Bab 31
Saputangan Kekasih
Ilustrasi | Narasi |
---|---|
Yideng Dashi menceritakan segala rasa syukur dan dendam, cinta dan benci, yang dilaluinya bersama dengan Selir Liu di masa lalu. Guo Jing dan Huang Rong duduk di tikar meditasi di hadapannya, mendengarkan dengan seksama, sementara Nelayan, Penebang Kayu, Petani dan Sastrawan, keempat murid itu, berdiri di belakang Yideng Dashi. |
Yideng Dashi menundukkan kepala dan menghela nafas. “Sebetulnya aku hanya bisa menyalahkan diri sendiri untuk musibah yang tidak menguntungkan ini. Coba kalian pikir, Kerajaan Dali itu kecil, meskipun tidak bisa dibandingkan dengan harem Kekaisaran Song yang berisi lebih dari tiga ribu wanita, tetapi kalau bicara soal selir, aku memang punya beberapa. Aih! Ini sungguh-sungguh sebuah dosa. Aku sangat tergila-gila kepada ilmu silat, sangat jarang aku berdekatan dengan wanita. Bahkan permaisuriku sendiri hanya bisa menemui aku beberapa hari sekali, lalu berapa banyak waktu tersisa untuk para selirku itu?”
Bicara sampai di sini ia berkata kepada keempat muridnya. “Ini cerita orang dalam istana, kalian sebelumnya tidak tahu detilnya. Hari ini aku akan membeberkan semuanya supaya kalian mengerti.”
Huang Rong berpikir, “Mereka benar-benar tidak tahu, jadi mereka tidak berbohong.”
Yideng melanjutkan, “Dari hari ke hari para selirku melihat aku berlatih kungfu. Beberapa orang dari mereka tertarik dan mengungkapkan keinginan mereka untuk belajar. Jadi aku dengan asal-asalan memberikan arahan kepada satu-dua orang dari mereka. Kupikir dengan berlatih kungfu mereka akan lebih sehat dan panjang umur. Di antara mereka ada seorang selir yang bermarga Liu ternyata paling berbakat. Dia sangat cerdas sehingga setiap kali aku mengajarkan sesuatu dia akan segera memahami semuanya dengan benar. Dia masih muda dan giat berlatih setiap hari, kungfunya maju pesat. Suatu hari pada saat sedang berlatih kungfu di taman, dia bertemu dengan Zhou Botong, Zhou Shixiong, sungguh secara sangat kebetulan. Pertama-tama, Zhou Shixiong memang orang yang tergila-gila kepada kungfu, secara alamiah dia sangat lugu, dia sama sekali tidak mewaspadai hubungan antara pria dan wanita. Dia melihat Selir Liu sedang latihan dengan begitu antusias, dengan segera dia datang mendekat dan menguji kungfunya. Kungfu Zhou Shixiong berasal dari kakak seperguruannya, Wang Zhenren, mana mungkin Selir Liu bisa menandinginya…?”
“Waduh!” seru Huang Rong dengan halus. “Dia tidak mengukur kekuatannya dan tanpa sengaja melukai Selir Liu?”
“Tidak ada orang yang terluka,” jawab Yideng Dashi. “Hanya sekitar tiga gerakan dan dua jurus kemudian, dia menotok Selir Liu, lalu bertanya apakah Selir Liu mengaku kalah. Sewajarnya Selir Liu mengaku kalah. Zhou Shixiong membebaskan totokannya. Dia sangat bangga kepada dirinya sendiri sehingga bicara panjang lebar mengenai rahasia keajaiban teknik totokan. Selir Liu sebetulnya pernah memintaku untuk mengajarkan ilmu totokan sebelumnya, tapi coba pikir, bagaimana mungkin aku mengajarkan ilmu tingkat tinggi ini kepada seorang selir istana? Yang didengarnya dari Zhou Shixiong sungguh persis seperti yang selalu diinginkannya. Dengan segera dia minta supaya Zhou Shixiong mengajarinya ilmu itu.”
Huang Rong mendesah. “Lao Wantong pasti kegirangan,” katanya.
“Kau kenal Zhou Shixiong?” tanya Yideng.
Huang Rong tertawa. “Kami kenalan lama,” katanya. “Dia sempat tinggal di Pulau Bunga Persik selama lebih dari sepuluh tahun, tidak pernah meninggalkan pulau selangkah pun juga.”
“Dengan sifatnya itu, mana mungkin dia tinggal di pulau selama itu?” gumam Yideng bertanya-tanya.
Huang Rong tersenyum. “Ayahku mengurungnya, dan baru-baru ini dibebaskan.”
“Jadi begitu,” kata Yideng sambil menganggukkan kepalanya. “Apa Zhou Shixiong baik-baik saja?” tanyanya.
Huang Rong menjawab, “Tubuhnya sih baik-baik saja, tapi makin tua dia malah jadi makin gila. Dia sungguh tidak kenal aturan.” Sambil menunjuk Guo Jing ia memonyongkan bibirnya dan melanjutkan sambil tersenyum, “Lao Wantong mengadakan upacara ritual untuk mengangkat saudara dengan dia.”
Yideng Dashi tidak bisa menahan senyumnya, ia melanjutkan, “Teknik menotok jalan darah hanya diajarkan oleh seorang ayah kepada anak perempuan, seorang ibu kepada anak laki-laki, seorang suami kepada istrinya, selain itu tak seorang laki-laki pun bisa mengajarkannya kepada wanita dan tak seorang wanita pun bisa mengajarkannya kepada laki-laki…”
“Mengapa begitu?” tanya Huang Rong.
“Karena pria dan wanita tidak boleh bersentuhan,” jawab Yideng. “Coba pikir, kalau kita tidak menyentuh titik-titik akupuntur di sekujur tubuh, bagaimana bisa mengajarkan ilmu ini?”
“Tapi bukankah Paman juga menyentuh titik-titik akupuntur di tubuhku?” tanya Huang Rong.
Si nelayan dan petani itu sangat kesal melihat Huang Rong terus bertanya dan mengalihkan perhatian dari cerita, mereka menatapnya dengan marah. Huang Rong balas menatap mereka dan berkata, “Kenapa? Aku tidak boleh bertanya ya?”
Yideng tersenyum. “Boleh, boleh,” katanya. “Kau anak kecil, nyawamu dalam bahaya, tentu saja kita harus membuat pengecualian.”
“Baiklah, anggap saja begitu,” kata Huang Rong. “Lalu bagaimana?”
Yideng melanjutkan, “Lalu yang seorang mengajar, yang lain belajar. Zhou Shixiong sedang dalam usia puncaknya, Selir Liu baru beranjak dewasa, daging dan kulit mereka bersentuhan setiap hari, tak lama kemudian perasaan mereka tumbuh dan akhirnya terciptalah masalah yang sangat sulit diperbaiki…”
Huang Rong ingin bertanya, mulutnya sudah siap bergerak tetapi akhirnya ia membatalkannya. Ia mendengar Yideng melanjutkan, “Beberapa orang datang dan melapor kepadaku. Meskipun aku marah, aku menghargai nama besar Wang Zhenren, aku pura-pura tidak tahu. Tak disangka ketika Wang Zhenren tahu, dia menginterogasi Zhou Shixiong dan dia tidak berusaha menutupi apa pun…”
Huang Rong tak bisa menahan diri lagi, ia menyela, “Apa itu? Apa masalah yang sulit diperbaiki?”
Yideng sejenak kehilangan kata-kata, ia ragu sejenak sebelum menjawab, “Mereka sebenarnya bukan suami-istri, tapi mereka bertingkah seperti itu.”
“Ah, aku tahu,” kata Huang Rong. “Lao Wantong dan Selir Liu punya anak.”
“Aih! Bukan itu,” kata Yideng. “Mereka baru bertemu kira-kira sepuluh hari, mana mungkin bisa punya anak? Setelah Wang Zhenren tahu urusan ini, dia mengikat kedua tangan Zhou Shixiong dan membawanya ke hadapanku untuk diadili. Kami semua adalah pendekar, kami menjunjung tinggi kesetiaan di atas segalanya, kami tidak terlalu mempedulikan urusan perempuan. Bagaimana mungkin aku merusak hubungan persahabatan hanya gara-gara perempuan? Aku segera membebaskan ikatannya dan memanggil Selir Liu. Aku memerintahkan supaya mereka menikah. Tak disangka ternyata Zhou Shixiong membuat masalah, dia bilang dia tidak tahu bahwa yang dilakukannya adalah salah, dan kalau dia tahu, dia tentu tidak akan melakukannya meskipun harus dibunuh. Bagaimana pun juga, pokoknya dia tidak mau menikahi Selir Liu. Pada saat itu Wang Zhenren mendesah dan berkata, ‘Seandainya saja aku tidak tahu bahwa dia itu orang bodoh yang tidak bisa membedakan yang baik dan yang jahat, maka sebuah pedang pasti sudah membelahnya menjadi dua karena dia sudah melakukan kejahatan semacam ini.‘”
Huang Rong menjulurkan lidahnya dan berkata, “Si Bocah Tua Nakal itu dalam kesulitan besar!”
Yideng melanjutkan, “Mula-mula aku merasa tersinggung, aku berkata, ‘Zhou Shixiong, aku setulus hati bersedia berpisah dengan belahan jiwaku dan memberikannya kepadamu, kau kira aku punya rencana lain? Ada pepatah kuno yang mengatakan bahwa saudara adalah seperti tangan dan kaki, dan istri seperti pakaian. Apa bagimu wanita bisa sepenting itu?‘”
“Buihh! Buihh!” Huang Rong meludah. “Paman, kau tidak menghormati perempuan, kata-katamu seperti tumpukan sampah!”
Si petani tidak bisa menahan kesabarannya lebih lama lagi, ia berteriak, “Diam dan jangan asal bicara, bisa tidak?”
“Omongannya salah, aku harus menolaknya,” kata Huang Rong bersikeras.
Bagi si nelayan, penebang kayu, petani dan sastrawan itu, Yideng Dashi bukan hanya majikan mereka, tetapi juga guru. Mereka sama sekali tidak pernah membantah, dan bahkan tidak pernah berpikir untuk itu, apalagi menolak kata-katanya. Mereka mengganggap Yideng sebagai tolok ukur kebenaran, sekarang mendengar mulut Huang Rong yang tanpa batas mengatakan hal-hal semacam ini, mereka sangat terkejut dan sekaligus marah.
Yideng Dashi sendiri sebenarnya sama sekali tidak tampak keberatan, ia melanjutkan penuturannya, “Ketika Zhou Shixiong mendengar omonganku, dia menggelengkan kepala. Aku jadi marah, aku bilang, ‘Kau mencintainya, kenapa kau tidak menginginkannya? Kalau kau tidak mencintainya, lalu kenapa kau melakukannya? Dali hanya negara kecil, tapi kau kira bisa begitu saja mampir dan mempermalukan kami seperti ini?’ Zhou Shixiong terdiam sampai lama. Tiba-tiba dia bertekuk lutut dan bersujud kepadaku berkali-kali, dia bilang, ‘Kaisar Duan, aku bersalah. Kalau kau ingin membunuhku, lakukan saja, aku tidak akan membalas.’ Aku sangat terkejut, aku tidak menyangka dia akan mengeluarkan ucapan semacam itu, untuk sementara aku jadi tak tahu harus bilang apa. Akhirnya aku bilang, ‘Mana mungkin aku membunuhmu?’ Dia bilang, ‘Kalau begitu aku pergi!’ Dia mengeluarkan saputangan bersulam dari sakunya, memberikannya kepada Selir Liu dan berkata, ‘Ini kukembalikan kepadamu.’ Selir Liu tersenyum sedih, dia tidak menerima saputangan itu. Zhou Shixiong melepaskan saputangan itu sampai jatuh di dekat kakiku. Zhou Shixiong tidak bilang apa-apa lagi, dia berpaling dan berlari keluar dari istana. Sudah lebih dari sepuluh tahun sekarang, dan aku masih belum mendengar kabar apapun mengenai dia sejak saat itu. Wang Zhenren meminta maaf kepadaku berulang-ulang, lalu dia juga pergi. Kudengar dia meninggal pada musim gugur itu. Wang Zhenren seorang pemberani dan heroik. Tak ada orang yang bisa dibandingkan dengan dia. Aih…”
“Ilmu silat Wang Zhenren mungkin saja lebih tinggi dari Paman,” kata Huang Rong. “Tapi kalau bicara soal keberanian dan semangat kepahlawanan, kupikir dia belum tentu melebihi Paman. Dia menerima tujuh orang murid dan mereka semua biasa saja, tidak ada yang istimewa. Lagipula, apa yang terjadi selanjutnya dengan saputangan itu?”
Keempat murid itu jengkel melihat Huang Rong mempedulikan hal-hal sepele seperti saputangan dan pakaian, tapi mereka mendengar majikan mereka berkata, “Kulihat Selir Liu menatap kosong, seolah-olah jiwanya terbang meninggalkan dia. Aku sangat marah, aku memungut saputangan itu dan melihat ada sulaman sepasang angsa sedang bermain di permukaan air.” Ia mendesah. “Itu ternyata hadiah dari Selir Liu untuk kekasihnya. Aku tertawa dingin. Lalu kulihat di dekat sepasang angsa itu ada sebaris sajak…”
Hati Huang Rong terusik, ia buru-buru bertanya, “Apa itu berbunyi, ‘Empat alat tenun, menenun sepasang angsa yang ingin terbang bersama secepatnya’?”
Dengan suara tegas si petani berteriak, “Kami sja tidak tahu, kau tahu dari mana? Selalu omong kosong dan mengganggu cerita!” Tak disangka Yideng mendesah dan berkata, “Memang tepat sekali sajak itu, kau sudah tahu?” Mendengar ucapannya keempat murid itu saling berpandangan dengan heran.
Guo Jing bangkit dan berseru, “Aku ingat sekarang! Saat itu di Pulau Bunga Persik Zhou Dage digigit ular berbisa, dia mengigau dan menggumamkan puisi ini. Itu… itu… Empat alat tenun, sepasang angsa, dan sesuatu seperti kepala menjadi putih. Rong’er, selanjutnya bagaimana? Aku tidak ingat lagi.”
Dengan suara rendah Huang Rong mengutip, “Empat alat tenun, menenun sepasang angsa yang ingin terbang bersama secepatnya. Sayang sekali belum tua tetapi rambut di kepala sudah memutih. Ketika rumput musim semi nan hijau terayun di kedalaman dinginnya fajar, berdiri berhadapan sambil mandi mengenakan baju merah.”
“Tepat sekali!” Guo Jing menepuk pahanya sendiri. “Zhou Dage pernah menasihati aku supaya melawan wanita cantik, dia bilang dia pernah ketemu salah satunya dan hasilnya adalah dia menyinggung teman baik dan membangkitkan amarah kakak seperguruannya. Dia juga bilang jangan membiarkan wanita menyentuh titik-titik akupunturmu, kalau tidak kau akan ketularan penyakit. Rong’er, dia bahkan melarangku untuk bersikap baik kepadamu.”
“Bah!” Huang Rong meludah. “Lao Wantong! Lain kali kalau ketemu dia, aku akan menjewer telinganya!” Tiba-tiba ia cekikikan dan berkata, “Hari itu di Lin’an aku menggodanya, kubilang dia pasti tidak akan bisa menemukan istri, Lao Wantong cemberut sepanjang hari. Ternyata gara-gara masalah ini.”
“Waktu kudengar Ying Gu mengutip sajak ini, kupikir aku pernah mendengarnya entah di mana, tapi setelah berusaha sebisanya aku tetap tidak ingat. Ah, Rong’er, kenapa Ying Gu juga tahu soal sajak ini?” kata Guo Jing.
Huang Rong mendesah. “Aih, karena Ying Gu itu sebenarnya adalah Selir Liu.”
Di antara keempat murid itu, si sastrawan adalah satu-satunya orang yang sudah menebak lima puluh sampai enam puluh persen, ketiga orang lainnya teramat sangat kaget, mereka serempak berpaling kepada majikan mereka. Yideng berkata dengan nada rendah, “Nona sungguh cerdas, sungguh pantas menjadi anak Yao Xiong. Selir Liu memang bermarga Ying. Saat itu aku memberikan saputangan itu kepadanya, setelah itu tidak pernah lagi memanggilnya. Dalam duka, aku mengabaikan semua urusan negara, aku berlatih kungfu setiap hari…”
Huang Rong menyela lagi, “Paman, apa Paman tahu sebenarnya dalam hati Paman sangat mencintainya? Kalau tidak masa Paman jadi begitu sedih.”
Keempat murid itu terkejut melihat kelancangannya. “Nona!” bentak mereka serempak.
“Kenapa?” kata Huang Rong. “Aku ngomong salah ya? Paman, coba katakan, apa aku keliru?”
Yideng dengan muram berkata, “Sejak saat itu dalam lebih dari setengah tahun aku tidak pernah lagi memanggil Selir Liu, tapi dalam tidurku hampir selalu memimpikan dia. Suatu malam aku bermimpi tentang dia, waktu tengah malam aku bangun, aku tidak bisa lagi menahan kesabaranku dan menetapkan hati untuk mengunjunginya. Aku tidak memberitahu para pengawal atau para kasim tentang niatku, dengan diam-diam aku datang ke ruangannya, ingin tahu bagaimana kabarnya. Ketika aku tiba di atap kudengar suara tangisan bayi di dalam ruangan.” Ia mendesah. “Di luar salju sangat tebal dan anginnya sangat dingin. Aku berdiri terpana sepanjang malam di situ dan tidak turun sampai fajar. Setelah itu aku sakit berat.”
Huang Rong berpikir betapa berwibawanya dia sebagai seorang kaisar, namun demikian di tengah malam berkeliaran di atap istana untuk mengunjungi selirnya sendiri, hal itu sungguh tidak wajar. Keempat muridnya juga teringat bagaimana majikan mereka sakit. Bukan hanya sangat parah, tetapi juga perlu waktu lama untuk sembuh. Mereka sudah sejak lama heran, dengan kungfunya yang tinggi angin dingin dan cuaca buruk sebenarnya tidak semudah itu membuatnya jatuh sakit, dan kalaupun sakit, seharusnya tidak memerlukan waktu selama itu untuk pulih. Baru saat itu mereka tahu bahwa penyakit tersebut sebetulnya lebih diakibatkan oleh semangat hidup yang patah dan bukan penyakit fisik biasa, dan bahwa majikan mereka tidak menggunakan tenaga dalamnya untuk memerangi penyakit. Huang Rong bertanya lagi, “Selir Liu memberi Paman seorang bayi, mestinya itu kabar baik, kan? Paman, kenapa Paman jadi tidak bahagia?”
“Anak bodoh,” kata Yideng. “Itu anak Zhou Shixiong.”
“Tapi Zhou Botong kan sudah lama pergi,” kata Huang Rong lagi. “Apa mungkin dia diam-diam datang lagi mengunjungi Selir Liu?”
“Tidak,” jawab Yideng. “Apa kau tidak pernah dengar tentang ‘kehamilan sepuluh bulan’?”
Huang Rong tiba-tiba merasa tercerahkan. “Ah, aku tahu! Anak itu pasti mirip Lao Wantong ya? Dengan telinga yang lancip dan hidung mancung? Kalau tidak begitu dari mana Paman tahu itu bukan anak Paman?”
Yideng Dashi menjawab, “Tidak harus begitu juga. Aku sudah agak lama tidak lagi berhubungan intim dengan Selir Liu, jadi sewajarnya anak itu memang bukan anakku.”
Huang Rong tampaknya mengerti, tetapi sebetulnya ia tidak mengerti sama sekali. Meskipun begitu ia sadar bahwa sangat tidak pantas menanyakan hal ini terus-menerus, jadi ia tidak mengejar lagi.
Sementara itu Yideng melanjutkan, “Aku sakit selama lebih dari setengah tahun, setelah sembuh, aku mencurahkan semua perhatianku pada latihan tenaga dalam untuk mengusir kebosanan dan tidak lagi memikirkan masalah itu. Suatu malam kira-kira dua tahun kemudian, aku sedang bermeditasi di ruanganku, mendadak tirai di pintu tersingkap dan Selir Liu memburu masuk. Di luar ruangan seorang kasim dan dua pengawal istana berusaha mencegahnya, tetapi kemanapun mereka pergi, mereka selalu terpukul oleh telapak tangannya. Kulihat dia sedang menggendong bayi di pelukannya. Raut mukanya tampak panik, dia berlutut dan menangis keras, lalu bersujud di hadapanku dan berkata, ‘Aku mohon belas kasihan Huang Shang1, tunjukkan kasih dan ampuni nyawa anak ini!’ Aku berdiri dan melihat. Anak itu mukanya merah padam, pernafasannya berat. Aku mengambilnya dari gendongan Selir Liu untuk memeriksanya lebih teliti dan menemukan lima ruas tulang rusuknya patah. Selir Liu meratap, ‘Huang Shang, selirmu yang hina ini sudah melakukan kejahatan yang pantas dihukum mati puluhan ribu kali.’ Aku sangat terkejut mendengar nada bicaranya, jadi aku bertanya, ‘Anak ini kenapa?’ Tapi dia terus membentur-benturkan kepalanya untuk memohon kepadaku. Aku bertanya lagi, ‘Siapa yang melukai anak ini?’ Selir Liu tidak menjawab, tapi terus meratap, ‘Mohon Huang Shang berbelas kasihan.’ Aku menggaruk kepala dalam kebingungan. Dia berkata, ‘Kalau Huang Shang menghukum mati selirmu ini, selirmu tidak akan protes sepatah katapun, tapi anak ini… anak ini…’ Aku bilang, ‘Siapa yang mau menghukummu?’ Selir Liu mengangkat kepalanya menatapku dan dengan suara gemetar berkata, ‘Jadi bukan Huang Shang yang mengirim orang untuk membunuh anak ini?’ Aku tahu pasti ada kesalahpahaman di sini, aku buru-buru bertanya, ‘Jadi pengawal istana yang melukai anak ini, siapa orang yang punya nyali sebesar itu?’ Selir Liu berseu, ‘Ah! Jadi bukan perintah remi dari Huang Shang, pasti anak ini bisa diselamatkan!’ Setelah bilang begitu dia pingsan dan jatuh ke lantai. Aku mengangkatnya dan membaringkannya di tempat tidur. Aku juga membaringkan anak itu di sisinya. Setelah agak lama dia baru sadar lagi. Dia menarik tanganku dan sambil meratap menceritakan apa yang terjadi. Ternyata ketika sedang membuai bayi itu untuk menidurkannya malam itu, tiba-tiba dari luar jendela datang seorang pengawal dengan muka tertutup topeng. Si pengawal merebut bayi itu lalu memukul punggungnya dengan telapak tangan. Selir Liu maju untuk mencegahnya, tapi pengawal itu mendorongnya menjauh. Lalu sekali lagi telapak tangannya memukul dada bayi itu. Akhirnya dia tertawa keras-keras dan melompat keluar melalu jendela. Kungfu si pengawal istana itu sangat tinggi. Selir Liu mengira aku yang mengirim orang itu untuk membunuh bayinya, dia tidak berani mengejar, tapi dia lalu datang ke ruanganku untuk memohon. Semakin aku mendengar ceritanya, semakin heran aku jadinya, aku memerika lagi anak itu, tetapi tidak bisa menduga kungfu macam apa yang dipakai untuk melukai bayi itu. Yang pasti adalah kelompok titik akupuntur Da Mai di sekeliling pinggangnya hancur dan tergetar hebat. Tangan si pembunuh itu sangat ematikan, tapi yang jelas dia masih berbelas kasihan, bayi iyu masih sangat kecil dan lemah, tapi masih hidup setelah terkena dua pukulannya. Aku segera ke ruangannya untuk menyelidiki, dan aku menemukan jejak samar di ambang jendela dan ubin di luar jendela. Aku bilang kepada Selir Liu, ‘Kungfu pembunuh itu sangat tinggi, khususnya ilmu meringankan tubuhnya, ini sama sekali bukan masalah kecil. Selain diriku tidak ada orang lain di dalam negeri Dali yang punya kemampuan seperti ini.’ Tiba-tiba Selir Liu berseru kaget, ‘Apa mungkin dia? Kenapa dia ingin membunuh anaknya sendiri?’ Setelah mengatakan hal itu air mukanya menjadi kelabu.”
HuangRong juga bergumam dengan suara rendah, “Lao Wantong tidak mungkin sejahat itu, kan?”
Yideng Dashi berkata, “Pada saat itu aku sungguh-sungguh percaya bahwa Zhou Shixiong yang melakukannya. Selain dia, siapa di jaman ini yang punya kemampuan sehebat itu, dan siapa juga yang tanpa alasan yang jelas sanggup mencelakai seorang bayi? Kukira dia tidak ingin membiarkan seorang anak haram tetap hidup dan menjadi aib di dunia persilatan. Setelah mengatakan hal itu Selir Liu tersipu dan cemas, takut dan sekaligus malu. Dia bimbang. Tapi sesaat kemudian dia bilang, ‘Bukan, ini pasti bukan dia! Suara tertawa itu bukan suaranya!’ Aku bilang, ‘Kau ketakutan, mana bisa kau mendengar dengan teliti?’ Dia menjawab, ‘Aku akan mengingat suara tertawa itu selama-lamanya, meskipun aku jadi hantu aku pasti masih tetap ingat! Bukan, itu pasti bukan dia!‘”
Mendengar bagian ini semua orang tiba-tiba merasakan hawa dingin di udara, bulu roma mereka berdiri. Guo Jing dan Huang Rong teringat suara Ying Gu dan perilakunya, mereka membayangkan ekspresi mukanya ketika mengucapkan kalimat tersebut sambil menggertakkan gigi, tanpa sadar mereka merinding.
Yideng Dashi melanjutkan, “Aku mendengarnya begitu yakin, jadi aku mempercayainya. Tapi sepanjang umurku aku tidak bisa menebak siapa sebenarnya orang itu. Aku pernah berpikir orang itu mungkin salah satu murid Wang Zhenren, mungkin Ma Yu, Qiu Chuji atau Wang Chuyi. Mungkin mereka berusaha menyelamatkan reputasi Quanzhen sehingga rela menempuh perjalanan ribuan li dan membungkam mulut seseorang…”
Bibir Guo Jing bergerak, ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi ia tidak berani menyela cerita Yideng Dashi. Yideng melihatnya dan berkata, “Kau ingin mengatakan sesuatu, katakan saja.”
Guo Jing berkata, “Ma Daozhang, Qiu Daozhang, mereka semua orang gagah, tidak mungkin mereka melakukan hal semacam itu.”
“Aku pernah bertemu dengan Wang Chuyi di Hua Shan,” kata Yideng. “Perilakunya lurus, tapi aku tidak tahu tentang semua murid lainnya. Tapi kalau bisa membunuh bayi itu dengan sekali pukul, kenapa harus meninggalkan dia setengah mati setengah hidup seperti itu?” Ia mengangkat kepalanya dan berpaling ke jendela, menatap kosong. Jelas sekali ia tidak pernah bisa melupakan misteri tak terpecahkan itu selama sepuluh tahun lebih belakangan ini. Ruang meditasi itu terasa sunyi senyap. Sesaat kemudian Yideng berkata, “Baiklah, kita bicara soal itu nanti…”
Huang Rong tiba-tiba berseru, “Tak ragu lagi, ini pasti Ouyang Feng.”
Yideng berkata, “Setelah itu aku juga mencurigai dia. Tapi Ouyang Feng adalah orang dari wilayah Barat, dia tinggi besar, setidaknya satu kepala lebih tinggi dari rata-rata penduduk lokal. Selir Liu bilang bahwa dibandingkan dengan rata-rata orang, si pembunuh itu boleh dibilang lebih pendek.”
“Itu aneh,” kata Huang Rong.
“Pikiranku juga tepat seperti itu,” kata Yideng. “Selir Liu memeluk anak itu sambil meratap. Luka anak itu tidak separah Nona Huang, tapi dia masih sangat kecil, kekebalan tubuhnya masih belum terbentuk sempurna. Kalau aku mengobatinya, maka aku harus menguras seluruh tenaga dalamku. Aku ragu-ragu sampai lama sekali. Aku melihat Selir Liu menangis putus asa, sungguh patut dikasihani. Beberapa kali aku ingin membuka mulut untuk mengatakan bahwa aku akan mengobatinya, tapi setiap kali aku tidak bisa melupakan pertandingan yang akan datang di Hua Shan, di mana aku akan bertanding melawan semua ahli silat untuk memperebutkan Jiu Yin Zhen Jing. Aih! Wang Zhenren sudah mengatakan bahwa kitab itu adalah akar dari semua masalah di dunia persilatan, mencelakai banyak orang dan mengungkapkan kebusukan di dalam hati semua manusia. Ia sungguh benar. Karena buku itu aku kehilangan kasih kepada sesama manusia. Setelah ragu-ragu selama hampir dua jam akhirnya aku mulai bertekad untuk mengobati luka anak itu. Aih, selama dua jam itu aku merasa diriku lebih rendah dari binatang. Yang paling parah adalah, keputusanku untuk mengobati luka anak itu akhirnya bukan karena ingin melakukan perbuatan baik, tetapi karena aku sudah bosan mendengar ratapan Selir Liu yang tanpa henti.”
“Paman,” kata Huang Rong. “Aku tadi bilang kau sangat mencintainya, aku tidak salah.”
Yideng seolah tidak mendengar komentarnya, ia hanya melanjutkan penuturannya, “Ketika Selir Liu mendengar janjiku untuk menolong, dia begitu bahagia sampai pingsan lagi. Aku mengurut titik akupunturnya untuk menyadarkan, lalu aku mulai membuka pakaian bayi itu supaya aku bisa mengurut titik-titik akupuntur di tubuhnya menggunakan Xian Tian Gong. Tak kuduga, di bawah pakaian bayi itu masih ada sehelai du dou2 menutupi dadanya. Aku terpaku melihatnya, tak bisa mengatakan sesuatu, karena di atas du dou itu ada sulaman sepasang bebek mandarin, dan di dekatnya ada sebaris sajak ‘empat alat tenun’. Ternyata du dou ini adalah saputangan yang diberikan Selir Liu kepada Zhou Shixiong dua tahun sebelumnya.
Selir Liu melihat air mukaku dan dia tahu situasinya berubah menjadi buruk. Air mukanya berubah menjadi kelabu. Menggertakkan giginya, ia menghunus sebuah belati dari pinggangnya dan mengarahkannya ke dadanya sendiri. ‘Huang Shang,’ katanya. ‘Selirmu yang hina ini tidak punya muka lagi untuk terus hidup di dunia ini. Aku hanya mohon belas kasihan Huang Shang yang tak terhingga, aku bersedia menukar nyawaku sendiri dengan nyawa anak ini. Dalam kehidupan mendatang aku akan menjadi anjing atau kuda untuk membalas kebaikan hati Huang Shang.’ Sambil bicara begirtu dia menikam dadanya sendiri dengan belati itu dengan keras.” Meskipun semua orang tahu bahwa Selir Liu masih hidup, tapi mereka mau tak mau terkesiap ngeri.
Saat menceritakan bagian ini, seolah-olah Yideng Dashi bukan sedang bercerita kepada orang-orang lain, tetapi seperti sedang mengungkapkan apa yang ada di dalam lamunannya sendiri. “Aku segera menggunakan qin na fa untuk menyingkirkan belati itu jauh-jauh. Aku cepat, tapi belati itu sudah terlanjur menikam dadanya. Darah mengucur deras membasahi pakaiannya. Aku takut dia akan mencoba bunuh diri lagi, jadi aku menotok titik akupuntur di kedua tangan dan kakinya. Aku mengobati luka di dadanya dan membiarkannya beristirahat di sebuah kursi. Dia tidak mengatakan apa-apa, tapi matanya menatapku penuh duka. Kami berdua tidak saling bicara. Ruangan itu terasa sunyi, hanya suara nafas berat bayi itu yang terdengar.
Sambil mendengarkan suara nafas bayi itu, banyak peristiwa masa lalu berbayang di benakku, bagaimana ia pertama masuk ke istana, bagaimana aku mangajarinya kungfu, seperti apa aku mencintainya. Dia selalu menghormati aku, takut kepadaku, dengan lembut selalu menyiapkan semua kebutuhanku, tak pernah berani menolak perintahku, tapi ia juga tak pernah mencintaiku. Mula-mula aku tidak menyadari perasaannya yang sejati, tetapi pada hari itu — ketika aku melihatnya menatap Zhou Shixiong — aku baru benar-benar tahu. Pada saat seorang wanita sungguh-sungguh mencintai seorang pria, ia akan memandangnya seperti itu. Aku melihat bagaimana pandangannya ketika Zhou Shixiong membuang saputangan itu, bagaimana tatapannya ketika Zhou Shixiong berpaling dan meninggalkan istana. Peristiwa itu selalu menghantuiku selama bertahun-tahun, membuatku tak bisa tidur pulas dan semua makananku terasa seperti serbuk gergaji. Bahkan sampai hari ini aku masih bisa melihatnya dengan jelas di dalam pikiranku. Kali ini sekali lagi dia patah hati, bukan gara-gara kekasihnya, tetapi karena anaknya, kepada siapa dia sungguh rela bertukar nyawa! Aku seorang terhormat, dan aku merasa sangat hina. Aku — pimpinan tertinggi negeri ini! Dengan piikiran itu hatiku serasa dipenuhi amarah, aku mengangkat kakiku dan menghancurkan bangku gading di depanku. Dia mengangkat mukanya untuk menatapku dan terdiam. Aku bilang, ‘Kau… kepalamu kenapa?’ Tampaknya dia tidak mendengar ucapanku, pandangannya terpaku kepada anaknya. Sebelumnya aku tidak pernah sungguh memahami, bagaimana pandangan seseorang bisa mengandung cinta yang sebesar itu, kasih yang sebesar itu. Pada saat itu dia sadar bahwa aku tidak akan menyelamatkan nyawa bayinya, jadi dia memandanginya terus selama anak itu masih hidup. Aku mengambil cermin dan membawanya ke hadapannya. Aku bilang, ‘Lihat rambutmu!’ Dalam waktu sekejap kelihatannya dia sudah jauh lebih tua. Dia baru delapan atau sembilan belas tahun, tapi karena ketakutan, kecemasan, penyesalan, putus asa, duka, dan segala macam emosi yang dalam menyerang helaian rambut di pelipisnya sehingga semuanya menjadi putih! Dia kelihatannya tidak peduli dengan perubahan penampilannya. Dia menyalahkan cermin yang menghalangi pandangannya, membuatnya terhalang untuk melihat anaknya. ‘Cermin itu, singkirkan cermin itu!’ katanya, terang-terangan. Ia lupa bahwa aku seorang kaisar, majikannya. Aku merasa heran, kukira dia selalu menghargai penampilannya, kenapa sekarang dia jadi tidak peduli? Aku menyingkirkan cermin itu, hanya untuk menemukan bahwa pandangannya melekat kepada anak itu tanpa berkedip. Aku tak pernah melihat tatapan seperti itu, penuh cinta dan harapan, harapan bahwa dengan salah satu cara anaknya akan hidup. Aku mengerti bahwa kalau bisa, dia akan degan senang hati mengambil nyawanya sendiri dan menaruhnya di dalam tubuh anaknya untuk menggantikan nyawanya yang secara berangsur-angsur akan lenyap.”
Mendengarkan semua itu Guo Jing dan Huang Rong saling berpandangan, keduanya sedang berpikir tentang hati mereka masing-masing, “Waktu aku sedang terluka parah dan hanya ada setitik kecil harapan untuk sembuh kau juga memandangku seperti itu.” Melupakan keadaan sekeliling mereka, keduanya saling menggenggam tangan pasangannya. Hati keduanya berdetak seirama, mereka merasakan kehangatan menjalar ke sekujur tubuh mereka. Ketika sedang mendengarkan betapa orang lain berduka dalam malapetaka mereka mau tak mau memikirkan betapa beruntungnya mereka, hanya karena kenyataan bahwa orang yang mereka cintai saat itu sedang duduk tepat di sisi mereka, di tempat yang sama. Karena lukanya telah sembuh, ia tidak akan mati. Ya, dia tidak akan mati. Di dalam hati kedua muda-mudi ini pasangan mereka untuk selamanya tidak akan mati.
Mereka mendengar Yideng Dashi melanjutkan, “Aku tidak bisa menahan diri lebih lama lagi, beberapa kali aku ingin mengambil anak itu dan segera menyembuhkan lukanya, tapi aku terus memandang saputangan yang membungkus dada anak itu. Saputangan yang bersulam sepasang angsa, leher mereka saling melekat. Sepasang angsa itu berkepala putih, sebagai simbol bahwa mereka akan tumbuh sampai tua bersama. Tapi kenapa yang tertulis adalah, ‘Sayang sekali belum tua tetapi rambut di kepala sudah memutih’? Ketika aku berpaling, yang kulihat adalah rambut di pelipisnya berubah menjadi putih, aku berkeringat dingin. Pada saat itu seketika hatiku mengeras, aku bilang, ‘Baiklah, silakan tumbuh tua bersama-sama, tinggalkan saja aku sendirian di sini dalam kesepian sebagai kaisar! Ini anakmu dan kekasihmu, kenapa aku harus membuang tenagaku untuk menyembuhkannya!’ Dia memandangku terakhir kalinya. Pandangan itu penuh dengan kebencian dan tudingan. Setelah itu dia tak pernah memandangku lagi, tapi pandangannya yang sekali itu tidak akan pernah bisa kulupakan sampai aku mati. Dia dengan dingin berkata, ‘Biarkan aku pergi, aku ingin memeluk anakku!’ Dia bicara dengan pebuh wibawa dan tekad bulat, seolah-olah dialah majikanku, aku sangat sulit menolaknya. Karena itu aku pun membebaskan totokannya. Dia memeluk anak itu di dalam dekapannya. Anak itu sedang begitu kesakitan sampai ingin menangis, tetapi tak ada suara yang terdengar keluar dari mulut kecilnya. Muka mungilnya berubah menjadi ungu, dia memandang ibunya seolah sedang memohon supaya sang ibu membantunya. Aku begitu keras hati, aku bahkan sama sekali tidak tersentuh oleh belas kasihan. Aku seolah melihat sehelai demi sehelai rambutnya berubah menjadi kelabu, dan dari kelabu menjadi putih. Aku tidak tahu apakah hal itu sungguh terjadi, ataukah hanya angan-anganku yang sedang mempermainkan aku. Kudengar dia berkata, ‘Nak, ibu tidak mampu menolongmu, tapi ibu juga tidak bisa membiarkanmu menderita. Nak, beristirahatlah dengan tenang. Tidurlah, anakku, tidurlah. Untuk selamanya jangan bangun lagi!’ Kudengar dia menyanyikan lagu nina bobok yang sangat lembut. Lagu itu terdengar sangat merdu. Seperti ini, ‘Hmm, hmm…’ Dengar!”
Mreka mendengarnya mengatakan semua itu, tetapi sebenarnya mereka tidak mendengar sepotong lagu pun. Mereka saling berpandangan dengan bingung.
“Shifu,” kata si sastrawan. “Shifu sudah terlalu lama bercerita, pasti sangat lelah. Cobalah beristirahat sebentar.”
Yideng Dashi seolah tidak mendengar, ia tetap bicara, “Di wajah anak itu sepertinya ada secercah kebahagiaan, tapi rasa sakit membuat sekujur tubuhnya membengkak. Dengan suara lembut dia berkata, ‘Anakku sayang, belahan hati dan jiwaku, tidurlah dengan nyenyak, lalu kau tidak akan merasa sakit lagi, sedikitpun tidak!’ Tiba-tiba — pisaunya menghujam tepat ke arah jantung anak itu.”
Huang Rong menjerit ngeri, ia menggenggam lengan Guo Jing erat-erat. Semua orang lainnya juga terkesiap, sampai-sampai wajah mereka pucat pasi, seolah kehilangan semua tetes darah.
Yideng Dashi tidak menyadari keadaan sekelilingnya, ia melanjutkan, “Aku begitu terkejut sampai menjerit dan mundur beberapa langkah, hampir saja aku jatuh terjengkang. Hatiku kacau balau, aku tak tahu harus berbuat apa. Kulihat dia pelan-pelan berdiri dan dengan suara rendah bicara, ‘Akan ada suatu hari, aku akan menikam jantungmu dengan pisau ini.’ Ia menunjuk gelang giok di pergelangan tanagnnya dan berkata, ‘Kau memberikan gelang ini pada saat aku pertama kalinya memasuki istana. Tunggu saja, pada hari aku mengembalikan gelang ini kepadamu, saat itu pisauku akan mengikutinya!‘”
Bicara sampai di sini, Yideng Dashi memutar gelang giok di tangannya sekali, ia tersenyum samar dan berkata, “Ini gelang yang dimaksud itu, aku sudah menunggu beberapa tahun untuk ini. Akhirnya saat itu pun tiba.”
“Paman,” kata Huang Rong. “Dia yang membunuh anaknya sendiri, apa hubungannya dengan Paman? Paman kan tidak melukai anaknya. Lagipula, dia sudah berusaha membunuh Paman menggunakan racun, dendamnya dengan Paman sebetulnya sudah terbayar lunas. Aku akan turun gunung untuk mengantarnya, aku tidak akan membiarkan dia mengacau di sini…”
Kalimatnya belum selesai, ketika seorang biksu muda masuk dengan terburu-buru. “Shifu,” katanya. “Ada orang mengantarkan ini di kaki gunung.” Ia menyerahkan sebuah bungkusan kecil kepada gurunya dengan kedua tangan.
Yideng mengambil bungkusan itu dan membukanya. Semua orang berseru serempak. Ternyata bungkusan itu berisi du dou yang terbuat dari saputangan bersulam. Kain sutranya tampak menguning karena usia, tetapi sulaman bebek mandarin itu masih terang seperti baru. Ada lubang bekas pisau di antara kedua bebek mandarin itu, ujung lubang itu tampak menghitam oleh bekas darah. Yideng menatap kosong ke arah du dou itu, penuh duka. Setelah lama baru ia berkata, “Tenunan bebek mandarin yang ingin terbang bersama dengan segera, hei, ingin terbang bersama, akhirnya itu semua hanya mimpi. Dia memeluk tubuh anaknya yang tak bernyawa erat-erat, tertawa panjang, dan melompati ambang jendela, terbang keluar ruangan dan dalam sekejap mata menghilang tanpa jejak. Aku tidak bisa berpikir, tidak bisa makan, dan sangat menderita selama tiga hari tiga malam. Akhirnya aku sadar. Aku melimpahkan tahta kepada putra sulungku dan memutuskan untuk menapaki jalan menuju kehidupan kekal dan menjadi biksu.” Ia menunjuk keempat muridnya dan berkata, “Mereka mengikuti aku sejak lama dan tidak mau meninggalkanku. Kami bersama-sama keluar dari tembok kota Dali dan tinggal di Tian Long Si[^tian-long-si]. Tiga tahun pertama mereka bergiliran membantu anakku menjalankan tugas negara. Belakangan setelah anakku mengerti urusan negara, kerajaan dalam keadaan damai dan tidak ada masalah serius. Jadi kami pergi ke Pegunungan Salju Besar untuk mengumpulkan obat-obatan. Di sana Ouyang Feng melukai muridku dan kami pindah ke tempat ini. Sejak saat itu kami tidak pernah kembali ke Dali. Aku sangat keras hati sampai tidak mau menyelamatkan nyawa anak itu. Sejak saat itu selama sepuluh tahunan, siang malam aku tak pernah merasakan kedamaian. Mereka tidak tahu kesengsaraan di dalam hatiku, jadi mereka selalu berusaha menghalangiku. Aih, meskipun aku sanggup menyelamatkan ribuan manusia, atau bahkan puluhan ribu, anak itu masih tetap mati. Bagaimana lagi aku bisa membalas hutang nyawanya selan dengan nyawaku? Setiap hari aku menunggu Ying Gu, menantikan saat di mana belatinya akan menikam jantungku. Aku takut dia akan terlambat datang, aku ternyata sudah mati, maka akan sangat sulit untuk mengampuni dosaku. Bagusnya, dia akhirnya datang. Kenapa dia harus mencampurkan racun ke dalam Pil Embun Sembilan Bunga Giok? Kalau aku tahu dia akan datang segera setelah meracuni aku, aku tidak akan meghabiskan waktu berjam-jam ini untuk berusaha bertahan hidup, juga saudara seperguruanku tidak perlu menghabiskan tenaga untuk memunahkan racun.”
Huang Rong dengan marah berkata, “Hati wanita ini sangat jahat! Dia sudah lama tahu tempat tinggal Paman, tapi dia tidak yakin cukup kuat untuk menghadapi Paman, jadi dia menunggu kesempatan baik. Secara kebetulan dia ketemu aku, yang sedang menderita akibat Telapak Besi, jadi dia mengarahkan aku untuk mencari pertolongan dari Paman. Dia ingin menerapkan dua cara untuk mencapai satu tujuan, pertama dia ingin menguras tenaga Paman, lalu menggunakan kesempatan itu untuk meracuni Paman. Aku sangat bodoh tidak menyadari senjata maut perempuan jahat ini. Paman, bagaimana caranya gambar dar Ouyang Feng bisa ada di tangannya? Apa hubungannya gambar itu dengan dia?”
Yideng Dasi mengambil Kitab Suci Buddha dari sebuah meja di sebelahnya, ia membolak-balik beberapa halaman dan mulai membaca, “Cerita di gambar itu berasal dari sebuah kota kuno di India. Ketika itu ada seorang raja, namanya Shipi. Dia adalah seorang pertapa yang baik, selalu mengikuti jalan menuju pencerahan. Suatu hari ada seekor elang sedang mengejar burung merpati. Burung merpati itu terbang ke arahnya dan bersembunyi di bawah lengan Shipi, mencari perlindungan. Elang itu enuntut supaya raja menyerahkan burung merpati itu kepadanya, raja berkata, ‘Kalau raja menyelamatkan merpati, maka si elang akan mati kelaparan.’ Sang Raja menyadari bahwa dia menyelamatkan satu nyawa tanpa mencelakai yang lain. Karena itu ia kemudian mengambil pisau dan menyayat dagingnya sendiri untuk memberi makan elang. Si Elang berkata, ‘Kalau raja mengiris daging sendiri, maka itu harus sama beratnya dengan daging burung merpati.” Shipi memerintahkan pengawalnya untuk mencari timbangan. Ia meletakkan si merpati di satu sisi dan irisan dagingnya sendiri di sisi lain, tapi tak peduli seberapa banyak dia mengiris dagingnya sendiri, ternyata sisi merpati tetap lebih berat. Sang Raja mengiris daging dadanya, punggungnya, tangannya, bagian samping tubuhnya, tapi si merpati tetap lebih berat. Akhirnya dia meletakkan seluruh tubuhnya di atas timbangan. Dan dengan segera bumi bergoncang, musik terdengar dari langit, para dewa menebarkan bunga dan aroma manis terciging sendiri, maka itu harus sama beratnya dengan daging burung merpati.” Shipi memerintahkan pengawalnya untuk mencari timbangan. Ia meletakkan si merpati di satu sisi dan irisan dagingnya sendiri di sisi lain, tapi tak peduli seberapa banyak dia mengiris dagingnya sendiri, ternyata sisi merpati tetap lebih berat. Sang Raja mengiris daging dadanya, punggungnya, tangannya, bagian samping tubuhnya, tapi si merpati tetap lebih berat. Akhirnya dia meletakkan seluruh tubuhnya di atas timbangan. Dan dengan segera bumi bergoncang, musik terdengar dari langit, para dewa menebarkan bunga dan aroma manis tercium di seluruh bumi. Para Naga, malaikat dan semua penghuni surga mendesah, ‘Shan Zai, Shan Zai3! Belum pernah ada tindakan mulia seperti ini sebelumnya.‘” Itu hanya sebuah mitos, tetapi Yideng menuturkannya dengan penuh hikmat dan belas kasih, dan para pendengar merasa hati mereka tergerak.
“Paman,” kata Huang Rong. “Dia takut Paman mungkin tidak mau mengobati lukaku, maka dia menggunakan gambar ini untuk mengusik hati Paman.”
Yideng tersenyum dan berkata, “Kelihatannya seperti itu. Waktu meninggalkan Dali, hati Ying Gu dipenuhi keinginan membalas dendam, jadi sangat masuk akal kalau dia bertualang di Jianghu dan belajar ilmu silat dari seorang berilmu tinggi. Dengan salah satu cara dia akhirnya bertemu dengan Ouyang Feng, dan Ouyang Feng menyadari niatnya, dia sengaja membantu mewujudkan rencananya dengan cara ini, dia membuat lukisan itu dan memberikannya kepada Ying Gu. Buku ini tersebar luas di wilayah Barat, dan Ouyang Feng berasal dari Barat, jadi dia pasti akrab dengan cerita ini.”
Dengan penuh kebencian Huang Rong berkata, “Si Racun Tua itu memperalat Ying Gu, akhirnya Ying Gu memperalat aku. Ini rencana pembunuhan yang jahat dengan meminjam tangan orang lain.”
Yideng mendesah, “Kau tidak usah marah. Kalau tidak ketemu dia, maka dia akan tetap melukai orang lain dan mengirimnya kepadaku untuk diobati. Hanya saja, kalau orang itu tidak diantar oleh orang yang berilmu tinggi, maka dia pasti akan sulit mendaki gunung ini. Ouyang Feng pasti sudah lama membuat gambar itu, mereka pasti sudah merencanakan ini semua selama setidaknya sepuluh tahun. Berlawanan dengan harapan mereka, ternyata mereka tidak bisa menemukan orang yang tepat selama sepuluh tahun itu, dan itu juga adalah takdir.”
“Paman, aku tahu,” kata Huang Rong. “Dia pasti punya rencana lain yang baginya lebih penting dari sekedar mencelakai Paman.”
“Ah!” seru Yideng. “Apa itu?”
Huang Rong menjawab, “Lao Wantong dikurung oleh ayahku di Pulau Bunga Persik. Dia ingin membantunya keluar.” Kemudian Huang Rong menceritakan bagaimana Ying Gu dengan tekun mempelajari Qi Men4 dan matematika. Akhirnya ia berkata, “Setelah itu ia menemukan fakta bahwa meskipun ia belajar selama seratus tahun, akan tetap sulit untuk mengatasi ayahku, ditambah lagi ia kemudian melihatku terluka, maka…”
Yideng tertawa panjang, ia berdiri dan berkata, “Bagus, bagus. Segala yang baik akan berakhir baik. Semuanya sudah terwujud. Hari ini akhirnya dia akan mendapatkan apa yang diharapkannya.” Dengan wajah tenang ia berpaling kepada keempat muridnya dan berkata, “Kalian pergilah untuk menyambut Selir Liu — oh, bukan — maksudku menyambut Ying Gu — dan mengantarnya naik gunung. Kalian sama sekali tidak boleh mengeluarkan setengah kata pun yang kasar dan tidak hormat.” Seolah dengan persetujuan sebelumnya, keempat murid itu membungkuk ke lantai dan menangis, mereka secara serempak berseru, “Shifu!”
Yideng mendesah, “Kalian sudah mengikutiku selama bertahun-tahun, masa belum juga mengerti hatiku?” Kepada Guo Jing dan Huang Rong ia berkata, “Aku memohon bantuan kalian berdua.”
Guo Jing dan Huang Rong menjawab serempak, “Katakan saja, kami tidak berani menolak.”
“Bagus,” kata Yideng. “Sekarang aku ingin supaya kalian turun gunung. Sepanjang hidupku aku sudah berhutang banyak kepada Ying Gu. Di masa depan, apapun yang dihadapinya, entah kesulitan atau bahaya apapun, aku mohon supaya kalian, demi Biksu Tua ini, sudi mengulurkan tangan membantunya semampu kalian. Kalau kalian bisa membantu dalam urusan antara dia dengan Zhou Shixiong, untuk selamanya Laona akan berterima kasih.”
Guo Jing dan Huang Rong saling berpandangan terkesima, mereka tidak berani menjawab. Yideng melihat keduanya diam, ia mendesak lagi, “Laona memohon bantuan, apa kalian berdua merasa berat untuk mengabulkannya?”
Huang Rong dengan berat hati menjawab, “Karena Paman yang meminta, kami akan menurut.” Ia menarik jubah Guo Jing dan membungkuk untuk berpamitan.
“Kalian tidak usah ketemu Ying Gu,” kata Yideng. “Kalian turun dari sebelah belakang gunung.”
Huang Rong mengiyakan, ia menarik tangan Guo Jing dan berpaling untuk pergi. Keempat murid itu melihat bahwa dia terlihat tenang tanpa tanda-tanda keberatan sedikit pun, diam-diam mereka mengutuknya sebagai orang jahat berhati dingin yang tak tahu berterima kasih, melihat penolongnya dalam bahaya ternyata pergi tanpa rasa tertarik. Guo Jing tahu Huang Rong tidak akan tinggal diam tanpa merencanakan sesuatu, jadi ia hanya menurut dan keluar.
Ketika sampai di luar pintu Huang Rong berbisik ke telinganya. Guo Jing tampak bimbang tetapi akhirnya ia menganggukkan kepala. Ia berbalik dan pelan-pelan berjalan kembali.
Yideng berkata, “Hatimu jujur dan tulus, kau akan melakukan hal-hal besar di masa depan. Laona mempercayakan urusan Ying Gu kepadamu.”
“Baiklah,” jawab Guo Jing. “Wanbei akan berusaha sekuat tenaga untuk melaksanakan urusan yang Dashi percayakan.” Tiba-tiba ia meraih ke belakang dan mencekal tangan Si Biksu India yang duduk di sebelah Yideng. Tangan kanan Guo Jing meluncur lurus untuk menotok titik akupuntur Hua Gai dan Tian Zhu, dua titik akupuntur utama. Kedua titik tersebut yang satu terletak di tangan dan yang lain di kaki, sekali tertotok maka keempat sendi utama di tubuh orang akan lumpuh. Gerakan itu sama sekali di luar dugaan Yideng dan keempat muridnya, mereka berseru, “Apa yang kau lakukan?”
Guo Jing tidak menjawab, tangan kirinya bergerak langsung ke arah bahu Yideng. Telapak tangan kanan Yideng berputar dan secepat kilat menyambar tangan kiri Guo Jing. Guo Jing terkejut, ia mengira telapak tangan Yideng telah kehilangan tenaga, tak terduga bukan hanya berhasil melepaskan diri, malah ia juga bisa menyerang balik. Lebih jauh lagi, serangan Yideng terarah ke titik vital di tubuhnya. Sungguh sebuah serangan balik yang indah. Baru ketika telapak tangan Yideng sekitar satu inci dari tangannya, ia merasakan bahwa telapak tangan itu sebetulnya lemah. Guo Jing menggunakan kesempatan itu untuk memutarbalik telapak tangannya untuk melindungi tangan itu, sementara tangan kanannya melancarakan Sang Naga Mengibaskan Ekor untuk menyambut si nelayan dan penebang kayu yang menyerangnya dari belakang. Jari telunjuk kirinya masih meluncur untuk menotok titik Feng Wei dan Jing Cu di sisi tubuh Yideng. “Paman,” katanya. “Aku minta maaf.”
Sementara itu Huang Rong mendorong si petani keluar pintu dengan menggunakan Tongkat Penggebuk Anjing. Si Sastrawan terkejut melihat perubahan situasi itu, ia tidak memahami niat Guo Jing dan Huang Rong. “Kalau kalian ingin mendiskusikan sesuatu, katakan saja, jangan berkelahi!” serunya berkali-kali.
Ketika melihat kondisi gurunya, si petani menjadi mirip harimau gila, melupakan keselamatannya sendiri ia menerjang ke arah ruang meditasi. Tetapi Tongkat Penggebuk Anjing Huang Rong sungguh terlalu tangguh baginya, ia menyerang tiga kali, dan tiga kali pula tongkat Huang Rong mengirimnya muundur.
Telapak tangan Guo Jing bergerak melingkardiiringi sambaran angin yang kuat, memaksa si nelayan, penebang kayu dan sastrawan mundur selangkah demi selangkah ke arah pintu. Huang Rong menyayunkan tongkatnya dengan keras dari tanah ke arah alis si petani. Gerakan ini sangat cepat sehingga si petani menjerit, “Aiyo!” Ia melemparkan diri ke belakang dan melompat mundur beberapa langkah.
“Bagus!” seru Huang Rong. Ia menjangkau dengan tangannya ke belakang dan menutup pintu. Dengan cekikikan ia berkata, “Bapak-bapak, tolong tahan dulu! Aku ingin mengatakan sesuatu.”
Setiap kali si penebang kayu dan nelayan bertemu dengan tangan Guo Jing mereka merasa lengan mereka mati rasa dan kaki mereka bergetar. Mereka melihat Guo Jing hendak menyerang lagi, mereka cepat-cepat berdiri bersebelahan, bersiap untuk menerima telapak tangan Guo Jing dengan kekuatan gabungan. Ketika Guo Jing mendengar ucapan Huang Rong, ia segera menghentikan telapak tangannya di tengah jalan dan mundur. Sambil merangkapkan kedua tangannya ia berkata, “Maafkan kelancangan Wanbei.”
Si nelayan, penebang kayu dan sastrawan itu saling berpandangan dengan bingung. Dengan muka serius Huang Rong berkata, “Aku menerima kebaikan Dashi Yang Mulia, sekarang aku tahu bahwa Dashi sedang menghadapi bahaya, bagaimana mungkin aku pergi dari sini tanpa berbuat apa-apa.”
Si sastrawan melangkah maju, membungkuk dalam dan berkata, “Musuh adalah istri Shifu, sangat tidak layak bagi kami untuk menyinggung beliau. Kalau beliau ingin naik gunung, kami tidak punya cara untuk menghentikan beliau. Lagipula, sejak anak… sejak Shaoye meninggal, lebih dari sepuluh tahun hati Shifu tidak tenang. Bahkan kalau pun tenaga dalamnya masih ada dan ia tidak keracunan, ketika melihat Selir Liu datang ia tidak akan melawan serangan belatinya sama sekali. Kami tidak bisa melawan perintah Shifu, tapi hati kami serasa terbakakr oleh kecemasan. Kami menguras tenaga dan pikiran, tetapi masih belum juga tidak tahu harus berbuat apa. Nona sangat cerdas, seandainya Nona bisa memberi petunjuk, meskipun tubuh kami hancur menjadi debu kami akan terus berusaha untuk membalas kebaikan Nona.”
Mendengar ucapannya yang tulus Huang Rong tidak berani bercanda lagi seperti sebelumnya, ia berkata, “Kami, kakak dan adik seperguruan, sangat berterima kasih atas kebaikan hati Dashi Yang Mulia, kami tidak berbeda dengan kalian berempat, kami akan berusaha dengan segala cara yang mungkin. Yang terbaik adalah kalau kita bisa mencegah Ying Gu memasuki ruang meditasi, tetapi mengingat Ying Gu sudah menunggu sesempatan seperti ini selama lebih dari sepuluh tahun di Rawa Hitam, dia pasti sudah mempersiapkan diri sebaik mungkin. Rasanya tidak akan mudah menghalanginya. Rencana Xiao Mei mengandung bahaya. Kalau sukses, maka kita bisa mengharapkan segalanya mulus di masa depan, tanpa masalah yang berarti. Tapi rencana ini teramat sangat riskan, Ying Gu itu sangat licin dan pintar, ilmu silatnya juga tinggi, jadi masih tetap mengandung kemungkinan gagal. Pengetahuan dan kebijaksanaan Xiao Mei masih sangat sederhana dan dangkal, aku tidak bisa memikirkan cara yang lebih pasti.”
Si nelayan, penebang kayu, petani dan sastrawan berkata, “Kami mohon penjelasan.”
Huang Rong mengangkat alisnya yang indah dan membeberkan rencananya. Ketika keempat murid itu mendengarnya, mereka saling berpandangan dalam diam sampai lama.
Saat itu adalah jam kesepuluh5, matahari pelan-pelan menyembunyikan dirinya di belakang gunung. Angin pegunungan yang kuat mengayun dedaunan pohon palem yang tertanam berderet-deret di halaman luar ruang meditasi. Daun-daun teratai di kolam juga membuat suara gemerisik. Matahari sore memancarkan sinarnya dari balik puncak gunung. Si nelayan, penebang kayu, petani dan sastrawan duduk bersila di atas tanah di dekat jembatan batu. Mereka membuka mata lebar-lebar sambil menatap ke depan. Hati setiap orang terasa berat oleh kegelisahan.
Mereka telah menunggu lama. Langit telah menjadi gelap, senja berangsur-angsur berubah menjadi malam. Burung gagak terbang berkerumun di lembah, di bawah tempat itu. Kabut tipis muncul dari lembah itu. Tetapi tak seorang pun terlihat muncul dari belokan di atas jembatan batu. Si nelayan berpikir, “Seandainya Selir Liu tiba-tiba berubah pikiran dan tidak lagi menyalahkan Shifu, mungkin ia akan mengikat kudanya di atas tebing dan memutuskan untuk tidak datang ke sini…”
Si penebang kayu berpikir, “Selir Liu ini sangat licik, ia pasti sudah mempersiapkan rencana yang sangat jahat.”
Si petani lebih gelisah lagi dan lebih tidak sabaran dibanding yang lain, ia berpikir, “Lebih cepat dia tiba di sini, lebih cepat juga kita menyelesaikan urusan ini, entah akan jadi bencana ataukah keberuntungan, baik atau jahat, kita akan segera tahu. Dia bilang akan datang dan masih juga belum muncul, ini betul-betul menyebalkan.”
Si sastrawan berpikir, “Ditunda lebih lama, ancamannya akan lebih berbahaya. Masalah ini sungguh sulit diselesaikan dengan baik.” Tak perlu dikatakan lagi, ia adalah seorang ahli taktik dan strategi, ia sudah menjadi Perdana Menteri Kerajaan Dali selama puluhan tahun. Ia telah melihat peperangan besardan berhadapan dengan situasi sulit, meskipun begitu kali ini ia sangat grogi. Ia sudah menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan masalah ini, tapi tidak bisa menghasilkan solusi apa-apa. Pandangannya menelusuri kegelapan di sekitar tempat itu, telinganya mendengar suara burung hantu dari kejauhan. Tiba-tiba ia teringat ketika masih kecil ia sering mendengar orang berkata, “Burung hantu diam di tempat yang tersembunyi, dan diam-diam menghitung alis manusia. Siapa yang alisnya erhitung dengan tepat, ia tidak akan hidup untuk melihat hari esok.’ Itu jelas sekali hanya mitos untuk membohongi anak kecil, tetapi dalam situasi seperti ini ia tiba-tiba mendengar suara burung hantu, ia tanpa sadar terpengaruh cerita semacam itu. “Mungkinkah Shifu tidak bisa lolos dari bahaya ini dan tewas di tangan perempuan itu?” Ia baru saja berpikir begitu ketika si penebang kayu berbisik dengan suara genetar, “Dia sudah tiba!”
Si sastrawan mengangkat kepalanya dan melihat sesosok bayangan hitam melayang di sepanjang jembatan batu dengan gerakan seringan bulu melompat melewati rintangan, seolah-olah melayang tanpa mengeluarkan tenaga sama sekali. Keempat orang itu terhenyak, “Ketika ia mulai berlatih dengan Shifu, kita semua sudah lama belajar. Bagaimana mungkin kungfunya sekarang melampaui kita semua? Dalam belasan tahun ini dari mana dia belajar ilmu sehebat ini?” pikir mereka. Saat mereka melihat bayangan hitam itu mendekat, mereka bangkit berdiri dan mengambil posisi di kedua sisi jalan.
Dalam sekejap mata bayangan hitam itu tiba di ujung jembatan batu, ia memakai baju hitam dan raut wajahnya samar-samar bisa dikenali sebagai Selir Liu yang sangat dicintai oleh Kaisar Duan di masa lampau.
Keempat orang itu berlutut dan memberi hormat, “Xiao Ren menyapa Niang Niang6!”
“Hm!” dengus Ying Gu. Pandangannya menyapu muka keempat orang itu dan ia berkata, “Niang Niang apa? Selir Liu sudah lama mati! Aku Ying Gu. Hmm, Perdana Menteri, Jendral, Admiral dan Komandan Yu Lin Jun semuanya ada di sini. Kupikir Kaisar sudah meninggalkan keduniawian dan menjadi biksu, ternyata dia masih tetap hidup aman dan damai, bersembunyi pegunungan terpencil ini sebagai kaisar.” Suaranya mengandung kebenciam yang sangat dalam, sampai-sampai hati mereka tergetar.
Si sastrawan menjawab, “Kaisar tidak seperti penampilannya yang lalu, Niang Niang mungkin tidak akan mengenalinya.”
Ying Gu tertawa dingin, “Kau terus-terusan bilang Niang Niang ini Niang Niang itu, kau meledek ya? Kalian terus duduk kaku di sini, kalian berharap aku mati ya?”
Si nelayan, penebang kayu, petani dan sastrawan itu saling berpandangan dan bangkit berdiri. “Xiao Ren berharap Niang Niang sehat selalu,” kata mereka serempak.
Ying Gu mengebaskan tangannya. “Kalian menyuruh kalian tetap di sini untuk mencegat aku, apa kalian masih tetap harus juga omong kosong semacam ini? Kalau mau berkelahi, ya langsung maju saja. Kalian ini pejabat tinggi pemerintahan, entah berapa banyak rakyat yang kalian celakai, buat apa kalian masih berpura-pura di hadapan perempuan biasa seperti aku?”
Si sastrawan berkata, “Kaisar kita mencintai rakyat seperti anak-anaknya sendiri, sangat bijaksana dan murah hati, rakyat Dali masih tetap memujanya sampai hari ini. Kaisar kita bukan hanya tidak pernah mencelakai orang tak bersalah di sepanjang hidupnya, bahkan kepada para narapidana yang paling buruk sekali pun beliau bersikap sangat baik. Masa Niang Niang tidak tahu?”
Muka Ying Gu merah padam, dengan suara tegas ia berkata, “Kalian berani menyinggung aku?”
“Wei Chen tidak berani,” jawab si sastrawan.
Ying Gu berkata, “Dengan mulut kalian bilang aku atasan kalian, tapi apa dalam hati kalian masih ada hubungan atasan-bawahan di antara kita? Aku ingin ketemu Duan Zhixing, kalian mengijinkan atau tidak?”
Duan Zhixing adalah nama Yideng Dashi ketika dilahirkan. Meskipun si nelayan, penebang kayu, petani dan sastrawan itu tahu, mereka tidak pernah berani menyebutkannya secara sembarangan. Ketika mendengar Ying Gu seenaknya menyebutkan nama tersebut, mereka merasa sangat tersinggung. Si petani sebelumnya dikenal sebagai kapten pasukan pengawal pribadi Kaisar Duan, ia tidak bisa lagi menahan diri. Dengan suara lantang ia berteriak, “Menjadi kaisar satu hari, beliau akan terus dihormati di sepanjang hidupnya. Kenapa kau ngomong seenaknya?”
Ying Gu tertawa panjang dan tanpa mengatakan apa-apa menerjang maju. Keempat orang itu secara serempak menangkis dengan tangannya, mereka berpikir, “Meskipun kungfunya tinggi, kalau kita bergabung pasti bisa menghentikannya. Kita akan melanggar perintah, tapi situasinya darurat, bicara belakangan.”
Di luar dugaan, Ying Gu tidak menggunakan tangan untuk menyerang, tapi menggunakan ilmu meringankan tubuhnya untuk menerjang ke arah mereka. Si penebang kayu melihatnya datang dengan kecepatan tinggi, ia tidak berani menyentuh tubuh Ying Gu, karena itu ia dengan cepat menghindar, lalu mengulurkan tangannya dalam upaya untuk mencekal bahu Ying Gu. Tangannya kuat dan cepat, tapi segera setelah menyentuh bahunya, ia merasa seolah menyentuh sesuatu yang sangat licin, karena itu tangannya tergelincir.
Saat itu terdengar seruan keras si petani dan nelayan yang menyerang dari kiri-kanan. Ying Gu mengelak seperti ular yang licin, ia menyelipkan diri di bawah ketiak si nelayan. Hidung si nelayan mencium aroma harum yang samar, baunya seperti anggrek, tetapi tidak persis sama. Ia panik dan tidak berani menangkap tubuh Ying Gu yang menyelinap di bawah lengannya, sebaliknya ia membaka tangannya karena takut akan menyentu tubuh Ying Gu.
Si petani gusar. “Apa yang kau lakukan?” serunya. Dengan kesepuluh jarinya membentuk cakar ia berusaha mencekal pinggang Ying Gu.
“Jangan kurang ajar!” seru si penebang kayu.
Si petani pura-pura tidak mendengar, dengan segera jarinya telah menyentuh pinggang Ying Gu, tetapi karena suatu hal tangannya seperti menyentuh permukaan sebuah benda yang sangat lunak dan berminyak, dan tergelincir dari pinggang Ying Gu.
Ying Gu menggunakan teknik Ni Qiu Gong7 yang disempurnakannya di Rawa Hitam untuk melewati hadangan ketiga orang itu. Sekarang ia tahu bahwa mereka berempat tak berdaya untuk menghadangnya. Telapak tangannya menampar ke belakang ke arah si petani. Si sastrawan mengayunkan tangannya dengan jari terarah ke titik akupuntur di tangan Ying Gu. Di luar perkiraannya, Ying Gu tidak menarik tangannya, tetapi meengacungkan telunjuknya ke atas dan secepat kilat jari keduanya bertemu. Si sastrawan telah mengerahkan seluruh tenaganya ke jari tangan kanan, mendadak jarinya mati rasa, tubuhnya seperti tersengat listrik. “Aiyo!” jeritnya, dan ia terjatuh. Si penebang kayu dan nelayan buru-buru membungkuk untuk menolong.
Kepalan kiri si petani meluncur deras ke arah tubuh Ying Gu seperti palu. Serangan itu diiringi terpaan angin kuat, tenaganya sangat mencengangkan. Melihat serangan dahsyat itu Ying Gu diam tidak bergerak. Si petani terkejut, ia mengira kalau kepalannya menerpa kepala Ying Gu, maka tengkoraknya pasti akan pecah. Buru-buru ia ingin menarik balik tenaganya, tetapi pada saat itu kepalannya telah menyentuh ujung hidung Ying Gu. Ying Gu memiringkan kepalanya sedikit, kepalan itu terpeleset dari hidungnya dan beralih ke pipinya. Si petani menatik tangan kirinya, tetapi terlambat. Tangannya dicekal lawan dan dengan suara ‘krekk’ ia merasa lengannya sakit. Sikunya patah terkena kepalan Ying Gu. Si petani menggigit bibirnya, mengabaikan rasa sakit, telunjuk kanannya dengan cepat menyerang lekukan siku lawannya.
Ilmu totokan si nelayan, penebang kayu, petani dan sastrawan itu sangat unik, diajarkan secara langsung oleh Yideng Dashi. Memang tingkatnya lebih rendah dari Totokan Satu Jari dengan segala variasinya yang tak terhingga, tetapi tetap termasuk ilmu totokan kelas satu di dunia persilatan. Di luar dugaan ketika berhadapan dengan Ying Gu seolah-olah mereka ketemu batunya. Ia telah bertekad untuk membalas sakit hati atas kematian anaknya, ia sangat sadar bahwa ilmu jari Yideng Dashi sangat dahsyat, karena itu ia menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk mematahkan ilmu itu. Ia sangat terampil dalam menyulam, jadi ia menemukan inspirasi melalui teknik pekerjaan tangan dengan jarum. Ia memakai semacam paku emas yang sangat kecil di ujung jari telunjuk kanannya, di atas paku itu ada semacam jarum emas tipis sepanjang kira-kira satu sentimeter, yang ujungnya telah dicelup racun. Penglihatannya sangat bagus, tangannya sangat kokoh, setelah berlatih bertahun-tahun ia bisa menusuk seekor lalat yang sedang terbang di udara. Kali ini ia berhasil menusuk jari telunjuk si sastrawan. Melihat arah gerakan jari si petani ia tertawa dingin, mengangkat tangannya yang indah ia mengincar jari si petani dengan ujung jarinya.
Seperti pepatah ‘Sepuluh jari merangkai jantung’8, ujung jari telunjuk terhubung dengan jalan darah Yang Ming menuju ke arah usus besar. Ketika jarum emas menusuknya, maka Shang Yang Xue terkena telak.
Dalam upayanya yang terakhir untuk menang yang ternyata di ambang kekalahan, si petani mengerahkan seluruh tenaganya ke jari-jarinya. Di lain pihak, Ying Gu sama sekali tidak perlu mengerahkan tenaga, ia hanya perlu menempatkan jarum emasnya di jari-jari si petani pada posisi yang tepat. Dengan demikian si petani akan menusuk jarinya sendiri ke arah jarum emas itu.
Ketika jarinya tertusuk, si petani meraung seperti harimau dan terjengkang ke tanah. Ying Gu mengejek dengan dingin, “Bagus sekali, Kapten!” Dan ia ke halaman di depan ruang meditasi.
“Niang Niang, hentikan!” teriak si nelayan.
Ying Gu menghentikan langkahnya dan berpaling. “Dan bagaimana cara kalian menghentikan aku?” dengusnya. Saat itu ia sudah tiba di depan kolam teratai. Kolam itu terhubung ke ruang meditasi melalui sebuah jembatan batu kecil. Ying Gu sedang berdiri di ujung jembatan itu, menatap si nelayan. Malm itu sangat gelap, penerangannya hanya cukup untuk mengenali wajahnya. Si nelayan berdiri berhadapan dengan dia, ia merasa tatapan itu sangat dingin, tak terasa ia menggigil dan tidak berani maju menghadang.
Ying Gu berkata dengan dingin, “Perdana Menteri dan Kapten sudah terkena Tujuh Jarum Maut-ku[^tujuh-jarum-maut], tidak ada yang bisa menyelamatkan mereka. Kau juga ingin mengantar nyawamu? Tanpa menunggu jawaban ia berbalik dan pelan-pelan berjalan maju. Ia sekali pun tidak memalingkan mukanya lagi, tampaknya ia sama sekali tidak takut akan serangan mendadak.
Saat itu ia sudah sekitar dua puluh langkah dari ujung jembatan ke arah bangunan itu. Ketika ia mencapai ujung jalan, mendadak seseorang muncul dari kegelapan, merangkapkan tangannya sambil berkata, “Qianbei, apa kabar?”
Ying Gu terkejut, ia berpikir, “Orang ini menunggu diam-diam di sini dan muncul mendadak, kenapa aku sama sekali tidak mendengar suara nafasnya? Kalau dia berniat jahat aku pasti sudah mati atau setidaknya luka parah.” Ia mencoba melihat lebih dekat dengan teliti dan menemukan bahwa orang itu tinggi, bahunya lebar, alisnya tebal dengan sepasang mata besar, ternyata dia adalah orang yang diberinya arahan ke tempat ini, Guo Jing. “Luka nona cilik itu sudah sembuh?” tanyanya.
Guo Jing membungkuk dan berkata, “Terima kasih banyak atas petunjuk Qianbei. Yideng Dashi sudah menyembuhkan luka adik seperguruanku.”
“Hm!” dengus Ying Gu. “Kenapa bukan dia sendiri yang berterima kasih kepadaku?” Mulutnya bicara, tetapi kakinya terus melangkah maju.
Guo Jing berdiri di ujung jembatan. “Qianbei, tolong kembali!” katanya buru-buru.
Ying Gu mengabaikannya, ia memiringkan tubuhnya sedikit dan menggunakan Ni Qiu Gong untuk menyelinap melewatinya. Meskipun Guo Jing sudah pernah berhadapan dengan Ying Gu di Rawa Hitam, ia sama sekali tidak menduga bahwa wanita itu akan menyelinap melewatinya sambil terus bicara, dan bahwa tubuhnya bisa begitu licin. Dalam keadaan terdesak Guo Jing mengayunkan tangan kirinya ke belakang, menyerang Ying Gu dengan menggunakan Tinju Kosong ajaran Zhou Botong.
Ying Gu mengira bahwa ia sudah berhasil melewati Guo Jing, tak terduga bahwa hembusan angin yang lembut tetapi kuat akan menerpanya dari arah tangan pemuda itu yang sedang mengincar mukanya, memaksanya untuk mundur. Tetapi Ying Gu bersikeras, jadi tak peduli seberapa kuatnya serangan Guo Jing, ia dengan berani terus melangkah maju seolah ingin menerima langsung pukulan itu secara terbuka.
“Awas!” seru Guo Jing buru-buru. Ia merasa sosok tubuh perempuan yang hangat dan lembut terlempar ke lekukan sikunya. Ia terpana. Memanfaatkan kesempatan itu Ying Gu menyapu kakinya dan keduanya terjatuh ke dalam kolam teratai.
Ketika mereka masih di udara, tangan kiri Ying Gu menyelinap di bawah ketiak kanan Guo Jing, melingkar ke punggungnya dan mencekal bahu kirinya, jari tengahnya meliuk ke arah tenggorokan Guo Jing sementara ibu jari dan telunjuknya mencubit bagian belakang lehernya dengan sekuat tenaga. Itu adalah gerakan Qian Feng Hou Bi Qi yang paling dahsyat dari rangkaian teknik Qin Na Shou, kalau satu cubitan saja mengenai sasaran, maka saluran pernafasan lawan akan tertutup dan dia tidak akan bisa bernafas.
Sementara melayang jatuh Guo Jing merasa bahunya dicekal, ia tahu situasinya tidak aman. Ia menekuk lengan kanannya untuk merangkul leher Ying Gu. Itu juga salah satu teknik dari Qin Na Shou yang disebut Hou Xie Jing Bi Qi. Ying Gu tahu bahwa kekuatan lengan Guo Jing sulit diukur, dan tenaganya sendiri kalah terlalu jauh, ia tahu meskipun ia menyerang lebih dahulu tetapi tidak akan bisa mengimbangi pemuda itu dalam hal adu kekuatan, jadi ia melepaskan tangannya dari bahu Guo Jing dan berbalik menjulurkan jarinya untuk menusuknya. Guo Jing menggunakan lengan kirinya untuk menangkis jari-jari Ying Gu.
Jatuh ke dalam kolam sebetulnya hanya membutuhkan waktu sangat singkat, tetapi keduanya sudah bergebrak dengan sangat cepat, dalam sekejap mata lebih dari tiga jurus terlewati. Keduanya sama-sama menggunakan teknik pukulan jarak dekat Qin Na Shou. Ying Gu sangat terampil, tetapi tenaga Guo Jing sungguh mencengangkan. Dalam tiga jurus itu tidak bisa ditentukan siapa yang lebih unggul. “Byurr!” keduanya tercebur ke dalam kolam.
Dasar kolam itu diselimuti lumpur sedalam tiga kaki, saat keduanya jatuh, mereka terendam air sampai ke dada. Tangan kiri Ying Gu meraup lumpur dan melumurkannya ke mulut Guo Jing. Guo Jing terperanjat dan merendahkan kepalanya untuk menghindari lumpur. Ying Gu hidup di Rawa Hitam selama lebih dari sepuluh tahun. Gerakan gaya ikannya dikembangkan dari hasil mengamati cara ikan lele menyelam dan meliuk-liuk di lumpur. Ketika berkelahi di darat ia sangat licin, apalagi ketika berkelahi di dalam kolam. Ia seperti seekor harimau tumbuh sayap. Dengan sengaja menyeret Guo Jing ke kolam karena ia sadar akan kehebatan kungfu pemuda itu, ia tahu sangat sulit melewati jembatan itu kalau Guo Jing mengawalnya. Teknik tusukan jarinya jauh lebih cepat di dalam lumpur ketimbang di atas tanah, ditambah lagi sesekali ia meraup sekepal penuh lumpur dan melumurkannya ke muka Guo Jing.
Kedua kaki Guo Jing terperangkap di dalam lumpur, ditambah lagi ia tidak berani memakai lebih banyak tenaga karena takut akan melukai Ying Gu, karenanya setelah empat-lima jurus ia mulai terdesak di bawah angin. Ia mendengar hembusan angin tipis ketika lumpur meluncur ke arah mukanya, buru-buru ia mengelak ke samping. Tak terduga ketika gumpalan lumpur yang pertama lewat, gumpalan kedua sudah datang, diikuti oleh gumpalan ketiga, yang mengena telak di mukanya. Mulutnya, hidungnya dan juga matanya tertutup lumpur berbau busuk.
Keenam Orang Aneh dari Jiangnan mengajarnya dengan baik, jadi ia tahu bahwa ketika ia terkena senjata rahasia lawan, sebaiknya tidak secara panik berusaha menarik paksa senjata itu, karena lawan akan langsung memanfaatkan peluang itu untuk melancarkan serangan mematikan. Pada saat itu ia tidak bisa bernafas dan membuka mata, ia menggerakkan tangannya dan melancarkan tiga jurus maut, supaya tidak ada orang yang bisa mendekat dalam jarak lima kaki. Setelah itu barulah ia menghapus lumpur dari mukanya dengan tangan kiri dan membuka mata, tetapi Ying Gu sudah melompat ke atas jembatan dan mendekat ke halaman luar ruang meditasi.
Ketika berhasil melewati Guo Jing, Ying Gu diam-diam mengomel, “Memalukan! Kalau tidak ada kolam ini, bagaimana aku bisa melewati bocah tolol itu? Kelihatannya Surga membantuku membalas dendam hari ini.”
Ia mempercepat langkahnya dan segera tiba di pintu masuk kuil. Ia mengangkat tangannya untuk mendorong pintu, ternyata pintu itu tidak dipalang dari dalam, dengan segera terbuka dibarengi suara berderit. Kali ini ia tidak buru-buru masuk, ia menantikan sebuah jebakan di balik pintu. Ia menunggu di luar pintu dan mendapati kenyataan bahwa ruangan itu kosong, tidak ada yang harus dikuatirkan. Pelan-pelan ia memasuki ruangan. Ia melihat ruangan itu ternyata sebuah ruang meditasi yang hanya diterangi sebuah lampu minyak. Lampu itu menerangi gambar Buddha dengan wajahnya yang agung. Hati Ying Gu terasa pahit, ia berlutut di alas meditasi dan berdoa dalam hati.
Ia baru berdoa sebentar ketika mendengar suara seseorang cekikikan pelan di belakangnya. Dengan segera tangan kirinya menyapu ke belakang untuk mencegat keemungkinan serangan mendadak, sementara tangan kanannya mendorong ke bawah ke alas meditasi, meminjam momentum untuk melompat ke atas dan melakukan salto dengan anggun di udara sebelum mendarat kembali di lantai.
“Hebat sekali!” Ia mendengar suara perempuan bersorak memuji. Ying Gu menoleh dan melihat seorang anak perempuan memakai baju hijau dengan sabuk merah melingkar di pinggangnya dan rangkaian aksesori emas berkilau di rambutnya, sepasang matanya yang indah menatap Ying Gu dengan senyum samar, ada kilauan tongkat bambu hijau di tangannya. Tak ragu lagi, itu adalah Huang Rong. “Ying Gu Qianbei, aku berterima kasih untuk kebaikanmu menyelamatkan nyawaku,” katanya.
“Aku memberimu petunjuk untuk mengobati lukamu, tapi niatku sebenarnya untuk mencelakai orang lain,” kata Ying Gu terus terang. “Jadi sebenarnya aku tidak menyelamatkan nyawamu. Buat apa kau berterima kasih.”
Huang Rong mendesah. “Dendam dan hutang budi sungguh sulit dimengerti. Ayahku menahan Bocah Tua Nakal Zhou Botong di Pulau Bunga Persik lima belas tahun. Akhirnya, tetap saja dia tidak bisa menyelamatkan nyawa ibuku.”
Ketika Ying Gu mendengar nama ‘Zhou Botong’ disinggung, ia sangat terkejut. “Apa hubungan ibumu dengan Zhou Botong?” tanyanya dengan ketus.
Mendengar nada bicaranya Huang Rong tahu ia curiga Zhou Botong menjalin hubungan rahasia dengan ibunya dan sebagai akibatnya ditawan oleh ayahnya di Pulau Persik. Kelihatannya setelah belasan tahun berlalu perasaannya terhadap Zhou Botong tetap tidak berubah, kalau tidak kenapa ia harus cemburu.
Sambil menundukkan kepala, dengan nada berduka Huang Rong berkata, “Ibuku meninggal karena kelelahan gara-gara Zhou Botong.”
Ying Gu lebih curiga lagi. Di bawah cahaya lampu yang redup ia bisa melihat kulit Huang Rong putih seperti salju, mata dan alisnya sangat indah, bahkan Ying Gu dalam usia keemasannya tidak secantik dia. Ia menduga ibu Huang Rong pasti juga sangat cantik, adalah sangat sulit bagi Zhou Botong melihatnya tanpa tertarik. Tanpa sadar Ying Gu cemberut.
“Kau tidak usah curiga,” kata Huang Rong. “Ibuku seperti bidadari, si Zhou Botong itu dungu dan keras kepala seperti kerbau. Kecuali perempuan yang punya mata tapi gagal melihat, tidak akan ada yang jatuh cinta kepadanya.”
Ying Gu tahu Huang Rong sedang mengejeknya, tapi kecurigaannya lenyap, ia dengan segera merasa lega. Tanpa mengedipkan mata ia balas mengejek dengan dingin. “Karena ada orang mencintai Guo Jing yang setolol babi, mestinya ada juga orang yang mencintai laki-laki keras kepala yang sebodoh kerbau. Bagaimana cara Lao Wantong membuat ibumu meninggal?”
Huang Rong cemberut dan berkata, “Kau menghina kakak seperguruanku, aku tidak mau bicara denganmu.” Ia mengebaskan lengan bajunya dan berpaling, pura-pura marah.
Ying Gu sangat ingin tahu tentang Zhou Botong, ia buru-buru berkata, “Baiklah, aku tidak akan melakukannya lagi. Kakak seperguruanmu sebenarnya sangat pintar.”
Huang Rong menghentikan langkahnya dan berbalik. “Si Lao Wantong itu bukan sengaja menyebabkan kematian ibuku,” katanya. “Tapi malangnya ibuku meninggal gara-gara dia. Karena marah ayahku menahannya di Pulau Bunga Persik, tapi setelah itu ayahku menyesalinya. Ketidakadilan ada sebabnya, hutang juga ada sumbernya. Kalau seseorang membunuh orang yang kau cintai, maka kau pasti akan mengejar sampai ke ujung dunia untuk membalas dendam kepada orang yang membunuhnya. Kenapa kau melampiaskan marahmu kepada orang lain?”
Pidato itu seperti pukulan telak yang mengenai kepala Ying Gu, ia terpaku di tempatnya tanpa suara. Ia mendengar Huang Rong melanjutkan, “Ayahku sudah lama membebaskan Zhou Botong…” Ying Gu terkejut dan kegirangan, “Maka aku tidak perlu lagi membebaskannya?” tanyanya.
Huang Rong tersenyum. “Kalau ayahku tidak membebaskannya, kau bermaksud membebaskannya?” tanyanya. Ying Gu diam.
Ketika meninggalkan Dali, niat Ying Gu sebenarnya adalah untuk mencari Zhou Botong. Beberapa tahun pertama lewat tanpa ada kabar apa pun mengenai dia. Lalu secara kebetulan ia mendengar dari Sepasang Iblis bahwa Zhou Botong ditawan di Pulau Bunga Persik oleh Huang Yaoshi, tetapi ia tidak bisa bertanya tentang alasan di balik itu. Saat itu, ketika Zhou Botong menolaknya dan meninggalkan Dali ia tahu bahwa sangat sulit mengubah hatinya, kalau bukan karena sesuatu yang sangat signifikan. Saat itu ketika mendengar kabar mengenai Zhou Botong, ia merasa bahagia dan sekaligus sedih. Sedih karena orang yang dicintainya dalam kesulitan, bahagia karena mengira bahwa dengan begitu ia punya kesempatan yang bagus. Kalau ia berhasil menyelamatkannya, mana mungkin Zhou Botong tidak merasa tersentuh dalam-dalam oleh kasihnya. Di luar dugaan, ternyata jalan-jalan di Pulau Bunga Persik mengandung ribuan variasi tikungan dan ratusan jebakan. Jangankan untuk menyelamatkan orang lain, ia sendiri hampir mati kelaparan selama tiga hari tiga malam. Seandainya Huang Yaoshi tidak mengirim pelayan bisu-tuli untuk menunjukkan jalan, ia tidak akan pernah bisa meninggalkan Pulau Bunga Persik hidup-hidup. Sejak itu ia memilih untuk tinggal di Rawa Hitam, dengan rajin ia belajar matematika dan teori tentang angka. Sekarang ia mendengar bahwa Zhou Botong sudah dibebaskan, ia menatap kosong, sejuta pikiran memenuhi benaknya.
Huang Rong tersenyum dan berkata dengan lembut, “Lao Wantong mendengarkan pendapatku dengan senang hati, dia tidak akan berani menolak permintaanku yang mana pun. Kalau mau ketemu dia, ikuti aku saja dan turun gunung. Biar aku yang jadi mak comblang untuk kalian berdua, anggap saja ini caraku berterima kasih karena kau sudah menyelamatkan nyawaku.” Kata-katanya membuat muka Ying Gu merah padam dan jantungnya berdegup kencang.
Ketika melihat penuturannya berhasil mengubah niat membunuh menjadi kebahagiaan, Huang Rong merasa bangga. Tiba-tba ia mendengar suara tepukan tangan, telapak tangan Ying Gu saling bertemu. Mukanya tampak seperti dilapisi es, dengan galak ia berkata, “Apa yang membuatnya mau mendengarkanmu, bocah bermarga Huang? Kenapa dia mau mengikuti suruhanmu? Karena kau cantik? Aku tidak pernah bersikap baik kepadamu, aku tidak butuh balas jasamu. Ayo cepat minggir, atau jangan salahkan aku kalau tidak berbelas kasihan.”
“Aiyo! Kau mau membunuhku?” kata Huang Rong tertawa.
Ying Gu menaikkan alisnya. “Kalau ya kenapa?” katanya dengan dingin. “Orang lain takut kepada Huang Laoxie, aku tidak takut langit dan bumi.”
Huang Rong cekikikan. “Membunuhku tidak sulit,” katanya dengan riang. “Tapi siapa yang akan membantumu menyelesaikan tiga soal matematika yang kutinggalkan itu?”
Sejak Huang Rong menuliskan tiga soal matematika di atas pasir di dalam gubuk di Rawa Hitam, Ying Gu setengah mati memeras otak siang dan malam tanpa menemukan petunjuk sedikitpun bagaimana cara menyelesaikannya. Mula-mula ia belajar matematika karena ingin membebaskan Zhou Botong dari Pulau Persik, tetapi kemudian ia sangat terpesona oleh topik yang kompleks dan misterius itu. Makin dalam ia menggali, ia makin terpesona, sampai ia lupa makan dan tidur, dan tidak bisa berhenti meskipun ia berniat begitu. Ia tahu bahwa meskipun ia bisa menyelesaikan masalah itu, tetapi dibandingkan dengan ilmu Huang Yaoshi masih tetap akan seperti langit dan bumi, dengan kata lain, itu tidak akan membantunya sedikitpun dalam upaya untuk menyelamatkan Zhou Botong. Tetapi rasa penasaran memaksanya untuk memeras otak, tanpa jawaban yang tepat akan sangat sulit baginya untuk merasa tenang dan damai. Karena sekarang Huang Rong menyinggung masalah itu, ketiga soal itu dengan segera berkelebat di benaknya, tanpa sadar mukanya menunjukkan keraguan.
“Jangan membunuhku, aku akan mengajarimu,” kata Huang Rong. Ia mengambil lampu minyak dari dekat gambar Buddha dan menaruhnya di atas lantai. Ia mengambil sebuah jarum emas, lalu mulai menulis angka-angka dan beberapa kalimat di atas lantai batu.
Topik pertama adalah Qi Yao Jiu Zhi Tian Zhu Bi Suan. Ketika Ying Gu melihat solusinya, ia tercengang dan tidak bisa menahan pujiannya sambil mendesah. Huang Rong meneruskan ke topik kedua, yaitu Li Fang Zhao Bing Zhi Yin Gei Mi Ti yang mengandung perubahan-perubahan sangat rumit. Ketika menunggunya menulis solusi untuk masalah terakhir, Ying Gu menghela nafas sambil berkata, “Topik di tengah ini pastilah memiliki rahasia ajaib yang tak terbatas.”
Sesaat berikutnya ia berkata, “Kalau kita bilang topik ketiga ini mudah, ya memang mudah, tapi kalau kita anggap sulit, maka akan menjadi sulit. Ada angka yang tidak diketahui, tiga dan tiga bersisa dua, lima dan lima bersisa tiga, tujuh dan tujuh bersisa dua. Angka apakah itu? Aku tahu itu dua puluh tiga, tapi ini hanya dugaan kasar. Aku perlu menyusun semua angka untuk semua pola perhitungan yang bisa dipakai ulang, tapi bahkan setelah memikirkannya sampai kepalaku pecah aku masih tidak menemukan solusinya.”
Huang Rong tersenyum. “Ini sangat mudah. Menghitung tiga dan tiga akan menghasilkan tujuh puluh. Menghitung lima dan lima akan menghasilkan dua puluh satu. Menghitung tujuh dan tujuh akan menghasilkan lima belas. Kalau ketiga angka tersebut dijumlahkan, kalau tidak lebih besar dari seratus lima, maka jawaban itu benar. Kalau sebaliknya, kurangi seratus lima atau kelipatannya.”
Ying Gu menghitung dalam hati dan ternyata memang benar. Dengan suara rendah ia menghafalkan, “Menghitung tiga dan tiga menghasilkan tujuh puluh. Menghitung lima dan lima…”
Huang Rong berkata, “Kau tidak perlu menghafalnya seperti itu. Kuberi sebuah puisi supaya kau lebih mudah menghafalnya, ‘Tiga orang berjalan bersama dalam tujuh puluh jurusan, lima pohon Mei Hua punya dua puluh satu ranting, tujuh anak bersatu kembali selama setengah bulan, seratus lima hari sisanya belum diketahui.‘”
Kerika mendengar kalimat ‘Tiga orang berjalan bersama’ dan ‘Bersatu kembali selama setengah bulan’ Ying Gu merasa tersinggung, ia berpikir, “Anak ini mengenalnya, dia tahu rahasia tentang aibku di masa lalu. ‘Tiga orang berjalan bersama’ adalah aku yang melayani dua pria. Apa mungkin ‘bersatu kembali setengah bulan’ maksudnya untuk mengolok-olok aku, berselingkuh dan hanya mengenalnya selama belasan hari?” Apa yang dilakukannya di masa lampau saat ini baginya sudah menjadi masalah hati, tak terhindarkan baginya saat ini ia menjadi mudah mencurigai orang lain. “Baik,” katanya dengan nada datar. “Terima kasih atas petunjukmu. ‘Tanya soal jalan di pagi hari, mati bosan di malam hari’. Masa aku harus mendengarmu omong kosong lebih lama lagi?”
Huang Rong tersenyum. “‘Tanya soal jalan di pagi hari, mati bosan di malam hari’. Orang yang mati itu adalah yang bertanya, tapi aku tidak pernah mendengar ada orang yang bertanya lalu membunuh orang yang menceramahi ular.”
Ying Gu mencuri pandang ke arah ruang meditasi, ia tahu Kaisar Duan pastilah tinggal di belakangnya. Ia melihat Huang Rong terus-terusan sengaja membuatnya kesal, ada sesuatu yang salah di sini. Meskipun Huang Rong masih muda, tapi dia cerdas dan nyentrik, tidak kalah dengan ayahnya. Untuk apa wanita tiga puluh tahunan harus ribut dengan anak kecil? Ia hanya takut nasibnya akan menjadi buruk seperti kapal yang terjebak batu karang. Ia sudah memboroskan tidak sedikit waktu karena ingin melihat perhitungan Huang Rong, sementara masalah terpenting masih ada di depan. Bagaimana ia bisa membiarkan masalah sepele seperti matematika menghabiskan seluruh energinya. Karena itu ia memutuskan untuk tidak menjawab dan buru-buru angkat kaki masuk ke ruang dalam.
Menyeberangi ruang doa ia melihat ada ruangan gelap di depan, yang di dalamnya hanya ada satu lampu temaram. Sebagai orang yang selalu cermat ia tidak berani menerjang masuk, ia angkat bicara, “Duan Zhixing, kau mau ketemu aku atau tidak? Ekormu kau sembunyikan di dalam gelap, laki-laki macam apa kau ini?”
Huang Rong menguntit di belakangnya, tertawa, “Kau tidak suka karena tidak ada lampu di sini ya? Dashi justru kuatir terlalu banyak lampu akan membuatmu takut, jadi dia menyuruh kami memadamkan lampu.”
“Hm!” dengus Ying Gu. “Aku tidak takut pergi ke neraka, kenapa tumpukan pisau atau minyak mendidih membuatku takut?”
Huang Rong bertepuk tangan dan tertawa. “Bagus sekali! Aku ingin bermain-main di sekitar tumpukan pisau denganmu.” Ia mengambil pemantik api dari sakunya dan menyalakannya, lalu berjongkok untuk menyalakan lampu yang berada di dekat kakinya.
Ternyata di situ ada lampu minyak, hal ini mengejutkan Ying Gu. Ia melihat lebih dekat, ternyata itu bukan lampu minyak, tetapi sebuah cangkir teh porselen yang setengahnya berisi minyak, dengan kapas yang terendam di dalamnya berfungsi sebagai sumbu. Di dekatnya ada sebatang bambu runcing sepanjang sekitar satu kaki, ditanam di tanah dengan ujung runcingnya menghadap ke atas, tampaknya sangat tajam.
Huang Rong tidak berhenti, ia terus bergerak dan dalam waktu singkat lantai itu dipenuhi lampu-lampu temaram seperti bintang berkelip di malam yang gelap. Di dekat setiap cangkir itu ada sebatang bambu runcing. Sebelum Huang Rong selesai, Ying Gu sudah mulai menghitung, dan ia mendapati seratus tiga belas cangkir dengan seratus tiga belas bambu di dekatnya. Ia merasa sangat bingung. “Kalau ini adalah aturan Mei Hua Zhuang, maka seharusnya ada entah tujuh puluh dua atau seratus delapan batang, tapi ini seratus tiga belas, aturan apa ini? Deretan ini sepertinya acak, bukan Jiu Gong Ba Gua, juga bukan Mei Hua Wu Chu. Lagipula, batang-batang bambu ini sangat tajam, masa ada orang bisa berdiri di atasnya? Ah, betul juga, dia pasti memakai sepatu dengan sol besi.” Ia berpikir lebih jauh, “Bocah ini sudah siap, aku tidak bisa melawannya dalam permainan ini, tapi ini jelas tidak bisa diabaikan. Jadi sebaiknya aku lewati saja.” Karena itu ia melangkah lebar ke depan, tetapi bambu-bambu itu disusun rapat, sangat sulit berjalan melewatinya, jadi ia menendang-nendang ke sekitarnya dan mematahkan lima-enam batang sambil berkata, “Jebakan licik macam apa ini? Laonu tidak punya waktu bermain-main dengan anak kecil.”
Buru-buru Huang Rong menyahut, “Ah, ah! Jangan lakukan itu! Jangan lakukan itu!” Tetapi Ying Gu mengabaikannya dan terus menendang. “Baiklah, baiklah!” seru Huang Rong. “Kau tidak mau bicara pakai akal sehat, aku akan mematikan lampunya. Cepat hafalkan letak semua bambu itu.”
Ying Gu terkejut, ia berpikir, “Kalau orang-orang ini bersekongkol untuk melawan aku, pastilah mereka sejak awal sudah menghafal letak bambu-bambu runcing itu. Aku harus cepat-cepat meninggalkan tempat berbahaya ini!” Ia memacu semangat dan mempercepat langkahnya ke atas, menendang-nendang dengan gusar.
“Tak tahu malu!” seru Huang Rong. Ia mengayun-ayunkan tongkat bambunya berusaha menghalangi Ying Gu. Cahaya lampu minyak menerpa tongkat bambu hijau tua itu, menciptakan bayangan menyeramkan yang menari-nari di depan muka Ying Gu. Tentu saja Ying gu tidak terlalu banyak memikirkan ilmu tongkat anak belasan tahun. Tangan kirinya menghujam vertikal ke bawah, ia mengira satu pukulan sudah cukup untuk mematahkan tongkat itu. Tapi di luar dugaan, teknik tongkat Huang Rong adalah ilmu totokan dari Tongkat Penggebuk Anjing, tongkat itu bergerak secara horizontal, sama sekali tidak mengincar tubuh lawan, tetapi berubah menjadi sebuah tembok hijau giok yang menghalangi di depan pintu. Selama lawan tidak melangkah masuk, tembok itu tidak akan menyakitinya sama sekali, tetapi kalau ia melawan maka dengan segera akan kena gebuk.
Ketika tangan Ying Gu menghujam ke bawah, ‘krekk!’ telapak tangannya terkena ujung tongkat. Ia bergegas menarik tangannya yang sudah terlanjur nyeri dan kemudian mati rasa. Ia bukan terkena ti titik akupuntur vital, tetapi rasa sakitnya cukup berat. Awalnya Ying Gu tidak terlalu memikirkan soal kungfu Huang Rong, tetapi setelah terkena sekali ia terkejut dan marah. Sekarang ia menyadari bahwa anak perempuan yang cerdas dan licik ini tidak mudah dihadapi. Ia menelan amarahnya dan dengan hati-hati menghadapi ilmu silat lawan, berusaha memahaminya lebih dalam sebelum memulai aksi berikutnya. Ia berpikir, “Aku sudah melihat ilmu Sepasang Iblis. Kungfu mereka sangat dahsyat, tapi mereka sudah berumur tiga atau empat puluh tahunan. Bagaimana mungkin anak kecil ini mencapai tingkat seperti ini? Pasti Huang Yaoshi sudah mewariskan ilmu yang dibina seumur hidup kepada anak kesayangannya.”
Waktu pergi ke Pulau Persik ia mengalami kekalahan pahit tanpa sempat bertemu dengan Huang Yaoshi, hampir tewas di Pulau itu. Karena itu ia selalu takut kepada pemilik Pulau Bunga Persik. Sebetulnya ia tidak tahu kalau Tongkat Penggebuk Anjing adalah ilmu unik Kai Pang, dan bahkan kalau Huang Yaoshi hadir di situ, belum tentu ia akan mampu menembus pertahanan tongkat itu dengan segera.
Ketika Ying Gu bimbang dan menahan serangannya, Huang Rong terus bergerak dengan totokan tongkatnya, menghalangi Ying Gu memasuki ruangan. Saat itu kaki Huang Rong tidak pernah diam, ia bergerak dari sebatang bambu ke bambu lainnya dengan gesit seperti kupu-kupu yang menari-nari, menendang nyala api satu persatu. Dalam waktu singkat ia sudah memadamkan sebagian besar dari seratus tiga belas lampu minyak.
Caranya menendangi lampu itu sungguh mengagumkan, bukan hanya ia sama sekali tidak menjejakkan kaki di atas cangkir-cangkir teh itu, tak satu cangkir pun tertendang terbalik atau pecah, juga hanya sangat sedikit minyak yang tumpah. Ia sepenuhnya menggunakan Sao Ye Tui Fa dari Pulau Bunga Persik. Gerakannya cepat dan akurat, tetapi Ying Gu bisa melihat bahwa keterampilannya masih jauh dari sempurna, jauh lebih jelek ketimbang perubahan-perubahan luar biasa dari ilmu tongkatnya. Lebih jauh lagi, meskipun luka dalamnya sudah sembuh, tetapi tenaganya masih belum pulih sepenuhnya. Ying Gu mengira kalau ia menyerang bagian bawah tubuhnya, dalam puluhan jurus ia pasti akan menang. Akan tetapi ketika Ying Gu sibuk memikirkan langkah berikutnya, lampu yang masih menyala hanya tersisa tujuh atau delapan di sudut timur laut ruangan itu, sementara di ketiga sudut lain semuanya sudag gelap gulita.
Tiba-tiba tongkat bambu Huang Rong bergerak dua kali, Ying Gu terkejut, di bawah cahaya lampu yang kuning keemasan ia dengan jelas melihat celah di antara dua batang bambu runcing di lantai, memberinya kesempatan untuk mundur selangkah. Huang Rong menancapkan tongkatnya di tanah dan menggunakannya sebagai tiang penyanggah, tubuhnya melayang secara horizontal, lengan jubahnya yang panjang melambai dan memadamkan tujuh-delapan lampu yang tersisa.
Ying Gu mengeluh dalam hati. “Meskipun aku yakin bisa menang, tapi di antara begini banyak bambu runcing, kakiku bisa tertusuk, bagaimana caranya aku bisa melawan?” pikirnya. Dalam kegelapan ia mendengar Huang Rog berseru, “Kau sudah menghafal letak bambu-bambu itu? Ayo kita bertarung tiga puluh jurus, kalau kau bisa mengalahkanku, aku akan membiarkanmu menemui Kaisar Duan, bagaimana?”
Ying Gu menjawab, “Kau yang mengatur bambu-bambu ini. Aku tidak tahu berapa lama kau berlatih di sini, sementara kau hanya memberiku waktu sekejap mata untuk melihat begini banyak lampu minyak.”
Huang Rong masih muda dan bangga pada diri sendiri, ia selalu berusaha mengungguli orang lain, ia juga sangat yakin akan kemampuan otaknya untuk menghafal, jadi ia tersenyum dan berkata, “Apanya yang sulit sih? Kalau mau kau bisa saja menyalakan lampu dan mengatur ulang letak bambu-bambu itu sesukamu, lalu memadamkannya sebelum kita bertarung, bagaimana?”
Ying Gu berpikir, “Ini bukan adu ilmu silat, tapi adu ingatan. Kecerdasan iblis cilik ini tidak bisa dilawan, buat apa aku mengambil resiko main hafalan dengan dia, sementara urusan besar untuk membalas dendam masih belum selesai?” Tapi tiba-tiba ia mendapat inspirasi, setelah berpikir sejenak ia berkata, “Baik, itu cukup adil. Biar Laonu menemanimu bermain-main.” Ia mengambil pemantik api dari sakunya dan menyalakan lampu minyak.
“Kenapa kau selalu memanggil diri sendiri Laonu9?” tanya Huang Rong sambil tertawa menggoda. “Menurutku kau sangat cantik, kau bahkan lebih cantik dari gadis enam belas tahun. Tak heran Kaisar Duan tergila-gila kepadamu.”
Ying Gu baru saja hendak menarik sebatang bambu dan memindahkannya ke tempat lain, mendengar kalimat itu ia menghentikan langkahnya. “Ia tergila-gila kepadaku?” katanya dengan dingin. “Aku tinggal di istana selama dua tahun penuh, sejak kapan dia peduli kepada orang lain?”
“Ah,” kata Huang Rong terkejut. “Bukannya dia mengajarimu ilmu silat?”
Ying Gu mendengus. “Mengajar ilmu silat berarti peduli?”
“Ah, aku tahu,” kata Huang Rong. “Kaisar Duan sedang berlatih Xian Tian Gong, itu sebabnya tidak bisa berhubungan intim denganmu.”
“Hm!” dengus Ying Gu lagi. “Kau tahu apa? Lalu bagaimana dia bisa dapat seorang Putra Mahkota?”
Huang Rong memiringkan kepalanya ke satu sisi, ia berpikir sejenak sebelum menjawab, “Putra Mahkota lahir sebelum dia mulai berlatih Xian Tian Gong.”
Ying Gu lagi-lagi mendengus, tetapi kali ini ia tidak menjawab. Ia terus mencabut bambu dan menancapkannya di tempat lain. Sementara ia menancapkan bambu-bambu itu, Huang Rong menghafalkan letaknya dengan cermat, ia tidak berani lengah. Ini soal hidup-mati, kalau ia sampai luput satu inci saja ketika sedang bertarung, itu akan menjadi bencana besar bagi kakinya.
Sesaat kemudian Huang Rong bicara lagi, “Kaisar Duan tidak mau menyelamatkan nyawa anakmu adalah karena cintanya kepadamu.”
“Kau tahu segalanya ya?” kata Ying Gu. “Hm, karena cintanya kepadaku?” Suaranya bercampur nada pahit.
“Dia cemburu kepada Lao Wantong,” kata Huang Rong. “Kalau tidak mencintaimu, kenapa dia harus cemburu? Dia melihat saputangan hasil dari ‘empat alat tenun’ bebek mandarin itu dan merasa sangat sedih.”
Ying Gu tidak pernah berpikir Kaisar Duan bisa punya perasaan semacam ini kepadanya, ia mau tidak mau jadi melamun. Huang Rong melanjutkan, “Kurasa sebaiknya kau pulang.”
Ying Gu berkata dengan dingin, “Hanya kalau kau bisa mengalahkan aku.”
“Baiklah,” kata Huang Rong. “Karena kau ngotot, aku tak punya cara selain mengambil resiko kehilangan nyawaku untuk menemanimu. Kalau kau bisa menembus pertahananku, aku tidak akan menghalangimu lagi. Tapi bagaimana kalau kau tidak bisa?”
“Aku tidak akan kembali lagi ke gunung ini,” kata Ying Gu. “Aku juga akan membebaskanmu dari kewajiban menemaniku selama setahun.”
“Luar biasa!” kata Huang Rong bertepuk tangan. “Aku tidak akan tahan menemanimu di rawa busuk itu.”
Sementara bicara Ying Gu sudah menancapkan sekitar lima sampai enam puluh batang bambu, dengan segera ia menendangi lampu satu persatu dan berkata, “Sisanya bisa tetap di tempatnya.” Dalam kegelapan, kelima jarinya membentuk cakar dan menyerang Huang Rong dengan dahsyat.
Sambil mengingat posisi bambu-bambu itu Huang Rong memiringkan tubuhnya ke samping dan tanpa ragu kaki kirinya mendarat tepat di antara dua batang bambu, sementara Tongkat Penggebuk Anjing di tangannya mergerak dan menyerang bahu kiri Ying Gu. Di luar dugaan Ying Gu mengabaikan serangannya, ia terus maju dengan langkah lebar dan dengan diiringi serangkaian suara berderik ia mematahkan sekitar selusin bambu dengan kakinya, dengan demikian ia melenggang bebas ke halaman belakang.
“Aiyo!” seru Huang Rong terkejut, ia segera menyadari apa yang terjadi. “Aku tertipu. Ternyata ketika memindahkan bambu dia diam-diam mematahkan semuanya.” Karena berusaha mengungguli orang lain ia sama sekali tidak mengira bahwa Ying Gu akan berbuat demikian, ia sangat gusar.
Menerjang ke halaman belakang Ying Gu mengulurkan tangannya untuk mendorong pintu. Ia melihat seorang biksu tua sedang duduk di alas meditasi di tengah ruangan, janggut putihnya tergantung sampai ke dada, jubah biksu tebal membungkus tubuhnya sampai ke pipi, kepalanya tertunduk dalam meditasi. Si nelayan, penebang kayu, petani dan sastrawan, berikut sejumlah biksu tua dan murid muda berdiri di kedua sisi.
Si penebang kayu melihat Ying Gu masuk, ia melangkah maju ke arah biksu tua itu, merangkapkan tangannya dan berkata, “Shifu, Liu Niang Niang datang berkunjung.” Si biksu tua mengangguk perlahan tanpa mengatakan apa-apa.
Hanya ada sebuah lampu minyak di dalam ruangan itu, jadi Ying Gu tidak bisa melihat muka semua orang dengan jelas. Ia tahu sebelumnya bahwa Kaisar Duan telah menjadi biksu, tetapi sebenarnya ia tidak menyangka bahwa setalah belasan tahun tidak bertemu, Sang Kaisar yang sebelumnya adalah ahli kungfu tingkat tinggi sekarang telah berubah menjadi seorang biksu tua renta. Setelah mengingat ucapan Huang Rong ia sekarang sadar bahwa Sang Kaisar bukannya sama sekali tidak berbelas kasihan kepadanya. Hatinya luluh dan genggamannya yang erat ke belati di tangannya seketika mengendur.
Menundukkan kepalanya, ia melihat saputangan bersulam yang sebelumnya dipakai untuk membungkus tubuh bayinya itu tergeletak di depan alas meditasi di mana Kaisar Duan duduk. Di atas Du Dou itu ada sebuah gelang yang dihadiahkan Sang Kaisar kepadanya. Seketika itu sejumlah peristiwa seperti saat pertama memasuki istana, berlatih kungfu, bertemu dengan Zhou Botong, gairah dan cinta, melahirkan anaknya, berkabung atas kematiannya, semuanya melintas di benaknya satu per satu seperti adegan dalam panggung sandiwara, lalu ia melihat penderitaan luar biasa yang dialami anaknya. Meskipun masih bayi, tetapi matanya seolah-olah mengandung ribuan kalimat, bertanya-tanya mengapa ibunya tidak juga meringankan rasa sakitnya. Amarahnya meluap, ia mengangkat pisaunya dan dengan secepat kilat ia menikam dada Kaisar Duan, belati itu terbenam sampai ke pangkal gagangnya.
Ia tahu seperti apa ilmu silat Kaisar Duan, tikaman itu belum tentu akna membunuhnya, lagipula ketika belati itu menembus dadanya ia merasa agak lain. Buru-buru ia menarik belati itu untuk menikamnya kedua kali. Di luar dugaannya belati itu tertancap kuat-kuat di antara tulang iganya, ia tidak bisa mencabutnya.
Keempat murid itu berseru kaget dan serempak maju. Dalam kepahitannya Ying Gu bersusah payah melatih diri ribuan kali untuk menikam, selama bertahun-tahun. Ia tahu persis bahwa Kaisar Duan pasti akan waspada, maka sementara tangan kanannya menikam, tangan kirinya sudah menjelajah ke sekeliling, menjaga sebellah kiri, kanan dan belakang, ketiga sisi dari tubuhnya. Sekarang ia tidak bisa mencabut belatinya, ia melihat situasinya jadi tidak menguntungkan. Kakinya bergerak, ia melompat ke arah pintu. Ketika berpaling ia melihat sosok Kaisar Duan dengan tangan kiri di dadanya, tampaknya sangat kesakitan.
Sekarang dendam kesumatnya sudah terbalas, dalam waktu sesingkat itu ia jadi merasa tidak yakin lagi apa yang dilakukannya, tiba-tiba ia teringat, “Aku sudah berselingkuh dengan orang lain dan melahirkan anak, dia bahkan tidak pernah sekali pun memakiku, dan aku tetap bebas tinggal di istana. Bukan hanya tidak menghukumku, bahkan dia juga menyediakan segala keperluan hidupku. Kenyataannya dia sangat baik kepadaku.” Selama ini ia hanya ingat bahwa Kaisar Duan tidak menyelamatkan nyawa anaknya, hatinya dipenuhi kebencian. Hanya setelah menikan dadanya ia mulai teringat segala kebaikannya. Ia menghela nafas panjang, berbalik dan melangkah keluar.
Ketika berpaling ia dengan kaget dan berkeringat dingin melihat seorang biksu tua sedang merangkapkan tangannya di depan dada, berdiri di ambang pintu. Di bawah sinar lampu ia bisa melihat mukanya yang berwibawa dan matanya yang penuh belas kasihan, meskipun memakai jubah biksu, tetapi ia bisa melihat dengan jelas bahwa orang itu adalah mantan Kaisar Selatan, Kaisar Duan. Ying Gu merasa seperti melihat hantu, sebuah pikiran melintas di benaknya, “Apa mungkin tadi aku salah membunuh orang?” Ia melayangkan pandangannya ke belakang dan melihat biksu yang tadi ditikamnya pelan-pelan berdiri sambil membuka jubah biksunya, dengan tangan kiri ia menarik janggut putih di dagunya sampai terlepas. Ying Gu menjerit kaget, ternyata biksu itu adalah Guo Jing yang sedang menyamar.
Itu sudah jelas adalah akal bulus Huang Rong, Guo Jing menotok titik akupuntur Yideng Dashi dan sengaja mengambil posisi untuk menerima tikaman pisau Ying Gu. Ia takut kungfu biksu India itu mungkin hebat, jadi ia menyerang lebih dahulu, tapi di luar dugaannya ternyata si biksu India sama sekali tidak mengerti ilmu silat. Kemudian Huang Rong menghambat langkah Ying Gu dengan cara memberinya tiga soal matematika di halaman, lalu menggunakan Tongkat Penggebuk Anjing melawannya di tengah-tengah barisan lampu minyak dengan deretan bambu runcing. Sementara itu keempat murid Yideng Dashi buru-buru membantu Guo Jing membersihkan sisa-sisa lumpur dan mencukur rambutnya bersih-bersih. Mereka juga memotong jenggot panjang Yideng Dashi dan menempelkannya di dagu Guo Jing. Sebetulnya keempat murid itu merasa sangat tidak nyaman harus memperlakukan majikan mereka secara tidak hormat dan membiarkan Guo Jing menempuh bahaya begitu besar. Tapi mereka tidak punya cara lain untuk menyelamatkan majikan mereka, kalau salah satu dari mereka yang menyamar, maka pasti akan tewas karena ilmu silat mereka tidak bisa menandingi Ying Gu.
Ketika Ying Gu menikamnya, Guo Jing menggerakkan kedua jarinya di balik jubah untuk menjepit sisi tumpul belati. Tapi di luar dugaan meskipun tenaga Guo Jing sangat kuat, namun tikaman itu masih juga mampu menembus dadanya sekitar setengah inci, untungnya tidak sampai mematahkan tulang rusuknya, ia hanya mengalami luka ringan. Ia bisa saja memakai Rompi Kulit Landak Huang Rong, tetapi Ying Gu sangat cerdik, ia pasti akan merasakan perbedaannya, dan dengan begitu mereka tidak akan berhasil menyingkirkan sumber masalah. Kalau ia gagal hari itu, maka ia pasti akan kembali lagi mencari masalah di kemudian hari.
Semua orang sangat gembira melihat taktik Jin Chan Tuo Qiao Zhi Ji10 itu sukses besar, tapi secara tak terduga Yideng memilih momen tersebut untuk menampakkan diri. Bukan hanya Ying Gu yang terkejut, semua orang lain juga tidak menduga perkembangan peristiwa itu.
Karena Yideng mengalami luka yang sangat parah, Guo Jing tidak berani menotok jalan darahnya dengan menggunakan tenaga terlalu kuat, ia takut akan memperparah luka Yideng. Di ruang belakang Yideng pelan-pelan mengedarkan tenaga dalamnya untuk membuka totokan itu, lalu ia kembali ke ruang meditasi, tiba di situ tepat pada saat kritis.
Muka Ying Gu berubah pucat seperti mayat, ia mengira dirinya sudah terjebak dan sudah pasti akan mengalami malapetaka. Tetapi Yideng berkata kepada Guo Jing, “Kembalikan pisau itu kepadanya.”
Guo Jing tidak berani membantah, ia mengembalikan pisau itu kepada Ying Gu. Ying Gu dengan melamun mengambilnya sambil menatap Yideng Dashi. Ia bertanya-tanya, entah siksaan macam apa yang akan dipakainya untuk menghukum. Tetapi ia kemudian melihat Yideng pelan-pelan melepaskan jubah biksu dan juga bajunya, lalu berkata, “Tidak boleh ada orang yang menyulitkan dia, biarkan dia turun gunung dengan bebas setelah ini. Baiklah, silakan tikam aku sekarang, aku sudah lama menunggumu, sudah sangat lama.”
Kalimat itu diucapkan dengan sangat lembut, tetapi di telinga Ying Gu kedengarannya seperti suara halilintar di siang bolong. Ia berdiri terpaku sangat lama, lalu genggamannya mengendur dan pisaunya jatuh ke lantai dengan suara berdenting. Sambil menutupi muka dengan kedua tangannya ia berlari keluar ruangan. Mereka mendengarkan suara langkahnya menjauh sampai suara itu lenyap ditelan keheningan malam.
Semua orang saling berpandangan saking kagetnya, tak seorang pun bersuara. Tiba-tiba terdengar suara ‘buk, bukk!’, si sastrawan dan petani jatuh terjengkang. Ternyata selama ini jari mereka sudah keracunan, dalam keributan mereka mencoba menekan efek racun itu dengan menggunakan tenaga dalam, sekarang setelah melihat majikan mereka dalam keadaan baik-baik saja, hati mereka lega dan tidak dapat menahan racun lagi.
“Cepat, undang Paman Guru ke sini!” seru si penebang kayu.
Sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, Huang Rong sudah tiba di situ bersama si biksu India. Ia seorang ahli menangani keracunan. Buru-buru ia memberikan obat kepada kedua orang itu, selain itu ia juga menyayat sedikit ujung jari keduanya untuk mengeluarkan darah hitam. Mukanya tampak sangat serius, sementara mulutnya komat-kamit dalam bahasa Sansekerta, “A ma li, ha shi tu, si gu er, qi nuo dan ji.”
Yideng mengerti bahasa Sansekerta, ia tahu nyawa murid-muridnya tidak dalam bahaya. Mereka hanya perlu dirawat selama dua bulan, dan kondisi mereka akan pulih seperti semula.
Sementara itu Guo Jing telah melepaskan jubah biksu yang dipakainya dan mulai merawat luka di dadanya. Ia membungkuk di hadapan Yideng dan meminta maaf. Yideng buru-buru memegang tangannya dan mengangkatnya bangkit, ia mendesah dan berkata, “Kau mengambil resiko taruhan nyawa untuk menolongku, tidak ada yang harus dimaafkan.” Lalu ia berpaling kepada saudara seperguruannya dan menjelaskan dalam bahasa Sansekerta mengenai apa yang telah dilakukan Guo Jing.
Biksu India itu berkata, “Si li xing, ang yi na de.”
Guo Jing tercengang, ia mengenal kedua kalimat itu, dan ia juga bisa mengutip kalimat selanjutnya, “Si re que xu, ha hu wen bo ying…”
Zhou Botong sudah mengajarinya kutipan dari Jiu Yin Zhen Jing seluruhnya. Bagian terakhir dari kitab itu dipenuhi oleh kalimat-kalimat aneh ini. Guo Jing tidak memahami artinya, tetapi ia terpaksa menghafalkan seluruh isi kitab itu, termasuk segala omong kosong ini, karena itu ia bisa mengutip semuanya tanpa kesulitan.
Ketika mendengarnya bicara dalam bahasa Sansekerta, Yideng Dashi dan si biksu India itu tercengang, lagipula apa yang dikatakannya berkaitan dengan teknik melatih tenaga dalam yang sangat canggih, mereka jadi lebih tercengang lagi. Yideng menanyakan cerita selengkapnya dan Guo Jing segera menceritakannya tanpa ada yang ditutup-tutupi. Yideng terheran-heran bercampur kagum. “Aku sudah mendengar cerita di balik Jiu Yin Zhen Jing dari Chongyang Zhenren. Huang Shang, orang yang menulis kitab itu, bukan hanya berilmu tinggi, ia juga sangat akrab dengan kanon Kitab Suci Tao, jadi juga ahli dalam hal teknik melatih tenaga dalam, dan mengerti bahasa Sansekerta. Ketika kitab itu selesai ditulisnya, bagian terakhir sebetulnya berisi esensi dari kitab itu sendiri. Tiba-tiba ia menyadari bahwa seandainya kitab itu jatuh ke tangan orang jahat, maka dia akan sanggup menjungkirbalikkan dunia ini tanpa ada orang yang bisa mengendalikannya. Tapi ia juga tidak rela menyingkirkan bagian terakhir itu, karena itulah ia menulis ulang bagian itu dalam bahasa Sansekerta, tapi dengan terjemahan bahasa mandarin sebagai panduan. Ia berpikir, sulit dikatakan apakah kitab itu akan bisa diwariskan ke generasi mendatang, orang-orang di Dataran Pusat yang memahami bahasa Sansekerta sangat sedikit, lebih sedikit lagi yang selain memahami bahasa Sansekerta, juga ahli dalam ilmu silat. Kalau kitab itu jatuh ke tangan orang India, meskipun orang itu memahami bahasa Sansekerta, tetapi ia tidak bicara bahasa mandarin. Huang Shang mengaturnya seperti itu, sebetulnya sama artinya dengan tidak mengijinkan generasi mendatang untuk memahami isi kitab itu. Karena bagian berisi bahasa Sansekerta itu, bahkan Chongyang Zhenren pun tidak memahami makna isi kitab itu. Tapi siapa sangka, melalui campur tangan Ilahi kau yang tidah memahami bahasa Sansekerta teryata sungguh-sungguh bisa menghafalkan kalimat-kalimat panjang yang terdengar mirip kutipan doa itu? Ini sungguh-sungguh kesempatan yang sangat langka.” Ia lalu meminta Guo Jing mengutip bagian yang berisi bahasa Sansekerta secara perlahan-lahan, lalu ia menerjemahkannya menjadi bahasa mandarin, ia menuliskan semuanya di sehelai kertas dan memberikannya kepada Guo Jing dan Huang Rong.
Secara keseluruhan prinsip panduan untuk melatih tenaga dalam di dalam Jiu Yin Zhen Jing itu sangat mendalam dan misterius, meskipun Yideng Dashi adalah seorang terpelajar yang sangat ahli dan memiliki tenaga dalam tingkat tinggi, ia tidak mampu membedah teori di dalamnya dalam waktu sesingkat itu. “Kalian tinggallah di gunung ini beberapa hari lagi, aku akan mencoba mempelajarinya lebih mendalam, lalu aku akan menyampaikan apa yang kupahami kepada kalian berdua,” katanya. Ia juga menambahkan, “Biasanya kalau tenaga dalamku musnah karena suatu hal, aku memerlukan waktu lima tahun untuk pulih seperti semula, tapi kalau mengikuti petunjuk yang ada di dalam kitab itu, tampaknya dalam waktu kurang dari tiga bulan aku akan mendapat hasil yang sama seperti lima ahun itu. Meskipun aku memeluk agama Buddha, dan juga ilmu silatku lebih condong ke ajaran Buddha, yang berbeda dengan metode ajaran Tao dalam melatih tenaga dalam di dalam kitab itu, tapi kalau dilihat dari prinsip ini, kalau ilmu silat dilatih sampai ke tingkat tinggi, berbagai pendekatan yang berbeda akan tetap mengarah ke hasil yang sama, ini tidak berbeda dengan prinsip ajaran Buddha.”
Huang Rong menceritakan kepadanya tentang luka dalam Hong Qigong yang disebabkan oleh Ouyang Feng. Yideng Dashi tampak penuh perhatian. “Kalian berdua harus mengatakan kepada guru kalian tentang ilmu tenaga dalam dari Jiu Yin Zhen Jing, aku yakin dia akan bisa pulih,” katanya. Guo Jing dan Huang Rong sangat senang mendengarnya.
Keduanya tinggal di gunung itu sampai lebih dari sepuluh hari. Setiap hari Yideng Dashi menjelaskan tentang metode latihan tenaga dalam ala Jiu Yin Zhen Jing. Huang Rong juga mengambil kesempatan itu untuk memulihkan tenaga dalamnya sendiri.
Suatu hari mereka sedang berjalan di luar ruang meditasi ketika tiba-tiba mereka mendengar pekikan keras elang di udara. Huang Rong bertepuk tangan. “Jin Wawa sudah tiba!” Sepasang elang itu menekuk sayap mereka dan mendarat, mereka tampak sangat kuatir. Kedua orang itu mau tak mau jadi ikut kuatir, mereka melihat ada bekas luka di dada elang betina. Tampaknya seperti luka bekas panah, tapi anak panahnya sudah tidak ada lagi, tampaknya si elang sudah berhasil mencabutnya. Ada secarik kain hijau terikat di kaki elang jantan, tetapi mereka tidak membawa Jin Wawa.
Huang Rong mengenali potongan kain hijau itu adalah sobekan jubah ayahnya, berarti sepasang elang itu memang telah sampai di Pulau Bunga Persik. Mungkinkah ada musuh yang datang ke situ? Mungkinkah ayahnya terlalu sibuk melawan musuh dan tidak sempat melayani pesanan putrinya ini?
Sepasang elang itu adalah hewan yang pintar, tetapi elang betina terkena tembakan panah, suatu pertanda bahwa orang yang menembak itu pastilah seorang pesilat tangguh. Guo Jing segera mengoleskan salep dan membalut luka si elang betina. Huang Rong berpikir lama, tapi sampai akhir ia tetap tidak menemukan petunjuk mengenai apa yang terjadi. Sayangnya sepasang elang itu tidak bisa bicara, kalau tidak mereka pasti sudah berebut menceritakan apa yang telah terjadi di Pulau Bunga Persik.
Kedua orang itu kuatir tentang keadaan Huang Yaoshi, karena itu mereka segera berpamitan dengan Yideng Dashi. “Kita pasti tetap akan bertemu kembali lain kali, tapi karena ada sesuatu yang trejadi di Pulau Bunga Persik, aku tidak bisa menahan kalian lagi. Meskipun begitu, Yao Xiong punya pengetahuan yang luas, dia pintar dan bijaksana. Aku yakin tak ada orang di jaman ini mampu mencelakainya, kalian tidak perlu terlalu kuatir.”
Yideng lalu memanggil si nelayan, penebang kayu, petani dan sastrawan untuk bersama-sama dengan Guo Jing dan Huang Rong mendengarkan penjelasannya tentang ilmu silat di depannya. Ia menjelaskan esensi kungfu selama beberapa jam. Setelah ia selesai Guo Jing dan Huang Rong dengan berat hati berpamitan. Si sastrawan dan petani masih belum pulih total, jadi mereka hanya bisa mengantar sampai ke pintu gerbang. Si nelayan dan penebang kayu mengiringi mereka berdua sampai ke kaki gunung. Mereka menungggu sampai kedua anak muda itu menemukan kembali kuda merah mereka sebelum akhirnya mengucapkan selamat jalan dengan berat hati.
Guo Jing dan Huang Rong kembali melewati jalanan yang sama, pemandangan di sekitarnya masih sama, tetapi hati mereka sama sekali berbeda dibanding ketika mereka mendaki gunung itu beberapa hari yang lalu. Teringat kebaikan hati Yideng Dashi, Huang Rong tak dapat menahan diri untuk berlutut dan membungkuk ke arah puncak gunung. Guo Jing mengikutinya dan kowtow beberapa kali.
Di sepanjang jalan meskipun Huang Rong sedang kuatir tentang ayahnya, ia berpikir selama ini ayahnya bertualang sendirian di dunia persilatan dan sangat jarang ia mengalami nasib buruk. Meskipun ia bertemu lawan tangguh, mungkin ia tidak bisa menang, tapi setidaknya ia punya cukup kemmpuan untuk mempertahankan diri, seperti yang dikatakan Yideng Dashi, “Tak ada orang di jaman ini yang mampu mencelakainya.” Karena itu ia juga tidak terlalu cemas.
Keduanya duduk di punggung kuda merah itu sambil mengobrol santai. Huang Rong tertawa. “Entah seberapa sering kita menghadapi bahaya sejak kita bertemu, tapi setiap kali kita kalah, kita juga punya keuntungan. Seperti kali ini, aku terluka parah akibat pukulan Qiu Qianren, akhirnya kita malah menemukan rahasia tak terduga dari Jiu Yin Shen Gong, yang bahkan tidak dipahami oleh Wang Chongyang sendiri.”
“Aku lebih suka tidak mengerti ilmu silat apa pun, pokoknya kau sehat dan aman,” kata Guo Jing.
Dalam hatinya Huang Rong sangat bahagia, tetapi ia tertawa dan berkata, “Aiyo, kalau mau memuji orang lain juga tidak perlu harus bermulut besar seperi itu! Kalau kau tidak mengerti ilmu silat, kau pasti sudah lama mati. Tak usah ngomong soal Ouyang Feng, Sha Tongtian dan yang lain, bahkan anggota SEkte Telapak Besi yang berbaju hitam itu pasti mampu menggorok lehermu.”
“Papa pun yang terjadi, aku tidak akan mengijinkan kau terluka lagi,” kata Guo Jing. “Yang lalu ketika aku terluka di Lin’an, aku merasa baik-baik saja. Tapi beberapa hari belakangan ini waktu melihat kau luka parah, aih, itu sungguh-sungguh buruk.”
“Hm,” gumam Huang Rong sambil tersenyum. “Kau sungguh tidak punya hati.”
“Kenapa?” tanya Guo Jing heran.
“Kau lebih suka terluka,” kata Huang Rong. “Kau pikir dengan begitu aku akan merasa lebih baik?”
Guo Jing terkejut, lalu ia tertawa. Kakinya menendang perut kuda, dan kuda itu pun berlari lebih cepat, seolah-olah keempat kakinya melayang tinggi di atas tanah, karenanya ketika tengah hari mereka sudah sampai di wilayah Taoyuan. Huang Rong masih belum pulih benar, setelah berkuda setengah harian ia merasa sangat lelah, mukanya merah dan ia terengah-engah. Ada sebuah rumah makan di kota Taoyuan, namanya Bi Qin Jiu Lou. Nama itu berasal dari Tao Hua Yuan Ji11, hasil karya Tao Yuanming. Rumah makan itu sebetulnya adalah sebuah kedai arak.
Guo Jing dan Huang Rong memilih tempat duduk dan segera memesan makanan dan arak. Kepada pelayan Guo Jing berkata, “Saudara, kami harus pergi ke Hankou, bisakah kau turun sebentar ke sungai itu untuk mengundang tukang perahu datang supaya kami bisa bicara?”
Si pelayan berkata, “Kalau Gongzi bersedia naik perahu bersama dengan orang-orang lain, pasti Gongzi akan lebih hemat. Menyewa perahu hanya untuk kalian berdua cukup mahal.”
Huang Rong memainkan matanya, ia mengambil uang perak senilai lima liang dan meletakkannya di atas meja. “Ini cukupkah?” tanyanya.
“Cukup, cukup,” kata si pelayan sambil tersenyum. Ia berbalik dan berjalan turun.
Guo Jing takut kondisi Huang Rong akan memburuk, jadi ia melarangnya minum arak, sebagai akibatnya ia juga menahan diri untuk minum arak, mereka hanya bisa makan makanan yang ada. Mereka baru makan setengah mangkuk ketika si pelayan kembali bersama dengan tukang perahu, ia mengatakan bahwa tukang perahu itu setuju untuk mengantar mereka sampai ke Hankou, nasi sudah termasuk tetapi lauk-pauk tidak, biaya totalnya adalah tiga liang dan enam qian. Huang Rong tidak menawar, ia langsung memberikan sejumlah yang dimaksud kepada tukang perahu. Si tukang perahu mengambil uang perak itu dan merangkapkan tangannya dengan hormat, ia menunjuk ke mulutnya sambil bersuara serak, “Ah, ah.” Ternyata ia bisu. Tangannya bergerak ke sana-sini, memberi isyarat. Huang Rong mengangguk sambil membuat isyarat dengan tangannya. Tampaknya isyarat-isyarat yang mereka buat agak rumit, dan mereka berkomunikasi cukup lama. Akhirnya tukang perahu bisu itu pun puas, ia menganggukkan kepalanya berkali-kali dan pergi dari situ.
“Kalian berdua ngomong apa?” tanya Guo Jing.
“Dia bilang kita akan segera berangkat setelah selesai makan,” jawab Huang Rong. “Aku suruh dia beli beberapa ekor ayam, beberapa kati daging, juga sayuran dan arak, da tidak perlu kuatir soal uang. Aku akan bayar kemudian.”
Guo Jing menghela nafas. “Kalau aku ketemu tukang perahu ini sendirian, pasti aku tidak tahu harus berbuat apa,” katanya. Karena semua pelayan di Pulau Bunga Persik bisu-tuli, maka Huang Rong sejak umur dua tahun sudah belajar bagaimana harus berkomunikasi dengan mereka.
Ikan asap tim madu buatan rumah makan itu sungguh lezat, Guo Jing makan beberapa ekor sambil teringat Hong Qigong. “Entah di mana Enshi12 sekarang, dan entah bagaimana cederanya,” katanya. “Kalau memikirkan dia aku jadi kuatir.” Ia berharap bisa membungkus sebagian ikan asap itu untuk Hong Qigong.
Huang Rong baru hendak menjawab ketika mendengar suara langkah kaki naik tangga. Seorang pendeta Tao perempuan muncul di situ. Ia mengenakan jubah pendeta abu-abu dengan sehelai kain menutupi mukanya untuk melindunginya dari debu. Cadar itu menutupi mulut dan hidungnya, jadi hanya matanya yang kelihatan. Si pendeta perempuan itu memilih meja di sudut ruangan dan duduk. Pelayan kedai arak itu segera menyapanya. Si pendeta bicara dengan suara rendah. Pelayan segera menjawab dan bergegas turun. Tak lama kemudian ia kembali membawa semangkuk mie untuk vegetarian. Huang Rong merasa sosok pendeta perempuan ini sangat akrab baginya, tapi ia tidak bisa mengingat di mana mereka pernah bertemu.
Guo Jing mengikuti arah pandangannya dan berpaling kepada si pendeta perempuan, yang buru-buru memalingkan mukanya ke arah lain. Kelihatannya si pendeta juga memandangnya. Huang Rong tersenyum dan berbisik, “Jing Gege, hati pendeta perempuan ini terusik oleh nafsu duniawi, dia pasti merasa kau sangat menarik.”
“Puih,” Guo Jing meludah. “Kau jangan ngomong sembarangan. Kenapa kau menghina Chu Jia Ren13?”
Huang Rong tertawa. “Kalau kau tidak percaya, tunggu saja.”
Mereka selesai makan dan berjalan ke arah tangga. Huang Rong masih ragu, ia melirik si pendeta perempuan yang pada saat itu sedang mengangkat cadarnya sedikit, memperlihatkan sebagian wajahnya. Huang Rong menarik nafas dan menjerit tertahan karena terkejut. Si pendeta menggerakkan tangannya, segera mengembalikan cadarnya dan menundukkan kepala untuk kembali makan mie. Guo Jing sudah berjalan turun dan tidak tahu apa yang terjadi.
Mereka turun tangga untuk membayar harga makanan. Si tukang perahu bisu sudah menunggu di luar kedai. Huang Rong memberi beberapa isyarat tangan, mengatakan bahwa mereka masih harus membeli beberapa bahan dan akan sedikit terlambat sampai ke perahu. Di tukang perahu mengangguk, menunjuk ke arah perahu dengan layar hitam di sungai. Huang Rong mengangguk, tetapi ia melihat tukang perahu itu tidak segera pergi, jadi ia mengajak Guo Jing ke arah timur jalan. Ketika mereka berjalan ke arah salah satu sudut, mereka mendadak berhenti dan bersembunyi di belakang tembok, dengan begitu mereka tidak terlihat dari kedai sementara mereka sendiri bisa dengan bebas melihat pintu masuk kedai itu.
Tak lama kemudian si pendeta perempuan keluar dari kedai, ia melihat ke arah kuda merah kecil dan sepasang elang yang ada di dekat situ. Setelah celingukan ke empat penjuru dan tidak menemukan ada orang lain, ia berbalik dan berjalan ke arah barat.
“Betul, seperti dugaanku,” kata Huang Rong dengan suara rendah. Ia menarik jubah Guo Jing dan bergegas ke arah timur. Guo Jing bingung, tapi ia tidak bertanya, ia hanya mengikuti dengan patuh.
Kota Taoyuan itu tidak besar, dalam waktu singkat mereka tiba di gerbang timur. Huang Rong berbelok ke arah selatan. Setelah melewati pintu gerbang selatan mereka berbelok lagi ke arah barat.
“Kita mengikuti pendeta perempuan itu?” tanya Guo Jing dengan suara rendah. “Jangan bercanda.”
Huang Rong tertawa. “Bercanda bagaimana?” katanya. “Pendeta itu sangat cantik, seperti bidadari, kalau tidak mengejarnya kau akan menyesal nanti.”
Guo Jing dengan gusar menghentikan langkahnya. “Rong’er, kalau kau terus-terusan ngomong seperti ini aku akan marah.”
“Aku tidak takut,” kata Huang Rong. “Aku justru ingin melihatmu marah.”
Guo Jing terdiam, ia tidak punya pilihan selain melanjutkan langkahnya. Kira-kira lima-enam li berikutnya mereka melihat di kejauhan si pendeta sedang duduk di bawah pohon Zao Jia14. Segera setelah ia melihat kedatangan Guo Jing dan Huang Rong, ia bangkit berdiri dan berjalan di sepanjang jalan setapak ke arah bukit. Huang Rong menarik tangan Guo Jing dan mereka berjalan ke arah itu.
“Rong’er,” kata Guo Jing. “Kalau kau sengaja ingin cari masalah, kurasa aku harus menahanmu dan menyeretmu kembali.”
“Aku sungguh lelah berjalan,” kata Huang Rong. “Sebaiknya kau membuntuti dia sendirian.”
Muka Guo Jing tampak cemas, ia berjongkok dan berkata, “Kalau kau lelah, biar kugendong di punggung.”
Huang Rong cekikikan dan berkata, “Aku mau menarik cadarnya, supaya kau bisa melihat wajahnya.” Ia mempercepat langkahnya mengikuti si pendeta perempuan itu. Pendeta itu berpaling, menunggu mereka. Huang Rong merenggut cadarnya untuk memperlihatkan wajahnya.
Guo Jing mengikuti di belakangnya, ia berseru, “Rong’er, jangan bikin masalah!” Tetapi ketika melihat wajah si pendeta perempuan itu ia tercengang, dan kehilangan kata-kata. Ia melihat lipatan yang dalam di antara kedua alis indah pendeta itu, matanya berlinang air mata, wajahnya tampak memelas, jelas sekali ia sangat berduka. Pendeta itu adalah Mu Nianci.
Huang Rong memeluk pinggangnya. “Mu Jiejie, ada apa? Apa bocah Yang Kang itu mempermainkanmu?” tanyanya. Mu Nianci menundukkan kepalanya tanpa mengatakan apa-apa.
Guo Jing mendekat dan menyapanya, “Mei Mei.” Mu Nianci hanya bergumam pelan, “Hm.”
Huang Rong menarik tangan Mu Nianci ke arah pohon Willow di tepi sungai, mereka duduk berdua di situ. “Jiejie, apa dia mengganggumu?” tanya Huang Rong. “Kami akan mencarinya untuk membuat perhitungan. Jing Gege dan aku juga menderita dan nyawa kami berdua hampir saja hilang di tangannya.” Mu Nianci menundukkan kepalanya, masih tidak mengatakan apa-apa. Bayangan mereka berdua tampak jelas di permukaan air sungai yang jernih. Kelopak-kelopak bunga berjatuhan di air dan pelan-pelan terapung lewat, menghapus pantulan bayangan itu.
Guo Jing duduk di sebuah batu beberapa kaki dari mereka berdua, pikirannya dipenuhi pertanyaan. “Kenapa Mu Mei Mei begitu sedih dan berdandan seperti pendeta Tao? Kenapa dia juga tidak menyapa waktu di kedai? Kemana perginya si Yang Kang?”
Melihat Mu Nianci tampakberduka, Huang Rong tidak bertanya lagi, ia segera menggenggam tangannya erat-erat.
Setelah beberapa saat Mu Nianci membuka mulutnya, “Meizi, Guo Dage, perahu yang kalian sewa itu milik Sekte Telapak Besi, mereka memasang perangkap untuk mencelakai kalian.”
Guo Jing dan Huang Rong terkejut. “Tukang perahu bisu itu?” tanya mereka serempak.
“Tepat sekali,” kata Mu Nianci. “Tapi dia tidak bisu. Dia anggota Telapak Besi, suaranya sangat nyaring sampai dia sendiri takut kalau buka suara maka kalian akan curiga, karena itu dia pura-pula bisu.”
Huang Rong diam-diam waspada. “Kalau kau tidak mengatakannya aku juga tidak menyadari hal ini,” katanya. “Tidak heran bahasa isyaratnya sangat bagus, pasti dia sering pura-pura bisu.”
Guo Jing melompat ke atau pohon Willow, ia menyapu pandangannya ke sekeliling, tetapi selain dua-tiga orang petani yang sedang bekerja di ladang ia tidak melihat ada orang lain. Ia berpikir, “Kalau bukan karena Rong’er dan Mu Mei Mei berputar-putar, rasanya sekarang ini orang-orang dari Telapak Besi sudah ada di sini.”
Mu NIanci menghela nafas panjang dan berkata perlahan, “Kalian sudah tahu urusanku dengan Yang Kang. Belakangan ini aku membawa jenazah ayah dan ibu angkatku ke selatan. Aku ketemu lagi dengan dia di sebuah tempat terpencil di Desa Niu, di Lin’an.”
Huang Rong membuka mulutnya, “Soal itu kami tahu, kami bahkan melihat sendiri ia membunuh Ouyang ke.” Mu Nianci terbelalak memandangnya, ucapan Huang Rong itu sulit dipercaya. Karena itu Huang Rong segera menceritakan secara singkat bagaimana Guo Jing dan dia bersembunyi di ruang rahasia untuk mengobati luka, juga bagaimana Yang Kang memakai idenitas palsu sebagai Ketua Kai Pang, bagaimana mereka berdua lolos dari bahaya, dan seterusnya. Itu cerita yang sangat panjang, beserta segala liku-likunya, tapi Huang Rong sangat ingin tahu bagaimana pengalaman Mu Nianci, jadi ia hanya menceritakan beberapa topik yang penting.
Sambil menggertakkan giginya Mu Nianci berkata, “Orang itu melakukan berbagai kejahatan, suatu hari nanti dia pasti akan mengalami nasib buruk. Aku sangat menyesal punya mata tapi gagal melihat, karena itu aku harus mengalami malapetaka ini karena ketemu dia.”
Huang Rong mengambil saputangan dari sakunya dan menghapus air mata di wajah Mu Nianci. Hati Mu Nianci sangat kacau, ia mengalami segala peristiwa buruk, sampai-sampai ia tidak tahu dari mana harus mulai bercerita. Ia berusaha mengumpulkan ingatannya dan pelan-pelan menenangkan diri, barulah pada saat itu ia bisa membuka mulut untuk bercerita.
Footnotes
-
Huang Shang (皇上) adalah panggilan dari semua orang kepada Sang Kaisar dalam sebuah pembicaraan. Ini semacam, istilah ‘Paduka’ atau ‘Baginda’ dalam bahasa Indonesia klasik. Adalah tabu menyebutkan nama seorang kaisar secara langsung dalam dialog. ↩
-
Du Dou (肚兜, 兜肚, atau 兜兜) adalah pakaian dalam Tiongkok kuno yang digunakan seperti rompi untuk menutup dada dan perut, melindungi bagian tersebut dari terpaan angin dingin. Pakaian ini selain dipakai umumnya oleh seorang wanita juga dipakai oleh bayi dan anak-anak. ↩
-
Shan Zai (善哉) adalah sebuah ungkapan dalam agama Buddha, yang berasal dari bahasa Sansekerta ‘Sadhu’, yang artinya kurang lebih seperti ‘Amin’ dalam agama Timur Tengah yang berdasarkan Abraham atau Nabi Ibrahim. Ini bisa saja kita terjemahkan menjadi ‘Ya!’ atau ‘Bagus!’, atau apapun yang melambangkan persetujuan atas satu tindakan atau kondisi dalam arti memuji dan menyetujuinya tanpa syarat. ↩
-
Qi Men (奇门) adalah bagian dari Lima Elemen, Wu Xing Qi Men (五行奇门), yang adalah salah satu dasar dari Taoisme. ↩
-
Jam ke-10 adalah sekitar 5 - 7 sore menurut perhitungan waktu yang kita kenal secara umum. ↩
-
Niang Niang (娘娘) adalah sapaan umum kepada seorang ratu atau selir Kaisar. Sapaan ini juga masih digunakan ketika menyapa seorang Ibu Suri, yaitu dengan menambahkan Taihou (太后) di depannya. Karakter Niang (娘) berdiri sendiri bisa bermakna ‘ibu’, atau bahkan lebih umum, yaitu ‘perempuan’. Sapaan ‘Niang’ dipakai secara luas oleh rakyat biasa dalam memanggil ibunya. Tetapi ‘Niang Niang’ hanya digunakan bagi keluarga Kaisar. ↩
-
Ni Qiu Gong adalah gerakan seperti catfish yang menggeliat di dalam lumpur. ↩
-
Pepatah ini masih harus dicari aslinya. ↩
-
Lao Nu (老女) adalah istilah yang dipakai seorang wanita dewasa untuk memanggil dirinya sendiri saat bicara dengan orang lain. Ini seperti juga Lao Fu untuk pria, atau Lao Na untuk biksu, dan sejumlah istilah sejenis. Secara literal ‘Lao’ memang bermakna ‘Tua’, karena itu Lau Nu secara literal bermakna ‘Perempuan Tua’. ↩
-
Jin Chan Tuo Qiao Zhi Ji, pepatah ini masih harus dicari bentuk aslinya. ↩
-
Perhatikan karakter Tao (桃) dari nama itu adalah sama dengan nama Tao Hua Dao, alias Pulau Bunga Persik. ↩
-
En Shi (恩师) juga berarti ‘Guru’, bedanya dengan Shifu adalah, Enshi secara literal berarti ‘Guru Yang Budiman’, atau ‘Yang Murah hati’, pendeknya seorang guru yang juga penyelamat. ↩
-
Chu Jia Ren (出家人), secara literal istilah ini berarti ‘Orang yang meninggalkan rumah’. Istilah ini secara umum dipahami sebagai sebutan untuk seorang biarawan atau biarawati. ↩
-
Zao Jia (皂荚), atau Gleditsia sinensis adalah nama sebuah pohon. Dalam bahasa Inggris dengan sederhana (dan literal) disebut sebagai ‘Locust Tree’, tetapi kalau kita terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia akan menjadi ‘Pohon Belalang’, yang tidak enak disebut maupun dibaca. Karena pohon ini tidak umum (atau bahkan tidak ada) di Indonesia, maka sebaiknya kita memakai nama sesuai konteks, yaitu dalam bahasa mandarin. ↩
All Posts
- Daftar Titik Akupuntur
- Matematika Tiongkok Kuno
- Insiden Di Tengah Badai Salju
- Bab 10
- Bab 11
- Bab 12
- Bab 13
- Bab 14
- Bab 15
- Bab 16
- Bab 17
- Bab 18
- Bab 19
- Tujuh Orang Aneh Dari Jiangnan
- Bab 20
- Bab 20
- Bab 22
- Bab 23
- Bab 24
- Bab 25
- Bab 26
- Bab 27
- Bab 28
- Bab 29
- Kehidupan Di Padang Rumput
- Bab 30
- Bab 32
- Bab 33
- Bab 34
- Bab 35
- Bab 36
- Bab 37
- Bab 38
- Bab 39
- Bab 4
- Bab 40
- Bab 5
- Bab 6
- Bab 7
- Bab 8
- Bab 9
- Daftar Istilah
- Dao De Jing
- Memanah Rajawali - Prolog
- Daftar Tokoh Memanah Rajawali
- Daftar Panggilan Bahasa Mandarin
- Referensi Karakter Bahasa Mandarin
- Referensi Unit
- Kutipan Kitab Perubahan