Bab 2

Pada saat Yan Lie berjalan keluar, ia berpapasan dengan seorang pelajar setengah baya yang sedang berjalan masuk, menyeret kakinya sambil terus menguap. Ia seperti sedang tersenyum tapi ternyata tidak dan terus menatapnya penuh rasa ingin tahu, kelihatannya selalu santai dan malas. Ia penuh debu dan berminyak, dan dandanannya sangat kacau. Jelas sekali sudah lama tidak mandi. Ia membawa sebuah kipas hitam yang terbuat dari kertas minyak, dan berkipas di sepanjang jalan.

Melihat seorang terpelajar yang halus tapi begitu kotor, Yan Lie cemberut dan menjauh karena takut kotor. Tiba-tiba pelajar itu tertawa kering, suaranya sangat kasar di telinga. Ketika berpapasan dengan Yan Lie, ia dengan santai mengulurkan kipasnya dan menepuk pundak Yan Lie. Meskipun Yan Lie punya ilmu bela diri, tapi ia tidak bisa menghindar secepat itu, hal ini membuatnya gusar dan ia berseru, “Hei, apa yang kau lakukan?”

Orang itu tertawa kering lagi, lalu berjalan masuk sambil menyeret kakinya di sepanjang jalan. Ia menghampiri pengelola penginapan dan berkata, “Hai, kawan, meskipun aku kelihatan kasar, aku punya banyak uang. Tapi berhati-hatilah dengan orang yang kelihatannya halus dan baik. Mereka menipu semua orang, makan gratis, merayu perempuan, menginap gratis juga, kau tahulah ini orang macam apa, jadi berhati-hatilah. Supaya aman, pastikan mereka membayar di depan sebelum menginap.” Ia tidak menunggu jawaban si pengelola penginapan, lalu berjalan keluar.

Yan Lie makin gusar, ia tahu omongan itu ditujukan kepada dirinya.

Setelah mendengar komentar si pelajar, pengelola penginapan itu memandang ke arah Yan Lie, ia mau tidak mau sedikit curiga. Ia berjalan ke arah Yan Lie sambil sedikit menguap, tersenyum, lalu berkata, ”Xiansheng, tolong jangan tersinggung, ini bukannya saya tidak sopan…” Yan Lie membungkuk dan menjawab, “Nah, terima saja uang ini!” Ia merogoh saku bajunya untuk mengeluarkan uang, dan terkejut. Ia setidaknya punya empat atau lima puluh tail perak di sakunya, tapi sekarang sama sekali tidak ada. Kemana perginya uang itu ia tidak tahu. Si pengelola penginapan melihat ekspresi mukanya dan mulai berpikir jangan-jangan omongan pelajar tadi benar. Dengan segera ekspresi mukanya berubah jadi tidak lagi sopan. Ia mendorong dada Yan Lie dan bertanya, “Apa? Tidak punya uang ya?”

“Tunggu sebentar.” jawab Yan Lie. “Aku ambil uang dulu.” Dia pikir uangnya ketinggalan karena buru-buru pergi. Tapi begitu sampai di kamar, dan membuka tasnya, ternyata beberapa tail emas miliknya juga hilang. Kemana perginya ia tidak tahu. Beberapa saat yang lalu ia dan Bao Xiruo sama-sama pergi ke toilet, tapi itu hanya makan waktu beberapa menit, masa ada orang masuk dan mengacak-acak kamar? Maling di Jiaxing ini kelihatannya semakin pintar saja.

Si pengelola penginapan menyelinap masuk ke kamar dan melihat ke sekeliling, begitu melihat Yan Lie tidak punya uang, ia mulai marah. “Perempuan ini istrimu apa bukan? Kalau mau melakukan sesuatu yang tidak pantas ya jangan ke sini, karena itu akan menyulitkan kami juga!”

Bao Xiruo merasa sangat malu dan mukanya merah padam. Yan Lie melangkah dengan cepat ke arah pintu dan mengayunkan tangannya, menampar muka si pengelola penginapan dengan sangat keras sampai berdarah dan beberapa giginya rontok.

Pengelola penginapan itu menutup muka dengan tangannya sambil berteriak, “Aku tahu! Mula-mula kau tidak bayar, sekarang kau mau berkelahi!”

Yan Lie menambahkan sebuah tendangan ke pantatnya, pemilik penginapan itu terjungkal keluar kamar.

Karena terkejut, Bao Xiruo mengusulkan, “Ayo pergi, kita tidak bisa tinggal di sini lagi.”

Yan Lie tersenyum. “Jangan kuatir. Kalau kita tidak punya uang, ya kita minta uang dari mereka.” Ia mengambil kursi dan duduk di dekat pintu. Tak lama kemudian si pemilik penginapan kembali bersama kira-kira dua belas orang, masing-masing membawa sekop atau tongkat, mereka menyerbu ke dalam kamar. Yan Lie tertawa keras-keras dan berkata, “Jadi kalian mau berkelahi ya?” Mendadak ia melompat ke depan dan merampas sebuah tongkat dari salah satu orang, pura-pura ke kiri dan menghantam kanan, dalam sekejap ia sudah menjatuhkan empat sampai lima orang. Bajingan seperti ini sudah biasa mengintimidasi dan mengganggu yang lemah. Begitu mereka berhadapan dengan lawan kuat, dengan segera mereka melempar senjata dan lari tunggang langgang. Yang masih tergeletak di lantai cepat-cepat merangkak dan berguling sebisanya keluar kamar, takut ketinggalan dan kena gebuk lagi.

Bao Xiruo sudah sejak tadi ketakutan, ia bicara dengan suara gemetar, “Keadaan mulai tidak terkendali, yang berwajib bisa jadi muncul sekarang.”

“Aku justru ingin supaya yang berwajib muncul.” jawab Yan Lie dengan santai, tersenyum.

Bao Xiruo tidak bisa memahami apa maksud di balik ucapannya, jadi dia diam saja dan menunggu apa yang terjadi selanjutnya.

Dalam tempo kurang dari satu jam kemudian, terdengar suara ribut-ribut ketika sepuluh orang atau lebih pria berseragam pegawai pemerintah muncul sambil membawa golok di tangan, gelang yang ada di gagang golok yang mereka bawa saling beradu menimbulkan suara dentingan menambah hiruk-pikuk suasana semakin ramai. Salah seorang dari mereka bicara dengan suara lantang mengalahkan keramaian yang sudah ada, “Bukan hanya menculik, malah menyerang juga, berani benar dia! Mana bajingan itu?” Yan Lie duduk tenang tidak bergerak di kursinya. Melihat pakaiannya yang mewah, dan sikapnya yang arogan penuh kebanggaan diri, para pegawai pemerintah itu tidak terlalu berani maju ke depan menghadapinya. Si pemimpin orang-orang itu bertanya dengan lantang, “Hei! Namamu siapa? Apa urusanmu di Jiaxing ini?”

Yan Lie balas berseru, “Cepat, cari Gai Yuncong!” nada perintah dalam suaranya begitu tegas, penuh otoritas.

Gao Yuncong adalah Gubernur Propinsi Jiaxing. Mendengar Yan Lie berani menyebutkan namanya begitu saja, para pegawai pemerintah itu terkejut dan marah. Si pemimpin berseru, “Kau gila ya? Berani benar kau menyebut nama Gubernur Gai seenaknya di depan umum!”

Yan Lie mengeluarkan sebuah amplop dari sakunya, lalu meletakkannya di atas meja. Ia memandang ke langit-langit kamar dan berkata, “Bawa ini ke Gai Yuncong, coba lihat dia mau datang apa tidak.”

Si Pemimpin mengambil amplop itu, lalu membaca tulisan yang tertera di atasnya, ia mmundur selangkah karena terkejut. Tidak pasti barang itu asli atau tidak, ia berbisik kepada temannya, “Jaga dia, jangan biarkan dia lari.” Ia segera meluncur pergi.

Bao Xiruo hanya duduk dengan gugup, tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Dalam waktu singkat muncul sepuluh atau lebih pegawai pemerintah lainnya, bersama mereka datang juga dua orang pegawai dengan seragam resmi dengan sikap hormat, berlutut di hadapan Yan Lie dan berkata, “Hambamu Yang Rendah Gubernur Gai Yuncong dan Hakim Distrik Jiang Wen dari Distrik Xiushui merasa terhormat boleh bertemu dengan Yang Mulia. Hambamu tidak tahu bahwa Yang Mulia akan berkunjung, ampuni kami karena tidak menyambut selayaknya.”

Yan Lie melambaikan tangannya dengan singkat, lalu agak mencondongkan tubuhnya ke depan sambil berkata, “Aku kehilangan sedikit uang di daerah ini, dan ingin minta bantuan dua hakim yang brilian seperti kalian untuk menyelidiki kasus ini.”

Gai Yuncong dengan segera mengangguk, “Ya, tentu saja.” Ia melambaikan tangannya kepada dua orang pengikutnya, yang dengan cepat bangkit mendekat sambil masing-masing membawa sebuah baki dengan kedua tangan mereka. Salah satu baki itu nampak berkilau kuning karena yuan bao emas di atasnya. Yang satunya, tak perlu disebutkan lagi, tentu saja yuan bao perak.

Gao Yuncong angkat bicara, “Karena ada maling-maling kurang ajar di wilayah saya, maka ini juga adalah kesalahan saya. Saya mohon Yang Mulia sudi menerima kompensasi kecil ini.”

Yan Lie tersenyum dan mengangguk. Gai Yuncong memegang amplop dengan hormat dan berkata lagi, “Hambamu baru saja membersihkan rumah yang sederhana, dan berharap Yang Mulia dan Nyonya sudi pindah ke situ.”

Yan Lie menjawab, “Tempat ini nyaman. Aku menikmati suasana damai dan tenang di sini.” Mukanya berubah gelap. “Jangan datang lagi mengganggu kami!”

Gai Yuncong buru-buru mengangguk, “Ya, ya, tentu. Seandainya Yang Mulia masih punya keperluan lain, kami mohon jangan ragu-ragu mengatakannya kepada hambamu.”

Yan Lie tidak menjawab, ia hanya menggelengkan kepala dan melambaikan tangan berkali-kali. Kedua orang itu segera memimpin yang lainnya pergi.

Si pengelola membisu ketakutan ketika pemilik penginapan itu menyeretnya memasuki kamar. Si pemilik berlutut dan kowtow (bersujud) meminta ampun bagi mereka berdua. Dia bilang bahwa seandainya mereka dibiarkan hidup, maka mereka akan menerima hukuman apapun yang akan diberikan kepada mereka. Yan Lie mengambil sebatang yuan bao perak dari bakinya, lalu melemparkannya ke lantai, tersenyum sambil berkata, “Ambillah, ini hadiah. Dan pergilah dari hadapanku.”

Si pengelola tidak percaya apa yang dilihatnya, tetapi si pemilik melihat di raut muka Yan Lie tidak ada maksud buruk, jadi ia lalu mengambil batangan perak itu, kowtow dua kali, dan buru-buru menyeret di pengelola pergi dari situ karena takut Yan Lie berubah pikiran.

Bao Xiruo nyaris tidak bisa mempercayai semua yang dilihatnya. “Keajaiban macam apa yang dimiliki oleh amplop itu? Kenapa para pegawai pemerintah sampai segitu takutnya sewaktu melihat isinya?”

Yan Lie tersenyum, “Sebetulnya aku tidak punya kekuatan apapun juga atas mereka, tapi para pegawai itu tidak berguna.” katanya. “Zhao Kuo hanya punya orang-orang semacam mereka untuk melayaninya. Kalau ia tidak kehilagan negara, maka tidak ada keadilan di dunia ini.”

Bao Xiruo bertanya, “Zhao Kuo? Siapa itu?”

Yan Lie menjawab dengan santai, “Kaisar Song yang sekarang, Ning Zong.”

Terkejut, Bao Xiruo segera menegurnya. “Hei, jangan keras-keras! Beraninya kau menyebutkan nama Yang Mulia Kaisar seenaknya begitu.”

Melihat bahwa Bao Xiruo begitu peduli akan keselamatannya, Yan Lie serasa melayang, ia berkata sambil tersenyum, “Tidak masalah aku menyebutnya keras-keras. Di daerah Utara ini, kita mau panggil dia apa selain Zhao Kuo?”

“Utara?”

Yan Lie baru mau menjelaskan, ketika tiba-tiba terdengar derap kaki kuda yang membawa sepuluh atau lebih penunggangnya mendekat ke arah mereka, dan berhenti di depan penginapan. Rona di wajah Bao Xiruo baru saja pulih, tapi ketika mendengar derap kaki kuda, ingatannya kembali ke tragedi di malam itu. Wajahnya kembali sepucat kertas. Yan Lie gusar, kelihatannya ia sangat tidak senang.

Lalu menyusul suara sepatu bot ketika beberapa prajurit berpakaian rapi berjalan masuk. Pada saat melihat Yan Lie, wajah mereka seketika berubah cerah, mereka saling bergantian berseru, “Yang Mulia!” Mereka semuanya berlutut memberi hormat.

Yan Lie tersenyum, “Jadi akhirnya kalian sampai di sini.”

Ketika mendengar mereka semua memanggil Yan Lie dengan sebutan ‘Yang Mulia’, Bao Xiruo terkejut dan merasa bingung. Waktu mereka semua bangkit berdiri, ia melihat mereka semuanya sangat kuat dan kekar.

Yan Lie melambaikan tangannya, “Tunggu di luar.”

Para prajurit itu menanggapi dengan hormat.

Yan Lie berpaling kepada Bao Xiruo, “Gimana menurutmu orang-orangku kalau dibandingkan dengan para prajurit Song itu?”

Bao Xiruo lebih terkejut lagi, “Mereka bukan prajurit Song?”

Yan Lie tersenyum, “Kupikir sekarang aku harus lebih jujur. Mereka semuanya prajurit elit Dinasti Jin.” Ia idak bisa menahan diri, dan tertawa penuh kebanggaan.

Bao Xiruo tiba-tiba sadar, “Kalau begitu… kau… kau adalah…”

Yan Lie tersenyum dan menjawab, “Sejujurnya, Fu Ren, margaku perlu ditambah satu huruf lagi, yaitu ‘Wan’ (完), dan namaku juga perlu ditambah satu huruf lagi, yaitu ‘Hong’ (洪). Wanyan Honglie, Pangeran ke 6 dari Kekaisaran Jin, bergelar Pangeran dari Zhao, di sini melayani Fu Ren.”

Sejak kecil Bao Xiruo sudah mendengar dari ayahnya mengenai cara-cara licik yang digunakan oleh bangsa Jin untuk merebut wilayah dari negeri Song mereka. Penghinaan yang disebabkan oleh penyanderaan kedua kaisar, kekejaman bangsa Jin dalam menyiksa dan memperlakukan rakyat di wilayah Utara. Itu sama saja setelah akhirnya ia menikahi Yang Tiexin, yang bahkan lebih membenci bangsa Jin. Ketika menyadari bahwa orang yang bersamanya beberapa hari belakangan ini ternyata adalah seorang pangeran dari Jin, ia tak bisa bicara lagi.

Melihat ekspresi di wajah Bao Xiruo, Wanyan Honglie tersenyum dan berkata, “Aku selalu mengagumi daerah Selatan. Tahun lalu aku minta ijin kepada ayahku untuk jalan-jalan ke Lin’an sebagai Duta dengan niat baik merayakan Tahun Baru. Lagipula, Kekaisaran Song masih berhutang beberapa ratus ribu tail perak sebagai upeti tahunan, jadi ayahku juga ingin menagih hutang tersebut dalam perjalanan.”

“Upeti tahunan?” sela Bao Xiruo.

“Ya.” jawab Wanyan Honglie. “Kaisar Song, dalam upaya untuk meyakinkan kami supaya jangan menyerang, membayar upeti setiap tahun dalam bentuk sutra dan perak. Tapi mereka selalu mengeluh bahwa tidak cukup pendapatan dari pajak, jadi mereka selalu terlambat membayar. Kali ini aku tidak memberi kesempatan kepada Han Tuozhou untuk mundur. Aku bilang kalau dia gagal membayar semuanya bulan ini, maka aku sendiri yang akan memimpin pasukan untuk menagih hutang tersebut, jadi dia tidak perlu repot mengurus masalah itu lagi.”

Bao Xiruo menyela lagi, “Terus apa kata Menteri Han?”

Wanyan Honglie menjawab dengan bangga, “Dia bisa bilang apa lagi? Begitu aku keluar dari wilayah Lin’an, semua sutra dan perak sudah ada di bagian Utara sungai1. Haha…!”

Melihat Bao Xiruo menundukkan kepalanya tanpa menanggapi, Wanyan Honglie melanjutkan, “sebetulnya semua urusan upeti ini tidak perlu aku, seorang utusan yang manapun pasti bisa melakukannya. Yang aku inginkan adalah mengunjungi daerah Selatan, mengalami sendiri semua keindahan dan bertemu sendiri dengan warganya. Siapa sangka ternyata aku ketemu Fu Ren, aku bahkan tidak berani membayangkan ketiban rejeki sebesar itu.”

Bao Xiruo tidak tahu bagaimana cara memperbaiki suasana, jadi ia masih belum juga bicara. Wanyan Honglie menawarkan, “Aku keluar sebentar beli baju untuk Fu Ren sekarang.”

Bao Xiruo menjawab dengan kepala tertunduk, “Tidak perlu.”

Wanyan Honglie tersenyum dan berkata, “Ongkos jalan yang diberikan Menteri Han di atas meja itu tidak bakalan habis kalaupun dipakai untuk membeli pakaian baru untuk Fu Ren setiap hari selama seribu tahun. Fu Ren, jangan kuatir, prajuritku selalu siaga di sekitar tempat ini, tidak bakal ada orang yang berani mengganggu Fu Ren.”

Setelah selesai bicara, ia berlalu meninggalkan ruangan. Bao Xiruo memikirkan segala hal yang terjadi sejak mereka bertemu. Seorang pangeran seperti dia memperlakukan dirinya sesopan itu, apa sebetulnya yang direncanakannya? Lalu pikirannya melayang kembali kepada cinta dan perhatian suaminya, tapi sekarang dia sudah tewas, meninggalkan dirinya seorang diri di dunia ini. Dalam keadaan putus asa, sedih, dan bingung, yang bisa dia lakukan hanya memeluk bantalnya dan menangis.

Wanyan Honglie, setelah menyelipkan emas dan perak di saku bajunya, keluar ke jalan raya. Melihat keramahan para penduduk kota, meskipun sebagian besar dari mereka hanya warga biasa, tetapi tak jarang juga yang terpelajar dan lebih halus, ia sangat terkesan. Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda datang mendekat ke arahnya. Jalanan itu tidak terlalu lebar, dan lagi saat itu ramai dipenuhi warga dan para pedagang, di kedua sisi jalan ada rak untuk memajang barang-barang dagangan, bagaimana mungkin kuda bisa lewat di situ? Wanyan Honglie segera minggir ke tepi jalan, dan dalam sekejap mata, seekor kuda kuning datang membelah kerumunan orang. Itu bukan biasa, tubuhnya tinggi dan sangat fit, dengan otot-otot menonjol di sekujur tubuhnya, jelas dari keturunan kuda langka.

Wanyan Honglie sedang mengagumi kuda itu, dan ketika ia melihat penunggangnya ternyata adalah seorang pria yang berpotongan payah, selain gemuk juga pendek, itu membuatnya heran. Mirip dengan onggokan daging di atas kuda itu. Tangan dan kaki orang itu luar biasa pendek, ia tidak punya leher, dan kepalanya ekstra besar, seolah-olah lehernya tersedot oleh pundaknya. Kelihatannya agak aneh, meskipun kuda itu berlari di antara kerumunan orang, tetapi ia sama sekali tidak menubruk atau menyenggol seseorang atau barang dagangan di sekitar situ. Kakinya mendarat di atas tanah dengan lembut dan ringan, melompati tembikar, melangkah di samping sayur-sayuran yang dipajang di situ, sepertinya ada semacam pemisah jalan di situ yang tidak kelihatan. Wanyan Honglie tidak bisa menahan pujiannya lagi, “Hebat sekali!”

Mendengar pujian itu, si gemuk pendek menoleh untuk memandangnya sekilas. Wanyan Honglie melihat wajahnya dipenuhi bintik-bintik merah karena terlalu banyak minum arak, hidungnya yang besar dan juga semerah arak merah kelihatannya seperti tomat yang ditempelkan ke mukanya. Ia berkata pada diri sendiri, “Kuda sebagus itu, aku harus punya, berapapun juga harganya.” Tepat di saat itu ada dua orang anak kecil sedang bermain-main dan mereka lari tepat di depan kuda itu, entah dari mana arah datangnya. Kuda itu terkejut karena tidak ada ruang lagi untuk menghindar, kaki kiri depannya sudah hampir menginjak salah seorang dari anak itu, si gendut mendadak menarik tali kekangnya ke atas, lalu ia sendiri melompat dari pelana, setelah bebannya lebih ringan, sekarang lompatan kuda itu jadi lebih jauh dan tinggi, melampaui kepala anak kecil itu. Lalu dengan ringan si gendut mendarat lagi di atas pelana.

Wanyan Honglie terkesima, meskipun ada begitu banyak penunggang kuda yang hebat di antara bangsa Jin, tapi tak satupun dari mereka bisa mengalahkan kehebatan orang ini. Kalau orang ini bisa melatih ke kavalerinya, pastilah kavalerinya jadi yang paling hebat dari semua yang ada di istana, ini jauh lebih penting dibandingkan seekor kuda itu sendiri.

Melihat betapa mengagumkan keahlian si pendek itu, ia langsung merasa betapa tololnya pemerintah Song mengabaikan orang berbakat seperti ini. Ia langsung memutuskan seketika itu juga untuk mengajak si pendek itu ikut ke Yanjing bersamanya. Ia langsung mengejarnya, karena takut kecepatan kuda itu akan membuatnya menghilang. Ia baru bermaksud berseru untuk memanggil orang itu, ketika dilihatnya kuda itu berhenti di sudut jalan. Hal ini juga di luar dugaannya, mengingat kecepatan kuda itu, seharusnya mereka melambat secara bertahap, baru kemudian berhenti, tetapi yang dilihatnya adalah kuda itu mampu berhenti mendadak. Ia belum pernah melihat hal semacam ini, bahkan seorang ahli silat tangguh sekalipun harus secara bertahap memperlambat larinya kalau sedang berlari secepat itu. Si gemuk pendek itu melompat turun dari kudanya, lalu memasuki bangunan.

Wanyan Honglie menghampiri bangunan itu. Di dalamnya ada sebuah papan nama dari kayu, yang bertuliskan ‘Diturunkan Dari Venus’, ini sebuah rumah makan. Ia memandang ke atas, dan melihat di situ ada sebuah papan nama yang digantungkan dari atas atap dengan tulisan berbunyi ‘Paviliun Dewa Mabuk’, kaligrafinya sangat elegan. Di sebelahnya terdapat tulisan lain dengan huruf lebih kecil ‘Oleh residen Dongpo’. Ternyata tulisan itu adalah karya Su Dongpo, salah seorang cendekiawan terbesar Dinasti Song. Melihat kemegahan rumah makan ini, Wanyan Honglie berpikir, “Karena ia masuk ke sini, sekalian saja aku undang dia untuk makan-makan. Dengan begitu akan mempermudah urusan selanjutnya.”

Tiba-tiba si gendut itu turun dari lantai atas sambil membawa sebuah kendi arak yang besar di tangannya. Wanyan Honglie buru-buru menyingkir untuk memberinya jalan.

Setelah sampai di lantai dasar, sekarang erlihat jelas betapa tidak proporsionalnya ukuran tubuhnya. Tingginya kurang dari 150 cm, tetapi lebarnya bahkan mendekati 150 cm. Kuda itu sangat tinggi karena kakinya yang panjang, sedangkan si gendut itu bahkan jauh lebih pendek dari pelana kuda. Ia meletakkan kendi arak itu di depan kudanya, lalu menepuk-nepuk pinggiran atas kendi itu beberapa kali. Lalu dengan santai ia mengambil bagian atas kendi itu, menyulapnya menjadi sebuah cawan arak raksasa. Kuda itu kemudian berdiri di atas kedua kaki belakangnya sambil meringkik panjang, sebelum turun lagi dan minum arak dari dalam cawan raksasa itu. Dari aromanya yang manis, Wanyan Honglie bisa menebak bahwa arak itu adalah Nu’Er Hong2, dari wilayah Shaoxing. Dari aromanya, arak itu jelas sudah disimpan lebih dari 10 tahun.

Si gendut pendek itu kemudian kembali ke restoran dalan melemparkan sebuah lantakan perak raksasa ke meja pemilik restoran. “Siapkan tiga meja dengan makanan terbaik. Yang dua boleh pakai daging dan arak. Yang satunya jangan.”

Si pemilik restoran tersenyum dan berkata, “Dengan segera, Han Xiansheng. Kami baru menerima empat ekor ikan Sao Lu dari Sungai Song. Itu sangat enak kalau disajikan dengan arak. Silakan ambil kembali uangnya, Han Xiansheng. Belakangan saja.”

Si gendut pendek menggerakkan bola matanya dan berseru, “Ada apa? Makan minum gratis? Kau pikir aku bangkrut, lalu mengemis ke orang lain ya?”

Masih dengan senyum di wajahnya, si pemilik restoran tidak mau berdebat lagi, ia lalu berbalik dan berseru kepada anak buahnya, “Hooiii… cepat siapkan makanan terbaik untuk Han Xiansheng.” Koki dan pelayan di sekitarnya menjawab serempak, lalu mulai mengerjakan tugas masing-masing.

Wanyan Honglie beranggapan begini, “Meskipun pakaiannya sangat sederhana, tapi caranya menghamburkan uang seperti orang kaya. Kalau dilihat dari cara semua orang memperlakukan dia, kelihatannya seperti seorang yang cukup berpengaruh di Jiaxing. Sepertinya agak sulit untuk mengajaknya pergi ke Utara untuk melatih pasukan berkuda. Kita lihat dulu siapa saja orang yang diundangnya sebelum melangkah lebih lanjut.” Jadi ia masuk ke restoran, memilih meja di dekat jendela, memesan beberapa makanan kecil berikut sebotol arak.

Pavilun Dewa Mabuk terletak di dekat Danau Selatan. Permukaan air danau diliputi oleh kabut tipis, dan beberapa perahu kecil meluncur pelan di sekitar danau. Daun-daun kastanye air hijau menutupi setengah dari areal danau itu. Melihat pemandangan seperti itu ia merasa sangat santai dan tenang. Jiaxing adalah kota terkenal di jaman kuno negara bagian Yue, Buah plum yang tumbuh di sini sangat manis dan enak, seperti arak terbaik. Di tengah era Musim Semi dan Musim Gugur, tempat ini bernama Zuili. Di sinilah tempatnya saat itu Raja Yue, Guo Jian mengalahkan Raja Wu, He Lu. Tempat ini adalah titik di mana para wisatawan dan pedagang dari kedua negara bertemu.

Danau Selatan juga terkenal karena soal lain, yaitu Kastanye Air Hijau yang tumbuh di sini. Buahnya bukan hanya manis dan lembut, juga terasa krispi dan menyegarkan, layak disebut terbaik di dunia. Sebagai akibatnya kastanye banyak dikembangkan di danau ini. Sekarang ini sedang di tengah musim semi, danaunya bersih, dan daunnya sangat hijau, keindahannya sangat menakjubkan.

Wanyan Honglie sedang menikmati pemandangan ini ketika matanya melihat sebuah perahu seolah melayang memasuki pemandangan tersebut. Perahu itu teramat sangat sempit, dan sisi lengkungnya ektra tinggi. Di sepanjang kedua sisinya terdapat dua baris burung air. Mula-mula ia tidak terlalu memperhatikan, tetapi ternyata dalam sekejap perahu itu berhasil melampaui perahu lain yang jauh di depannya. Kecepatan perahu itu sangat mencengangkan. Setelah perahu itu mendekat, Wanyan Honglie bisa melihat bahwa seseorang duduk di tengah perahu itu, dan ada orang lain duduk di sebelah belakang dengan memakai topi dari jerami, ia sedang mengendalikan perahu, yang agak mengejutkan adalah orang ini ternyata seorang wanita muda. Ia hanya mengibaskan dayung yang terendam di air, dan perahu itu meluncur deras seperti anak panah. Satu kibasan itu setidaknya punya kekuatan yang mampu menggerakkan sebuah benda seberat lebih dari 50 kg. Sudah cukup aneh kalau seorang gadis bisa punya tenaga sebesar itu, tapi bagaimana ia bisa menerapkannya melalui sebuah dayung yang terbuat dari kayu? Hanya beberapa kali mendayung, perahu itu sudah sampai di dekat paviliun. Sinar matahari menerpa dayung itu, yang ternyata terbuat dari tembaga. Gadis itu menambatkan perahunya ke sebuah tambatan yang terbuat dari kayu di dekat paviliun, lalu melompat turun dari perahu dengan ringan.

Pria yang duduk di tengah perahu itu meletakkan sebuah tongkat yang di kedua ujungnya dipenuhi kayu bakar ke atas bahunya, lalu turun mengikuti gadis itu. Mereka berdua memasuki paviliun. Ketika melihat si gendut, gadis itu menyapa dengan gembira, ”San Ge!” Ia lalu duduk di sebelahnya.

Si gendut balas menyapa kedua orang itu, ”Si Di, Qi Mei, kalian datang kepagian.”

Ketika Wanyan Honglie berusaha mengukur kedua orang yang baru datang itu, ia menebak bahwa si gadis itu kira-kira berusia tujuh atau delapan belas tahun, tubuhnya langsing, matanya besar, dengan bulu mata lentik dan panjang, kulitnya seputih salju. Jelas sekali ia penduduk lokal dari sebelah Selatan Sungai Yangtze3. Ia memegang dayung tembaga itu di tangan kiri, dan melepas topinya dengan tangan kanan, memamerkan kepalanya yang berambut hitam, lembut berkilau. Wanyan Honglie berpikir, “Meskipun gadis ini tidak secantik Bao Fu Ren4, tapi dia tetaplah sangat menarik.”

Pria yang membawa kayu bakar itu kira-kira berusia 30 tahun, berpakaian hijau dengan sabuk dari anyaman jerami melingkar di pinggangnya. Ia juga memakai sandal dari jerami. Tangan dan kakinya sangat besar, dan mukanya terlihat tanpa emosi. Ia meletakkan kayu bakarnya di lantai, dan menyandarkan pikulannya ke atas meja. Tiba-tiba meja itu turun beberapa sentimeter setelah pikulan itu ada di atasnya. Wanyan Honglie terkejut, rasanya tidak ada yang aneh dengan pikulan itu. Warnanya hitam mulus, sedikit melengkung di bagian tengahnya, dan tutup di kedua ujungnya. Kalau harus seberat itu, maka pikulan itu seharusnya terbuat dari besi atau logam berat lainnya. Sebuah kapak kayu tergantung di pinggangnya, mata kapak itu bergerigi.

Keduanya baru saja duduk, ketika terdengar suara langkah kaki dari anak tangga, dan dua orang lain muncul di situ. ”Wu Ge, Liu Ge! Kalian barengan ya?” gadis itu menyambut keduanya dengan meriah. Orang pertama yang baru datang itu tinggi besar, setidaknya 130 atau 140 kg. Ia memakai celemek di pinggangnya. Tubuhnya secara alamiah berminyak, dan bagian atas bajunya terbuka, memamerkan dadanya yang berbulu lebat, lengan bajunya juga digulung, memamerkan tangannya yang berbulu lebat dan panjang-panjang, dan sebuah pisau kurang lebih sepanjang 30 cm tergantung di pinggangnya. Dari penampilannya, sepertinya ia seorang tukang jagal. Orang yang di belakangnya bertubuh ekstra pendek, dengan sebuah topi kecil di kepalanya, dan ia membawa sebuah keranjang bambu yang juga kecil. Ia terlihat seperti pedagang asongan di jalan. Wanyan Honglie tak habis pikir, “Ketiga orang itu sudah jelas bisa kungfu, masa mereka menganggap penduduk biasa begitu sebagai saudara?”

Tiba-tiba terdengar suara dentingan yang teratur dari luar, seperti suara logam yang beradu dengan batu. Suara dentingan itu pelan-pelan mendekati naik melalui tangga, diikuti oleh munculnya seorang buta yang berpakaian compang-camping. Kelihatannya berusia 40 tahunan, bibirnya tipis, tulang pipinya menonjol. Mukanya kelabu, seperti penuh kebencian dan kemarahan. Kelima orang yang duduk di seputar meja itu berdiri dan menyapa, ”Da Ge!”

Gadis itu mengetuk bagian atas sebuah kursi, ”Da Ge, silakan duduk di sini.”

Orang buta itu menjawab, “Baiklah. Er Di sudah datang?”

Orang yang mirip tukang jagal itu menjawab, ”Er Ge sudah sampai di Jiaxing. Dia pasti sebentar lagi datang.”

Gadis itu tertawa, “Barusan diomongin!5” Terdengar suara langkah kaki diseret dari tangga.

Sama sekali di luar dugaan Wanyan Honglie, ia melongo dan tak tahu bagaimana seharusnya berpikir. Yang muncul dari tangga adalah si sastrawan lusuh yang ditemuinya di penginapan sebelum ini. Sebuah dugaan melintas dibenaknya, “Jangan-jangan dia yang mengambil semua uangku…” Bertepatan dengan naiknya emosi, ia melihat orang itu tersenyum ke arahnya dan menjulurkan lidah untuk melucu, setelah itu barulah ia menyapa teman-temannya yang lain. Kelihatannya ia urutan kedua dari mereka semua. Wanyan Honglie berspekulasi, “Kelihatannya mereka semua ahli kungfu, kalau saja aku bisa merekrut mereka, ini akan jadi sebuah dukungan yang luar biasa besar bagi segala upaya kita. Soal uang yang dicuri itu, sebetulnya bukan masalah besar, bisa saja aku memaafkannya. Sebaiknya kita lihat dulu, ada apa di balik acara ini.”

Si Sastrawan yang kelihatan miskin dan bertele-tele itu menenggak secawan arak, lalu melanjutkan, sambil masih menggeleng-gelengkan kepalanya, “Orang kaya hina… sudahlah… Yu Huang Da Di akan murka!” Sambil mengutip kalimat itu ia mengeluarkan beberapa tail emas dan perak dari sakunya, dan meletakkannya di atas meja. Semuanya terdiri dari delapan tail perak dan dua tail emas.

Dari bentuk dan warna uang itu Wanyan Honglie tahu bahwa semua itu miliknya, tetapi ia tidak marah. Sebaliknya, ini bahkan membangkitkan rasa ingin tahunya, “Menyelinap ke kamarku, lalu mencuri uang tidak sulit. Tapi hanya dengan menepuk bahu ia berhasil mencuri semua uang yang ada di saku baju, itu keahlian yang luar biasa jarang ada di dunia ini.”

Kalau dilihat dari pembicaraan dan gerak-gerik ketujuh orang yang sudah hadir itu, bisa disimpulkan bahwa mereka mengundang satu atau dua kelompok tamu yang akan duduk di seputar dua meja lainnya, yang saat itu masih kosong. Karena para tamu itu masih belum datang, maka mereka bertujuh hanya minum arak sekedarnya sambil mengobrol, dan belum ada makanan yang disajikan juga.

Namun demikian, di atas kedua meja yang lain itu, masing-masing hanya ada sepasang sumpit, artinya adalah hanya akan ada dua orang tamu. Wanyan Honglie berpikir, “Tujuh Orang Nyentik ini sedang menunggu tamu, entah tamu nyentrik macam apa lagi yang akan muncul.”

Setelah menunggu kira-kira selama waktu yang diperlukan untuk satu periuk air mendidih, terdengar suara dari bawah tangga, ”Amitoufu.”

“Biksu Jiaomu6 sudah datang.” kata Si Buta.

Kalimat yang sama diulangi, bersamaan dengan munculnya seorang biksu tua yang penampilannya memang mirip dengan Jiaomu. Biksu itu berusia sekitar 40 tahun, mengenakan jubah warna kuning, tangannya memegang sepotong kayu yang di salah satu ujungnya sudah terbakar menjadi arang berwarna hitam. Tidak jelas apa gunanya benda itu.

Setelah ketujuh orang itu dan si biksu saling menyapa seperti adat kebiasaan saat itu, Si Sastrawan kemudian mempersilakan biksu itu duduk di salah satu meja yang masih kosong, dan mereka semua duduk di tempat masing-masing. Biksu itu bangkit sedikit dari kursinya untuk memberi hormat sambil berkata, “Ketika orang ini mendatangi pintu gerbang kami, aku tahu bahwa aku sama sekali bukan tandingannya. Karena sekarang Tujuh Pendekar Dari Selatan sudi membantu, aku sangat berterima kasih.”

Si Buta menjawab, “Biksu Jiaomu, kau tidak perlu terlalu sopan. Kami tujuh bersaudara seringkali juga mengandalkan keramahtamahan kalian. Sekarang Biksu Jiaomu punya masalah, masa kami diam saja? Lagipula, orang itu datang, dan sepenuhnya hanya mengandalkan kungfunya, tanpa alasan bikin masalah untuk biksu. Ini sudah jelas dia sama sekali tidak memandang muka kami di daerah ini. Kalaupun biksu tidak meminta, kami juga pasti akan…”

Ia belum menyelesaikan kalimatnya, ketika anak tangga yang menuju ke ruangan itu bergetar seolah-olah mau roboh. Rasanya seperti seekor binatang besar, seperti gajah, atau setidaknya kerbau raksasa, sedang menaiki tangga. Pemilik restoran dan para pelayan semuanya menjerit di bawah.

“Hei, goblok! Barang itu tidak bisa dibawa naik!” “Tangganya mau ambruk!” “Cepat, cepat, suruh dia turun!”

Tapi suara kayu bengkok itu terdengar makin keras, lalu “Kreekkk!” satu anak tangga patah, diikuti oleh suara dua anak tangga berikutnya patah.

Untuk beberapa saat Wanyan Honglie tidak yakin akan apa yang dilihatnya, seorang pendeta Tao sedang menaiki tangga sambil membawa sebuah tong besar yang terbuat dari tembaga. Setelah melihat sekali lagi, ia merasa ketakutan, pendeta itu adalah Chang Chunji7, Qiu Chuji.

Misi Wanyan Honglie sebagai utusan ke Negeri Song adalah memaksa para pejabat Song, sehingga pada saat mereka menyerang negeri itu, mereka punya orang dalam yang bisa diandalkan untuk membantu mereka meraih kemenangan.

Utusan dari Song, Wang Daojian, yang menemaninya pergi dari Yanjing, sangat korup dan serakah. Ia secara diam-diam sudah membangun aliansi dengan Dinasti Jin. Waktu mereka tiba di Lin’an, dialah orang bekerja keras untuk Wanyan Honglie. Tapi di luar dugaan, ia kemudian tewas di tangan pendeta Tao ini. Bahkan kepala, jantung, dan hatinya hilang. Terkejut dan takut bahwa rencananya sudah terbongkar, Wanyan Honglie kemudian memimpin para pengawalnya, atas petunjuk para pengawal terbaik di Lin’an, melacak keberadaan si pembunuh. Ketika mengejar sampai ke Desa Niu, mereka bertemu dengan Qiu Chuji. Di luar dugaan ternyata pendeta Tao ini adalah seorang ahli kungfu. Wanyan Honglie belum bergerak sama sekali ketika bahunya tertembus anak panah yang dilontarkan oleh Qiu Chuji. Kalau dia tidak mengambil kesempatan di tengah kekacauan saat itu untuk merangkak ke semak-semak yang cukup jauh, dan kemudian diselamatkan oleh Bao Xiruo, maka si pangeran dari Dinasti Jin itu pasti akan menemui ajalnya tanpa tahu dengan jelas bagaimana caranya ia mati.

Wanyan Honglie memaksa diri untuk tenang, dan melihat bahwa Qiu Chuji sempat meliriknya sekilas sebelum mengalihkan perhatiannya kepada Biksu Jiaomu dan ketujuh orang itu. Jelas sekali, Qiu Chuji tidak mengenalinya. Ia menduga bahwa karena ia sendiri langsung terluka segera setelah ia muncul, makanya Qiu Chuji tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Hal ini membuat Wanyan Honglie merasa agak lega. Tapi pada saat ia menengok ke dalam tong tembaga yang dibawa Qiu Chuji itu, ia terkejut lagi, saking terkejutnya sampai ia nyaris melompat dari kursinya.

Tong semacam itu biasa dipakai di sebuah kuil atau tempat pertapaan untuk membakar dupa, kertas, atau uang-uangan untuk orang yang meninggal. Lebarnya lebih dari 1 meter, dan beratnya kurang lebih 200 kg. Dari dalam tong itu tercium aroma arak yang manis, sudah jelas tong itu diisi penuh dengan arak yang mahal, yang tak perlu diragukan lagi menambah beratnya berlipat kali ganda. Tapi Qiu Chuji seolah-olah tidak memakai tenaga sama sekali. Setiap kali ia melangkah, anak tangga kayu itu pasti berbunyi keras dan bengkok karena beratnya. Kepanikan menyelimuti lantai dasar restoran itu, karena pemilik restoran, para pelayan, koki, dan semua orang lain takut kalau-kalau seluruh ruangan atas akan ambruk dan menimpa mereka.

Dengan nada dingin, Biksu Jiaomu bicara, “Aku merasa terhormat bahwa saudaraku penganut ajaran Tao akan muncul sendiri di sini. Tapi apa maksudnya membawa tong dari kuil kami itu kesini? Biar aku kenalkan dulu dengan teman-teman dari Tujuh Pendekar dari Selatan.”

Qiu Chuji memberi hormat dengan tangan kirinya dan berkata, “Penganut Tao yang hina ini tadi mengunjungi kuilmu, dan mendengar dari para biksu lainnya bahwa biksu mengundangku untuk minum-minum di Paviliun Dewa Mabuk ini. Aku tahu pasti biksu juga mengundang beberapa teman lainnya, dan ternyata memang benar. Aku sudah lama mengagumi Tujuh Pendekar dari Selatan. Aku beruntung hari ini bisa berkenalan.”

Biksu Jiaomu berpaling kepada Tujuh Pendekar Selatan8, “Ini pendeta Chang Chunji, Qiu Chuji, dari aliran Quanzhen. Aku yakin kalian semua sudah dengar sendiri tadi.” Ia lalu menunjuk kepada Si Buta. “Ini ketua dari Tujuh Pendekar, Ke Daxia — Ke Zhen’E.” Ia lalu melanjutkan dengan keenam orang lainnya.

Wanyan Honglie berusaha mengingat semua nama yang disebutkan dengan sebaik-baiknya. Nomor dua adalah orang yang mencuri uangnya, ‘Sastrawan Tangan Ajaib’, Zhu Cong. Berikutnya adalah si gendut yang datang paling awal, ‘Dewa Kuda’, Han Baoju. Orang yang membawa kayu bakar itu nomor empat, namanya adalah ‘Penebang Kayu dari Pegunungan Selatan’, Nan Xiren. Yang kelima adalah orang yang mirip tukang jagal, Budha Tersenyum, Zhang Ahsheng9. Pria kecil yang mirip pedagang itu bernama Qian Jinfa, julukannya kira-kira berarti ‘Pendekar Siluman dari Kota Ramai’. Dan gadis itu adalah ‘Pendekar Pedang Nona Yue’, Han Xiaoying. Kelihatannya urutan mereka adalah berdasarkan usia.

Selama biksu Jiaomu memperkenalkan mereka semua, Qiu Chuji memberi hormat dengan cara membungkuk sedikit, tetapi tangannya yang memegang tong tidak pernah diturunkan, dan ia sama sekali tidak terlihat lelah. Beberapa orang yang nekat dari lantai bawah melihat bahwa ternyata tidak ada bahaya yang cukup serius, dan mereka terus menengok ke atas untuk melihat apa yang terjadi.

Ke Zhen’E bicara, “Orang menjuluki kami ‘Tujuh Orang Aneh’ karena kebiasaan dan juga sifat kami masing-masing, dan kami tidak berani menerima julukan ‘Tujuh Pendekar’ yang disebutkan oleh Biksu Jiaomu tadi. Kami semua sudah lama mengagumi Tujuh Pendekar dari Quanzhen, terutama sekali Changchun Zi, yang sifat ksatrianya sudah sering kami dengar. Biksu Jiaomu orang yang sangat hangat dan bersahabat, kami heran bagaimana dia sampai bisa menyinggung Pendekar Qiu? Kalau Dao Zhang pikir kami bertujuh cukup layak, mohon sudi memberi kesempatan supaya kami bisa menengahi. Lagipula, meskipun ajaran Tao dan Buddha berlainan, tapi kalian tetaplah seorang biksu dan pendeta, dan juga tetap bagian dari Jiang Hu (Dunia Persilatan). Jadi marilah kita saling memaafkan dan melupakan kesalahan, supaya kita bisa sama-sama duduk di sini untuk makan dan minum bersama.”

Qiu Chuji menjawab, “Sebelumnya aku belum pernah bertemu dengan Biksu Jiaomu, dan juga tidak pernah ada dendam maupun hutang budi, selama dia mau menyerahkan dua orang, maka secara pribadi aku akan segera pergi ke Biara Fahua untuk minta maaf.”

Ke Zhen’E bertanya, “Dua orang yang mana?”

Qiu Chuji menjawab, “Aku punya dua teman baik, yang dibunuh oleh seorang pejabat korup yang bekerja untuk bangsa Jin. Kedua janda mereka sama sekali sendirian di dunia ini. Ke Daxia, menurutmu aku harus terlibat atau tidak dalam masalah ini?”

Ketika Wanyan Honglie mendengar ini, tiba-tiba cawan di tangannya bergetar, dan isinya tumpah membasahi meja. Ke Zhen’E menjawab, “Bukan masalah kalau mereka ini adalah janda dari teman baik seorang biksu. Meskipun belum pernah kenal sebelumnya, kalau hal semacam ini sampai terjadi, kami juga pasti akan ikut campur, dan berusaha melakukan hal yang terbaik yang bisa kami lakukan untuk menolong mereka. Ini sesuatu yang sudah seharusnya dilakukan tanpa keraguan.”

Qiu Chuji menjawab dengan lantang, “Itu benar! Aku hanya ingin Biksu Jiaomu menyerahkan kedua janda itu kepadaku. Ia seorang biksu, masa bisa ada dua orang wanita di biaranya, dan masih tidak mau menyerahkan mereka? Tujuh Pendekar ini adalah orang yang masuk akal dan benar, tolong lakukan yang benar juga!”

Setelah ia selesai bicara, bukan hanya ketujuh orang itu dan Biksu Jiangmu yang terheran-heran, bahkan Wanyan Honglie juga. “Apa mungkin dia bukan bicara tentang Bao Fu Ren dan Guo Fu Ren?”

Muka Biksu Jiaomu awalnya kuning gelap, sekarang berubah menjadi lebih gelap. Ia tidak bisa menjawab sampai agak lama, dan hanya bisa tergagap-gagap, “Kau ini… ngawur… ngawur…”

Qiu Chuji gusar, “Kau ini kan juga orang Jiang Hu, masa kau bisa melakukan hal yang memalukan semacam ini!” Ia mendorong dengan tangan kanannya, dan tong seberat ratusan kilogram berikut arak di dalamnya meluncur deras ke arah Biksu Jiangmu. Si biksu segera melompat ke samping.

Orang-orang yang berkumpul di ujung atas tangga terdiam ketakutan, dan mereka saling dorong dan berebut menuruni tangga dengan panik.

Si ‘Budha Tersenyum’ Zhang Ahsheng merasa bahwa meskipun tong itu berat, tapi ia yakin akan bisa menanganinya. Ia lalu bangkit, mengerahkan tenaga dalam ke tangan kanannya, menunggu sampai tong itu tiba di dekatnya, lalu ia menangkapnya. Otot-otot punggung dan bahunya menonjol ketika ia berhasil mengendalikan tong itu sendirian. Ketika ia mengangkat tong itu ke atas kepalanya, kaki kirinya menembus lantai papan, sehingga orang-orang di lantai bawah menjerit ketakutan. Zhang Ahsheng lalu maju dua langkah ke depan, menekuk lengannya sedikit, lalu melemparkan kembali tong itu arah Qiu Chuji.

Qiu Chuji menangkap tong itu dengan tangan kanannya dan tertawa, “Tujuh Orang Aneh dari Selatan ternyata sesuai dengan namanya.” Ia lalu berpaling kepada Biksu Jiaomu, mukanya berubah gelap. “Apa yang terjadi dengan kedua janda itu? Buat apa kau paksa kedua janda itu tinggal di dalam biaramu? Kalau kau berani menyentuh sehelai rambutpun dari mereka, akan kutumbuk tulang-tulangmu sampai jadi debu, dan kubakar biaramu juga!”

Zhu Cong mengibaskan kipasnya dan berkata sambil menggelengkan kepalanya, “Biksu Jiaomu orang yang mulia dan terhormat, mana mungkin dia melakukan hal yang memalukan seperti itu? Pendeta Qiu pasti mendengar hal ini dari orang yang licik dan tak tahu malu. Gosip seperti ini tidak bisa dipercaya.”

Qiu Chuji masih gusar, “Aku melihatnya sendiri, masa bisa salah!”

Tujuh Orang Aneh sangat terkejut mendengar hal ini. Biksu Jiaomu akhirnya bicara juga, “Kalau kau datang ke sini untuk cari nama, di sini, di sebelah Selatan Sungai Yangtze ini, tidak jadi soal. Tapi kau tidak perlu menyeret namaku, kau… kau… perhi ke Jiaxing dan tanya sana-sini, coba lihat bagaimana orang lain bilang kenapa aku bisa melakukan hal semacam itu.”

Qiu Chuji terkekeh, “Baiklah, kau punya penolong, dan mau main keroyok. Aku sudah terlibat masalah ini, dan kau tidak bisa lari sekarang. Kau menggunakan tempat yang seharusnya suci untuk menyembunyikan perempuan, itu sudah cukup buruk. Tapi suami dari wanita-wanita ini adalah keturunan patriot, dan mereka dibunuh!”

Ke Zhen’E angkat bicara, “Pendeta Qiu menuduh Biksu Jiaomu menyembunyikan wanita, dan Biksu Jiaomu menyangkalnya. Kenapa kita tidak memeriksa kuil itu bersama-sama, dan membuktikan siapa yang salah dan siapa yang benar?” Keenam saudaranya dengan segera setuju.

Qiu Chuji terkekeh, “Menggeledah kuil? Sudah kulakukan, tapi kedua wanita itu masuk ke kuil dan rupanya menghilang. Satu-satunya kemungkinan adalah dia menyembunyikan mereka. Aku akan melupakan hal ini kalau biksu ini menyerahkan mereka.”

Zhu Cong berkata, “Bagaimana kalau ternyata kedua wanita itu bukan wanita?”

“Apa?” Qiu Chuji heran.

Zhu Cong menjawab dengan wajah kaku, “Mereka ternyata bidadari. Dan entah bisa menghilang, atau bisa bersatu dengan tanah.” Keenam saudaranya tertawa.

Qiu Chuji geram, “Kalian meledek! Baiklah, rupanya kalian semua berpihak kepada biksu ini ya?”

Ke Zhen’E berkata dengan serius, “Meskipun ilmu silat kami bisa jadi bahan tertawaan bagi para pendekar Quanzhen, tapi kami masih punya sedikit nama di sebelah Selatan Yangtze ini. Coba tanya-tanya di sekitar sini, orang akan bilang, ‘Tujuh Orang Aneh Dari Selatan? Mungkin mereka gila, tapi mereka bukan pengecut.’ Kami tidak berani menggangu orang lain, tapi kami juga tidak mau diganggu orang lain juga.”

Qiu Chuji menjawab, “Aku sudah banyak mendengar tentang nama baik Tujuh Pendekar dari Selatan. Urusan ini tidak ada kaitannya dengan kalian, jadi tolong, jangan ikut campur urusan yang berbelit-belit ini. Biarkan aku dan Biksu Jiaomu yang menyelesaikannya sendiri. Biksu, tolong ikut aku.” Ia meraih pergelangan tangan Biksu Jiaomu. Tapi Biksu Jiaomu menyembunyikan pergelangan tangannya dan menghindari gerakan ini.

Melihat bahwa mereka berdua mulai berkelahi, Si ‘Dewa Kuda’ Han Baoju berseru, “Pendeta Qiu, kenapa kau jadi tidak masuk akal begini?”

Qiu Chuji melangkah mundur dan bertanya, “Apa maksudmu?”

Han Baoju berkata, “Kami percaya Biksu Jiaomu. Kalau dia bilang tidak ada perempuan, artinya ya memang tidak ada perempuan. Orang Jiang Hu mana ada yang berbohong?”

Qiu Chuji menjawab, “Kalau dia tidak berbohong, berarti aku menyulitkan dia tanpa alasan sama sekali? Aku melihat dengan mataku sendiri! Kalau aku keliru, akan kucungkil kedua mataku ini dan kuberikan kepadamu. Aku pasti akan melihat akhir dari semua ini. Kelihatannya kalian bertujuh pasti akan ikut campur, betulkah?”

Ketujuh Orang Aneh menjawab serempak, “Betul!”

Qiu Chuji menjawab, “Baiklah, aku akan minum arak untuk kalian bertujuh. Biarlah pertarungan dimulai setelah kita semua minum.” Ia memiringkan tangan kananya dan menurunkan tong arak ke mulutnya. Lalu ia minum seteguk, lalu ia berseru, “Silakan!” Dengan sekali sentak tong itu meluncur kembali kepada Zhang Ahsheng.

Zhang Ahsheng berpikir, “Kalau aku mengangkat tong itu ke atas kepala, maka aku tidak akan bisa minum dari tong itu, kan?” Jadi ia mundur dua langkah, tangannya di depan dada, dan ia menunggu sampai tong itu mendekat. Lalu ia menggerakkan tangannya ke samping, dan membiarkan tong itu membentur dadanya. Ia dilahirkan gemuk, jadi dadanya ditutupi banyak lapisan otot dan lemak, yang berfungsi seperti bantal ketika dibentur oleh tong arak itu. Ia segera menarik nafas dalam-dalam, lalu menangkap tong itu di bagian sisinya. Lalu ia merendahkan kepalanya dan minum arak itu seteguk besar. “Arak istimewa!” Lalu ia memindahkan kedua tangannya kembali ke depan dada, dan sebelum tong arak itu sempat jatuh, ia mendorong tong itu kembali ke arah Qiu Chuji. Rangkaian gerakan ini sangat cepat dan bertenaga. Wanyan Honglie diam-diam terkejut melihat demonstrasi ini.

Qiu Chuji minum seteguk lagi sebelum berseru, “Bersulang untuk Ke Da Ge!” Dan tong itu melayang ke arah Ke Zhen’E.

“Orang ini buta, ” pikir Wanyan Honglie. “Mana mungkin ia menangkap tong itu?”

Tapi di luar dugaannya, meskipun Ke Zhen’E buta, tapi sebagai saudara tertua, kungfunya juga yang terbaik. Ia buta, tapi ia bisa tahu di mana letak senjata terkecil sekalipun dari bunyinya, apalagi tong sebesar itu. Ia duduk diam seolah-olah tidak tahu kalau tong itu sedang meluncur ke arahnya sampai tong itu hamppir membentur kepalanya. Saat itu barulah ia mengangkat tangan kanannya dan memukul bagian bawah tong itu dengan tongkatnya. Tong itu berputar-putar tanpa henti di atas tongkat. Tiba-tiba tongkatnya bergerak sedikit keluar dari pusat lingkaran tong, dan tong itu jadi agak miring seolah-olah mau jatuh menimpa kepalanya. Entah bagaimana, tong itu ternyata tidak jatuh, tapi tetap diam, miring. Ketika arak mengucur keluar dengan aliran pelan, Ke Zhen’E membuka mulutnya, arak masuk ke situ dengan rapi. Setelah minum tiga atau empat teguk, tongkatnya bergerak lagi dan kembali ke bagian tengah, pusat lingkaran dari bagian bawah tong itu. Ia lalu mendorong tongkatnya ke atas, dan tong itu melompat lurus ke atas. Ia mengayunkan tongkatnya sekali untuk memukul tong itu dan mengirimnya kembali kepada Qiu Chuji.

Qiu Chuji mengomentari demonstrasi itu, “Ke Daxia pasti suka bermain dengan piring putar kalau lagi nganggur ya?”

Ke Zhen’E menjawab dengan nada dingin, “Waktu aku masih kecil, aku dapat uang untuk makan dari trik kecil ini.”

Qiu Chuji mengamati sekelilingnya. “Tidak melupakan asal-usulnya adalah tanda dari seorang pria sejati.” katanya. “Nan Daxia, Gan Bei (干杯, toast)!” Ia meneguk arak dari dalam tong, lalu melemparkannya kepada Nan Xiren.

Nan Xiren tidak menjawab, ia hanya menunggu sampai tong itu tiba di hadapannya, kemudian mengangkat pikulan kayunya untuk menangkis derasnya laju tong itu. Tong itu berhenti di tengah udara, lalu jatuh lurus tanpa menumpahkan isinya. Nan Xiren merangkapkan kedua tangannya untuk meraup arak dari dalamnya, dan langsung meminumnya.

Ia lalu berlutut dengan kaki kanan di belakang untuk menahan beban tubuhnya, sementara kaki kiri di depan memangku pikulannya tepat di tengah. Dengan tangan kanannya ia lalu mendorong salah satu ujung pikulan tersebut untuk mencungkil bagian bawah tong dengan ujung lainnya. Tong itu pun melompat lurus ke udara.

Ketika ia sedang bersiap untuk memukul tong itu kembali kepada Qiu Chuji, mendadak Quan Jinfa tertawa dan berkata, “Aku hidup dari jualan, jadi aku suka cari untung. Sekarang aku ingin ikut juga minum arak gratis.” Ia berlari ke sisi Nan Xiren, dan ketika tong itu terjatuh, ia meraup sedikit arak dari dalamnya, lalu meminumnya.

Tiba-tiba ia melompat tinggi, lalu menekuk kedua kakinya, sehingga kedua telapak kakinya hinggap di atas tong arak itu. Pada saat ia kemudian mendorong dengan kedua kakinya, tubuhnya meluncur ke belakang seperti anak panah, dan tong itu melaju ke arah Qiu Chuji. Tubuhnya mendarat di dinding, lalu ia dengan ringan merayap turun. Kipas Zhu Chong bergerak terus tanpa henti, dan ia sendiri tidak dapat menahan pujiannya melihat demonstrasi itu, “Indah, indah sekali!”

Qiu Chuji minum sekali lagi sebelum berkata, “Hebat! Hebat! Sekarang giliran Zhu Xiong!”

Zhu Cong berseru dengan nada putus asa, “Aiyo! Jangan, jangan! Aku bahkan tidak mampu mengalahkan ayam, dan aku juga tidak tahan alkohol! Kalau minum aku bisa mati, itupun kalau bukan mati kejepit duluan…” Sebelum ia selesai bicara, tong itu sudah melaju deras ke arahnya. “Tolong, tolong…! Ada orang bakal kejepit…!” Ia meraup sedikit arak dengan kipasnya, lalu minum. Kemudian ia memutar kipasnya untuk memukul bagian bawah tong dan mengirimnya pulang. “Krekkk!” lantai kayu yang diinjaknya patah, meninggalkan lubang yang cukup besar, ia terjatuh ke situ sambil berteriak, “Tolong, tolong…!” Semua orang tahu bahwa ia hanya bercanda untuk mengurangi ketegangan, supaya tidak ada orang yang terkejut atau takut.

Wanyan Honglie bisa melihat betapa ia mampu mendorong dan menangkis laju tong itu hanya dengan mengandalkan sebuah kipas kecil, dibandingkan dengan berat dan besarnya pikulan kayu Nan Xiren yang terbuat dari logam. Sekali lagi ia terkesima.

Han Xiaoying berseru, “Sekarang giliran aku minum!” Ia melompat dengan kaki kanannya, dan terbang seperti burung ke arah tong itu, lalu menundukkan kepalanya untuk minum dari tong itu, lalu dengan gesit dan ringan mendarat di ambang jendela di seberang ruangan. Ia seorang ahli Qing Gong (ilmu meringankan tubuh) dan pedang, tapi tenaganya kalah jauh jika dibandingkan dengan yang lain. Kalau ia harus menerima kiriman tong dari Qiu Chuji rasanya ia tidak akan mampu, karena itu ia mencuri kesempatan dengan Qing Gong miliknya sebelum tong itu sempat dikirimkan.

Sementara itu tong tersebut masih melayang keluar lewat jendela. Jalanan di luar sangat ramai seperti biasa, kalau tong itu sampai mendarat di jalanan pasti akan menimbulkan malapetaka. Qiu Chuji agak kuatir dan baru saja bermaksud melompat ke arah jendela, ketika ia mendengar suara siulan tajam, diikuti oleh bayangan berbaju kuning lewat di depannya. Satu siulan lagi terdengar, dan seekor kuda kuning meluncur ke jalan.

Yang dilihat kerumunan orang di jalan adalah sebutir bakso raksasa menabrak tong tersebut, lalu jatuh bersama-sama, dan mendarat di punggung kuda. Kuda kuning itu lari ke depan beberapa zhang (1 zhang kira-kita 3,3 m), sebelum berbalik dan lari kembali ke paviliun, lalu menaiki tangga.

Tubuh Han Baoju sebetulnya berada di perut kuda, dengan kaki kirinya di pedal, dan kaki kanan bersama dengan kedua tangannya memegang tong, menjaga keseimbangannya di atas pelana. Kuda itu sangat cepat dan stabil, seolah-olah tangga itu hanya sebidang tanah datar. Han Baoju melompat kembali ke atas pelana dan memasukkan kepalanya ke dalam tong, ia minum seteguk arak. Lalu menendang tong itu turun dengan kaki kirinya.

Ia tertawa keras-keras, lalu melecut cambuknya, dan kuda itu melompat melewati jendela dan, seperti Pegasus, mendarat dengan ringan di tengah jalan. Han Baoju melompat turun dari kudanya, lalu kembali ke lantai atas bersama Zhu Cong.

Qiu Chuji memuji, “Ternyata ‘Tujuh Pendekar dari Selatan’ benar-benar seperti isunya. Aku cuma bisa melongo melihat pameran kungfu barusan. Dengan memandang kalian, aku tidak akan menyulitkan biksu ini, begitu dia menyerahkan kedua wanita itum aku akan langsung pergi.”

Ke Zhen’E berkata, “Pendeta Qiu, kau keliru dalam hal ini. Biksu Jiaomu sudah bermeditasi selama bertahun-tahun, dan membersihkan diri dari keinginan duniawi selama puluhan tahun sebelumnya, dia benar-benar seorang biksu yang sudah dicerahkan. Dia orang yang sangat kami kagumi. Biara Fahua juga adalah salah satu bangunan suci terkenal agama Buddha di kota Jiaxing. Mana mungkin ada perempuan, apalagi janda, yang disembunyikan di dalamnya?”

Qiu Chuji menjawab, “Di dunia ini tetaplah ada orang-orang munafik, yang tidak sesuai dengan reputasinya.”

Berusaha menahan emosinya, Han Baoju balas berseru, “Jadi Pendeta Qiu tidak percaya kepada kami?”

Qiu Chuji menjawab dengan lantang juga, “Aku lebih percaya mataku sendiri.”

Han Baoju menjawab, “Jadi sekarang Pendeta Qiu mau apa?” Meskipun dia pendek, tapi ia tetap cukup menakutkan dan heroik karena suaranya lantang dan jernih.

Qiu Chuji menjawab, “Urusan ini sebetulnya tidak ada kaitannya dengan kalian bertujuh, tapi karena kalian memaksa untuk terus ikut campur, jelas kalian yakin akan kemampuan kalian. Maafkan aku kalau menantang ‘Tujuh Pendekar’. Kalau aku kalah, baiklah aku menuruti apa yang kalian mau.”

Ke Zhen’E menjawab, “Karena Pendeta memaksa untuk meneruskan cara ini, baiklah Pendeta yang memilih cara menyelesaikannya.”

Qiu Chuji berpikir sebentar, lalu menjawab, “Kita tidak pernah punya dendam, dan juga tidak pernah ada perselisihan sebelumnya. Aku sudah lama mendengar dan menghormati reputasi ‘Tujuh Pendekar dari Selatan’. Kukira kita tidak perlu bertarung menggunakan pedang maupun tinju. Begini saja.” Ia berteriak, “Pelayan! Ambilkan empat belas cawan besar!”

Para pelayan sudah dari tadi bersembunyi di lantai dasar, tapi ketika mereka mendengar bahwa lantai atas agak tenang, lalu mendengan permintaan tersebut, mereka segera menyediakan apa yang dipesan.

Qiu Chuji memerintahkan untuk menyusun cawan-cawan tersebut dalam dua baris, lalu mengisi semuanya dengan arak sampai meluap. Lalu ia menoleh kepada Tujuh Orang Aneh dan berkata, “Aku menantang kalian untuk lomba minum. Setiap cawan yang kalian minum, aku juga minum cawan, sampai ada pemenangnya, bagaimana?”

Han Baoju dan Zhang Ahsheng sama-sama peminum kelas berat, tanpa ragu-ragu mereka berdua langsung menyetujui. Tapi Ke Zhen’E mengerutkan alisnya dan berkata, “Ini satu lawan tujuh, kalauppun kami menang, artinya kami menang dengan tidak adil. Bisakah Pendeta memilih pertandingan lain?”

Qiu Chuji tersinggung, “Kalian tahu dari mana bakalan menang?”

Han Xiaoying seorang perempuan, tapi ia masih cukup macho, ia segera menjawab, “Baiklah! Ini pertama kalinya aku ketemu orang yang begitu berani meremehkan kami semua.” Ia mengambil secawan arak, lalu menghabiskannya tanpa menarik nafas. Rupanya ia minum terlalu cepat, mukanya dengan segera memerah.

Qiu Chuji memuji, “Nona Han betul-betul seorang pria di antara para wanita! Ayo semuanya, silakan…!” Keenam Orang Aneh lainnya masing-masing mengambil cawan dan meminum isinya. Qiu Chuji menanggapi dengan meminum tujuh cawan arak secara berturut-turut, masing-masing dihabiskannya tanpa berhenti untuk menarik nafas.

Pelayan memuji mereka semua dengan meriah, lalu dengan segera mengisi lagi keempat belas cawan itu dengan arak sampai meluap, yang dengan cepat dihabiskan oleh kedelapan orang itu.

Pada ronde ketiga, Han Xiaoying hanya bisa menghabiskan setengah cawan sebelum berhenti karena tangannya gemetar. Zhang Ahsheng mengambil alih cawan itu dari tangannya, “Qi Mei, biar aku habiskan!”

Han Xiaoying bertanya kepada Qiu Chuji, “Pendeta Qiu, bolehkah?”

“Tentu,” kata Qiu Chuji. “Tidak masalah siapa yang minum, asalkan tetap tujuh.” Ronde berikutnya, Quan Jinfa juga harus mundur.

Melihat bahwa setelah dua puluh delapan ronde, ternyata Qiu Chuji masih tetap normal dan tidak mabuk, Tujuh Orang Aneh sangat terkejut. Wanyan Honglie berpikir, “Semoga pendeta itu mabuk dan Tujuh Orang Aneh itu menghabisinya sebelum is mampu melawan.”

Menurut perhitungan Quan Jifa, pihak mereka masih punya lima orang lagi, dan mereka semuanya peminum berak, yang pasti masih mampu minum tiga sampai empat cawan lagi. Itu artinya Qiu Chuji harus minum sekitar lima belas sampai dua puluh cawan berikutnya, apa mungkin perutnya sanggup menampung minuman begitu banyaknya? Meskipun ia tidak mabuk, tapi perutnya masa bisa menampung begitu banyak cairan? Merasa kemenangan sudah di tangan, ia merasa sangat girang, lalu tanpa sengaja ia melirik ke lantai kayu di bawah kaki Qiu Chuji, yang ternyata jelas tergenang. Terkejut, ia lalu berbisik ke telinga Zhu Cong, “Er Ge, coba lihat kakinya.”

Zhu Cong hanya perlu melihat sekilas, lalu bergumam, “Wah, tidak beres. Dia memakai tenaga dalam untuk memaksa arak keluar lewat kakinya.” Quan Jifa menjawab pelan, “Betul, tak kusangka tenaga dalamnya begitu hebat. Sekarang kita harus bagaimana?”

Zhu Cong berpikir, “Dengan tipuan kecil macam ini, dia bisa saja minum seratus cawan lagi tanpa masalah. Aku harus cari akal lain.” Ia lalu mundur selangkkah ke belakang, lalu tiba-tiba ia jatuh ke dalam lubang yang dibuatnya sendiri sebelumnya, dan berteriak-teriak pura-pura mabuk.

Ronde berikutnya lantai kayu di bawah kaki Qiu Chuji semakin penuh arak, dan sebagian kecil terpancar ke lantai dasar melalui sela-sela lantai kayu. Pada saat itulah Nan Xiren, Han Baoju, dan lainnya mulai memperhatikan. Mereka diam-diam merasa kagum melihat pameran tenaga dalam yang dipraktekkan Qiu Chuji.

Han Baoju meletakkan cawannya di atas meja, dan sudah hampir mengaku kalah ketika melihat Zhu Cong menatapnya sekilas, lalu berpaling kepada Qiu Chuji sambil berkata, “Tenaga dalam Pendeta Qiu nyaris mendekati Para Dewa, kami betul-betul sangat kagum. Tapi ini lima lawan satu, tetaplah tidak adil.”

Qiu Chuji kelihatannya agak terkejut, “Lalu menurut Er Ge kita harus bagaimana?”

Zhu Cong menjawab, “Kupikir sebaiknya kita berdua bertanding, kita lihat siapa yang terbaik.”

Semua penonton merasa sangat heran mendengar hal ini. Zhu Cong jelaslah salah satu dari lima orang, yang sedang melawan satu orang, yang jelas sedang di bawah angin, mengapa sekarang dia justru mengurangi jumlah pendukungnya sendiri? Tapi keenam orang lainnya tahu jelas bahwa saudara mereka yang satu ini, meskipun kelihatannya tidak pernah serius, tapi punya banyak akal bulus, dan seringkali sangat jenius. Karena merasa dia pasti punya rencana tertentu, mereka tidak ada yang keberatan.

Qiu Chuji tertawa ringan, katanya, “‘Tujuh Pendekar dari Selatan’ kelihatannya punya gengsi sangat tinggi. Bagaimana kalau begini, kalau Zhu Er Xiong dan aku bisa menghabiskan sisa arak, kalau tidak ada yang kalah, anggap saja aku kalah, bagaimana?”

Saat itu sisa arak di dalam tong kurang dari setengah, dan masih ada beberapa cawan yang tersisa di atas meja. Itu artinya hanya kedua ‘Buddha’ pemabuk yang punya perut besar itulah yang akan sanggup menghabiskannya. Tapi Zhu Cong kelihatannya sama sekali tidak keberatan. “Biarpun aku sebenarnya bukan jagoan minum, tapi aku juga pernah mengalahkan beberapa pemabuk dalam petualanganku. Gan Bei!” Ia bicara sambil melambaikan kipas di tangan kanan, dan lengan baju kirinya. Ia menghabiskan secawan.

Mereka berdua minum cawan demi cawan bersama. Di sela-sela minum, Qiu Chuji bertanya, “Waktu aku ke India, seorang raja membawa seekor kerbau untuk menantangku minum. Tapi akhirnya tidak ada yang kalah.”

Karena tahu bahwa Zhu Cong sedang meledek, Qiu Chuji hanya mendengus, lalu menghabiskan cawannya. Ia melihat bahwa meskipun Zhu Cong terus melambai-lambaikan tangannya sambil mengoceh tak keruan, tapi ternyata ia masih terus bisa mengimbanginya cawan demi cawan. Tidak ada yang tummpah, dan juga tidak terlihat ada tetesan air yang keluar dari tangannya, jadi ia juga tidak memakai tenaga dalam untuk memaksa arak itu keluar dari tubuhnya. Tapi perutnya menggelembung, jadi ia merasa Zhu Cong mampu mengembang-kempiskan perut seenaknya. Ia agak bingung waktu Zhu Cong berkata, “Dua tahun lalu aku pergi ke Siam, haahh, itu lebih lucu lagi. Raja Siam membawa seekor gajah untuk melawan aku. Binatang besar itu menghabiskan tujuh tong. Menurutmu aku habis berapa?”

Meskipun Qiu Chuji tahu ia sebenarnya ngawur, tapi ia tetap bertanya, “Berapa?”

Muka Zhu Cong mendadak serius, ia menurunkan volume suaranya dan berkata, “Sembilan!” Ia lalu menaikkan volume suaranya lagi dan berseru, “Ayo terus minum! Minum!”

Selanjutnya ia terus seperti itu, seperti mabuk tapi tidak juga, seperti gila tapi tidak juga. Akhirnya mereka berdua menghabiskan semua isi tong itu. Saudara-saudaranya yang lain tidak mengerti bagaimana ia sanggup minum sebanyak itu, dan mereka sangat senang.

Qiu Chuji mengacungkan jempolnya, “Zhu Xiong betul-betul hebat!”

Sambil tersenyum, Zhu Cong menjawab, “Pendeta Qiu memakai tenaga dalam untuk memaksa arak keluar, tapi aku pakai cara lain. Coba lihat.” Ia tertawa terbahak-bahak, lalu melakukan sekali salto ke belakang. Ketika mendarat, tangannya memegang sebuah ember kayu. Dengan lambaian tangannya ia menyebarkan aroma arak yang mengisi setengah ember itu keluar.

Semua orang yang hadir di situ adalah ahli kungfu, dan, kecuali Ke Zhen’E, punya mata yang sangat tajam untuk melihat seandainya ada tipuan tertentu, tapi tidak ada yang melihat dari mana ember itu muncul. Setelah diperhatikan, ternyata sekarang perut Zhu Cong sudah kempes seperti normal. Jelaslah ember itu disembunyikan di dalam jubahnya. Tawa ketujuh Orang Aneh dari Selatan itu langsung meledak. Qiu Chuji terkejut.

Ternyata, bakat utama Zhu Cong adalah membuat tipuan dan ilusi, itu sebabnya ia dijuluki ‘Sastrawan Tangan Ajaib’. Tipuan kecil yang baru saja dilakukannya itu diturunkan oleh para pesulap dari generasi ke generasi sampai saat ini. Pada saat Zhu Cong pura-pura jatuh si tengah perlombaan minum tadi, ia menyembunyikan sebuah ember besar di dalam jubahnya. Segala macam ocehan yang kedengarannya ngawur itu sebetulnya hanya untuk mengalihkan perhatian Qiu Chuji. Pada saat seorang pesulap sedang beraksi, bahkan ratusan pasang mata tidak bisa melihat bagaimana sebetulnya ia melakukannya. Qiu huji bahkan sama sekali tidak curiga kalau ia sedang melakukan tipuan semacam ini, jadi ia juga tidak memperhatikan bagaimana cara Zhu Cong menuangkan semua arak itu ke dalam embernya. “Hmm! Kau anggap ini minum?”

Zhu Cong tertawa, “Lalu kau sendiri gimana? Arak yang kuminum masuk ke ember, sedangkan arak yang kau minum dibuang ke lantai, apa bedanya?”

Ia terus mondar-mandir sambil bicara, lalu tiba-tiba ia terpeleset dalam genangan arak di kaki Qiu Chuji. Qiu Chuji menangkapnya supaya ia bisa menjaga keseimbangan tubuhnya. Setelah mondar-mandir sekali lagi, ia berkata dengan lantang, “Sajak yang bagus! Syair yang indah! Pertengahan musim gugur selalu… Bulan terang… angin menuntun jalan… untuk kesejukan malam…” Suaranya tiba-tiba terseret-seret sementara ia melantunkan kutipan itu.

Terkejut, Qiu Chuji berpikir, “Itu puisi yang kutulis musim gugur tahun lalu. Masih kusimpan buat jaga-jaga seandainya aku mendadak punya ide bagaimana menulis empat baris berikutnya. Tidak ada orang yang pernah membacanya, bagaimana dia bisa tahu?” Ia segera merogoh saku bajunya, dan menyadari bahwa gulungan kertas berisi puisi itu telah hilang.

Zhu Cong membuka sebuah gulungan kertas dan meletakkannya di atas meja sambil berkata, “Bukan hanya kungfu Pendeta Qiu yang hebat, puisi dan gaya tulisannya juga sangat indah. Luar biasa… betul-betul luar biasa!” Ia memang sengaja pura-pura terpeleset dan jatuh untuk mencuri gulungan kertas itu dari saku Qiu Chuji.

Qiu Chuji berpikir, “Aku bahkan sama sekali tidak merasa waktu dia mencurinya dari dalam saku bajuku. Kalau dia bukan mau mencuri, tapi menikamku, lalu apakah sekarang aku masih bisa hidup? Jelas sekali dia sengaja membiarkan aku hidup.” Setelah berpikir begitu, amarahnya mereda, lalu ia berkata, “Karena Zhu Daxia sudah menghabiskan sisa arak ini, maka sekarang aku harus menepati janji, aku mengaku kalah. Dalam pertandingan kecil di Paviliun Dewa Mabuk ini, Qiu Chuji dikalahkan Tujuh Pendekar dari Selatan.”

Sambil tersenyum ketujuh Orang Aneh berkata, “Tidak, tidak! Mainan seperti ini tidak boleh dianggap serius.” Zhu Cong berkata, “Lagipula, tenaga dalam Pendeta Qiu jauh sekali di atas kami.”

Qiu Chuji berkata, “Meskipun aku mengaku kalah, tapi kedua janda itu tetaplah harus ditolong.” Ia memberi hormat dengan kedua tangannya lalu mengangkat tong.

Ke Zhen’E marah, ia berkata, “Kau mengaku kalah, kenapa masih juga mengganggu Biksu Jiaomu?”

Qiu Chuji berkata, “Nyawa orang terancam. Ke Daxia Yang Terhormat, kalau temanmu kurang beruntung dan tewas, dan jandanya menderita di tangan orang lain, apa kau mau menyelamatkan mereka sebisamu?” Tiba-tiba nukanya berubah, dan berkata lagi, “Oh, aku mengerti sekarang. Kau punya pundukung lain lagi. Kalaupun semua prajurit Jin muncul, aku akan tetap mau melihat akhir dari semua ini, meskipun aku harus menyerahkan nyawaku”

Zhang Ahsheng berkata, “Hanya ada kami bertujuh, tidak perlu orang lain!”

Tapi Ke Zhen’E mendengar suara beberapa puluh orang sedang mendekati tempat itu, bersamaan dengan bunyi dentingan senjata mereka, jadi ia segera berdiri dan memberi komando, “Semuanya mundur!” Zhang Ahsheng dan lainnya menyimpan semua senjata mereka, karena mereka juga sudah mendengar suara tersebut saat itu. Berikutnya beberapa puluh orang berlari menaiki tangga.

Orang-orang ini adalah prajurit Jin. Qiu Chuji menghormati Tujuh Orang Aneh dari Selatan, dan ia percaya bahwa mereka dibohongi oleh Biksu Jiaomu. Ia memilih kata-katanya dengan hati-hati supaya tidak terlalu menyinggung perasaan ketujuh orang itu. Tapi ketika ia melihat munculnya puluhan orang prajurit Jin, kemarahannya meledak. “Biksu Jiaomu, Tujuh Orang Aneh, beraninya kalian bersekongkol dengan tentara Jin. Apa kalian masih berani mengaku sebagai orang benar di Jiang Hu?”

Han Baoju berteriak, “Memangnya siapa yang minta bantuan tentara Jin?”

Para prajurit itu sebenarnya adalah pengawal pribadi Wanyan Honglie, mereka mulai gelisah setelah Wanyan Honglie menghilang lama. Setelah mendengar kabar ada keributan di Paviliun Dewa Mabuk, mereka buru-buru kesitu.

Qiu Chuji mendengus, “Hm! Baiklah! Aku tidak bisa tinggal di sini lebih lama lagi. Urusan di antara kita ini belum berakhir!” Ia mengangkat tongnya, lalu berjalan ke tangga.

Ke Zhen’E bangkit berdiri, “Pendeta Qiu, kelihatannya ada salah paham di sini!”

Sambil tetap berjalan, Qiu Chuji menjawab, “Salah paham? Kalian nustinta orang-orang benar, kenapa harus minta bantuan prajurit Jin untuk bertarung?”

Ke Zhen’E menjawab, “Tapi kami sama sekali tidak minta bantuan.”

Qiu Chuji menegus, “Aku bisa melihat apa yang terjadi di hadapanku. Aku tidak buta!”

Yang paling dibenci Ke Zhen’E adalah kenyataan bahwa dirinya buta, dan ia sama sekali tidak suka kalau ada yang mengingatkan dia akan hal itu. Ia membanting tongkatnya ke lantai. “Lalu kenapa kalau aku buta!”

Qiu Chuji tidak menjawab, ia mengangkat tangan kirinya dan menghantam dahi seorang prajurit Jin dengan telapak tangannya. Prajurit itu tidak punya kesempatan mengeluarkan suara apapun, kepalanya pecah. Qiu Chuji berseru, “Dia contoh yang baik!” Ia mengibaskan lengan bajunya ke arah Tujuh Orang Aneh, lalu berjalan menuruni tangga.

Melihat temannya tewas, para prajurit itu langsung kacau. Beberapa orang dari mereka menyerbu ke arah Qiu Chuji dengan mata tombak terarah ke punggungnya. Tanpa menoleh ke belakang, seolah-olah punya mata di belakang kepalanya, Qiu Chuji menjatuhkan semua tombak itu satu persatu. Para prajurit yang lain baru bermaksud menyerang dari bawah ketika Wanyan Honglie memberikan perintah untuk berhenti.

Berpaling kepada Ke Zhen’E, Wanyan Honglie berkata, “Pendeta Tao keparat ini tidak bisa ditolerir. Bagaimana kalau kita semua duduk tenang dulu sambil minum, untuk merundingkan bagaimana cara menangani dia?”

Ketika ia menghentikan para prajurit itu, Ke Zhen’E sudah tahu bahwa dialah pemimpin para prajutit itu, ia berkata, “Sialan [Ta ma de (他妈的)]! Minggir!”

Wanyan Honglie belum pulih dari kagetnya waktu Ha Baoju menambahkan, “Kakakku menyuruhmu menyingkir.” Ia menubruk pinggang Wanyan Honglie dengan bahu kanannya. Wanyan Honglie terhuyung mundur beberapa langkah saat Tujuh Orang Aneh dan Biksu Jiaomu dengan cepat melangkah keluar.

Zhu Cong menyusul di belakang mereka. Waktu ia melewati Wanyan Honglie, ia menepuk bahunya dengan kipas sambil tersenyum, “Bagaimana caramu menjual gadis itu? Bagaimana kalau dijual ke aku? Haha…!” Waktu melangkah turun dari tangga, ia masih tertawa. Meskipun Zhu Cong tidak tahu apa-apa tentang Wanyan Honglie, tapi ia bisa menebak dari sikapnya terhadap Bao Xiruo bahwa mereka sebenarnya bukan pasangan. Lalu ia kebetulan mendengar ia membual tentang hartanya, jadi ia merasa harus berbuat sesuatu sekedar untuk memberi Wanyan Honglie sedikit pelajaran. Tapi karena sekarang ia tahu bahwa Wanyan Honglie ternyata adalah pemimpin pasukan Jin, mana mungkin ia tidak mengambil lebih banyak uang lagi dari kantongnya.

Wanyan Honglie merogoh bajunya dan, seperti yang diharapkan, semua uang yang ada di bajunya, entah bagaimana, menghilang. Ia tidak hanya kuatir tentang fakta bahwa semua orang ini adalah ahli kungfu yang hebat, tetapi jika mereka entah bagaimana mengetahui identitas Bao Xiruo, bencana macam apa yang akan terjadi? Untungnya, karena Qiu Chuji dan Tujuh Orang Aneh masih belum menyelesaikan kesalahpahaman mereka, ini adalah waktu yang tepat baginya untuk keluar dari kota ini. Ia segera kembali ke penginapan dan menuju ke utara bersama Bao Xiruo malam itu juga. Mereka melakukan perjalanan sampai tiba kembali di ibu kota Kekaisaran Jin, Yanjing (di jaman modern adalah Beijing).


Kenyataannya, setelah malam di mana Qiu Chuji membunuh Wang Daoqian dan bertemu dengan kedua pria itu, lalu membunuh sekelompok tentara Jin lainnya, ia tiba di Hangzhou dengan penuh semangat. Ia menghabiskan beberapa hari berturut-turut di tepi danau. Puncak Ge di ujung utara Danau Barat, selain menjadi retret Tao yang terkenal, itu adalah tempat Ge Hong meramu obat-obatan pada waktu itu. Qiu Chuji menghabiskan waktu di pagi hari menikmati pemandangan dan keramaian, dan sore hari di dalam kuil Tao di Puncak Ge, membuat obat dan berlatih kungfu.

Suatu hari, ia sedang berjalan di dermaga di tepi Sungai Qing ketika ia tiba-tiba melihat sekitar sepuluh tentara pemerintah berjalan dalam keadaan sangat menyedihkan dengan baju besi mereka hancur dan senjata mereka patah. Jelas mereka baru saja kalah dalam pertempuran. Dia agak bingung, “Kami tidak berperang dengan Jin saat ini, dan aku belum pernah mendengar apa pun tentang bajingan atau pemberontakan di sekitar sini. Di mana mereka kalah dalam pertempuran ini? Ia bertanya-tanya tetapi tidak ada yang tahu tentang itu. Rasa penasarannya terusik, ia mengikuti para prajurit itu kembali ke perkemahan mereka, di Pos Komando Enam.

Ia menunggu sampai lewat tengah malam sebelum menyelinap ke kamp dan menyeret seorang tentara keluar ke gang kecil untuk menginterogasinya. Prajurit itu sedang bermimpi ketika tiba-tiba, entah dari mana, sebilah pisau tajam disodorkan ke tenggorokannya. Dalam keterkejutan dan ketakutan, ia tidak menyembunyikan apa pun dan ia membocorkan semua rahasia tentang pergi ke Desa Niu untuk menangkap dua pria dan segala sesuatu yang terjadi malam itu. Qiu Chuji tidak dapat mempercayainya ketika prajurit itu memberitahunya bahwa Guo Xiaotian telah meninggal malam itu, dan Yang Tiexin, yang terluka parah, hilang dan kemungkinan besar juga tewas. Tentara itu terus mengatakan bahwa kedua janda itu telah ditangkap, tetapi dalam perjalanan pulang, entah dari mana, mereka bertemu dengan sekelompok tentara lain dan, untuk alasan yang aneh dan bodoh, mereka bertempur dan kalah. Qiu Chuji hampir kehilangan kesabaran ketika ia menyadari bahwa pria ini hanyalah seorang prajurit yang mengikuti perintah dan tidak benar-benar bertanggung jawab atas apa yang terjadi. Jadi dia menuntut, “Siapa atasanmu?”

Prajurit itu menjawab, “Nama keluarga … s … komandan adalah Duan, diberi nama Tiande.”

Qiu Chuji melepaskannya dan menyelinap kembali untuk mencoba menemukan Duan Tiande, tetapi tidak berhasil.

Keesokan paginya, sebuah tiang didirikan di depan rumah komandan, sebuah kepala manusia tergantung di atasnya, sebagai peringatan bagi penjahat lainnya. Qiu Chuji hanya melihat sekali dan menyadari bahwa kepala itu milik Guo Xiaotian. Dalam kesedihan dan kemarahan, ia berpikir, “Qiu Chuji, Qiu Chuji, pria ini adalah keturunan seorang patriot. Karena kebaikan hati, ia memintamu untuk minum dengannya, tapi kau malah mendatangkan malapetaka kepadanya. Jika kau tidak menuntut keadilan untuk dia, bagaimana kau bisa terus berpura-pura menjadi pria sejati?”

Setelah memaksakan diri menunggu sampai malam tiba, ia memanjat tiang dan menurunkan kepala Guo Xiaotian. Ia menggali lubang di tepi Danau Barat dan mengubur kepalanya di sana. Setelah beberapa kali kowtow, dia menyeka air mata dari wajahnya saat dia diam-diam bersumpah, “Aku berjanji untuk mengajarkan kungfu kedua anak pahlawan itu. Aku telah menepati setiap janji yang pernah kubuat dan jika aku tidak dapat mengubah anak-anakmu menjadi pahlawan di antara manusia, maka aku tidak akan pernah melihat saudara-saudaraku di akhirat. Aku tidak akan lagi pantas mendapatkan kehormatan seperti itu. Ia memperhitungkan bahwa hal pertama yang perlu dilakukannya adalah menemukan Duan Tiande dan membalas dendam untuk dua saudara laki-lakinya yang telah tewas. Setelah itu ia akan menyelamatkan kedua janda itu dan membawa mereka ke tempat yang aman, agar kedua anak itu bisa lahir dan meninggalkan warisan untuk kedua pahlawan itu.

Selama dua malam berturut-turut, ia mencari melalui Pos Komando 6, tetapi tidak dapat menemukan Duan Tiande sama sekali. Ia menjadi kuatir bahwa orang ini, karena keserakahan dan korupsi, tidak mengikuti peraturan militer dan mungkin tidak menghabiskan waktu sama sekali dengan bawahannya. Pada malam ketiga, ia melangkah ke depan pos komando dan berteriak, “Duan Tiande! Keluarlah ke sini sekarang juga!”

Karena fakta bahwa kepala Guo Xiaotian telah diambil, Duan Tiande berada di dalam menginterogasi Li Ping tentang dalang kriminal lain yang mungkin diketahui suaminya ketika, tiba-tiba, terjadi kekacauan di luar. Dia menjulurkan kepalanya ke luar jendela dan melihat seorang pendeta Tao yang tinggi besar, dengan keganasan dan gaya yang luar biasa, meraih seorang prajurit dengan masing-masing tangan dan melemparkannya keluar saat dia berjalan melewati kerumunan tentara. Salah satu komandan berulang kali berteriak, “Lepaskan anak panah! Biarkan saja!” Dalam kekacauan itu, beberapa tentara mengambil busur tetapi tidak dapat menemukan anak panah, sementara tentara lainnya mengumpulkan beberapa anak panah tetapi tidak mengambil busur.

Marah, Duan Tiande mengeluarkan pedangnya dan menyerang ke depan sambil berteriak, “Mau berontak ya?” Ia mengayunkan pedangnya ke pinggang Qiu Chuji. Melihat bahwa dia adalah seorang perwira, Qiu Chuji tidak bergerak sama sekali. Sebaliknya dia membuang prajurit yang ada di tangannya dan, dengan satu gerakan sederhana dari tangan kirinya, ia meraih pergelangan tangan Duan Tiande dan menuntut, “Di mana bajingan Duan Tiande itu?”

Sambil menggeliat kesakitan, Duan Tiande segera menjawab, “Apakah Pendeta mencari Duan Daye (Tuan Duan)? Dia… Dia sedang minum-minum di tepi Danau Barat, tidak tahu apakah dia akan kembali hari ini.” Karena percaya, Qiu Chuji melepaskannya. Duan Tiande menoleh kepada kedua tentara di sisinya dan memerintahkan, “Bawa Pendeta ke tepi danau agar dia dapat menemukan komandan.” Kedua tentara itu tidak mengerti, jadi dia berteriak, “Untuk apa kalian berdiri di sana? Cepat! Pendeta marah!” Kedua orang itu akhirnya mengerti dan mulai berjalan, Qiu Chuji mengikuti mereka.

Tidak berani tinggal lebih lama lagi, Duan Tiande membawa beberapa penjaga dan Li Ping dan langsung menuju Pos Komando 8. Komandan adalah teman minumnya dan, setelah mendengar apa yang telah terjadi, segera menawarkan untuk mengirimkan bantuan baginya untuk menangkap bajingan Tao ini. Ia baru saja akan mengirim pasukannya ketika kemahnya tiba-tiba kacau ketika salah satu tentara berlari masuk dan melaporkan bahwa seorang penganut Tao telah datang menyerbu ke kemah. Ternyata para prajurit yang bersamanya tidak tahan tekanan dan membocorkan nama tempat-tempat yang sering dikunjungi Duan Tiande.

Sebagai orang yang selalu waspada, Duan Tiande tanpa ragu-ragu meraih Li Ping dan lari. Ia berlari ke Pos Komando 2 di luar kota, mengira ia bisa lolos dari Qiu Chuji karena lokasinya yang jauh. Setelah berhenti, bayangan pendeta Tao yang mengamuk di ketentaraan menghantuinya. Saat ini pergelangan tangannya mulai sakit dan membengkak lagi. Dia pergi ke tabib tentara di kamp dan ternyata dua tulang di pergelangan tangannya benar-benar patah. Terlalu takut untuk pulang, ia memutuskan untuk tinggal di Posko ke-2 malam itu. Ia tidur sampai tengah malam ketika gangguan di luar membangunkannya, rupanya salah satu tentara yang berjaga telah menghilang.

Duan Tiande melompat dari tempat tidurnya, ia menduga bahwa penjaga itu pasti telah diculik oleh Si Taois. Memutuskan bahwa di mana pun dia bersembunyi di kamp tentara, Si Taois pada akhirnya akan menemukannya, ia harus menemukan cara lain! Pendeta Tao ini sudah pernah bertemu dengannya dan hanya datang mencarinya, dan hanya dia sendiri. Meskipun di situ banyak tentara, ia mungkin tidak akan keluar tanpa cedera. Ia mulai panik ketika tiba-tiba teringat bahwa pamannya, yang kungfunya cukup tangguh, telah mengundurkan diri ke Kuil Yunlou (Kuil Paviliun Berawan) untuk menjadi biksu. Mengapa tidak bersembunyi di sana? Mengira bahwa serangan Pendeta Tao ini mungkin ada hubungannya dengan Guo Xiaotian, ia memerintahkan Li Ping untuk ganti pakaian menjadi seragam tentara, dan kemudian menyeretnya ke Kuil Yunlou bersamanya di tengah malam. Ia berpikir bahwa jika ia benar-benar mendapat masalah, maka ia bisa menggunakan Li Ping sebagai bahan untuk memeras biksu itu.

Pamannya, diberi nama Buddhis Kumu (Kayu Lapuk), sudah lama menjadi biksu dan menjadi Kepala Biara Kuil Yunlou. Sebelumnya ia adalah seorang perwira militer dan kungfunya berasal dari aliran Xianxia yang lazim di provinsi Zhejiang dan Jiangsu dan dapat dianggap sebagai cabang seni bela diri Shaolin. Ia tidak pernah menyetujui karakter Duan Tiande dan menjaga jarak di antara mereka. Melihatnya terhuyung-huyung ke dalam vihara dalam keadaan menyedihkan di tengah malam, ia cukup kesal dan bertanya dengan dingin, “Apa yang kau lakukan di sini?”

Karena tahu bahwa pamannya sangat membenci Jin, Duan Tiande tahu bahwa jika ia mengatakan yang sebenarnya, pamannya mungkin akan membunuhnya sendiri di situ juga, jadi dalam perjalanan ke sini ia sudah memikirkan cara berbohong. Melihat tatapan dingin pamannya saat ini, ia langsung berlutut dan bersujud, “Seseorang menggangguku, tolong bantu aku, Shushu (叔叔, paman)!”

Biksu Kumu menjawab, “Kau seorang perwira, adalah sebuah keajaiban jika kau tidak mengganggu orang lain, siapa yang berani mengganggumu? Dengan ekspresi polos di wajahnya, Duan Tiande menjawab, “Aku tolol, tapi aku sudah mencoba bersembunyi di sana-sini dari kejaran Tao keparat ini. Kuharap Shushu, demi mendiang ayah, menyelamatkan aku.” Karena kasihan, Biksu Kumu bertanya kepadanya, “Mengapa Pendeta Tao itu mengejarmu?”

Duan Tiande tahu bahwa kalau ia terdengar semakin menyesal, maka akan semakin baik, jadi ia berkata, “Ini semua salahku… salahku! Dua hari yang lalu aku pergi ke Wah-Zi di sisi barat Qinglian Qiao (Jembatan yang sejuk dan jernih)…."" Kepala Biara Kumu mendengus dan menundukkan wajahnya. ‘Wah She’, atau ‘Wah-Zi’, adalah istilah untuk rumah bordil saat itu, dari situlah muncul pepatah ‘Wahs berkumpul ketika waktunya tiba, wahs berhamburan ketika waktunya pergi’, yang digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang datang dengan mudah dan pergi sama cepatnya (easy come easy go).

Duan Tiande melanjutkan, “Di situ ada orang yang pernah beberapa kali kutemui dan dia sedang menyanyi, lalu seorang pendeta Tao tiba-tiba masuk dan bilang dia harus menghiburnya karena lagunya sangat bagus….”

Kepala Biara Kumu tiba-tiba memotong, “Ngawur! Mana ada pendeta mau pergi ke tempat seperti itu?""

Duan Tiande menjawab, “Aku juga bilang begitu, lalu aku menyuruhnya pergi. Tapi ternyata Taois itu betul-betul bangsat, dia mengutuk aku karena bersenang-senang meskipun tahu kepalaku akan lenyap dalam beberapa hari lagi.”

Kepala Biara Kumu bertanya, “Dia bilang apa?”

Duan Tiande menjawab, “Dia bilang bahwa tentara Jin akan menyeberangi sungai dan segera menyerang ke selatan dan akan membunuh semua orang dari kita tentara Song.”

Marah, Kepala Biara Buddha Kumu bertanya, “Masa dia bisa bilang begitu?”

Duan Tiande mengangguk, “Iya! Rasanya aku juga terlalu emosi, jadi aku berdebat sama dia, aku bilang kalau Jin benar-benar menyerang, setidaknya kita semua akan mati dalam perang, dan belum tentu kalah juga.”

Ini sungguh cara yang tepat untuk mendekati Kepala Biara Kumu, ia mengangguk setuju karena ia pikir ini adalah hal terbaik yang pernah dikatakan oleh keponakannya ini. Melihat dia mengangguk, harapan Duan Tiande menyala jadi ia melanjutkan, “Kami terus berdebat sampai kami mulai berkelahi, tetapi aku bukan tandingan si Tao keparat itu. Dia datang mengejarku. Aku tidak punya tempat lain untuk melarikan diri, makanya aku datang ke sini. Shushu, tolong bantu aku!”

Biksu Kumu menjawab, “Aku seorang biksu, aku tidak terlibat dalam urusan mencari nama seperti yang kalian lakukan.”

Duan Tiande memohon, “Kali ini saja, Shushu, aku tidak akan pernah melakukan hal seperti ini lagi.”

Mengingat saudara laki-lakinya di masa lalu dan cukup marah pada Si Pendeta Tao karena mengatakan apa yang disebutkan tadi, Yang Mulia Kumu akhirnya mengalah, “Baiklah, kau bisa bersembunyi di sini selama beberapa hari. Tapi kau jangan bikin masalah.”

Duan Tiande menyetujui segalanya dan apapun yang dia minta. Kepala Biara Kumu menghela nafas, “Seorang perwira militer yang terhormat, pah… sama sekali tidak berguna! Jika tentara Jin benar-benar menyerang, lalu apa yang akan kita lakukan? Ay! Dulu, aku….”

Karena takut ancaman dari Duan Tiande, Li Ping hanya berdiri di sisinya mendengar semua omong kosongnya, tidak berani mengatakan sepatah kata pun.

Sore berikutnya, biksu penyambut tamu (Zhike Seng) berlari masuk dan melapor kepada Biksu Kumu, “Ada seorang pendeta Tao di depan, meneriakkan segala macam hal dan membuat kekacauan, menyuruh Duan…. Komandan Duan, keluar.”

Kepala Biara Kumu mencari Duan Tiande dan menceritakan semuanya. Dengan panik, Duan Tiande berkata, “Itu dia, itu dia!”

Kepala Biara Kumu bertanya, “Dari sekte mana asalnya Si Tao yang kejam ini?”

Duan Tiande menjawab, “Aku tidak tahu dari lubang mana si barbar itu merangkak keluar, tetapi kungfunya tampaknya tidak terlalu bagus, hanya saja tangannya sangat kuat. Satu-satunya alasanku kalah adalah karena aku sama sekali tidak tahu seni bela diri.”

Kepala Biara Kumu menjawab, “Baiklah, aku akan menemuinya secara langsung.”

Berjalan keluar ke Aula Utama, ia berlari ke arah Qiu Chuji yang mencoba masuk ke kuil. Para biksu penjaga mencoba yang terbaik untuk memperlambat langkahnya, tetapi mereka gagal. Kepala Biara Kumu berjalan ke arahnya dan dengan lembut mendorong bahu Qiu Chuji, menggunakan sedikit tenaga dalam. Ia pikir ia hanya akan mendorong Qiu Chuji keluar dari Aula Utama. Tapi, yang mengejutkannya, rasanya seolah-olah ia sedang menekan tumpukan kapas, tidak ada yang benar-benar bisa dia dorong. Menyadari bahwa ia dalam kesulitan, ia segera menarik mundur tangannya. Tapi sudah terlambat saat ia terhuyung ke belakang dan menabrak ke meja persembahan.

“Krekk!” “Buk!”

Setengah dari meja persembahan itu ambruk dan semua persembahan di atasnya berserakan dan jatuh ke lantai.

Terkejut, sebuah pikiran melintas di benaknya, “Kungfu Si Taois ini benar-benar luar biasa, lebih dari sekedar kekuatan lengan yang luar biasa, tidak diragukan lagi.”

Ia segera mengangkat telapak tangannya dan memberi hormat, “Boleh aku bertanya mengapa pendeta datang mengunjungi vihara kami yang sederhana ini?”

Qiu Chuji menjawab, “Saya sedang mencari penjahat kejam bermarga Duan.”

Menyadari bahwa dirinya bukan tandingan Qiu Chuji, Kumu menjawab, “Kita orang beragama harus selalu berbelas kasihan dan mengampuni, mengapa Pendeta turun ke tingkat yang sama dengan orang awam?”

Sambil mengabaikannya, Qiu Chuji masuk ke Aula Dalam. Saat itu Duan Tiande sudah menyembunyikan dirinya sendiri dan Li Ping. Dupa Kuil Yunlou sangat populer dan saat itu adalah musim Ziarah Musim Semi, jadi aula dipenuhi oleh orang percaya dari kedua jenis kelamin. Menyadari bahwa tidak mungkin untuk mencari ke segala tempat, Qiu Chuji mendengus dan berjalan keluar.

Ketika Duan Tiande keluar dari tempat persembunyiannya, Biksu Kumu menuntut dengan marah, “Barbar? Kalau dia tidak menahan diri, aku pasti sudah mati sekarang!”

Duan Tiande menjawab, “Tao biadab itu adalah mata-mata Jin, kalau bukan kenapa dia secara khusus mengganggu kami prajurit Song?”

Zhike Seng kembali dan melaporkan bahwa Si Taois sudah pergi. Biksu Kumu bertanya, “Apa dia bilang sesuatu waktu dia pergi?”

Zhike Seng menjawab, “Dia berkata bahwa dia tidak akan pernah menyerah sampai kita menyerahkan petugas… petugas bermarga Duan itu.”

Kumu menatap Duan Tiande dengan marah dan berkata, “Menilai dari apa yang kau katakan, aku tidak tahu kenapa kau bersembunyi. Kungfu Si Tao ini terlalu kuat. Kau mungkin tidak akan keluar hidup-hidup jika jatuh ke tangannya.” Setelah diam-diam berpikir sejenak, ia melanjutkan, “Kau tidak bisa tinggal di sini lebih lama lagi. Kungfu adikku Biksu Jiaomu lebih baik dari aku. Dia satu-satunya yang punya kesempatan untuk menghentikan Taois itu. Kenapa kau bersembunyi ditempatnya untuk sementara?”

Duan Tiande bahkan tidak berani mengucapkan sepatah kata pun karena takut dia akan membuat marah pamannya. Kemudian pamannya memberinya sepucuk surat untuk diberikan kepada Biksu Jiaomu yang menjelaskan situasinya. Ia segera menyewa perahu dan menuju Jiaxing saat tengah malam.

Biksu Jiaomu mana bisa menebak bahwa orang yang diseretnya sebenarnya seorang wanita? Karena dia punya surat dari kakak seperguruannya, ia sudah seharusnya mengijinkan Duan Tiande untuk tinggal di situ. Ketika Qiu Chuji mengetahui hal ini, ia mengejar kesitu. Ia bahkan melihat Li Ping di taman belakang kuil. Tetapi ketika ia masuk ke kuil, Duan Tiande telah menyeret Li Ping ke ruang penyimpanan bawah tanah bersamanya. Qiu Chuji, masih mengira Li Ping ada di kuil, menuntut agar dia diserahkan. Karena dia melihatnya dengan matanya sendiri, dia tidak mempercayai jawaban apa pun yang diajukan oleh Biksu Jiaomu, dan perdebatan di antara mereka jadi memburuk. Segera setelah Qiu Chuji memamerkan sedikit kungfunya, Biksu Jiaomu tahu benar bahwa dia bukan tandingan Qiu Chuji. Karena Tujuh Orang Aneh adalah teman baiknya, maka dia mengadakan pertemuan dengan Qiu Chuji di Paviliun Dewa Mabuk. Tong besar yang dibawa Qiu Chuji bersamanya berasal dari Biara Fahua itu. Ketika ia bertemu dengan tentara Jin di Paviliun Dewa Mabuk, kesalahpahaman Qiu Chuji menjadi lebih buruk.

Biksu Jiaomu benar-benar tidak tahu banyak tentang duduk perkara yang sebenarnya. Dalam perjalanan kembali ke Biara Fahua dari Paviliun Dewa Mabuk, ia memberitahu Tujuh Orang Aneh tentang kedua pria yang dikirim oleh saudara seperguruannya, Kepala Biara Kumu, kepadanya. Iia menambahkan di bagian akhir, “Aku sudah mendengar bahwa ketujuh Pendekar Perguruan Quanzhen adalah ahli kungfu, masing-masing menerima ajaran langsung dari Guru Chongyang. Di antara mereka, sesepuh Changchun Zi dikenal sebagai yang terbaik, dan ternyata dia sebaik yang mereka katakan. Meskipun dia agak kasar, dia sepertinya bukan tipe orang yang tidak peduli dengan alasan, dan tidak ada permusuhan di antara kami berdua. Pasti ada kesalahpahaman besar yang terjadi di sini.”

Quan Jinfa menyarankan, “Kupikir sebaiknya kita menyerahkan kedua pria yang dikirim saudara seperguruanmu itu, supaya kita bisa membereskan masalah ini.”

Biksu Jiaomu mengakui, “Bagus, aku belum benar-benar menginterogasi mereka dengan baik.” Dia baru saja akan menyuruh beberapa orang untuk menjemput Duan Tiande ketika Ke Zhen’E angkat bicara, “Watak Qiu Chuji itu benar-benar kasar, sangat meledak-ledak. Dia jelas tidak menganggap kami orang-orang Jiang Hu di sebelah Selatan Sungai Yangtze pantas dihormati. Perguruan Quanzhen mungkin bisa bertindak seperti bos di Utara, tapi kami tidak bisa membiarkan mereka bertindak seperti bos saat mereka datang ke Selatan ini. Kalau kita tidak dapat menjernihkan kesalahpahaman, maka kita harus menyelesaikannya dengan kungfu. Kalau satu lawan satu, tidak ada yang menang dari dia. Tapi dia bukan datang ke sini dengan niat baik.”

Zhu Cong menambahkan, “Ayo kita keroyok saja!”

Han Baoju berkomentar, “Delapan lawan satu? Itu tidak heroik, kan?”

Quan Jinfa beralasan, “Kita tidak bermaksud membunuhnya, kita hanya berusaha menenangkannya, supaya dia mendengarkan penjelasan Biksu Jiaomu.”

Han Xiaoying agak khawatir, “Kalau sampai ketahuan bahwa Biksu Jiaomu dan Tujuh Orang Aneh dari Selatan bersekongkol dengan seseorang, bukankah itu akan mencoreng nama kita?”

Mereka belum pasti apa yang harus dilakukan ketika suara gemuruh datang dari Aula Utama kuil diikuti dengan gemuruh logam beradu dengan logam. Qiu Chuji sedang membenturkan lonceng besar yang tergantung di langit-langit Aula Utama dengan tong perunggu. Setelah beberapa pukulan, tong itu mulai retak. Raut wajahnya tampak geram. Tujuh Orang Aneh tidak tahu bahwa Qiu Chuji tidak selalu gegabah dan tidak masuk akal. Ia sangat frustrasi dengan ketidakmampuannya sendiri untuk menangkap Duan Tiande jadi ia akan kehilangan kendali. Itu, menambah kebenciannya yang mendalam terhadap Jin, menyebabkan dia berbuat begini. Tujuh Orang Aneh semuanya berpikir bahwa dia mencoba menggertak mereka dengan reputasinya, jadi mereka memutuskan untuk bertarung habis-habisan. Semakin terkenal Tujuh Pendekar Quanzhen, Tujuh Orang Aneh juga semakin tidak mau mundur atau kelihatan takut. Kalau Qiu Chuji bukan pendekar terkenal, ironisnya, situasi ini akan jauh lebih mudah untuk diselesaikan dan mungkin sudah selesai saat itu.

Han Baoju berseru, ”Biao Mei, ayo kita duluan.”

Ia adalah kakak sepupu pertama Han Xiaoying dari pihak ayahnya, dan dari mereka bertujuh, yang paling tidak sabaran. Dalam satu gerakan, cambuk ‘Naga Emas’ yang ada di pinggangnya sekarang pindah ke tangannya dan dia menyapu “Angin Memutar Awan Lumpuh” menyebabkan cambuk itu melecut ke arah tangan kanan Qiu Chuji yang memegang tong. Han Xiaoying menghunus pedangnya juga dan menusuk ke tengah punggung Qiu Chuji. Diserang dari kedua sisi, Qiu Chuji memutar pergelangan tangannya, menyebabkan cambuk malah mengenai tong. Kemudian dia memutar tubuhnya sedikit ke samping dan membiarkan pedang melewati sisinya.

Meskipun Han Xiaoying belum sepenuhnya menguasai seluruh bagian yang diajarkan gurunya, tapi ia masih cukup mematikan. Julukannya Pendekar Pedang Nona Yue sudah menjelaskan hal ini.

Dalam beberapa langkah, Qiu Chuji sudah membaca pola permainannya dan memutuskan untuk mengalahkan kecepatannya dengan lebih cepat lagi. Dia cepat, Qiu Chuji bahkan lebih cepat. Menggunakan lengan kanannya untuk memblokir cambuk Han Baoju, tangan kirinya terulur untuk merebut pedang secara paksa dari tangan Han Xiaoying. Dalam sekejap, Han Xiaoying dipaksa mundur ke sisi patung Budha di kuil.

Nan Xiren dan Zhang Ahsheng menyerbu dan menyerang dari kedua sisi. Nan Xiren tidak bersuara, dan membiarkan tongkatnya yang bersuara. Tapi Zhang Ahsheng benar-benar terbalik, berteriak dan menyerukan segala istilah kasar dan semuanya dengan aksen Yangtze selatannya. Qiu Chuji tidak mengerti semua itu, jadi dia pura-pura tidak mendengarnya.

Di tengah serunta pertarungan itu, telapak tangan kiri Qiu Chuji tiba-tiba muncul tepat di wajah Zhang Ahsheng. Secara naluriah, Zhang Ahsheng menekuk tubuhnya ke belakang untuk menghindar, tetapi gerakan itu ternyata hanya tipuan. Kaki kanan Qiu Chuji terbang dan mendarat telak di pergelangan tangan kanan Zhang Ahsheng, menjatuhkan pisaunya. Tapi Zhang Ahsheng ternyata jauh lebih baik dengan tangan kosong, jadi ia tidak kehilangan kecepatan ketika menjaga keseimbangan dengan kaki kirinya, menipu dengan tangan kanan, dan menyerang dengan kepalan kirinya.

Qiu Chuji berteriak, lalu menghindar dan berkata, “Sayang, sayang!”

Zhang Ahsheng bertanya, “Apa?”

Qiu Chuji menjawab, “Sayang sekali kau, sebagai jago kungfu, mempermalukan diri dengan berteman dengan biksu jahat dan melayani bangsa Jin.”

Marah setelah mendengar tuduhan itu, Zhang Ahsheng balas memaki, “Taois bangsat, kaulah yang melayani bangsa Jin!”

Ia mengrimkan tiga swing kepada Qiu Chuji secara berturut-turut sambil bicara. Qiu Chuji menghindar dan memiringkan tong, membuat dua pukulan Zhang Ahsheng jadi mendarat di tong.

Melihat bahwa mereka tetap kalah meskipun empat lawan satu, Zhu Cong memberi isyarat ke arah Quan Jinfa dan mereka berdua menyerbu ke masuk ke arena pertarungan. Senjata Quan Jinfa adalah timbangan tangan besar yang pegangannya dipakai untuk timbangan sebagai pentungan, pengait timbangan sebagai flying hook, dan beban timbangan sebagai gada. Pendeknya 3 in 1. Zhu Cong, di sisi lain, unggul di bidang titik akupuntur. Kipasnya yang kotor dan rusak itu sebenarnya terbuat dari besi yang ia gunakan sebagai perpanjangan lengannya. Ini memudahkan dia menotok jalan darah, dan membelokkan senjata musuh yang datang ke arahnya. Qiu Chuji berputar dan memiringkan tong di tangan kanannya sesuka hati, menjadikannya perisai besar yang menjaga bagian depan tubuhnya, sambil menggunakan tangan kirinya untuk balas menyerang. Dengan beban yang begitu besar di tangannya, ia tidak bisa lagi bergerak cepat seperti yang seharusnya, tapi itu masih cukup menguntungkan, karena ia bisa menggunakan tong itu untuk menangkis banyak serangan.

Biksu Jiaomu, melihat pertarungan yang tak terkendali, mulai berpikir bahwa pasti akan ada yang terluka parah. Ia mencoba menarik perhatian semua orang dengan berteriak sekeras yang dia bisa, “Semuanya tolong berhenti! Tolong dengar dulu!” Tapi siapa yang bisa menghentikan pertarungan sengit itu?

Qiu Chuji balas berteriak, “Munafik! Siapa mau dengar omonganmu? Awas!”

Tiba-tiba tangan kirinya berputar dengan ganas ke arah Zhang Ahsheng, terus menerus berubah dari kepalan ke telapak tangan tanpa sebab dan irama yang pasti. Gerakan ini, yang disebut “Gunung Terbang di Luar Langit”, didasarkan pada bentuk aneh dan kecepatan luar biasa, dan dimaksudkan untuk mengejutkan lawan, seperti yang dilakukan Zhang Ahsheng. Biksu Jiaomu berteriak, “Tidak! Pendeta! Tolong jangan!”

Qiu Chuji sudah bertarung begitu lama dan melawan begitu banyak lawan tangguh, jadi ia kuatir pertarungan itu akan berlangsung terlalu lama. Karena ada dua orang yang berdiri di pinggir arena, menunggu untuk melompat kapan saja, dia memikirkan keselamatannya sendiri. Karena sekarang ia melihat celah di pertahanan lawan, mana mungkin dia abaikan? Karena itu, ia mengerahkan seluruh tenaga dan kekuatannya untuk mendukung serangan ini.

Dalam latihan, Zhang Ahsheng secara khusus bertujuan untuk melatih dan memperkuat kekebalan kulitnya. Karena ia suka bergulat dengan banteng dan kerbau, maka tubuh Zhang Ahsheng dilapisi otot-otot tebal dan keras, yang mirip kulit kerbau.

Meskipun ia tahu bahwa serangan ini cukup kuat, dan karena ia pikir ia juga tidak bisa menghindar, maka ia segera menghimpun tenaga dalamnya, dan bersiap untuk menerima serangan di bahunya sambil berteriak, “Ayo!” Ia menerima telapak tangan itu sepenuhnya. “Krekkk!” Secara menakjubkan, meskipun ia sudah siap, tulang lehernya patah oleh tenaga dalam murni dari Perguruan Quanzhen.

Terkejut, Zhu Cong menyerang secara agresif dengan kipas besinya, mengarah tepat ke jalan darah Qiu Chuji. Seperti kata pepatah, attacking is the best defense, Zhu Cong menyerang untuk melindungi saudara angkatnya dari bahaya lebih lanjut setelah dia terluka. Tapi Qiu Chuji, yang baru saja berada di atas angin, segera mulai mencoba merebut beberapa senjata yang beterbangan di sekitarnya. “Ai-Yo!” Teriak Quan Jinfa saat Qiu Chuji memegang timbangannya. Dengan satu sentakan, Qiu Chuji menariknya satu meter lebih dekat. Ini menempatkannya di antara Qiu dan dua penyerang lainnya, Nan Xiren dan Zhu Cong. Telapak tangan kiri Qiu Chuji terbang ke arah kulit kepala Quan Jinfa.

Han Baoju dan Han Xiaoying segera melompat dan menodongkan senjata mereka ke kepala Qiu Chuji untuk menghentikannya. Qiu Chuji tidak punya pilihan selain menghindar dan membiarkan Quan Jinfa melarikan diri. Baru saja lolos dari kematian, Quan Jinfa dipenuhi keringat. Tapi berikutnya ia menerima sebuah tendangan yang membuatnya menggeliat di tanah kesakitan, tidak bisa bangun.

Biksu Jiaomu tidak ingin ikut bertarung. Ia berharap kesalahpahamannya dengan Qiu Chuji bisa diselesaikan dengan jalan damai. Tapi melihat teman-teman yang datang membantunya tumbang satu per satu, ia merasa harus ikut bertarung. Ia menggulung lengan bajunya yang panjang, mengangkat potongan arang kayu di tangannya, dan menerjang Qiu Chuji. Qiu Chuji berpikir, “Jadi, tampaknya biksu ini adalah ahli totokan.” Ia memasang sikap waspada terhadap si biksu.

Ke Zhen’E tahu dari semua teriakan bahwa saudara-saudaranya terluka, jadi ia meraih tongkat besinya dan hendak menyerang ketika Quan Jinfa berteriak, ”Da Ge, pakai senjata rahasiamu! Pertama di ‘Jin’, lalu pilih ‘Xiao Guo’!” Bahkan sebelum suaranya mereda, dua senjata rahasia terbang langsung ke dahi dan pinggul kanan Qiu Chuji.

Qiu Chuji terkejut. Jarang ada orang buta yang mampu menembakkan senjata rahasia dengan sangat akurat, bahkan kalau ada seseorang di sampingnya yang memberi tahu kemana harus menembakkannya. Ia segera memutar tong di tangannya dan menjatuhkan kedua senjata itu. Senjata rahasia ini hanya digunakan oleh Ke Zhen’E, dan memiliki sudut di keempat sisinya seperti berlian, tetapi ketajamannya tak tertandingi oleh senjata sejenis yang dibuat oleh siapapun. Ia belajar menggunakannya setelah ia buta karena senjata itu berat, memudahkan dia untuk menembak dengan akurat. Setelah menjatuhkan senjata rahasia itu dengan tong, Qiu Chuji benar-benar merasakan tong itu berguncang! Ia berpikir, “Luar biasa, betul-betul kuat!”

Sekarang semua Orang Aneh lainnya sudah tersingkir. Quan Jinfa masih terus berteriak, “‘Zhong Fu’, sekarang ‘Lie’!…. Bagus, sekarang Pendeta Tao pindah ke ‘Ming Yi’…” Dia sudah melakukan hal ini bersama Ke Zhen’E berkali-kali selama puluhan hingga matanya hampir jadi mata milik Ke Zhen’E sendiri. Ia adalah satu-satunya orang di antara Orang Aneh yang bisa melakukan hal ini. Ke Zhen’E menembak seolah-olah ia bisa melihat dan dalam sekejap ia telah menembakkan puluhan senjata rahasia. Begitu banyak sehingga Qiu Chuji sekarang terpaksa menangkis tanpa punya kesempatan untuk membalas.

Tiba-tiba sebuah pikiran muncul di benak Ke Zhen’E, “Dia juga mendengar Liu Di, jadi dia selalu siap, tidak heran aku tidak bisa mengenainya.” Suara Quan Jinfa makin lama makin lemah, dengan diselipi erangan, jelas ia sangat kesakitan. Ke Zhen’E sama sekali tidak mendengar Zhang Ahsheng bersuara dan tidak ada yang tahu pasti dia masih hidup atau tidak. Quan Jinfa berjuang untuk bicara, “Pukul… pukul… ‘Tong Ren’…” Tapi kali ini Ke Zhen’E tidak mengikuti sarannya, sebaliknya ia mengangkat kedua tangannya dan menembakkan empat senjata, masing-masing di posisi ‘Jie’ dan ‘Sun’ tepat di ‘Tong Ren’ dan dua lainnya menuju ke posisi ‘Feng’ dan ‘Lie’ di sebelah kiri ‘Tong Ren’.

Tidak menduga bahwa Ke Zhen’E akan tiba-tiba menggunakan tipuan, Qiu Chuji mengambil langkah lebar ke kiri dan menghindari posisi ‘Tong Ren’ ketika dua orang tiba-tiba berteriak kesakitan. Bahu kanan Qiu Chuji terkena, tetapi senjata yang mengarah ke posisi ‘Matahari’ mengenai punggung Han Xiaoying. Terkejut dan senang, Ke Zhen’E berteriak, ”Qi Mei, cepat kesini!”

Menyadari bahwa kakaknya melapisi senjata itu dengan racun mematikan, Han Xiaoying segera bergegas ke sisinya. Ke Zhen’E mengeluarkan pil kecil berwarna kuning dari tasnya, memasukkannya ke dalam mulutnya, dan menginstruksikan, “Pergilah ke halaman luar dan tidurlah, jangan bergerak, aku akan datang dan menjagamu nanti.”

Han Xiaoying segera bangkit dan berlari menuju halaman. Tapi Ke Zhen’E berteriak, “Jangan lari! Jangan lari! Berjalan perlahan!”

Han Xiaoying segera mengerti dan mengutuk dirinya sendiri karena begitu bodoh. Karena darahnya akan bersirkulasi lebih cepat saat dia berlari dan jika racunnya dibawa ke jantung, tidak mungkin ia bisa diselamatkan. Ia berhenti dan berjalan keluar pelan-pelan.

Setelah kena, Qiu Chuji mengabaikannya karena tidak terlalu sakit dan terus bertarung melawan sisa orang lainnya. Namun, di tengah pertarungan tiba-tiba ia mendengar Ke Zhen’E berteriak ‘Jangan lari!’ beberapa kali. Hatinya menggigil ketika ia tiba-tiba menyadari bahwa lengannya di sekitar luka terasa sangat mati rasa. Ia sadar bahwa senjata itu mengandung racun. Tidak berani ragu, ia menghimpun kekuatannya dan mengarahkan pukulan ke wajah Nan Xiren sekuat-kuatnya.

Menyadari bahwa pukulan datang ke arahnya, Nan Xiren menekuk lututnya, memegang tongkat pikulan besi ke dadanya, dan membuat gerakan yang disebut ‘Rantai Besi Menyeberangi Sungai’ untuk menangkis pukulan tersebut. Qiu Chuji tidak menarik pukulannya sama sekali. Sebaliknya, ia menarik napas dalam-dalam dan menambah tenaga pada pukulannya, memukul tongkat tepat di tengah. Tubuh Nan Xiren bergetar hebat dan ia harus menjatuhkan tongkatnya saat bagian tangannya di antara ibu jari dan jari telunjuknya terluka dan darah mulai mengalir keluar. Ternyata Qiu Chuji segala daya untuk mengakhiri pertarungan secepat supaya ia bisa menyelamatkan nyawanya sendiri. Ia mengerahkan semua tenaganya dalam satu pukulan ini, membuat Nan Xiren terluka parah. Merasa lemas di kakinya, mati rasa di mulutnya, dan pandangannya berkunang-kunang, Nan Xiren tiba-tiba jatuh ke lantai sambil muntah darah.

Meskipun ia baru mengalahkan satu lawan lagi, mati rasa di bahu Qiu Chuji semakin buruk, membuatnya mulai kesulitan mengendalikan tong besar di tangannya. Maka dengan berteriak, ia mengayunkan kaki kirinya, membuat Han Baoju melompat untuk menghindari serangan itu. “Mau kemana kau?” Teriak Qiu Chuji sambil mendorong tong itu hingga jatuh ke atas Han Baoju. Karena sedang berada di udara, Han Baoju tidak bisa melakukan apa-apa selain menekuk setengah badannya ke belakang. Saat itu tong sudah menutupi kepalanya. Dalam upaya untuk menghindari cedera serius, ia segera meletakkan tangannya di atas kepalanya dan meringkuk seperti bola. “Duung!” Tong itu membentur lantai dan menutupi Han Baoju dengan nyaman dan rapi.

Begitu dia melepaskan tong, Qiu Chuji menghunus pedangnya. Ia menendang ke tanah dengan ibu jari kakinya, ia melompat dan memotong tali yang menahan lonceng besar itu ke langit-langit. Pada saat yang sama, ia mendorong pelan lonceng itu dan mengarahkannya langsung ke tong, membuatnya meluncur tepat di atas tong. Sekarang Han Baoju benar-benar terjebak. Namun, Qiu Chuji benar-benar menghabiskan banyak energi untuk melakukan kedua gerakan terakhir ini dan akibatnya, semua anggota tubuhnya mulai terasa mati rasa dan tetesan keringat yang sangat banyak mulai menitik di dahinya.

Ke Zhen’E berteriak, “Jatuhkan senjatamu dan hentikan sekarang! Kalau menunggu lebih lama lagi, nyawamu akan terancam!”

Tapi Qiu Chuji memperkirakan bahwa karena biksu itu bersekutu baik dengan Jin dan juga tentara Song, dan menyembunyikan wanita di kuilnya, maka teman-temannya, Orang-Orang Aneh, tidak mungkin lebih baik. Ia lebih baik mati daripada tunduk pada bajingan ini. Jadi ia berbalik dan mulai mencoba dan berjuang.

Dengan hanya tersisa Ke Zhen’E dan Zhu Cong yang masih tidak terluka dan kondisi yang lain masih belum bisa dipastikan, bagaimana mungkin salah satu dari mereka akan membiarkan dia lolos? Maka Ke Zhen’E mengangkat tongkat besinya dan berdiri di depan pintu, menghalangi jalan keluarnya. Putus asa untuk bisa lolos dengan cara apa pun, Qiu Chuji mengulurkan pedangnya tepat ke wajah Ke Zhen’E. Julukan Ke Zhen’E — Fei Tian Bian Fu — bukan muncul tanpa alasan, jadi ia dengan mudah mendengar apa yang sedang terjadi dan menangkis pedang dengan tongkatnya, hampir menjatuhkan pedang dari tangan Qiu Chuji. Terkejut, Qiu Chuji berkata pada dirinya sendiri, “Seberapa kuat tenaga dalam orang buta ini? Apa mungkin lebih kuat dari aku?” Ia segera menyambung dengan tusukan lain, yang ditangkis lagi. Tapi Qiu Chuji sudah menyadari bahwa bukan karena tenaga dalam Ke Zhen’E lebih kuat, itu karena lengan kanannya terluka dan karena itulah ia tidak dapat mengerahkan tenaga sepenuhnya. Ia mengalihkan pedang ke tangan kirinya dan mulai menggunakan ilmu yang belum pernah digunakannya dalam pertempuran sebelumnya. Pedang itu berkelebat saat gerakan demi gerakan terbang ke arah titik-titik vital Ke Zhen’E, Zhu Cong, dan biksu Jiaomu. Ia tidak bertahan sama sekali, setiap gerakannya adalah serangan. Dan tujuan setiap serangan itu adalah untuk mati bersama lawan.

Jurus pedang ini dirancang untuk menghadapi lawan yang jauh lebih kuat. Setiap gerakan dirancang untuk menyerang musuh di titik vital dengan kekuatan yang luar biasa dan tanpa mempedulikan sedikit pun nyawa sendiri. Meskipun ini ilmu pedang yang sangat halus, tetapi sebenarnya sangat mirip dengan cara berkelahi bandit dan orang jalanan. Perguruan Quanzhen punya musuh bebuyutan yang berada di wilayah barat. Orang ini jauh lebih kuat daripada Tujuh Pendekar Quanzhen yang mana pun, selain kejam dia juga sangat kuat. Pada saat itu hanya guru mereka, Wang Chongyang, yang dapat menaklukkan dan mengendalikan orang ini, tetapi sekarang setelah gurunya meninggal, ada kemungkinan orang ini kembali ke wilayah pusat kapan saja dan menghancurkan seluruh Perguruan Quanzhen. Tujuh Pendekar Quanzhen memang punya sebuah formasi yang dapat mengatasi orang ini. Namun, formasi ini hanya efektif jika ketujuh pendekar hadir. Ada kemungkinan bahwa mereka akan bertemu dengan orang ini tanpa semua orang hadir. ‘Pedang Kehancuran Bersama’ ini dimaksudkan untuk digunakan melawan orang ini, terutama dalam pertempuran satu lawan satu, dengan tujuan mati bersama dan dengan demikian melestarikan perguruan tersebut. Diracuni dan dikepung oleh tiga ahli kungfu, Qiu Chuji tidak punya pilihan selain menggunakan ilmu ini.

Setelah kira-kira dua belas gebrakan, kaki Ke Zhen’E kena. Biksu Jiaomu berteriak, “Ke Da Ge, Zhu Xiong, mengapa kita tidak biarkan pergi saja?”

Tetapi karena gangguan kecil ini, rusuk kanannya kena, membuatnya jatuh ke tanah sambil berteriak.

Saat ini, Qiu Chuji juga kesulitan menjaga keseimbangannya sendiri. Matanya merah. Zhu Chong masih bergebrak beberapa kali lagi, sambil memakinya tanpa henti. Ke Zhen’E, tidak bisa melihat, benar-benar dibuat bingung oleh suara pedang Qiu Chuji dan kena lagi, kali ini di kaki kanannya, dan ia jatuh ke tanah.

Zhu Cong mengutuk, “Taois Anjing, Taois bajingan! Racun di pembuluh darahmu sekarang sudah sampai ke jantung! Mau coba tiga jurus lagi?”

Marah, Qiu Chuji langsung menyerangnya, tetapi ilmu meringankan tubuh Zhu Cong sangat bagus dan ia terbang mengelilingi aula. Menyadari bahwa ia tidak sanggup melanjutkan lagi, Qiu Chuji berhenti dan menghela nafas. Tiba-tiba semuanya menjadi gelap di depannya. Dia mencoba menjernihkan pikirannya dan baru saja akan mencari jalan keluar ketika tiba-tiba sesuatu memukul punggungnya. Itu sepatu yang dilepaskan Zhu Cong.

Meskipun sepatu itu empuk, tapi masih cukup kuat karena tenaga dalam Zhu Cong. Qiu Chuji terhuyung-huyung saat dia berjuang keras untuk mempertahankan kesadaran. Tiba-tiba ada benda lain memukul bagian belakang kepalanya. Kali ini Mu Yu (ikan-ikanan dari kayu yang biasa diketuk untuk menjaga ritme saat membaca doa) yang ditemukan Zhu Cong tergeletak di depan patung Buddha.

Untungnya, tenaga dalam Qiu Chuji sangat kuat, orang normal pasti akan mati terkena pukulan itu, tapi dia hampir pingsan. Qiu Chuji berteriak sekuat tenaga, “Sudahlah, sudahlah! ‘Changchun Zi’ Qiu Chuji akan mati hari ini di tangan bangsat-bangsat tak tahu malu ini!” Merasa lututnya tiba-tiba menyerah, ia jatuh ke lantai.

Kuatir dia akan bangkit lagi, Zhu Cong mengulurkan tangan untuk menotok jalan darah di bagian tengah dada Qiu Chuji ketika ia tiba-tiba melihat tangan kiri Qiu Chuji bergerak. Menyadari ia terjebak masuk perangkap, Zhu Cong segera mencoba menarik lengan kanannya kembali ke depan dadanya untuk menangkis pukulan tersebut. Tapi gelombang tenaga besar muncul dari bawah perutnya. Ia muntah darah bahkan sebelum sempat mendarat. Meskipun ia tidak bisa bergerak, Qiu Chuji telah mengerahkan semua kekuatan yang tersisa dalam dirinya untuk melakukan serangan ini. Tidak mungkin Zhu Cong bisa menahan tenaga sebesar itu.

Tidak ada biksu lain di kuil itu yang mengerti teknik bela diri. Pada kenyataannya, tak seorang pun dari mereka yang tahu bahwa guru mereka mengerti seni bela diri. Kekacauan yang tiba-tiba terjadi di aula utama membuat mereka melarikan diri untuk menyelamatkan nyawa mereka sendiri sejak tadi. Hanya setelah keadaan tenang untuk beberapa saat barulah beberapa biksu yang lebih berani menjulurkan kepala untuk melihat apa yang telah terjadi. Apa yang mereka lihat adalah, darah di mana-mana, tubuh di mana-mana. Ini membuat mereka berteriak dan berebut ke arah Duan Tiande.

Duan Tiande bersembunyi di gudang bawah tanah sepanjang waktu. Ia sangat gembira mendengar kabar bahwa kedua belah pihak terluka parah. Memastikan bahwa Qiu Chuji ada di antara mereka yang bertempur, ia menyuruh para biksu untuk pergi dan memeriksa apakah pendeta Tao itu sudah mati atau belum. Pada saat para biksu kembali dengan kabar bahwa pendeta Tao itu terbaring di lantai dengan mata tertutup, ia akhirnya merasa aman dan menyeret Li Ping ke aula utama.

Ia menendang Qiu Chuji, menyebabkan Qiu Chuji mengerang, nyaris tidak kentara. Duan Tiande mengeluarkan pedangnya dan berteriak, “Kau tahu betapa menderitanya aku gara-gara ulahmu, Taois keparat? Nah, sekarang musuhmu akan mengirimmu ke Surga!”

Meskipun terluka parah, tapi Biksu Jiaomu berusaha mengerahkan seluruh tenaganya untuk berteriak, “Jangan… jangan sakiti dia!”

“Kenapa?” tanya Duan Tiande.

Biksu Jiaomu yang belum pulih dari sesak nafas gara-gara berteriak, bicara di sela-sela nafasnya, “Dia orang baik, hanya agak… agak kurang sabar… makanya timbul salah paham…”

Duan Tiande menjawab, “Orang baik? Siapa peduli? Biar kubunuh dia!”

Dengan marah Biksu Jiaomu menegur, “Kau mau dengar tidak? Letakkan… letakkan pedangmu!”

Duan Tiande tertawa terbahak-bahak, “Letakkan pedangku? Lalu apa? Langsung dapat pencerahan, gitu ya?” Ia mengangkat pedangnya, dan mengayunkannya ke arah Qiu Chuji.

Murka, Biksu Jiaomu menghimpun seluruh tenaganya lagi dan melemparkan potongan kayu yang terbakar di tangannya ke arah Duan Tiande sekuat tenaga. Duan Tiande mencoba menghindar, tetapi kungfunya tidak cukup baik dan kena di pinggir mulutnya, merontokkan tiga giginya. Dalam kesakitan dan terhina, Duan Tiande, mengabaikan fakta bahwa dia berhutang nyawanya kepada Biksu Jiaomu, mengangkat pedangnya dan mencoba memenggal kepala biksu itu. Namun, seorang biksu kecil yang berada tepat di sampingnya mencengkeram lengan kanannya dan menyelamatkan nyawa si biksu, sementara yang lain mencengkeram kerah bajunya. Dengan marah, Duan Tiande mengayunkan pedangnya ke belakang dan menjatuhkannya ke atas kedua biksu itu. Meskipun Qiu Chuji, Jiaomu, dan semua Orang Aneh adalah jago kungfu, mereka terluka parah atau jauh dari situ dan tidak dapat melakukan apa pun untuk menghentikannya.

Li Ping berteriak, “Bajingan! Hentikan! Hentikan!” Dia diseret ke mana-mana oleh Duan Tiande dan dengan sabar menunggu kesempatan muncul untuk membalaskan dendam suaminya. Melihat tanah berlumuran darah dan pria ini akan melakukan lebih banyak pembunuhan, ia tidak bisa menahan diri lebih lama lagi. Ia mennyerangnya dan mulai melawan dengan segala cara yang ia tahu. Yang lain mengira ia hanya bawahan Duan Tiande karena seragamnya. Semua orang cukup terkejut ketika ia tiba-tiba menyerang Duan Tiande.

Karena buta, pendengaran Ke Zhen’E sangat sensitif dan tahu bahwa Li Ping sebenarnya perempuan begitu ia mendengar suaranya. Ia menoleh ke Jiaomu, “Biksu Jiaomu, kami semua akan mati demi kau. Ternyata betul-betul ada perempuan yang disembunyikan di kuilmu!”

Sesaat setelah terkejut, akhirnya Biksu Jiaomu mulai memahami apa yang sebenarnya terjadi. Ia berpikir bahwa hanya karena satu kelengahan di pihaknya, ia tak hanya melukai dirinya sendiri, tapi ternyata juga menyeret teman-temannya ke dalam bencana. Diliputi amarah dan rasa malu tak terkira, ia meninju tanah dengan kedua tangannya untuk membantunya bangkit, lalu menyerang Duan Tiande dengan sekuat tenaga. Melihat serangan ganas itu, Duan Tiande segera menghindar. Karena tidak mampu mengendalikan gerak tubuhnya yang terluka parah, Biksu Jiaomu nyasar ke arah tiang penyanggah kuil, dengan kepala di depan, tewas seketika.

Saking takutnya, Duan Tiande dengan segera meraih tangan Li Ping dan membawanya kabur secepat mungkin. Li Ping berteriak-teriak minta tolong, tapi teriakannya terdengar makin lama makin jauh, sampai akhirnya tak terdengar lagi.


Yu Huang Da Di
Dua karakter Huangdi (皇帝) dipakai Kaisar Qin Shi Huang sebagai julukan untuk dirinya sendiri, yang secara umum bisa diartikan sebagai 'Kaisar', dan sejak saat itu istilah ini mulai dipakai orang. Karakter 'Di' (帝) yang dipakai di sini tidak mengacu kepada sosok penguasa tertinggi di muka bumi, melainkan sosok 'Mahadewa' dari mitologi panteon dalam Dinasti Shang. Sedangkan karakter Huang (皇) artinya adalah 'kuning', gabungan keduanya mengacu ke sosok mitologi Tiongkok kuno yang secara internasional dikenal sebagai 'Yellow Emperor'. Yu Huang Da Di (玉皇大帝) adalah nama yang dipakai untuk sosok yang secara internasional dikenal sebagai 'Jade Emperor'. Kutipan Si Sastrawan nyentrik di atas secara umum bertujuan untuk mengatakan bahwa sosok Mahadewa dengan otoritas tertinggi atas manusia yang dipercayai masyarakat pada saat itu akan murka.
Yan Lie kehilangan uang.
Cuplikan adegan dari versi 2003 ketika Yan Lie kehilangan uangnya ini tidak betul-betul tepat sama seperti urutan peristiwa dalam novel Jin Yong ini. Tetapi dialog dan peristiwa yang terjadi masih cukup representatif.
Panggilan Persaudaraan
Bahasa Mandarin untuk angka 1 — 10 adalah (一、二、三、四、五、六、七、八、九、十), dibaca: 'Yī, èr, sān, sì, wǔ, liù, qī, bā, jiǔ, shí'. Sedangkan angka 0 adalah 'Ling' (零). Tentu saja tidak ada saudara di urutan ke-0. Dalam memanggil saudara, urutan ini tinggal ditambahkan ke panggilan 'Ge' untuk kakak laki-laki, atau 'Jie' untuk kakak perempuan. Misalnya Er Ge (二哥) adalah 'kakak kedua' (laki-laki), atau Er Jie (二姐) untuk perempuan, karena 'Jie' (姐) adalah 'kakak'. Ini sama saja dengan dialek Hokkian di Indonesia 'Cik', atau bahasa Mandarin dengan gaya romanisasi ala Kho Ping Hoo atau Gan KL — 'Ci'. Sering juga ditulis 'Cie'. Demikian juga untuk 'adik' — 'Qi Di' (七弟) untuk 'Adik Laki-laki Ketujuh', atau Qi Mei (七妹) untuk 'Adik Perempuan Ketujuh'.

Sedikit berbeda untuk saudara seperguruan, yang memakai istilah 'Shi' (师), dan menjadi 'Shi Ge' (师哥) untuk 'Kakak seperguruan laki-laki', dan 'Shi Jie' (师姐) untuk perempuan. Istilah Xiong (兄), yang bermakna literal 'saudara laki-laki' bisa jadi digunakan oleh beberapa penulis untuk menggantikan 'Ge', karenanya akan menjadi 'Shi Xiong' (师兄).

Demikian juga berlaku untuk saudara sepupu , atau 'Biao' (表). Yang laki-laki, dan lebih muda akan dipanggil Biao Di (表弟), dan Biao Mei (表妹) untuk perempuan.

Budha Tertawa
Budha Tertawa
Pedang Nona Yue
Di akhir era Musim Semi dan Musim Gugur, negara bagian Yue dan Wu adalah musuh bebuyutan. Raja negara bagian Yue, Gou Qian, untuk mengingatkan dirinya sendiri akan kekalahan yang memalukan dan memotivasi diri untuk menang, menyiksa diri dengan tidur di ranjang jerami dan mencicipi sebuah kantong empedu yang digantungkan di langit-langit setiap hari. Namun demikian, Raja Wu memiliki seorang jenderal yang bernama Wu Tzushi, murid Sun-Tze, yang adalah seorang jendral besar, pelatih hebat dan ahli strategi. Melihat pasukannya masih bukan tandingan musuh, Gou Qian semakin tertekan. Suatu hari, seorang gadis cantik dengan ilmu pedang yang luar biasa tiba-tiba muncul di perbatasan Yue. Saking senangnya, Gou Qian segera memintanya untuk mengajarkan ilmunya kepada para prajuritnya, dan akhirnya bisa mengalahkan tentara Wu. Jiaxing, sebagai titik temu kedua negara, adalah tempat di mana beberapa pertempuran terjadi. Tidak mengherankan jika seluruh ilmu pedang diturunkan di wilayah ini. Masalah utama adalah semua ilmu pedang itu dirancang untuk digunakan secara lebih efektif di medan perang. Sebagian besar digunakan untuk menebas banyak tentara dan menjatuhkan kuda di kerumunan. Itu tidak cukup gesit dan lincah ketika digunakan untuk melawan jago kungfu di dunia persilatan. Baru di akhir Dinasti Tang teknik pedang ini diperbaiki oleh seorang pendekar pedang jenius dari daerah ini. Pendekar pedang ini membuat gerakannya jauh lebih kompleks dan lebih cepat. Julukan Han Xiaoying mengacu kepada Jurus Pedang Nona Yue ini.

Footnotes

  1. Utara Sungai Yangtze, kebalikan dari Jiangnan, di masa itu daerah ini dikuasai oleh Dinasti Jin.

  2. Nu’Er Hong (女儿红) adalah nama untuk arak merah dari wilayah Shaoxing, propinsi Zhejiang. Istilah ini punya arti literal ‘Anak Perempuan Merah’, di mana Nu’Er itu bermakna seperti dalam Wo De Nu’Er (我的女儿), atau ‘Anak perempuan saya’.”

  3. Selatan Sungai Yangtze, wilayah ini dikenal sebagai Jiangnan (江南), yang secara literal memang berarti ‘Sebelah Selatan Sungai’. Sungai yang dimaksud di sini adalah Sungai Yangtze. Jiangnan terletak tepat di bagian Selatan sungai itu. Daerah ini adalah kampung halaman Ketujuh Orang Aneh, karenanya julukan mereka adalah Jiangnan Qi Guai8 (Tujuh Orang Aneh dari Jiangnan).

  4. Fu Ren (夫人, baca: Fūrén), Nyonya atau ‘Ibu’, istilah umum untuk menyapa seorang perempuan yang sudah menikah. Di masa itu, seorang suami juga bisa memanggil istrinya dengan sebutan ini. Google Translate menerjemahkannya menjadi ‘Wanita’, tetapi ini akan keliru kalau wanita tersebut belum menikah.

  5. Seperti istilah sehari-hari “Barusan dibicarakan!”, ’Shou Cao Cao, Cao Cao Lai Le (说曹操 , 曹操来了)‘. Ini adalah sebuah peribahasa atau anekdot dengan memakai nama orang kuno yang dianggap sebagai tokoh antagonis di jaman itu, yaitu ‘Cao Cao’, Maknanya kurang lebih sama seperti ungkapan bahasa Inggris ‘Speak of the devil!‘.

  6. Nama Jiao Mu (焦木) ini secara literal berarti ‘Kayu Hangus’.

  7. Gelar Qiu Chuji bermakna ‘Musim Semi Abadi’, atau Chang Chunji (长春季). Sebenarnya karakter Chang (长) di sini bisa bermakna ‘Panjang’ atau ‘Lama’. Karenanya istilah dalam bahasa Inggris ‘Everlasting Spring’ terasa lebih sesuai.

  8. Tujuh Orang Aneh dari Selatan yang dimaksud di sini adalah Selatan Sungai Yang Tze. Daerah tersebut lebih dikenal luas sebagai Jiangnan. Dari sisi estetika barangkali lebih baik kita tulis ‘Jiangnan Qi Quai’ (江南七怪). Istilah ini untuk selanjutnya akan dipakai secara bergantian dengan ‘Tujuh Orang Aneh dari Jiangnan’. 2

  9. Julukan Zhang Ahsheng, yaitu Budha Tertawa, atau Budha Tersenyum, Xiao Fu (笑佛). Karakter ini sendiri punya banyak nama alternatif. Nama lainnya adalah ‘Pang Fu’ (胖佛), yang bermakna Budha Gendut, atau Kuai Le Fu (快乐佛) — di Indonesia istilah ini adalah ‘Ji Lai Hud’, yang bermakna ‘Budha Bahagia’. Perilaku Zhang Ahsheng maupun potongannya yang tinggi besar memang mirip karakter ini, meskipun tak pernah digambarkan bahwa Si Budha Tertawa punya dada berbulu lebat atau berotot. Zhang Ahsheng adalah pribadi yang tak pernah serius. Kecuali soal otot dan tampang tukang jagal, Zhange Ahsheng memang sangat cocok dengan karakter berikut.