Intro

Kisah Memanah Burung Rajawali, She Diao Ying Xiong Zhuan (射鵰英雄傳), atau judul yang lebih populer dalam bahasa Inggris adalah The Legend of The Condor Heroes1, adalah novel laris hasil karya Louis Cha (Jin Yong) yang dirilis pertama kalinya di Hong Kong antara 1 Januari 1957 - 19 Mei 1959 dalam bentuk cerita bersambung di surat kabar Hong Kong Commercial Daily.

Ini adalah bagian pertama dalam Trilogi Rajawali (Condor Trilogy), yang secara keseluruhan berkaitan sangat erat dengan perkembangan hubungan antara Tiongkok kuno dengan Mongol. Berawal dari menjelang akhir era Dinasti Song, di mana yang berkuasa adalah Dinasti Song Selatan, dengan ibukotanya Lin’an.

Pada saat itu wilayah padang rumput di bagian Utara Tiongkok terbagi menjadi beberapa konfederasi dari suku-suku nomad seperti Naiman, Khamag Mongol, Merkit, Keraite, dan juga Tatar. Sedangkan di sebelah Selatan, Dinasti Song sendiri mulai dari tahun 1184 sudah kehilangan kendali atas wilayah Utara mereka, yang jatuh ke tangan suku Jurchen2, yang akhirnya mendirikan Dinasti Jin3.

Dalam perkembangan nama Jurchen ini nantinya akan berganti menjadi Mancu.

Jurchen adalah bagian dari Dinasti Liao (907- 1125), sebuah kekaisaran yang dipimpin oleh suku Khitan. Bagi para penggemar cerita silat, suku ini dipopulerkan oleh seorang ketua Kai Pang bernama Xiao Feng — yang awalnya selalu percaya bahwa dirinya adalah seorang suku Han, dan memang dibesarkan oleh keluarga dari suku Han — dalam cerita berjudul Demi Gods and Semi Devils, yang mengambil setting dalam era Dinasti Song lebih awal dari cerita ini sendiri. Wilayah asal mereka adalah daerah Timur Laut Tiongkok yang sekarang, dan meskipun berlainan wilayah, mereka adalah termasuk suku semi-nomad dari Utara. Dengan demikian kita bisa menyimpulkan bahwa rentang waktu dalam cerita Demi Gods and Semi Devils adalah sebelum tahun 1125, karena pada saat itu Dinasti Liao dan suku Khitan masih ada dan berjaya.

Pada tanggal 9 Januari 1127, Jurchen menginvasi istana Kekaisaran Song di Bianjing ibukota Dinasti Song Utara4, dan mereka berhasil menyandera 2 kaisar sekaligus, yaitu Kaisar Hui Zong, yang saat itu sudah pensiun dan menyandang gelar Taishang Huang, dan Kaisar Qin Zong, yang mewarisi tahta ayahnya. Sebenarnya dalam realita pelimpahan tahta ini terjadi dalam kepanikan, karena Kaisar Hui Zong merasa tidak mampu mengatasi serbuan bangsa Jin (Jurchen), dan ia kemudian mengambil langkah mengundurkan diri dari tahta.

Kejadian ini tentu saja dipandang dan dirasakan sebagai sebuah penghinaan oleh bangsa Song, dan dikenal dalam sejarah sebagai Insiden Jing Kang. Sampai beberapa generasi setelah era ini, rakyat Song akan terus mengingatnya sebagai sebuah peristiwa sangat memalukan dan merendahkan martabat mereka sebagai manusia. Salah seorang menteri Song yang ikut berperan dalam peristiwa ini adalah Qin Hui, yang untuk seterusnya akan selalu dipandang sebagai salah satu tokoh antagonis utama.

Invasi Jurchen di atas dipimpin oleh Khan mereka yang bernama Wuqimai, ia punya nama lain yang disesuaikan dengan nama yang lebih dekat dengan masyarakat Selatan (Song), yaitu Wanyan Sheng, ia adalah kaisar kedua Dinasti Jin. Sedangkan orang yang mendirikan Dinasti Jin adalah Wanyan Aguda, yang awalnya bermarkas di sekitar Timur Laut Tiongkok yang sekarang, dan di sebelah Timur sangat dekat dengan Semenanjung Korea. Tempat ini adalah Jilin dan Heilongjiang.

Seperti semua insiden bersejarah lainnya, kejadian tersebut juga melahirkan para pahlawan bangsa, dan dalam hal ini yang paling sering disebutkan namanya dalam sejarah adalah Jendral Yue Fei, yang secara aktif terus melakukan perlawanan terhadap bangsa Jin, dan ironisnya, akhirnya ia tewas dieksekusi oleh kaisarnya sendiri. Qin Hui tentu saja ikut berperan dalam eksekusi tersebut. Namun begitu, sebenarnya perintah eksekusi itu diturunkan oleh Sang Kaisar sendiri, dalam hal ini adalah Gao Zong, yang ketika itu berhasil menyatukan sisa-sisa kekuatan Song, lalu membangun basis di wilayah Selatan, dan kembali memulihkan Dinasti Song, yang akhirnya dikenal dengan nama Song Selatan.

Sama seperti Hui Zong, Gao Zong juga sengaja turun tahta, lalu mengangkat putranya sebagai Kaisar Guang Zong. Tetapi alasannya sedikit berbeda. Kalau ternyata perjuangan Jendral Yue Fei yang pada saat itu sedang unggul di atas Jin, sampai sukses, ia takut bahwa kakaknya Qin Zong akan dibebaskan, dan setelah itu siapa yang akan menjadi kaisar? Secara otomatis Yue Fei akan cenderung kepada Qin Zong, dan bukan dirinya, dengan demikian ia lalu memberikan perintah kepada Yue Fei untuk menarik mundur pasukan, dan ini tentu saja sangat menguntungkan bagi Jin. Mereka selanjutnya menuntut Gao Zong untuk mengeksekusi Yue Fei, barulah kesepakatan damai ditandatangani.

Dalam buku pertama dari Trilogi Rajawali karya Jin Yong ini, nama-nama dan uraian di atas akan sering disebut.

Sementara Kekaisaran Song terus melemah, dan Kekaisaran Jin di wilayah Utara terus berusaha memperkuat diri, di wilayah yang lebih Utara lagi, para suku nomad terus bertikai di antara suku mereka sendiri, seringkali atas dasar dendam atau perebutan wilayah. Permusuhan di antara mereka dipertajam lagi oleh taktik adu-domba yang dijalankan oleh Dinasti Jin, karena dengan demikian mereka sendiri akan merasa lebih aman dari kemungkinan gangguan dari Utara, sementara mereka terus berusaha untuk menang atas Dinasti Song di Selatan. Dalam urusan ini mereka berkoalisi dengan Song, tanpa menunjukkan ambisi mereka untuk menguasai Song secara terang-terangan.

Seorang pemimpin dari suku Khamag Mongol kalangan Borjigin akhirnya mengambil inisiatif untuk menyatukan mereka semua, dengan tujuan awal untuk mengakhiri semua pertikaian yang sebetulnya tidak perlu ini. Sebelumnya ia sendiri juga sempat terlibat pertikaian untuk membalas dendam atas tewasnya ayahnya, kepala suku dari Khamag Mongol, Yesugai, dan juga untuk merebut kembali istrinya dari tangan suku Merkit. Orang ini bernama Temujin.

Sebelum Temujin dilahirkan, di tahun 1146, Hambussin Khan, atau Ambaghai dari suku Khamag Mongol, ditangkap oleh suku Tatar bersama dengan putra Khabul Khan, yaitu Todo’en Otchigin, ketika melamar putri dari kepala suku Tatar untuk dikawinkan dengan putranya Qadaan Taishi. Ambaghai5 adalah paman dari Yesugai, ayah kandung Temujin.

Sebenarnya kejadian tersebut adalah hasil rancangan para pemimpin Dinasti Jin yang saat itu dipimpin oleh Wanyan Dan, atau lebih dikenal sebagai Kaisar Xizong, menanggapi perkembangan pesat suku-suku Mongol. Kejadian tersebut membekas di hati Temujin, dan sebetulnya mempengaruhi hampir semua orang Mongol. Ini membuat mereka selalu curiga kalau berhadapan dengan orang dari Dinasti Jin.

Tidak lama setelah peristiwa itu, Kaisar Xizong sendiri digulingkan oleh sebuah kudeta yang dilakukan oleh Digunai, yang kemudian lebih dikenal sebagai Wanyan Liang. Saat itu Digunai adalah seorang panglima militer dari Xizong.

Segera setelah ia naik tahta, ia menyingkirkan semua pejabat penting yang dipandang berbahaya karena setia kepada Kaisar Xizong, dan selalu curiga kepada semua orang yang cukup dekat dengan keluarga kaisar sebelumnya. Ini mempengaruhi stabilitas pemerintahan Dinasti Jin sendiri.

Selain hal itu Wanyan Liang juga membuat sebuah kebijakan baru, yaitu mengadopsi sebagian besar kebudayaan Song, mulai dari nama orang, tulisan, kesenian, cara berpakaian, dan banyak elemen sosial lainnya. Semua upaya ini bertujuan untuk menjadikan dirinya seorang Kaisar baru dalam masyarakat Dinasti Song, pendahulunya, dan secara bertahap akan menggeser popularitas Dinasti Song Selatan yang saat itu masih bertahan.

Dalam upaya untuk menyatukan para suku Mongol, Temujin kemudian membangun aliansi dengan saudara angkatnya, yaitu Toghrul, atau yang lebih populer dengan sebutan Wang Khan atau Ong Khan, dari suku Keraite, yang turun-temurun adalah penganut agama Kristen. Mereka mulai segala upaya tersebut sejak tahun 1184.

Ketika itu bangsa Jin yang menginvasi wilayah Utara Kekaisaran Song menjadi semakin kuat, dan yang bertahta sebagai Kaisar Song Selatan adalah Xiao Zong, sedangkan yang menjadi kaisar dalam Dinasti Jin adalah Wanyan Yong, atau Wulu, dengan gelar Kaisar Shizong dari Jin. Ia menjadi kaisar setelah Wanyan Liang, atau Digunai, yang merebut tahta dari keluarganya, berusaha membunuhnya di tengah upaya untuk menginvasi wilayah Song Selatan dan menyatukannya dengan wilayah Utara yang mereka kuasai.

Para prajurit dan pejabat yang tidak puas dengan kebijakan yang diterapkan oleh Wanyan Liang pada saat itu mendukung Wulu dan berusaha menyelamatkannya, dan akhirnya Wanyan Liang tewas dibunuh oleh Wanyan Mouyan yang ikut serta dalam pemberontakan tersebut. Wulu pun melenggang ke tahta tanpa kesulitan berarti setelah kematiannya.

Setelah naik tahta, Wulu sebagai Kaisar Shizong menurunkan gelar Wanyan Liang yang sudah tewas menjadi Pangeran Yang dari Hailing. Ia secara otomatis juga bersikap oposisi terhadap kebijakan sistem berpakaian dan segala kebudayaan masyarakat Song. Dengan demikian sebagian masyarakat Song Utara yang sebelumnya sempat tergerak oleh perubahan yang dilakukan oleh Wanyang Liang menjadi kembali antipati kepada bangsa Jin6.

Sebagai penganut Taoisme, Kaisar Shizong pada tahun 1187 sempat mengundang salah seorang murid dari pendiri Perguruan Quanzhen, Wang Chongyang, yang bernama Wang Chuyi ke istana untuk berkotbah7. Hal ini sempat menimbulkan pertanyaan di hati sebagian orang dalam Perguruan Quanzhen sendiri. Menurut beberapa sumber sejarah, Pendeta Qiu Chuji juga diundang dalam acara tersebut. Meskipun demikian, baik dalam novel ini sendiri maupun dalam catatan sejarah, kita bisa melihat bahwa akhirnya Qiu Chuji lebih cenderung mendukung Genghis Khan, dan bukan Dinasti Jin8.

Buku pertama dari Trilogi Rajawali ini mengawali cerita di era kekuasaan Kaisar Ning Zong dari Song, yang mewarisi tahta dari ayahnya, Kaisar Guang Zong. Sementara dari sisi Dinasti Jin, yang berkuasa saat itu adalah Madage, atau Wanyan Jing, dengan gelar Kaisar Zhang Zong dari Jin.

Pada saat itu para pendeta Tao dari aliran Quanzhen yang didirikan oleh Wang Chongyang sangat aktif dalam membela rakyat yang tertindas, khususnya yang diakibatkan oleh invasi bangsa Jin di wilayah Utara.

Catatan Mengenai Peristilahan

Istilah-istilah Tionghoa yang dipakai dalam tulisan ini memakai sistem romanisasi dengan gaya Wade-Giles, dan tentunya berdasarkan bahasa Mandarin yang netral, bukan seperti yang bisa dibaca dalam karya-karya penulis legendaris Indonesia seperti Kho Ping Hoo atau Gan KL, yang cenderung memakai dialek Hokkian.

Beberapa istilah sudah terlanjur melekat di hati dan pikiran masyarakat Indonesia, baik mereka adalah pecinta cerita silat atau bukan, dan belum tentu seorang keturunan Tionghoa. Contoh nyata adalah ‘Kaipang’, atau biasa diterjemahkan menjadi ‘Partai Pengemis’. Istilah tersebut juga sering ditulis Kay Pang atau Kai Pang, pendeknya cara penulisan ini sudah menjadi semacam tradisi, dan sulit digantikan. Karena alasan ini saya tetap mempertahankan cara penulisan yang lama, dan sudah populer.

Sebenarnya bahasa Mandarin untuk istilah tersebut adalah 丐帮. Kalau kita secara konsisten mengikuti gaya Wade-Giles akan menjadi ‘Gai Bang’. Tetapi kalau di sepanjang novel ini dituliskan seperti itu, saya kira akan cukup mengganggu, karena para pembaca setia cerita silat (termasuk yang bukan karya Jin Yong) sudah terbiasa membacanya sebagai Kaipang atau Kai Pang. Karakter pertama ‘Kai’ atau ‘Gai’ (丐) artinya adalah ‘Pengemis’ atau ‘Beggars’, sedangkan karakter kedua ‘Bang’ atau ‘Pang’ (帮) bermakna ‘Geng’, yang secara umum sama saja dengan ‘Kelompok’ atau ‘Partai’, organisasi, dsb. Tetapi ‘Partai’ mengandung konotasi politik, sedangkan ‘Geng’ memang mengandung konotasi negatif. Tetapi justru sebenarnya kehadiran Kaipang sendiri memang agak negatif — yaitu bagi pemerintah di jaman itu — karena kehadiran mereka biasanya cenderung mengacaukan suatu tatanan yang dibangun oleh pemerintah. Dalam konteks ini kita bisa melihat bahwa Ketua Kaipang, Hong Qigong, sebenarnya adalah semacam Ketua Gangster.

Catatan Lain

Tokoh yang menerjemahkan dan merangkum isi Jiu Yin Zhen Jing dalam terjemahan bahasa Inggris bernama Huang Shang, tetapi yang benar adalah Huang Chang (黃裳). Ini sebetulnya cukup penting karena Huang Shang dalam pinyin sebetulnya lebih sering dipakai sebagai sebutan bagi seorang Kaisar. Kalau kita memakai Google Translate, memang kedua karakter tersebut akan diberi cara penyebutan Huang Shang, tetapi kalau kita menerjemahkannya menjadi bahasa Indonesia atau Inggris, maka nama tersebut mendapat romanisasi menjadi Huang Chang.

— FX. Adi Lima

Footnotes

  1. Judul bahasa Inggris ini dipopulerkan oleh TVB, Hong Kong, dengan serial televisinya, yang diadaptasikan dari cerita yang sama.

  2. Nu Zhen (女真) adalah bahasa mandarin untuk Jurchen.

  3. Istilah Dinasti Jin di sini berbeda dengan Dinasti Jin yang mengacu ke sebuah Kekaisaran setelah Dinasti Han ambruk, yang dipimpin oleh cucu dari Sima Yi, yaitu Sima Yan.

  4. Di kemudian hari nama ibukota ini diganti menjadi Kaifeng, sampai sekarang.

  5. Cuplikan adegan Ambaghai mengalami penyiksaan fisik ketika ditangkap oleh suku Tatar ini adalah bagian dari serial The Legend of Genghis Khan, atau disingkat ‘Genghis Khan’, 2004.

  6. Kebijakan sosial ala Wanyan Liang ini nantinya akan kembali diadopsi oleh suku Jurchen yang akhirnya kembali menguasai wilayah pusat setelah berhasil menggulingkan Dinasti Ming, dan mendirikan Dinasti Qing. Tidak seperti sebelumnya, proses asimilasi etnis tersebut sangat sukses dan pemerintahan Dinasti Qing berlangsung selama ratusan tahun, dengan struktur sosial yang cukup mencolok berbeda dengan Dinasti pendahulunya.

  7. Pendeta Wang Chuyi, seperti saudara seperguruannya, Qiu Chuji, juga adalah seorang tokoh Aliran Quanzhen yang pernah hidup dalam sejarah.

  8. Pendeta Qiu Chuji adalah seorang tokoh spiritual beraliran Taoisme yang memang ada dan pernah hidup dalam sejarah, tepat di era seperti dalam cerita. Ia juga sungguh-sungguh adalah anggota dari Aliran Quanzhen, dan memang sempat sangat dekat dengan Genghis Khan.