimana menembakkan sepuluh jarum, dan secara bersamaan menyerang titik vital lawan, tetapi ia tidak menguasai serangan ke titik vital dari beberapa sasaran sekaligus.
Suatu hari, Hong Qigong dan Huang Rong berlatih melempar jarum. Si Pengemis menembakkan semuanya sekaligus. Jarum-jarum itu jatuh ke tanah dalam dua kelompok — masing-masing berjarak sepuluh kaki. Merasa puas, ia pun menengadah ke langit dan tenggelam dalam renungan. Tapi pikirannya kacau, ia berseru keras-keras, “Racun Tua, mengapa kau melatih ular-ular itu?”
“Dengan kungfunya ia bisa menangani siapapun juga yang ada di dekatnya,” kata Huang Rong. “Jadi untuk apa sebenarnya ular-ular itu?”
Hong Qigong menampar kepalanya sendiri. “Tentu saja, untuk melawan Si Sesat Timur dan Kaisar Selatan!” katanya. “Baik Pengemis Utara maupun Quanzhen punya kelompok yang jumlahnya besar. Sedangkan Kaisar Selatan adalah kaisar nyata, yang punya banyak pengawal dan perwira untuk melindunginya. Ayahmu adalah seorang terpelajar yang cerdas, yang punya banyak ilmu aneh dan hebat, yang bisa membantunya menghadapi banyak musuh sendirian. Kalau Racun Tua bertarung sendirian, tak ada seorang pun dari generasinya yang sungguh-sungguh mampu menghadapinya. Tapi kalau lawannya membawa teman-teman, maka menghadapi mereka sendirian akan sangat celaka untuk Si Racun Tua!”
“Karena itu Racun Tua memelihara ular untuk membantunya,” kata Huang Rong.
Hong Qigong menghela napas. “Kami para pengemis seringkali menangkap ular dan memeliharanya untuk dimakan,” katanya. “Kami bisa memelihara sampai tujuh belas atau delapan belas ekor. Kami kadang-kadang bahkan melepas mereka untuk menangkap kodok. Tapi prosesnya sama sekali tidak mudah. Sekarang Racun Tua ternyata punya waktu untuk menangkap ular yang jumlahnya tidak terhitung. Rong’er, Racun Tua pasti menghabiskan banyak sekali waktu untuk ini, dia pasti merencanakan sesuatu.”
“Dia pasti punya rencana,” kata Huang Rong. “Tapi untung bagi kita, keponakannya membocorkan masalah ular itu.”
Hong Qigong lagi-lagi menampar kepalanya sendiri. “Tentu saja, Ouyang Kecil membocorkan masalah itu karena sembrono,” katanya. “Tapi Racun Tua tahu apa tentang milik orang lain? Ribuan ular itu tidak mungkin datang dari wilayah Barat. Pasti mereka dikumpulkan dari wilayah Timur juga. Meskipun Ouyang Kecil itu membocorkan sebagian rencana, tetapi ia pasti tidak mungkin membocorkan garis besar rencana mereka, terutama di bagian di mana dia ikut serta.”
“Itu bukan sesuatu yang baik,” kata Huang Rong. “Untungnya Jurus ‘Bunga-bunga Tercurah Dari Langit’ ini membuat kita lebih siap untuk menghadapi ular-ular itu kalau kita ketemu mereka, dibandingkan dengan harus menghadapi mereka sementara bertarung dengan Racun Tua sendiri!”
Hong Qigong ragu-ragu. “Seandainya dia membungkus aku dan mencegahku melontarkan jarum. Lalu bagaimana cara menghadapinya?”
Huang Rong berpikir sejenak. “Lari saja,” katanya.
“Bah!” kata Hong Qigong sambil tersenyum. “Metode apa itu, berpaling dan melarikan diri!”
Tiba-tiba Huang Rong berseru, “Aku tahu! Aku baru saja menemukan rencana!”
Dengan penuh sukacita Hong Qigong bertanya, “Rencana apa itu?”
“Cukup biarkan kami berdua bersamamu,” kata Huang Rong. “Kalau sampai kita ketemu Si Racun Tua, kau yang akan menghadapinya, sementara biarkan Jing Gege menghadapi keponakannya. Aku yang akan memakai jarum untuk menyingkirkan ular. Masalahnya adalah, sekarang ini Jing Gege belum menguasai sisa tiga Jurus Penakluk Naga, dan belum tentu mampu menghadapi orang-orang licik itu.” Hong Qigong menatapnya lekat-lekat.
“Kaulah orang licik itu,” katanya. “Kau hanya ingin memancingku untuk mengajarkan sisa tiga jurus itu kepada ‘Jing Gege’-mu. Melihat kebaikan moral Guo Jing, aku tanpa ragu sedikitpun akan mengajarinya ke delapan belas Jurus Penakluk Naga! Tapi kalau dia sampai menjadi muridku? Dia begitu bodohnya, kalau aku mengangkatnya menjadi murid, maka orang lain akan punya hak untuk menertawakan aku!” Huang Rong tertawa.
“Aku mau beli bahan makanan dulu,” katanya, menyadari bahwa makanan akan membuat Hong Qigong sulit untuk pergi.
Ia pergi ke pasar dan membeli aneka macam sayuran dan daging sambil memastikan bahwa ia membeli bahan-bahan yang punya rasa cukup unik. Dengan membawa belanjaan di tangan kirinya, dan tangan kanannya sibuk melatih cara melontarkan jarum, ia berjalan dengan santai kembali ke penginapan. Tiba-tiba ia mendengar suara lonceng mendekat. Di kejauhan ia melihat seorang wanita berpakaian putih menunggang kuda sendirian dengan cepat ke arah penginapan. Huang Rong melihat bahwa wanita itu ternyata putri Yang Tiexin, Mu Nianci, yang oleh guru-guru Guo Jing dijodohkan dengan pemuda itu. Hati Huang Rong menjadi masam, dan ketika Mu Nianci semakin mendekat, ia tidak mau bersuara. “Apa sih bagusnya perempuan ini,” pikir Huang Rong. “Keenam guru Jing Gege dan Si Pendeta Hidung Sapi dari Quanzhen itu kok semuanya ingin supaya Jing Gege menikahi dia!” Makin dipikir, akhirnya ia menjadi marah. “Aku jadi ingin bertarung dengan dia, untuk melampiaskan kejengkelanku!” pikirnya. Tetapi ketika ia sampai di dalam penginapan, ia menemukan Mu Nianci sudah duduk di sebuah meja.
Pelayan penginapan yang tampak cemas menanyakan kepada Mu Nianci apa yang ingin dimakan atau diminumnya. “Bawakan aku semangkuk mie dan daging,” kata Mu Nianci. Pelayan itu segera pergi untuk memenuhi pesanannya.
“Apa enaknya hanya makan daging saja?” kata Huang Rong.
Mu Nianci memandang Huang Rong. Mula-mula ia tidak mengenalinya, tetapi kemudian ia teringat bahwa ini adalah gadis yang tiba-tiba saja pergi bersama Guo Jing. Ia menghela napas. ”Mei Mei juga di sini?” katanya. “Ayo duduk sini bersamaku.”
“Apa si sastrawan bau, si gendut kontet, dan yang lain itu juga datang?” tanya Huang Rong.
“Tidak,” kata Mu Nianci. “Aku datang sendirian. Mereka semuanya sedang pergi ke tempat lain.”
Mula-mula Huang Rong kuatir akan bertemu dengan Qiu Chuji, tapi ia merasa senang setelah tahu ternyata Mu Nianci datang sendirian. Mula-mula dibutakan oleh kekuatiran akan bertemu dengan Qiu Chuji, sekarang Huang Rong mengamati Mu Nianci baik-baik, dan baru menyadari bahwa sepatu bot kecilnya, baju, dan juga rambutnya, dihiasi dengan bunga putih. Ia sedang berkabung. Dan meskipun terlihat kurus dan murung, tetapi Mu Nianci tetap terlihat cantik dan anggun, bukannya patut dikasihani. Huang Rong kemudian memperhatikan sebuah belati yang tergantung di pinggang Mu Nianci.
“Itu belati yang ditukar oleh orang tua Jing Gege dan orang tuanya sebagai emas kawin,” pikir Huang Rong. Tak kuasa menahan perasaannya lagi, Huang Rong berseru, ”Jiejie, boleh kulihat belati itu?”
Belati itu memang sungguh benda yang diberikan oleh Bao Xiruo tepat sebelum meninggal. Benda itu sudah diketemukan kembali setelah Bao Xiruo dan Yang Tiexin bunuh diri, dan sekarang disimpannya sebagai kenang-kenangan dari kedua orang tua angkatnya.
Mu Nianci menatap Huang Rong dan menyadari ekspresinya yang aneh, tapi sebelum ia bisa melakukan apa-apa, Huang Rong sudah mengulurkan tangan dan memegang belati itu, lalu dengan santai mengambilnya.
Ia memeriksa senjata itu dan membaca dua karakter “Guo Jing”, yang terukir di pegangannya. “Ini milik Jing Gege,” pikirnya dengan pahit. “Kenapa dia harus memilikinya?” ia melepaskan belati itu dari sarungnya. Dengan segera hawa dingin tersebar dari senjata itu. “Pisau bagus!” kata Huang Rong. Ia menyarungkan kembali senjata itu, dan menyimpannya di saku bajunya. “Aku akan memberikannya kepada Jing Gege!”
Terperanjat, Mu Nianci berkata, “Apa?”
“Dua karakter yang terukir di gagangnya membuktikan siapa pemilih sah barang ini,” kata Huang Rong. “Akan kuberikan kepadanya.”
Mu Nianci berteriak marah, “Itu satu-satunya barang peninggalan orang tuaku! Kenapa kau ambil? Ayo cepat kembalikan!” Ia berdiri dan berjalan ke arah Huang Rong.
“Kalau kau tidak senang hati, ambil saja sendiri!” teriak Huang Rong sambil berlari ke luar. Ia tahu bahwa Qigong sedang tidur di hutan, dan Guo Jing sedang berlatih di atas gunung. Ia berlari ke kiri.
Mu Nianci buru-buru mengejar, ia takut Huang Rong akan menaiki kuda merahnya. Ia terus mengejar sampai ia mendengar suara keras, yang kemudian diikutinya.
Huang Rong berbelok ke sebuah lapangan terbuka yang dikelilingi pohon-pohon tinggi. Ia berhenti di sana dan tertawa.
“Kau menang,” katanya. “Kau kuda yang lebih baik. Sekarang, ayo kita bertarung untuk melihat siapa yang lebih berhak memegang pisau pengantin!”
Pipi Mu Nianci memerah. “Jangan bercanda, Mei Mei,” katanya. “Melihat pisau itu, aku seperti melihat ayah angkatku. Kenapa kau ambil?”
Alis Huang Rong turun. “Siapa adikmu!” serunya. Tiba-tiba ia melompat ke arah Mu Nianci dengan telapak tangan terulur.
Mu Nianci berusaha mengelak, tapi Huang Rong menggunakan Telapak Dewa Pedang Menimpa Pendekar. Memakai banyak variasi dan gaya misterius, Huang Rong memukul Mu Nianci dua kali di rusuknya, yang terasa sangat menyakitkan. Dengan marah Mu Nianci berpaling ke kiri dan membalas dengan pukulannya, yang sangat keras.
“Itu Xiao Yaouyou8!” seru Huang Rong. “Mana mungkin!”
Mu Nianci terkejut ketika mendengar seruan Huang Rong. “Ini jurus yang hanya diajarkan Qigong kepadaku,” pikirnya. “Bagaimana dia bisa tahu?” Mu Nianci mengawasi Huang Rong yang menarik tangan kirinya, lalu menyerang dengan tangan kanan sebagai kepalan tinju. Setelah tiga jurus, Mu Nianci segera mengenali bahwa jurus itu tak lain dan tak bukan adalah Xiao Yaoyou. Ia melompat mundur dengan kaget. “Hentikan!” serunya. “Siapa yang mengajarimu jurus ini?”
“Aku baru saja menciptakannya,” kata Huang Rong seenaknya, sambil tersenyum. “Apa sih istimewanya jurus yang kasar dan jelek ini?” Sambil bicara, ia kembali menyerang dengan jurus itu, memperagakan dua gerakan utama, ‘Mangkuk Sedekah Di Pintu’ dan ‘Menemui Seorang Dermawan’ dalam rangkaian gerak yang berkesinambungan.
Mu Nianci makin bingung setelah mengelak dari serangan berikutnya, ‘Bertualang Di Laut Tanpa Kuatir’. “Kau kenal Hong Lao Qianbei?”
“Aku dan dia teman lama,” kata Huang Rong. “Kau boleh memakai jurus ini, aku pakai jurus lain yang kuketahui. Kita lihat siapa yang lebih unggul.”
Sambil tertawa mengancam Huang Rong menyerang. Ia tidak menggunakan Xiao Yaoyou, tapi menggunakan kungfu ajaran ayahnya, untuk mengalahkan Mu Nianci, yang sudah jelas belajar dari Hong Qigong. Mu Nianci tidak bisa mengatasinya.
Mu Nianci mencoba mengelak, tapi tidak bisa. Ia melihat sebuah kepalan terangkat seperti pedang dan menebas dengan arah diagonal, diiringi suara angin tajam. Merasakan gelombang tenaga yang mirip sambaran tombak, Mu Nianci memutar tubuhnya ke samping untuk mengelak, tetapi ia kemudian merasa lehernya sakit, karena Huang Rong berhasil memukulnya dengan ‘Menyisir Bunga Anggrek Dari Jalan’. Telapak tangannya mengenai tulang leher dengan tepat di mana jalan darah mengalir ke tubuh, tangan dan kaki. Setelah terkena, tangan dan kaki Mu Nianci terasa lemah dan kesemutan.
Huang Rong kemudian maju untuk menekan titik akupuntur di pinggang Mu Nianci. Mu Nianci segera terjatuh. Huang Rong mengeluarkan pisau dan tertawa, lalu menyayat pipi Mu Nianci sepuluh kali dengan cara yang berbeda-beda. Tak satu pun sayatan itu sungguh-sungguh mengenai sasaran, tetapi hanya luput satu inci dari daging.
Mu Nianci memejamkan matanya, menunggu maut. Tapi agak mengherankan, ia hanya merasakan angin dingin melewati pipinya, yang tidak sakit. Ketika membuka mata, ia melihat pisau itu melesat menuju ke matanya, tapi kemudian melihatnya berhenti tepat di depan mukanya. “Kalau kau ingin membunuhku, bunuhlah!” teriaknya marah. “Kenapa harus banyak ulah konyol, mengancam dan bersandiwara begini?”
“Kau bukan musuhku, dan aku juga tidak membencimu,” kata Huang Rong. “Kenapa aku mau membunuhmu? Kau hanya perlu bersumpah sekali, dan aku akan membebaskanmu.”
Meskipun mereka benar-benar bukan musuh, Mu Nianci bahkan menolak mempertimbangkan untuk bersumpah segala. ”Gu Niang, kau mengancam untuk membunuhku hanya karena ingin aku bersumpah menurut kehendakmu?” teriaknya. “Jangan mimpi!”
Huang Rong menghela napas dengan kagum. “Sungguh sayang kalau harus membunuh seorang gadis cantik di usia yang pantas untuk menikah.” katanya.
Mu Nianci memejamkan matanya lagi, dan menunggu ajal. Tapi ia tidak mendengar suara apapun.
Sesaat kemudian, Huang Rong berkata dengan lembut, “Jing Gege dan aku sudah saling berbagi hati. Kalau kau menikah dengannya, ia tidak akan bisa memberikan yang sama.”
Mu Nianci membuka matanya. “Kau bilang apa?” tanyanya.
“Aku tahu kau pasti tidak akan berjanji untuk tidak menikahi dia,” kata Huang Rong.
“Siapa sih yang kau sukai?” tanya Mu Nianci bingung. “Siapa yang kau kira ingin kunikahi?”
“Jing Gege — Guo Jing,” jawab Huang Rong.
“Oh, dia,” kata Mu Nianci. “Sumpah apa yang kau ingin supaya kulakukan?”
“Aku ingin kau bersumpah berat supaya kau tidak menikahinya,” kata Huang Rong.
Mu Nianci tertawa. “Kau menaruh pisau di leherku, padahal aku juga sudah tidak bisa menikahinya,” katanya.
“Betulkah?” tanya Huang Rong dengan gembira. “Kenapa bisa begitu?”
“Meskipun ayah angkatku menjodohkan aku dengan Guo Jing Gege, sejujurnya…” katanya, sebelum merendahkan suaranya. “Sejujurnya, ayah angkatku, terlepas dari segala kebijaksanaannya, lupa untuk mencegahku untuk memberikan hatiku kepada orang lain.”
“Aku sudah membuat kesalahan fatal tentang kau!” kata Huang Rong kegirangan, sebelum membuka totokannya di tubuh Mu Nianci dan mengurut tangan dan kakinya. ”Jiejie, siapa jodohmu?”
Mu Nianci tersipu sebelum menjawab, “Kau sudah pernah ketemu orang itu sebelumnya.”
Huang Rong memiringkan kepalanya untuk berpikir sejenak. “Aku pernah ketemu sebelumnya?” katanya. “Orang macam apa di kota ini yang pantas untuk bersanding dengan orang setingkat Jiejie?”
Mu Nianci tertawa. “Di dunia ini, orang ini tak tertandingi oleh siapa pun, kecuali oleh Jing Gege-mu,” katanya. “Jiejie, apa dia segila itu, masa belum menikahimu?” kata Huang Rong sambil tersenyum.
“Apa Jing Gege gila?” kata Mu Nianci. “Dia sungguh-sungguh jujur, dan punya hati seorang ksatria sejati. Aku sangat mengagumi dia. Dia memperlakukan ayahku dan aku dengan sangat baik hari itu, waktu dia menolong kami dengan resiko nyawanya sendiri. Aku sangat berterima kasih kepadanya. Pria seperti dia sangat jarang di dunia ini.”
Dengan sangat kuatir Huang Rong mendesak, “Kau tadi bilang tidak akan menikah dengan dia, maksudnya hanya supaya aku tidak menaruh pisau di lehermu ya?”
Mu Nianci melihat bagaimana Huang Rong terus menekankan masalah ini, dan menyimpulkan bahwa penyebab kecerobohan yang dilakukannya sebelum ini masih juga belum hilang. Ia meraih tangan Huang Rong dan bicara perlahan, “Mei Mei, hatimu sudah kau berikan kepada Kakak Jing. Menemukan orang lain yang menyamai dia akan sangat sulit meskipun di dunia ini ada ribuan laki-laki, betul kan?”
“Ya, aku percaya memang sepertinya tidak ada lagi orang yang bisa menyamainya,” jawab Huang Rong.
“Kalau Kakak Jing mendengar pujianmu itu, hatinya akan sangat bahagia,” kata Mu Nianci lagi. “Nah, di dalam lomba yang diadakan ayahku di Yanjing itu, seorang pria mengalahkan aku.”
Huang Rong sekarang mengerti. “Sekarang aku tahu,” katanya. “Orang yang ada di hatimu adalah Si Pangeran Kecil, Wanyan Kang.”
“Ya, memang Pangeran itu,” jawab Mu Nianci. “Dialah orang yang diinginkan hatiku. Di dalam hati sebenarnya dia baik. Aku bisa membuatnya berhenti melakukan hal-hal buruk.”
Meskipun ia bicara perlahan, tetapi air muka Mu Nianci penuh dengan keyakinan. Huang Rong menganggukkan kepalanya, ketika menyadari bahwa ia punya perasaan yang sama terhadap Guo Jing, seperti yang dikatakan oleh Mu Nianci dengan cara yang jauh lebih sederhana. Mereka saling menggenggam tangan dengan erat dan duduk berdampingan di bawah pohon Zao Jia, sambil menikmati suasana berbagi perasaan. Huang Rong berpikir sejenak, lalu mengembalikan pisau yang direbutnya kepada Mu Nianci.
“Mu Jiejie, ini kukembalikan kepadamu,” katanya.
Mu Nianci tidak mengambilnya. “Simpan saja — ini milik Jing Gege-mu,” katanya. “Namanya tertera di gagangnya. Kalau bersamaku setiap hari, aku…” Ia berhenti sejenak. “Kalau aku harus membawanya setiap hari, itu tidak akan baik.”
Dengan perasaan sayang Huang Rong menyimpan pisau itu di sakunya. “Jiejie, kau sungguh baik,” katanya. Setelah menerima pisau berharga itu, pikiran Huang Rong untuk sejenak lamanya agak bercabang. “Jiejie, urusan apa yang membawamu ke Selatan sendirian?” ia bertanya. “Mungkin Mei Mei bisa membantu.”
Mu Nianci tersipu dan menundukkan kepalanya. “Aku tidak punya urusan mendesak saat ini,” jawabnya.
“Kalau begitu, aku akan membawamu menemui Guru Qigong,” kata Huang Rong.
Mu Nianci merasa senang sekali. “Guru Qigong ada di sini?”
Huang Rong mengangguk, lalu memegang tangan Mu Nianci dan menariknya. Tiba-tiba ia mendengar suara di tengah-tengah ranting pohon di atas mereka. Sepotong kulit pohon jatuh ke tanah. Dari kejauhan mereka bisa melihat bayangan seseorang sedang melompat-lompat dengan gembira dari satu pohon ke pohon lain. Setelah beberapa saat mereka bisa mengenali ternyata itu Hong Qigong.
Huang Rong memungut kulit pohon itu, dan melihat ada tulisan terukir di atasnya, yang kelihatannya diukir menggunakan jarum. “Dua boneka seperti ini sangat baik,” ia membaca. “Tapi kalau Rong’er sengaja bikin masalah lagi, maka Qigong akan memukul telinga anak pertamamu.” Kulit pohon itu tidak ditanda tangani. Sebaliknya ada gambar sebuah kantong arak di bawahnya. Huang Rong tahu itu tulisan Qigong, dan ia tersipu. Ia tahu Qigong sudah mengamati pertarungan mereka sejak awal, dan juga tahu tentang ‘sumpah’ yang dipaksakannya kepada Mu Nianci. Keduanya memasuki hutan Zao Jia, tetapi tidak ada yang memperhatikan kehadiran Hong Qigong. Mereka berdua lalu berjalan ke penginapan sambil bergandengan tangan.
Guo Jing yang sedang duduk di dalam setelah selesai berlatih, sangat terkejut melihat Mu Nianci. “Mu Mei Mei, kau ketemu guru-guruku?”
“Guru-gurumu yang terhormat dan aku sama-sama meninggalkan ibukota ke arah Selatan, ke Shandong,” kata Mu Nianci. “Kami berpisah di sana, dan aku belum ketemu mereka lagi.”
“Apa semua guruku dalam keadaan baik?” tanya Guo Jing.
“Santai saja, Guo Dage,” jawab Mu Nianci sambil tersenyum. “Mereka tidak marah kepadamu.”
Sebenarnya Guo Jing memang sangat kuatir. Ia takut guru-gurunya sangat marah kepadanya. Ia bangkit dan menyibukkan diri dengan teh dan makanan, sementara pikirannya yang sederhana tenggelam dalam lamunan. Mu Nianci berpaling kepada Huang Rong dan bertanya bagaimana mereka bisa bertemu dengan Hong Qigong. Huang Rong menceritakan semuanya.
“Mei Mei, kau betul-betul diberkati,” kata Mu Nianci sambil menghela napas. “Kalian tinggal begitu lama dengan Guru Qigong, sampai seperti keluarga kecil. Sedangkan aku hanya ingin menemuinya, tapi ia tidak ada di sini.”
“Ia selalu menjagamu,” kata Huang Rong menghiburnya. “Ia pasti akan muncul kalau aku berusaha melukaimu. Kalau aku sampai melukaimu, bagaimana mungkin dia diam saja?” Mu Nianci mengangguk mengiyakan.
Guo Jing berpikir bahwa ini agak aneh. “Rong’er, kenapa kau ingin melukai Mu Mei Mei?” tanyanya.
“Aku tidak bisa bilang,” kata Huang Rong buru-buru.
Mu Nianci tersenyum. “Dia takut, takut aku akan…” katanya tanpa menyelesaikan kalimatnya. Meskipun ia mulai bicara, tetapi ia merasa malu menyinggung topik itu.
Huang Rong mengulurkan tangannya dan menggelitik ketiak Mu Nianci. “Kau berani bicara soal itu?” katanya sambil tersenyum.
Mu Nianci menjulurkan lidahnya dan menggelengkan kepala. “Mana mungkin aku berani! Bukannya kau ingin supaya aku bersumpah?” Huang Rong tergagap ketika ingat ia mencoba memaksa Mu Nianci bersumpah untuk tidak menikah dengan Guo Jing. Pipinya merah padam. Ketika melihat mereka berdua berbagi rasa, Guo Jing merasa sangat bahagia.
Setelah makan, ketiganya pergi ke tengah hutan dan berjalan-jalan sambil bermalas-malasan. Huang Rong bertanya kepada Mu Nianci bagaimana ia menerima pengajaran dari Hong Qigong.
“Itu terjadi ketika aku masih sangat kecil,” kata Mu Nianci. “Aku mengikuti ayah ke sungai di provinsi Henan. Kami berhenti di sebuah penginapan, dan ketika aku bermain di pintu masuk, aku melihat dua pengemis tergeletak di tanah, berlumuran darah. Tidak ada yang mau membantu mereka karena takut mengotori diri mereka sendiri.”
Huang Rong berusaha menghubungkan cerita itu. “Oh, jadi kau kemudian menunjukkan belas kasihan,” katanya. “Dan mengobati luka mereka.”
“Aku tidak bisa berbuat banyak dengan luka mereka,” kata Mu Nianci. “Tapi aku merasa kasihan, jadi aku membawa mereka ke ruangan ayahku. Di sana aku membersihkan luka mereka dan membalutnya. Waktu ayahku pulang, ia bilang bahwa aku melakukan hal yang benar, sambil menghela napas dan berkata lagi bahwa dulu istrinya juga baik hati. Ayahku lalu memberi uang kepada kedua pengemis itu, dan mengobati luka mereka. Mereka berterima kasih dan pergi. Beberapa bulan kemudian kami sampai di Xinyang, di mana kami bertemu kedua pengemis itu lagi, yang sudah sembuh. Mereka membawaku ke sebuah kuil, di mana aku pertama kalinya bertemu dengan Hong Qigong. Setelah memujiku, ia kemudian mengajari aku Xiao Yaoyou, yang perlu waktu tiga hari. Hari keempat, waktu aku kembali ke kuil itu, ternyata dia sudah pergi.”
Huang Rong berkata, “Guru Qigong tidak mengijinkan kita mengajarkan ilmunya kepada orang lain. Tapi kalau kau, Jiejie, mau belajar ilmu ayahku, aku bisa mengajarimu dalam beberapa hari ini.” Waktu ia menyadari bahwa Mu Nianci tidak ingin menikah dengan Guo Jing, ia merasa sangat lega. Sekarang ia tahu bahwa dia sungguh sangat baik, karena itu ia ingin memberinya semacam hadiah.
Mu Nianci berkata, “Terima kasih banyak. Tapi saat ini aku punya keperluan mendesak yang harus segera kulakukan. Lain kali aku akan memintamu, meskipun kau tidak menawarkan.”
Huang Rong ingin menanyakan tepatnya urusan apa yang harus dilakukannya. Tetapi hanya dengan memandang wajahnya, ia segera tahu bahwa Mu Nianci tidak ingin membicarakannya. Ia lalu berpikir, “Dari sikapnya yang malu-malu, kelihatannya ia sudah membuat keputusan bulat. Kalau ia tidak ingin bicara, tidak apa-apa.”
Mu Nianci meninggalkan penginapan sekitar tengah hari dengan terburu-buru, dan baru kembali setelah gelap. Huang Rong memperhatikan ada tanda kegembiraan di wajahnya, tapi ia pura-pura tidak tahu. Setelah makan, keduanya beristirahat. Huang Rong melihat pipinya diletakkan di atas telapak tangan, dan mukanya tampak penuh perasaan, jadi ia pura-pura tertidur. Setelah beberapa saat, ia melihat Mu Nianci merogoh sesuatu dari dalam bungkusannya, dan mengeluarkan sebuah benda. Ia menciumnya dengan lembut dan memandangnya dengan penuh perasaan. Huang Rong mengintip dari balik bahunya, dan melihat bahwa benda itu ternyata adalah selembar saputangan bersulam halus.
Tiba-tiba Mu Nianci tersentak, dan saputangannya berkibar. Huang Rong terkejut dan segera memejamkan mata, sementara jantungnya berdebar kencang. Ia hanya mendengar desiran angin pelan di kamar itu, dan ia mengangkat kelopak matanya. Ia melihat Mu Nianci mondar-mandir di dalam kamar, bergerak tak menentu. Ia berkata pada diri sendiri, “Hei, itu saputangan yang direbutnya dari pangeran itu waktu mereka bertarung dalam lomba.” Ia melihat Mu Nianci tersenyum sendiri, dan merasa bahwa ia sedang mengingat-ingat peristiwa hari itu sambil menirukan gerakan dan gaya Wanyan Kang. Ia melakukannya selama beberapa saat sebelum berjalan ke dekat tempat tidurnya.
Huang Rong memejamkan matanya rapat-rapat karena tahu bahwa Mu Nianci pasti sedang memandang ke arahnya. Tak lama kemudian, ia mendesah, “Kau betul-betul cantik!” Ia mendadak berpaling, dan membuka pintu, lalu berjalan ke luar. Huang Rong jadi penasaran dan mengejarnya, menggunakan ilmu meringankan tubuhnya untuk membuntuti Mu Nianci. Ilmu meringankan tubuhnya lebih baik dibandingkan Mu Nianci, tetapi ia sengaja menjaga jarak supaya jangan ketahuan. Ia melihatnya melompat ke sebuah atap dan memandang sekeliling. Mu Nianci kemudian melompat lagi ke sebuah bangunan di sebelah selatan. Huang Rong sudah mengunjungi tempat itu berkali-kali untuk membeli bahan-bahan makanan, dan tahu bahwa tempat ini adalah rumah orang kaya, jadi ia berpikir, “Kemungkinan besar dia kehabisan uang, jadi datang ke sini untuk ‘mengambil’ sekedarnya.”
Huang Rong melihat pintunya dicat dengan warna cerah, dan ada dua lampion besar di dekatnya, yang bertuliskan ‘Utusan Kekaisaran Besar Jin’, dan ada empat orang pengawal sedang berjaga-jaga di pintu itu. Ia sudah berkali-kali melewati pintu ini, tetapi tidak pernah melihat pemandangan seperti ini sebelumnya, jadi ia berpikir, “Dia ingin merampok hadiah Kekaisaran Jin. Itu bagus sekali, setelah dia, aku juga ingin ambil bagian!” Ia mengikuti Mu Nianci ke halaman belakang, dan melihatnya bersembunyi di setiap sudut, jadi ia mengikuti cara itu.
Mereka melihat nyala api lilin dari arah dapur, dan melihat ada bayangan seorang pria sedang mondar-mandir di dalam ruangan. Mu Nianci dengan hati-hati berjalan mendekat dan menatap bayangan pria itu. Setelah bebberapa saat bayangan itu masih terus mondar-mandir, sementara Mu Nianci menatapnya tanpa bergerak. Huang Rong jadi tidak sabaran dan berpikir, “Mu Jiejie ragu-ragu. Kenapa dia tidak langsung masuk saja dan menotoknya.” Ia berjalan ke arah lain sambil berpikir, “Aku akan membantunya dengan cara menotok orang itu, dan bersembunyi di salah satu sudut untuk mengejutkannya.” Tepat ketika ia bermaksud menyelinap masuk melalui jendela, ia mendengar suara pintu dibuka, dan seorang pria masuk sambil berkata, “Lapor, Pak. Parlemen Kekaisaran Selatan akan mengirim utusan ke sini besok lusa.” Pria itu mengangguk dan si pelapor itu pergi.
Huang Rong berpikir, “Jadi pria yang di dalam itu adalah seorang bangsawan Kekaisaran Jin. Mu Jiejie pasti punya alasan untuk ke sini, dan bukan untuk merampok. Aku seharusnya tidak ikut campur.” Ia memasukkan salah satu jari tangannya ke dalam mulut, lalu melubangi daun jendela, dan mengintip ke dalam9. Ia terkejut, orang yang di dalam ternyata adalah Si Pangeran Muda, Wanyan Kang. Di tangannya ada sebuah benda hitam, yang di bawah penerangan lilin, Huang Rong melihat bahwa itu adalah mata dari sebuah tombak yang sudah berkarat.
Huang Rong tidak tahu bahwa tombak itu adalah milik pribadi ayah kandungnya, Yang Tiexin. Ia hanya merasa bahwa benda itu pasti ada kaitannya dengan Mu Nianci, jadi ia tertawa sendiri, “Kalian berdua sebetulnya sama-sama bersandiwara. Jangan bilang bahwa kalian tak terpisahkan.” Ia lalu tertawa keras-keras tanpa kendali. Wanyan Kang sangat terkejut dan langsung meniup lilin sambil berseru, “Siapa itu?” Huang Rong mengambil kesempatan ini untuk menyelinap ke belakang Mu Nianci dan menotoknya sehingga tidak bisa bergerak. Huang Rong tertawa. “Jangan takut, aku hanya ingin mempertemukanmu dengan kekasihmu.”
Wanyan kang baru bermaksud lari ke luar, ketika mendengar suara seorang gadis tertawa cekikikan. “Kekasihmu ada di sini, tangkap!” Wanyan Kang berseru, “Apa?” Sesosok tubuh yang lembut, hangat, dan berbau harum tiba-tiba mendarat di lengannya, dan gadis yang bicara itu dengan cepat terbang melalui tembok sambil tertawa. “Jiejie, mana mungkin kau bisa berterima kasih kepadaku!” Seiring dengan lenyapnya suara tawa itu, gadis yang ada di pelukannya meronta minta diturunkan. Wanyan Kang terkejut melampaui kata-kata, ia melangkah mundur dan bertanya, “Ini siapa?” Mu Nianci menjawab dengan lembut, “Kau masih ingat aku?” Ia merasa suara itu tidak asing, dan ia tergagap, “Kau… kau Nona Mu?”
Mu Nianci menjawab, “Ya.”
Ia bertanya, “Siapa yang datang bersamamu tadi?”
“Itu tadi temanku yang nakal,” jawab Mu Nianci. “Aku tidak tahu ia mengikutiku.”
Wanyan Kang masuk dan kembali menyalakan lilin. Ia berkata, “Masuk.” Mu Nianci menundukkan kepala dan masuk, duduk di sebuah kursi dengan tenang, tetapi hatinya berdebar-debar. Wanyan Kang melihatnya tersipu, lalu berkata untuk menenangkan, “Kenapa kau datang mencariku di saat seperti ini?” Ia tidak menjawab. Wanyan Kang memikirkan ayah kandungnya yang meninggal, dan berkata lembut, “Karena ayahmu meninggal, kau bisa tinggal bersamaku, dan aku akan menganggapmu adikku.”
Mu Nianci menjawab, “Dia ayah angkatku…” Wanyan Kang terkejut, dan berpikir, “Ia sedang mengatakan bahwa kami berdua tidak ada hubungan darah.” Ia menggenggam tangan gadis itu sambil tersenyum. Muka Mu Nianci lebih merah lagi, dan kepalanya tertunduk lebih dalam. Hati Wanyan Kang serasa terbakar, ia memeluk gadis itu, dan berbisik ke telinganya, “Ini ketiga kalinya aku memelukmu. Yang pertama ketika kita berduel dalam lomba, yang kedua tadi di luar, dan sekarang tidak ada orang lain di sini.”
Mu Nianci bergumam, “Mmm” dan merasakan sesuatu yang sangat manis di dalam hatinya, yang terjadi untuk pertama kali dalam hidupnya. Wanyan Kang mencium aroma harum tubuhnya, memeluk tubuhnya yang ramping, dan menyimpulkan bahwa ini memang peristiwa nyata. Setelah beberapa saat ia bertanya, “Bagaimana kau bisa menemukanku?” Mu Nianci berkata, “Aku sudah lama mengikutimu. Setiap malam aku menatap bayanganmu, tapi aku tidak berani…” Wanyan Kang menyadari bahwa perasaannya sangat dalam, dan ia sangat tersentuh. Ia mencium dahinya dengan lembut. Dalam panasnya api asmara, ia memeluknya erat-erat, lalu menciumnya sangat lama.
Mu Nianci berbisik, “Aku seorang anak yatim piatu… jangan telantarkan aku.” Wanyan Kang memeluknya dan membelai rambutnya sambil berkata, “Jangan kuatir! Kau akan selalu jadi milikku, dan aku akan selalu jadi milikmu, bagaimana?” Mu Nianci merasakan sukacita besar memenuhi hatinya, dan menatap mata Wanyan Kang lekat-lekat sambil mengangguk. Wanyan Kang melihat ia tersipu, tapi ia tidak peduli lagi. Ia meniup lilin, membawanya ke tempat tidur, dan berusaha untuk membuka pakaiannya.
Mu Nianci memang terlena akan buaiannya, tetapi ketika Wanyan Kang menyentuhnya, ia buru-buru mendorongnya dan berkata, “Jangan, kita tidak boleh melakukan ini…” Wanyan Kang memeluknya dan berkata, “Aku pasti akan menikahimu. Kalau hatiku berubah, biar aku mati dengan cara mengerikan.” Mu Nianci menutup mulutnya dengan tangan dan berkata, “Aku percaya.” Wanyan Kang lalu berkata, “Kalau begitu, biarkan aku…” Gadis itu memohon, “Jangan, jangan…” Wanyan Kang sudah sangat bergairah dan mencoba untuk membuka pakaiannya lagi. Ia memukulnya dengan setengah dari kekuatan maksimumnya. Wanyan Kang tidak menduga bahwa gadis itu akan menggunakan ilmu silatnya pada saat seperti itu, ia terdorong jauh. Mu Nianci melompat dari pembaringan, meraih mata tombak dan mengarahkannya ke diri sendiri, dan berkata, “Kalau kau memaksaku, aku akan mati di hadapanmu.”
Gairah Wanyan Kang mendadak berubah sedingin es. Ia berkata, “Baiklah, kita bicara baik-baik, jangan begini.” Mu Nianci berkata, “Meskipun aku seorang gadis miskin yang berkelana mengelilingi Jianghu, tapi aku punya harga diri dan kehormatan. Kalau kau sungguh-sungguh mencintaiku, tolong hormati aku. Aku tak punya keinginan lain dalam hidup ini kecuali untuk bersamamu. Di masa depan… di masa depan kalau aku menikahimu, tentu saja aku akan… mematuhimu. Tapi malam ini, kalau kau mencoba memaksaku, aku lebih baik mati.” Meskipun ia mengatakan semuanya itu dengan lembut, tetapi ia sama sekali tidak ragu-ragu. Diam-diam Wanyan Kang mengagumi dan menghormatinya. “Jangan marah, memang ini salahku.” katanya.
Ia bangkit dari tempat tidur dan menyalakan lilin. Mu Nianci mendengar bahwa ia mengerti kesalahannya dan berkata, “Aku akan menunggumu di rumah lama ayah angkatku, di Desa Niu. Kau bisa mengirim… mak comblang kapan saja.” Ia berhenti sejenak, lalu berkata, “Kalau kau tidak muncul, aku akan menunggu di sepanjang hidupku.” Wanyan Kang sungguh terharu, ia buru-buru berkata, “Jangan kuatir, setelah menyelesaikan tugasku, aku akan segera datang. Dalam hidup ini aku tidak akan berubah pikiran.”
Mu Nianci tersenyum malu dan berpaling untuk pergi. Wanyan Kang berseru, “Jangan pergi… temani aku ngobrol sebentar lagi.” Tapi Mu Nianci melambaikan tangannya dan pergi. Wanyan Kang tetap berdiri di tempatnya sambil menatap bayangannya yang menghilang di balik tembok, dan merasa semuanya ini seperti mimpi. Ia meninggalkan beberapa helai rambut, sisa dari pergumulan mereka. Ia menyimpan helai rambut itu di sebuah kantong kecil. Ketika mereka bertarung dalam lomba, ia tidak terlalu memikirkannya. Tapi ia tidak menyangka gadis itu akan mengikutinya dan menatap bayangannya setiap malam. Namun demikian, ia sangat menghargai kesuciannya, sungguh membuatnya sangat menghormati gadis itu. Ia tersenyum dan menghela napas.
- Mei Hua (梅花)
- Bunga prem, atau Mei Hua berasal dari sebelah selatan Sungai Yangtze. Kalau sudah matang, daging buahnya akan berwarna kuning, kulit buahnya yang hijau juga akan semakin menguning seiring dengan tingkat kematangannya. Terkadang ada yang bersemu merah. Tanaman ini memang dibudidayakan untuk diambil bunga dan buahnya. Di jaman modern ini kita biasa menikmatinya sebagai manisan, yang umumnya disertakan dalam sebuah parcel untuk menyambut Tahun Baru Imlek.
- Shi Jing
- Shi Jing (诗經) adalah buku yang berisi kumpulan sajak, syair atau puisi, yang adalah bagian dari Si Shu Wu Jing
(四書五經, Empat Kitab dan Lima Pelajaran Klasik — Four Books and Five Classics). Ini semua adalah mata pelajaran
wajib bagi semua pelajar di jaman itu. Empat Pelajaran Klasik lainnya adalah:
- Yi Jing (易經, Kitab Perubahan), yang juga sering ditulis I Ching menurut sistem romanisasi lain. Ini sering disebutkan dalam semua cerita silat.
- Shu Jing (書經, Books of Documents atau Kitab Sejarah)
- Li Ji (禮記, Kitab Ritual)
- Chun Qiu (春秋, Kitab Sejarah Musim Semi dan Musim Gugur). Ini menceritakan tentang Dinasti Zhou yang mulai terpecah dalam era di mana Konfusius hidup dan berkarya.
- Da Xue (Tradisional: 大學, Disederhanakan: 大学, secara literal bermakna 'Pelajaran Besar' atau *Great Learning*). Pelajaran ini diambil dari sebuah bagian dalam Li Ji (Kitab Ritual), yang adalah salah satu dari Lima Pelajaran Klasik.
- Zhong Yong (中庸, Doctrine of Mean, atau Pengajaran Tentang Makna). Pelajaran ini adalah pusat dari doktrin Konfusianisme, atau Ajaran Konfusius.
- Lun Yu (论语, Analects of Confusius atau disingkat Analects, atau Pemikiran Konfusius). Pelajaran ini berisi kutipan kata-kata yang pernah diucapkan oleh Konfusius semasa hidupnya.
- Meng Zi (孟子, atau Mencius), berisi pokok-pokok ajaran Mensius, yang sudah dianggap sebagai penerus ajaran Konfusius, dan bahkan mengembangkannya ke arah yang berbeda. Sangat berbeda dengan Lun Yu yang cukup singkat dan padat, ajaran Mensius dipenuhi dialog dan prosa yang panjang.
- Niu Bi
- Niu Bi (牛鼻), makna literalnya adalah 'Hidung Kerbau'. Sebenarnya ini adalah salah satu kata-kata kasar yang dipakai untuk memaki seseorang — kira-kira setara dengan 'brengsek', 'kurang ajar', 'bajingan', dsb.
- Sha Zi (傻子)
- Secara literal berarti "Anak bodoh". Atau bahkan lebih singkat, "Bodoh!"
- Xiao Ya Tou (小丫头)
Delapan Harta Karun
- Bao Zhu (宝珠), mutiara yang menyala. Melambangkan terkabulnya sebuah harapan.
- Fang Sheng (方胜), melambangkan kebahagiaan perkawinan dan menangkal pengaruh jahat. Simbol ini biasanya terlihat dalam upacara perkawinan, sebagai ‘Double Happiness’ (双喜, Shuangxi). Karakter kedua (喜) biasanya akan dicetak dua kali, maka menjadi (囍). Istilah bahasa Inggris lainnya yang sering dipakai adalah ‘Double Lozenges’.
- Qing (磬), atau ‘Musical Stone’, melambangkan kehidupan yang adil dan benar.
- Sepasang Cula Badak, atau Xijiao (犀角). Melambangkan kebahagiaan.
- Sepasang koin, atau Shuang Qian (双钱), melambangkan kemakmuran.
- Batangan emas atau perak, Ding (锭).
- Shanhu (珊瑚), atau batu karang (Coral).
- Ruyi (如意), semacam tongkat kerajaan yang melambangkan harapan.
Footnotes
-
Karakter Qī (七) artinya adalah ‘tujuh’, sedangkan Gong (公) bermakna ‘pria’. Nama Hong Qigong itu sendiri artinya secara literal adalah ‘Anak ketujuh dari keluarga Hong, yang adalah seorang laki-laki’. Perhatikan bahwa ini tidak sama dengan ‘Anak laki-laki ketujuh keluarga Hong’. ↩
-
Istilah bahasa mandarin untuk jari telunjuk adalah Shi Zhi (食指), di mana karakter Shi adalah ‘makanan’ sedangkan Zhi adalah ‘jari’. Dengan demikian bisa diterjemahkan secara literal menjadi ‘Jari Makanan’. ↩
-
Hao Qiu Tang (好求汤, Sup Mencari Kebaikan, Good Seeking Soup). ↩
-
Xiang Long Shiba Zhang (降龙十八掌, 18 Jurus Penakluk Naga). Ilmu ini adalah ciri khas dari Hong Qigong, dan sejauh ini hanya dia sendiri yang menguasainya. ↩
-
Ya Tou (丫头) adalah istilah yang dipakai untuk memanggil anak perempuan, selain itu juga biasa dipakai untuk pembantu perempuan. ↩
-
Empat karakter Kang Long You Hui (康龙有悔), punya arti literal masing-masing: ‘Kang’ yang paling umum dipakai untuk melengkapi istilah ‘Sehat’, seperti dalam Jian Kang (健康), tetapi juga bisa berarti ‘Damai’ atau ‘Peaceful’, makna inilah yang dipakai dalam konteks tersebut. Seekor Naga yang merasa dirinya tinggi akan bersikap sombong, tetapi karena menyesalinya maka ia akan merasa damai. Berikutnya ‘Long’ berarti ‘Naga’, ‘You’ bisa diartikan ‘ada’, atau ‘punya’. ‘Hui’ di sini diambil dari Houhui 后悔 (menyesal). Demi mempertahankan estetika, saya menerjemahkan semuanya menjadi ’Naga Angkuh Punya Penyesalan‘. ↩
-
Delapan Harta Karun (八宝, atau Ba Bao), adalah delapan simbol yang seringkali dilukiskan dalam karya-karya seni Tiongkok kuno, termasuk dalam uang logam. Penjelasannya bisa dibaca pada daftar berikut. ↩
-
Xiao Yao You (逍遥游). Karakter pertama dan kedua jika digabungkan akan bermakna carefree, atau ‘bebas’. Tetapi bisa juga diartikan ‘riang’. Sedangkan karakter ketiga ‘You’ (游) punya makna literal ’traveling’, atau bisa kita terjemahkan secara bebas menjadi berjalan-jalan. Istilah ini kurang lebih bermakna ‘Berjalan-jalan Dengan Bebas dan Riang Gembira’. Karena terlalu panjang dan dari segi estetika tidak enak dibaca maupun diucapkan, maka saya membiarkannya seperti itu. (Terjemahan bahasa Inggris dari fans menerjemahkannya menjadi ‘Wandering Strides’, yang saya kira agak kurang sesuai). ↩ ↩2
-
Di masa itu bagian tengah dari sebuah jendela terbuat dari kertas minyak, yang dengan mudah bisa dilubangi dari luar untuk mengintip. ↩
All Posts
- Daftar Titik Akupuntur
- Matematika Tiongkok Kuno
- Insiden Di Tengah Badai Salju
- Bab 10
- Bab 11
- Bab 13
- Bab 14
- Bab 15
- Bab 16
- Bab 17
- Bab 18
- Bab 19
- Tujuh Orang Aneh Dari Jiangnan
- Bab 20
- Bab 20
- Bab 22
- Bab 23
- Bab 24
- Bab 25
- Bab 26
- Bab 27
- Bab 28
- Bab 29
- Kehidupan Di Padang Rumput
- Bab 30
- Bab 31
- Bab 32
- Bab 33
- Bab 34
- Bab 35
- Bab 36
- Bab 37
- Bab 38
- Bab 39
- Bab 4
- Bab 40
- Bab 5
- Bab 6
- Bab 7
- Bab 8
- Bab 9
- Daftar Istilah
- Dao De Jing
- Memanah Rajawali - Prolog
- Daftar Tokoh Memanah Rajawali
- Daftar Panggilan Bahasa Mandarin
- Referensi Karakter Bahasa Mandarin
- Referensi Unit
- Kutipan Kitab Perubahan