Bab 35

Di Sebuah Kuil

IlustrasiNarasi
Ilustrasi Bab 35Kedua prajurit itu terpaksa menggotong Ke Zhen’E saat mereka meneruskan perjalanan. Huang Rong menggerakkan tongkat bambunya, terus-menerus melecut mereka. Menjelang senja mereka tiba di Kuil Tombak Besi. Di atas pagoda yang tinggi di dekat kuil, burung-burung gagak telah membuat sarang selama beberapa generasi. Ribuan burung gagak terbang kian kemari di udara.

Begitu kapal itu mencapai tepian, dua sampai tiga puluh orang turun ke pantai, di antara mereka ada Peng Lianhu, Sha Tongtian dan kawan-kawan. Yang terakhir mendaratkan kaki adalah dua orang, yang satu tinggi dan yang lainnya pendek. Orang yang bertubuh tinggi itu adalah Pangeran Zhao dari Jin Agung, Wanyan Honglie, sedangkan yang pendek adalah Ketua Sekte Telapak Besi, Qiu Qianren.

Tampaknya Wanyan Honglie mengandalkan Ouyang Feng dan Qiu Qianren untuk membantu mereka, maka ia sangat percaya diri mereka akan memenangkan kontes ilmu silat, karena itu ia rela datang secara pribadi ke Jiangnan.

Sambil menunjuk Qiu Qianren Huang Rong berkata, “Ayah, orang tua ini memukul anakmu dengan telapak tangannya, aku nyaris kehilangan nyawa.”

Di Rumah Awan Huang Yaoshi telah melihat kelakuan buruk Qiu Qianren, ia tidak tahu bahwa itu sebenarnya adalah Qiu Qianzhang yang sedang menyamar. Ia mengira adalah sangat aneh dengan mengandalkan tipuan kecil orang ini sanggup melukai putrinya.

Pada saat itu Ouyang Feng sedang berdiskusi dengan Wanyan Honglie dan yang lain, mereka berbicara dengan suara rendah. Setelah agak lama Ouyang Feng mendatangi Hong Qigong dan berkata, “Qi Xiong, kau sudah bilanh bahwa dalam kontes ilmu silat ini kau tidak akan membantu pihak manapun, kan?”

Dalam hati Hong Qigong berkata, “Aku punya minat, tapi tak punya kekuatan, kalaupun aku ingin membantu aku juga tidak punya kemampuan untuk melakukannya.” Tak punya pilihan lain, ia pun menjawab, “Ada kontes atau tidak, aku sudah bilang, itu tanggal lima belas bulan delapan.”

“Begitu,” kata Ouyang Feng. “Yao Xiong, Quanzhen dan Tujuh Orang Aneh dari Jiangnan bermusuhan denganmu. Kau adalah seorang guru besar dan seorang Qianbei, akan tidak pantas kalau kau turun tangan sendiri menangani orang-orang ini. Biarkan Xiongdi yang menangani mereka untukmu, kau bisa berdiri di samping dan menonton, bagaimana menurutmu?”

Huang Yaoshi memikirkan situasi pertarungan dari sudut pandang kedua belah pihak. Kalau Hong Qigong tidak ikut beraksi, Perguruan Quanzhen pasti akan jatuh di tangan maut Ouyang Feng, maka berarti Perguruan Quanzhen menghadapi bencana dalam waktu dekat. Kalau Guo Jing membela mereka dengan mengambil posisi Tian Xuan, maka Ouyang Feng tidak akan bisa menandingi Formasi Tujuh Bintang Utara. Tetapi kalau anak bodoh ini terus-terusan mengganggu Huang Yaoshi, maka situasinya tidak akan sama, ia berpikir, “Bocah Guo Jing ini masih hijau, masalah hidup-mati Quanzhen, keberuntungan atau malapetaka, sungguh-sungguh tergantung pada dia. Kalau Wang Chongyang di akhirat tahu, yang bisa dilakukannya hanyalah tertawa pahit.”

Ouyang Feng melihat bahwa ia tampak acuh tak acuh tanpa menjawab pertanyaannya, jika Zhou Botong datang, maka situasi akan merugikan baginya, karena itu ia tertawa dan berseru, “Semuanya, serbu! Kalian tunggu apa lagi?”

Hong Qigong marah. “Itu omongan manusia atau kentut anjing?”

Ouyang Feng menunjuk ke langit dan berkata sambil tersenyum, “Zi shi1 sudah lewat, saat ini sudah dini hari tanggal lima belas bulan delapan.”

Hong Qigong mendongak dan melihat bahwa bulan telah bergeser sedikit ke arah barat, setengahnya masih tertutup awan gelap, ini memang benar adalah akhir dari Zi Shi dan dimulainya Chou Shi2.

Tongkat ular Ouyang Feng menyerang, sasarannya adalah dada Qiu Chuji. Menghadapi musuh bebuyutan mereka, Peng Lianhu menonton dengan penuh perhatian di samping, siap menyerang. Enam Pendekar Quanzhen tahu bahwa kesalahan sedikit saja akan membuat mereka tewas, maka dari itu mereka membulatkan tekad dan melawan Ouyang Feng dengan segenap hati, tetapi hanya dalam beberapa jurus mereka berenam mengeluh dalam hati.

Kali ini niat Ouyang feng adalah untuk memamerkan kekuatannya di hadapan semua orang, semua jurus yang ditampilkannya sangat cepat dan mematikan, khususnya kedua ular yang ada di kepala tongkatnya, yang maju mundur, menyerang atau mengelak dalam gerakan mendadak, pada hakekatnya tidak mungkin dilawan. Qiu Chuji, Wang Chuyi dan yang lain beberapa kali mencoba untuk menikam ular-ular itu, tetapi mereka tidak bisa mengimbangi kecepatannya.

Huang Rong melihat Guo Jing masih menatap ayahnya dengan marah. Hanya karena Hong Qigong menghalanginya ia tidak berani menyerang. Ia tiba-tiba terinspirasi dan berkata, “Sepajang hari ngomong soal membalas dendam ayahnya, hmm, sekarang pembunuhnya ada di sini tapi dia takut.”

Kata-katanya mengingatkan Guo Jing, ia mengalihkan pandangannya kepada Huang Rong dan berpikir, “Membunuh anjing Jin itu dulu, baru kemudian mencari Huang Yaoshi juga masih belum terlambat.” Sambil menghunus pisaunya ia menerjang ke arah Wanyan Honglie.

Secara serempak Sha Tongtian dan Penglianhu maju untuk menghadang di depan Wanyan Honglie. Guo Jing memutar pergelangan tangannya dan belati di tangannya menikam miring ke bawah. Peng Lianhu menangkis dengan sepasang penanya, ‘tring!’ senjata-senjata itu beradu dan ia merasakan sensasi kesemutan di telapak tangannya. Guo Jing berturut-turut melewati dua orang. Teknik Yi Xing Huan Wei3 milik Sha Tongtian juga tidak bisa menahan langkahnya. Buru-buru Sha Tongtian berusaha mengejarnya. Lingzhi Shangren dan Lian Ziweng masing-masing dengan senjata di tangan memposisikan diri untuk menghadang Guo Jing.

Guo Jing berkelebat ke samping untuk menghindari dua Jarum Penembus Tulang4 milik Liang Ziweng, kedua tangannya, satu dengan belati dan yang lain telapak tangan kosong, melancarkan Di Yang Chu Fan5, melemparkan tubuhnya ke depan.

Liang Ziweng melihat bahwa tenaga yang datang sangat cepat dan dahsyat, ia bergulingan menjauh di tanah untuk menghindarinya. Lingzhi Shangren tinggi dan gemuk, ia tidak segesit itu, ia merasa jika ia menghindar maka lawan akan mendapat jalan mulus ke arah Pangeran Zhao, maka ia mengangkat sepasang simbalnya, berusaha menangkis serangan itu. Dengan dua suara ‘tring! tring!’ tangannya tergetar dan kedua simbal itu melayang ke udara, sementara hembusan angin dari telapak tangan Guo Jing terus menerpa mukanya. Mengandalkan kekuatan dan racun di telapak tangannya, Lingzhi Shangren menangkis telapak tangan Guo Jing, hanya untuk merasa dadanya sesak dan lengannya kesemutan dan pegal-pegal, telapak tangannya terkulai lemas, persendian di pergelangan tangannya tergetar dan yang mengejutkannya adalah ia tidak dapat menggunakan tangan beracunnya. Ia berdiri bengong tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Jika Guo Jing memanfaatkan kesempatan dan mengirimkan sebuah pukulan, maka ia dengan mudah akan mencabut nyawa Lingzhi Shangren, tetapi ia ingat bahwa sasaran utamanya adalah Wanyan Honglie, jadi ia tidak menengok lagi ke arah Lingzhi Shangren.

Sepasang simbal tembaga itu terbang di udara dan berkilau di bawah sinar bulan, satu per satu simbal-simbal itu berjatuhan. ‘Gong!’ salah satu simbal jatuh di atas kepala Lingzhi Shangren. Untungnya simbal itu dalam posisi horizontal, kalau tidak maka pinggirannya yang setajam pisau akan membelah kepala botak biksu Tibet itu menjadi dua. Suara ‘Gong!’ lain menyusul, lebih nyaring dan jelas ketimbang yang pertama, simbal yang kedua mendarat di atas yang pertama, menciptakan gema berkesinambungan, yang mencapai jauh ke tengah danau dan terpantul ke permukaan air danau.

Wanyan Honglie melihat betapa Guo Jing mampu menerobos empat ahli silat tanpa kehilangan langkah dan tiba-tiba muncul di hadapannya, ia tidak dapat menahan keterkejutannya dan menjerit, “Aiyo!” sambil memutar tubuhnya dan melarikan diri.

Dengan belati di tangan Guo Jing mengejarnya, tapi ia hanya berhasil mengejar beberapa langkah ketika tiba-tiba sebuah bayangan kuning berkelebat lewat, sepasang telapak tangan datang dalam posisi miring ke arahnya. Guo Jing melangkah ke samping untuk mengelak, sementara belati di tangannya menikam ke depan, tetapi tubuhnya terayun oleh serangan yang datang itu, buru-buru ia meneguhkan langkahnya dan melihat bahwa musuh yang datang itu adalah Ketua Telapak Besi, Qiu Qianren. Guo Jing tahu kungfu lawan lebih tinggi dari kungfunya, jadi ia tidak akan bisa mengejar musuhnya. Dengan belati di tangan kanan dan telapak tangan kiri kosong ia memusatkan perhatian untuk menghadapi Qiu Qianren.

Peng Lianhu tahu situasi kritis telah lewat ketika melihat Guo Jing tertahan oleh Qiu Qianren, sementara Liag Ziweng dan Sha Tongtian mengawal di depan Wanyan Honglie. Ia mengalihkan perhatiannya kepada Ke Zhen’E dan berkata sambil tersenyum, “Ke Daxia, kenapa hanya satu dari Tujuh Orang Aneh dari Jiangnan yang muncul?”

Tongkat besi Ke Zhen’E dibuang ke Danau Selatan oleh Huang Rong, mendengar penghinaan musuh ia melambaikan tangannya untuk mengirim kacang besi, sementara ia sendiri melompat mundur. Di bawah sinar bulan yang redup kacang besi itu tampak cepat dan bertenaga. Peng Lianhu pernah menderita gara-gara senjata rahasia beracun itu. Ia ketakutan seperti burung takut menghadapi busur, ia tidak berani menangkis menggunakan penanya, maka dari itu ia buru-buru menancapkan kedua penanya ke tanah dan menggunakannya sebagai tumpuan untuk membantunya melompat tinggi ke udara. Diiringi desingan kacang besi itu melewati bagian bawah kakinya. Ia memperhatikan tangan Ke Zhen’E tidak bersenjata, sambil menggertakkan gigi ia menerjang maju bersama kedua penanya.

Ke Zhen’E adalah orang cacat, ia biasa berjalan dengan bantuan tongkatnya. Ia mendengar suara angin ketika serangan lawan tiba, ia tak punya pilihan selain mengerahkan segenap tenaganya untuk melompat dua langkah ke samping, dan hampir jatuh ketika kaki kirinya mendarat di tanah gembur.

Peng Lianhu kegirangan, dengan pena kirinya ia bertahan dari kemungkinan serangan Ke Zhen’E, seandainya ia cukup frustasi untuk melancarkan serangan demi menyelamatkan nyawanya sendiri, sementara pena kanannya dengan kejam menghujam ke arah dada Ke Zhen’E.

Ke Zhen’E mendengarkan suara untuk membedakan bentuk, ia bergulingan menjauh untuk mengelak. Pena baja Peng Lianhu menghantam sebuah batu di tanah, percikan api berhamburan kemana-mana. “Bajingan buta,” makinya. “Kau sungguh licin!” Pena di tangan kirinya ikut menyerang.

Sementara bergulingan menjauh, ‘wuss!’ Ke Zhen’E melepaskan lagi sebutir kacang besi. Lingzhi Shangren sedang berdiri di dekat situ, tangan kirinya sedang menopang tangan kanan, mulutnya sibuk berkomat-kamit memaki dalam bahasa Tibet, ketika melihat Ke Zhen’E bergulingan di dekatnya, ia mengangkat kakinya berusaha untuk mengganjalnya.

Ke Zhen’E mendengar suara angin, menggunakan tangan kirinya untuk menepuk tanah ia melemparkan dirinya ke samping untuk meloloskan diri. Tapi dengan menghindari kaki biksu Tibet itu berarti ia tidak dapat lolos dari sepasang pena di punggungnya. Ia merasakan tusukan yang menyakitkan dan siam-diam menjerit, “Celaka!” Ia memejamkan mata, bersiap menyambut ajal. Tiba-tiba ia mendengar suara lembut berseru, “Minggir!” dan diikuti oleh, “Aiyo!” akhirnya ia mendengar suara keras ‘dukk!‘.

Ternyata Huang Rong menggunakan Tongkat Penggebuk Anjing untuk memblokir pena, memutar dan mencungkilnya ke atas, melemparkan baik pena maupun Peng Lianhu jauh-jauh. Teknik permainan tongkat ini tepat sama seperti yang digunakan Huang Rong untuk melemparkan tongkat besi Ke Zhen’E, hanya saja Peng Lianhu memegang penanya erat-erat dan tidak mau melepaskannya apapun juga yang terjadi, maka Peng Lianhu dan penanya terpental bersama-sama.

Peng Lianhu terkesiap dan sekaligus marah, ia merangkak kembali hanya untuk melihat Huang Rong sedang menggunakan tongkatnya untuk melindungi Ke Zhen’E, memberinya kesempatan untuk bangkit berdiri. “Xiao Yaonu, siapa yang minta pertolonganmu?”

Mengabaikan dia Huang Rong berseru, “Ayah, tolong jaga orang buta tolol ini, jangan biarkan siapapun menyakitinya.” Sambil bicara ia menerjang ke arah Guo Jing untuk membantunya melawan Qiu Qianren.

Ke Zhen’E tercengang, ia berdiri bengong tak tahu harus berbuat apa. Peng Lianhu melihat Huang Yaoshi berdiri diam di kejauhan, dengan punggungnya menghadap ke arah mereka, tampaknya ia tidak mendengar seruan putrinya. Diam-diam Peng Lianhu berputar ke belakang Ke Zhen’E dan mendadak ia menusukkan penanya ke punggung Ke Zhen’E. Gerakan itu cepat dan ganas, sedemikian rupa sehingga jika Ke Zhen’E masih memegang tongkat besi di tangan pun belum tentu mampu menangkisnya. Peng Lianhu melihat upayanya hampir sukses ketika terdengar suara ‘wus!’, sesuatu terbang memecah udara, memukul penanya sampai terpental. Ternyata benda itu adalah sebuah kerikil kecil. Telapak tangan Peng Lianhu mati rasa dan pena itu jatuh ke tanah.

Peng Lianhu terkejut, ia tidak tahu dari mana datangnya kerikil itu, dan bagaimana caranya benda itu bisa membawa tenaga sebesar itu. Ia melihat Huang yaoshi dengan tangan di belakang punggungnya, masih memandang awan hitam di cakrawala.

Di Rumah Awan Ke Zhen’E mendengar suara Ilmu Sentilan Jari Dewa ini, ia tahu pasti Huang Yaoshi yang telah menyelamatkan nyawanya. Dengan murka ia menerjang ke arah Huang Yaoshi sambil berteriak, “Tujuh bersaudara hanya tinggal satu, kenapa aku harus terus hidup lagi!”

Huang yaoshi masih tetap tidak memalingkan kepalanya, ia menunggu sampai Ke Zhen’E sekitar tiga kaki dari tempatnya sebelum tangan kirinya terayun pelan ke belakang. Ke Zhen’E merasakan tenaga dahsyat mendorongnya mundur sampai ia terjengkang. Cepat-cepat ia duduk, tetapi ia merasa darah meluap ke dadanya dan ia tidak bisa berdiri.

Saat itu langit telah menjadi lebih gelap, kabut yang menyelimuti permukaan danau semakin tebal, kabut itu seolah meluap sampai ke tepian, menenggelamkan kaki semua orang di dalamnya. Guo Jing dan Huang Rong berhasil mengimbangi Qiu Qianren. Di pihak lain Aliran Quanzhen berada dalam situasi sulit, paha Hao Datong tersapu tongkat ular, setengah bagian jubah Sun Bu’er robek. Wang Chuyi diam-diam kuatir, ia tahu kalau pertarungan itu berlanjut, tak lama lagi seseorang pasti akan tewas atau terluka parah. Make ketika Ma Yu dan Liu Chuxuan melancarkan serangan serempak dari kiri dan kanan, ia mengambil sebuah roket kembang api dari sakunya.

Dengan suara mendesis roket itu meluncur ke udara, seperti meteor yang berekor panjang di langit yang gelap.

Sebenarnya ketujuh pendekar Quanzhen telah menerima murid yang tidak sedikit jumlahnya, mereka telah membentuk sejumlah besar murid-murid generasi ketiga. Di luar Yin Zhiping, masih ada Li Zhichang, Zhang Zhijing, Wang Zhitan, Qi Zhicheng, Zhang Zhixian Zhao Zhijing, dan lain-lainnya. Mereka semua orang yang cukup menonjol. Dalam kontes ilmu silat di Kedai Hujan Berkabut itu, ketujuh pendekar Quanzhen kuatir bahwa Peng Lianhu, Sha Tongtian dan yang lain akan membawa murid-muridnya dalam upaya untuk menang dengan jumlah banyak. Karena itu mereka juga membawa murid-murid mereka ke Jiaxing dan menyuruh mereka menunggu di tepi Danau Selatan. Begitu mereka melihat roket, seharusnya mereka segera datang dan mengulurkan tangan untuk membantu. Sayangnya kabut terlalu tebal, meskipun hanya terpisah beberapa kaki sangat sulit membedakan orang, jadi ia kuatir murid-murid mereka tidak bisa menembus kabut.

Belakangan, setelah bergebrak beberapa saat, kabut putih itu semakin menebal, semua orang terbungkus kabut tebal sampai mereka mendadak merasa tinggal sendirian. Awan hitam yang terkumpul di langit juga semakin menebal, sinar bulan yang redup, yang menembus lapisan awan itu semakin melemah, sampai akhirnya sama sekali lenyap. Semua orang cemas, meskipun tidak berhenti bertarung, jarak antara mereka semakin menjauh, pergerakan mereka lebih sering bertahan ketimbang menyerang.

Guo Jing dan Huang Rong sedang melawan Qiu Qianren bersama-sama, tiba-tiba kabut tebal muncul dan membungkus mereka bertiga. Guo Jing melihat Qiu Qianren dan Huang Rong mendadak lenyap, ia memutuskan untuk segera mencari Wanyan Honglie. Matanya terbuka lebar, berusaha menangkap bayangan mahkota emas di kepala Wanyan Honglie. Tapi kabut itu sangat padat, ia bahkan tidak bisa melihat apa-apa dalam radius tiga kaki. Ia bergegas kesana-kemari untuk mencari lawan, mendadak ia mendengar suara seseorang berseru dari dalam kabut, “Zhou Botong hadir di sini, siapa mau melawanku?”

Guo Jing kegirangan, ia hendak menjawab tetapi Qiu Chuji mendahuluinya, “Zhou Shishu, apa kabarmu?”

Tepat pada saat itu awan gelap menyibakkan sebuah celah dan mendadak semua orang bisa melihat lawan yang sebenarnya nyaris bisa saling menjangkau, kalau semuanya saling menyerang, maka mereka pasti akan terluka. Seolah-olah punya kesepakatan mereka semua berteriak kaget dan melompat mundur.

Zhou Botong cekikikan ketika berdiri di antara orang-orang itu, ia berkata dengan suara keras, “Banyak orang di sini, ramai sekali. Luar biasa! Luar biasa!” Tangan kanannya meraih sesuatu di bawah siku kirinya, ia meraup sejumlah kotoran dan membentuknya menjadi bulatan, ia berkata, “Akan kuracuni kalian!” dan ia mencekokkan ‘pil’ itu ke mulut Sha Tongtian yang berdiri di dekatnya.

Sha Tongtian cepat-cepat menghindar, tetapi meskipun ia menggunakan Yi Xing Huan Wei, ia tetap saja terlambat. Tangan kirinya tercekal oleh Zhou Botong dan kotoran dijejalkan ke mulutnya. Ia sudah cukup menderita di bawah tangan Zhou Botong sebelumnya, ia tahu jika ia meludahkan kotoran itu, ia akan dipukuli, karena itu ia tak punya pilihan selain diam dan membiarkan kotoran itu tetap di dalam mulutnya. Ia tahu kotoran itu bukan racun, jadi ia sudah jelas tidak takut.

Begitu Wang Chuyi melihat Zhou Botong tiba-tiba muncul, ia kegirangan. “Shishu,” panggilnya. “Ternyata benar kau tidak dibunuh oleh Huang Daozhu.”

“Siapa bilang aku mati?” tanya Zhou Botong marah. “Huang Laoxie selalu ingin mencelakai aku, tapi sudah lebih dari sepuluh tahun dan dia masih belum juga berhasil. Hah, Huang Laoxie, cepat sini dan coba lagi.” Sambil bicara ia mengibaskan kepalannya ke arah bahu Huang Yaoshi.

Huang Yaoshi tidak berani mengabaikannya, ia membalas dengan menggunakan jurus dari Shen Jian Luo Ying Zhang6 sambil berseru, “Para rambut kacau dari Quanzhen menyalahkan aku karena membunuhmu, mereka menggangguku tanpa alasan, bilang bahwa mereka mau membalas dendam untukmu.”

Zhou Botong marah. “Kau membunuhku? kau mimpi ya? Kapan kau membunuhku? Coba lihat baik-baik, aku ini manusia atau hantu?” Sambil omong kosong ia terus bertarung makin lama makin cepat.

Huang Yaoshi tahu Zhou Botong tidak bisa diajak bicara serius dan masuk akal, ia menyerang seenaknya tetapi gerakannya sangat indah dan dahsyat. Huang Yaoshi tidak punya pilihan selain bertarung dengan segenap kekuatannya.

Para pendekar Quanzhen mengira segera setelah paman guru mereka datang, ia akan bekerja sama dengan Huang Yaoshi untuk melawan Ouyang Feng, tapi di luar dugaan Shishu mereka ini tidak mau mendengarkan mereka dan malah terlibat perkelahian dengan Huang Yaoshi dalam jarak dekat. “Shishu, jangan berkelahi dengan Huang Daozhu!” seru Ma Yu berulang-ulang.

Ouyang Feng menimpali, “Betul sekali, Lao Wantong, kau sama sekali bukan tandingan Huang Laoxie, cepat lari, selamatkan jiwamu! Cepat, cepat!”

Mendengar tantangan itu Zhou Botong lebih tidak mau menyerah lagi. Huang Rong berseru, “Lao Wantong, kau memakai kungfu dari Jiu Yin Zhen Jing untuk melawan ayahku, kakak seperguruanmu mau bilang apa di akhirat?”

Tawa Zhou Botong tersembur, ia tampak sangat bangga ketika berkata, “Lihat baik-baik, apa aku memakai kungfu dari kitab itu? Aku menghabiskan banyak tenaga untuk melupakan kitab itu. Hehe… belajar itu gampang, melupakannya justru sulit! Yang kupakai sekarang adalah tujuh puluh dua jurus Tinju Kosong, ciptaan Lao Wantong sendiri, kau kira sama dengan kentut Jiu Yin Zhen Jing ya?”

Ketika melawannya di Pulau Bunga Persik, Huang Yaoshi berpikir bahwa pukulan dan tendangannya jauh lebih kuat, sekarang ia melihat meskipun teknik pukulannya sangat halus dan menakjubkan, tetapi kekuatannya lebih lemah ketimbang apa yang bisa diingatnya, tetapi Zhou Botong ternyata masih bisa mengimbanginya, yang membuatnya merasa sangat heran. Mendengar ucapan Zhou Botong Huang Yaoshi diam-diam sangat terkesan, terlepas dari teknik aneh yang diterapkannya, Zhou Botong mampu menciptakan kungfu yang luar biasa sendirian, dan dengan demikian mendirikan alirannya sendiri.

Dari balik kabut Ouyang Feng bisa melihat samar-samar pertarungan antara Huang Yaoshi dan Zhou Botong, ia diam-diam kegirangan, tapi juga takut kalau-kalau setelah mengalahkan Huang Yaoshi, Zhou Botong akan bekerja sama dengan para pendekar Quanzhen untuk menghadapinya. Maka dari itu ia berpikir, begitu punya kesempatan ia akan menghancurkan Formasi Tujuh Bintang Utara ini dulu. Segera ia mengacungkan tongkat ularnya dan secara berangsur-angsur mendesak, menempatkan Formasi Tujuh Bintang Utara dalam bahaya yang semakin besar.

Wang Chuyi dan Liu Chuxuan berseru, “Zhou Shishu, bunuh Ouyang Feng dulu!”

Zhou Botong melihat situasi berbahaya yang dialami para keponakannya, dengan telapak tangan kiri dan kepalan kanan ia menyapu secara horizontal. Ketika mendekati muka Huang yaoshi, mendadak diiringi tawa kepalan itu berubah menjadi telapak tangan dana telapak tangan berubah menjadi kepalan, mereka terus saling serang.

Huan Yaoshi tidak mengantisipasi gerakan aneh semacam itu, ia buru-buru mengangkat lengannya untuk menangkis, tetapi ujung alisnya tersapu ringan oleh telapak tangan Zhou Botong. Ia tidak terluka, tetapi Huang Yaoshi merasa alisnya panas terbakar.

Ketika telapak tangan Zhou Botong menyapu lawannya, mendadak ia terkejut. Tangan kirinya menampar pergelangan tangan kanannya sendiri dan ia memaki, “Terkutuk! Terkutuk! Ini kungfu dari Jiu Yin Zhen Jing!”

Huang Yaoshi agak terkejut, tapi telapak tangannya telah meluncur dengan kecepatan kilat, tanpa bersuara mendarat di bahu Zhou Botong. Zhou Botong menekuk pinggangnya dan menyusutkan bahunya. “Aiyo!” pekiknya. “Pembalasan datang secepat ini!”

Sementara itu kabut semakin tebal, makin sulit melihat apa-apa. Guo Jing menguatirkan kedua gurunya akan terluka, ia mengulurkan tangan untuk membantu Ke Zhen’E, menarik lengannya ke arah Hong Qigong. Dengan suara rendah ia berkata, “Kedua Shifu, tolong beristirahat di Kedai Hujan Berkabut, aku akan menunggu kabut menipis lalu kita akan bicara lagi.” Ia mendengar Huang Rong berseru, “Lao Wantong, kau mau mematuhi perintahku atau tidak?”

“Aku tidak bisa mengalahkan ayahmu,” jawab Zhou Botong. “Jadi jangan kuatir.”

“Aku mau supaya kau mengalahkan Racun Tua,” kata Huang Rong. “Tapi jangan membunuhnya.”

“Kenapa?” tanya Zhou Botong, tetapi tangan dan kakinya tidak melambat.

Huang Rong berseru, “Kalau kau tidak melakukan suruhanku, maka aku akan menceritakan sejarah busukmu.”

“Sejarah busuk apa?” tanya Zhou Botong. “Kau ngawur.”

“Baik,” kata Huang Rong dengan sengaja. “Empat mesin tenun, menenun sepasang bebek mandarin yang ingin segera terbang bersama.”

Mendengar kedua kalimat itu Zhou Botong ketakutan sampai seolah-olah jiwanya terbang meninggalkannya. “Baiklah, baiklah, aku akan menurutimu,” katanya buru-buru. “Racun Tua, kau di mana?” Ia mendengar suara Ma Yu menembus kabut tebal. “Zhou Shishu, tempati posisi Bintang Kutub Utara untuk mengepung dia.”

Huang Rong berkata lagi, “Ayah, Qiu Qianren ini bekerja sama dengan kerajaan asing, dia pengkhianat besar, tolong segera bunuh dia.”

“Nak,” kata Huang Yaoshi. “Coba ke sini.” Dalam kabut tebal ia tidak bisa melihat di mana Qiu Qianren berada. Tapi ia mendengar Zhou Botong tertawa sambil berseru, “Racun Tua, cepat berlutut dan kowtow ke kakekmu, aku akan mengampunimu hari ini.”

Guo Jing mengirim Hong Qigong dan Ke Zhen’E ke sisi kedai, lalu ia memutar tubuhnya, berusaha menemukan Wanyan Honglie. Di luar dugaan, setelah meninggalkan kedai bukan hanya ia tidak bisa menemukan Wanyan Honglie, juga Sha Tongtian, Qiu Qianren dan yang lain ikut menghilang. Ia mendengar Zhou Botong berseru, “Uh, mana Racun Tua? Dia lari kemana?”

Kabut itu luar biasa tebal, semua orang sangat dekat satu sama lain, tapi mereka tidak dapat melihat muka seseorang yang berdiri di samping mereka. Mereka hanya melihat sosok samar seorang manusia. Suara mereka juga seakan-akan terhalang kabut, seperti ada lapisan tipis memisahkan mereka. Mereka masing-masing adalah pesilat berpengalaman, tapi dalam pertarungan itu mereka merasa seolah-olah mata mereka ditutup, tak seorang pun tidak merasa gelisah. Huang Rong bersandar di dekat ayahnya, ma Yu memberikan perintah dalam suara rendah untuk memperketat kepungan. Semua orang menajamkan pendengaran mereka untuk mendengarkan kegiatan musuh, untuk sesaat tak seorang pun bersuara. Sejenak kemudian Qiu Chuji mendadak berseru, “Dengar! Itu apa?”

Mereka mendengar suara mendesis di sekeliling mereka, suara aneh datang mendekat dari kejauhan. Huang Rong berteriak cemas, “Racun Tua engerahkan ular-ularnya! Sungguh memalukan!”

Di ujung kedai Hong Qigong juga mendengar suara ular itu, ia berteriak keras, “itu formasi ular Racun Tua, semuanya cepat ke lantai atas!”

Ilmu silat Zhou Botong bisa dianggap nomor satu di antara semua orang yang hadir di situ, tapi di sepanjang hidupnya ia sangat takut kepada ular, jadi dengan jeritan ngeri ia berlari liar ke arah Kedai Hujan Berkabut. Ia tukut ular akan menggigit tumitnya, jadi ia mengabaikan lantai atas dan menggunakan qinggong-nya untuk melompat ke atap, dan duduk di puncak tertinggi, masih gemetar ketakutan.

Tak lama kemudian suara ular itu makin keras. Huang Rong menarik tangan ayahnya utnuk pergi ke Kedai Hujan Berkabut. Sambil berpegangan tangan para pendekar Quanzhen meraba-raba untuk naik ke lantai atas. Yin Zhiping menginjak sebatang ranting dan jatuh dengan keras sampai kepalanya benjol, buru-buru ia merangkak kembali ke atas.

Huang Rong tidak mendengar suara Guo Jing, ia merasa kuatir. “Jing gege, kau di mana?” serunya. Setelah memanggil beberapa kali ia masih tidak mendengar jawaban. Ia jadi semakin gelisah dan berkata, “Ayah, aku akan kembali untuk mencarinya.”

Tiba-tiba ia mendengar suara Guo Jing dengan nada dingin berkata, “Untuk apa kau mencariku? Jangan memanggilku, aku tidak akan menjawabmu.” Ternyata ia tepat di samping Huang Rong.

Huang Yaoshi marah. “Anak tolol, bocah tengik,” omelnya. Lengannya terayun ke seberang dan mengirimkan sebuah pukulan telapak tangan. Guo Jing menundukkan kepala untuk mengelak, ia baru hendak melancarkan serangan balik ketika tiba-tiba suara ‘wus, wus!’ dari anak panah terdengar, beberapa batang anak panah menyambar di udara dan tertancap di jendela.

Semua orang terkejut, mereka mendengar seruan dan anak panah berbulu angsa datang susul menyusul. Dalam kegelapan tak seorang pun tahu berapa orang prajurit yang datang ke situ. Mereka mendengar suara ribut dari orang-orang di luar bangunan itu, mereka berteriak, “Jangan biarkan bajingan-bajingan ini lolos!”

Wang Chuyi marah. “Sepertinya Anjing Jin berkolusi dengan pejabat korup Jiaxing, mereka mengirim pasukan untuk menghadapi kita!”

Qiu Chuji berseru, “Ayo kita turun dan membasmi mereka.”

“Celaka, ular, ular!” seru Hao Datong. Mereka mendengar suara anak panah semakin gencar dan suara ular makin mendekat, mereka menyadari bahwa Wanyan Honglie dan Ouyang feng sudah mengatur jebakan licik ini sebelumnya, hanya kabut tebal ini yang di luar dugaan semua orang, jadi entah kabut sebuah kutukan atau keberuntungan, sungguh sulit dikatakan.

Hong Qigong berseru, “Kita bisa melawan panahm tapi tidak bisa melawan ular. Kalau kita menghindari ular, maka akan sulit menghindari panah! Semuanya cepat mundur!” Mereka mendengar Zhou Botong, masih berteriak dengan kata-kata jorok dari atas atap, ia telah menangkap dua anak panah dan menggunakannya untuk menangkis anak panah yang datang.

Tiga sisi dari Kedai Hujan Berkabut menghadap ke air. Para prajurit mengendarai perahu kecil untuk mengepung bangunan itu dan menghujaninya dengan anak panah. Hanya karena kabut tebal mereka tidak berani maju terlalu dekat ke tepian. Hong Qigong berseru, “Kita ke arah barat, kita mengambil jalan darat.” Ia adalah ketua dari organisasi terbesar di dunia persilatan, setiap kata yang diucapkannya mengandung wibawa dan pengaruh besar. Dalam situasi kalut itu semua orang menerima kepemimpinannya tanpa pertanyaan, mereka meraba-raba turun ke lantai dasar. Mereka berusaha keras membuka mata, tetapi tidak bisa melihat lebih jauh dari jarak satu kaki ke depan, bagaimana mereka bisa tahu mana yang timur, barat, selatan atau utara? Mereka memukul jatuh beberapa anak panah sementara berjalan dalam barisan, saling berpegangan tangan supaya tidak tersesat. Qiu Chuji dan Wang Chuyi memimpin jalan dengan pedang di tangan, pedang mereka saling mendukung, membentuk payung pedang untuk menjaga hujan panah.

Tangan kanan Guo Jing menarik Hong Qigong, sementara tangan kirinya memegang tangan seseorang di belakangnya. Ia merasa tangan itu lembut, hangat dan agak berkeringat, ternyata itu tangan kecil Huang Rong. Jantungnya melonjak sedikit, buru-buru ia melepaskan tangannya, hanya untuk mendengar suara Huang Rong dengan nada dingin, “Siapa yang butuh perhatianmu?” Tiba-tiba ia mendengar Qiu Chuji berseru, “Berputar cepat berputar! Ada ular di depan, kita tidak bisa lewat!”

Huang yaoshi dan Ma Yu berada di belakang barisan menghalangi para prajurit yang mengejar. Ketika mendengar teriakan Qiu Chuji mereka memalingkan kepala dengan cemas. Huang Yaoshi memungut sepasang tongkat bambu dan menyapunya ke luar untuk memukul ular. Dalam kabut mereka mendengar desis ular, dan bau amis menyerang hidung mereka. Huang Rong tidak tahan lagi dan ‘Huahhh!’ ia muntah. Huang Yaoshi menghela nafas dan berkata, “Tidak ada jalan keluar, semuanya harus berjuang untuk hidup!” Membuang bambunya ke samping ia mengangkat anaknya.

Berdasarkan kungfu semua orang, sebetulnya panah para prajurit itu tidak akan bisa menghentikan mereka, tapi formasi ular Racun Barat adalah puluhan ribu kali lipat lebih mematikan, begitu orang tergigit, nyawanya akan langsung melayang. Mendengar suara mengerikan dari ular-ular itu semua orang mau tak mau jadi ngeri. Seruling Huang Yaoshi patah, jarum-jarum baja Hong Qigong tidak mudah diluncurkan. Bagian yang paling sulit adalah kabut itu terlalu tebal sampai tak seorang pun bisa melihat apa-apa. Meskipun ada jalan keluar, tak seorang pun tahu ke arah mana harus pergi.

Dalam situasi kritis itu tiba-tiba mereka mendengar suara bernada dingin berkata, “Iblis cilik, coba berikan tongkat bambumu kepada orang buta ini.” Itu suara Ke Zhen’E.

Mendengarnya mengatakan ‘orang buta’, dua karakter itu, Huang Rong segera memahami niatnya, ia sangat gembira dan tanpa ragu-ragu ia memberikan Tongkat Penggebuk Anjing kepadanya. Ke Zhen’E menegapkan tubuhnya, mengetukkan tongkat itu ke tanah ia berkata, “Semuanya, harap ikuti orang buta ini untuk menyelamatkan diri. Di sekitar Kedai Hujan Berkabut memang akan selalu berkabut, apanya yang aneh? Kalau tidak, masa dinamai Kedai Hujan Berkabut?” Ia adalah penduduk asli Jiaxing, sejak kecil semua jalanan dan lorong di sekitar Kedai Hujan Berkabut itu sudah terukir dalam-dalam di hatinya. Kedua matanya buta, sewajarnya ia lebih lemah dari orang normal, tapi sekarang kabut begitu tebal, awan gelap menyelimuti langit, baginya hal ini sama sekali bukan halangan.

Mendengarkan suara ular dan desingan anak panah ia tahu bahwa ada lorong di sebelah barat, dan tak ada musuh di arah itu. Sambil terpincang-pincang ia memimpin jalan. Tak disangka setelah beberapa tahun berlalu ternyata lorong kecil itu tertutup oleh bambu hijau, yang membuatnya tak bisa dilalui. Ke Zhen’E sangat hafal jalanan itu, tapi ia sudah beberapa dekade tidak mengunjunginya, jadi ia tidak tahu kalau lorong itu telah berubah menjadi hutan bambu. Ia berjalan tujuh-delapan langkah dan harus berhenti karena terhalang bambu. Qiu Chuji dan Wang Chuyi sekali lagi mengayunkan pedang mereka dan bambu-bambu beterbangan, membuka jalan bagi semua orang untuk lewat.

Ma Yu berseru, “Zhou Shishu, cepat ke sini! Kau di mana?” Zhou Botong masih duduk di atas atap, mendengar suara ular di sekitarnya, mana mungkin ia berani memjawab. Ia takut kalau-kalau menu favorit ular itu ternyata adalah daging Lao Wantong, jadi kalau ia membuka mulut dan ular-ular itu mendengarnya, maka hidupnya akan tamat.

Berjalan beberapa puluh zhang mereka melihat semak bambu itu semakin tipis, di depan mereka bisa melihat sebuah lorong. Suara ular semakin jauh terdengar, tetapi suara para prajurit sebenarnya semakin dekat, sepertinya beberapa prajurit datang untuk mengepung mereka. Sekelompok pendekar itu takut pada ular, tapi mereka bahkan tidak memandang sebelah mata pada prajurit biasa. Liu Chuxuan berkata, “Hao Shidi, ayo kita bunuh beberapa pejabat anjing untuk melampiaskan kemarahan kita.”

“Bagus!” jawab Hao Datong. Keduanya mengayunkan pedang untuk memblokir anak panah yang datang mendadak.

Setelah berjalan beberapa saat lagi mereka tiba di jalan yang lebih besar, di atas mereka kilat berkilau dan petir menyambar diikuti oleh hujan lebat dicurahkan dari langit. Tetapi karena curah hujan itu kabut lenyap. Meskipun langit masih tertutup awan gelap, tetapi mulai bisa melihat bayangan rekan-rekan mereka. “Bagus, bagus,” kata semua orang. “kabut tebal ini menghilang.”

Ke Zhen’E berkata, “Bahaya sudah lewat, semua orang bisa melakukan apapun sesuka hati.” Sambil mengembalikan tongkat bambu kepada Huang Rong ia berjalan ke timur tanpa memalingkan kepalanya lagi.

“Shifu!” panggil Guo Jing.

Ke Zhen’E berkata, “Kau pergilah, antarkan Hong Laoxia ke tempat yang damai dan tenang, supaya dia bisa menyembuhkan cederanya, lalu datanglah ke Ke Jia Cun7 untuk menemuiku.”

“Ya,” jawab Guo Jing.

Huang Yaoshi mengulurkan tangannya untuk menghadang sebuah anak panah, lalu ia mendatangi Ke Zhen’E sambil berkata, “Aku tidak akan mau menjelaskan kepadamu kalau bukan karena fakta bahwa kau menyelamatkan nyawaku hari ini…”

Ke Zhen’E tidak menunggu sampai ia menyelesaikan kalimatnya, ia meludahi hidung Huang Yaoshi dengan ludah kental, ia memaki, “Karena apa yang kulakukan hari ini, aku tidak punya muka lagi untuk menemui keenam saudaraku!”

Dengan marah Huang Yaoshi mengangkat telapak tangannya. Guo Jing mengawasi semua itu dan kaget, ia meluncur cepat berusaha untuk menyelamatkan Ke Zhen’E, ia tahu jika telapak tangan itu mengenai sasaran, maka nyawa Da Shifu-nya akan lenyap. Tapi ia berada lebih dari belasan langkah jauhnya dari Huang yaoshi dan ke Zhen’E, jadi ia tahu ia sudah terlambat. Di bawah sinar bulan yang redup ia melihat tangan Huang Yaoshi turun pelan-pelan. Huang yaoshi tertawa keras-keras dan berkata, “Orang macam apakah Huang Yaoshi? Masa aku merendahkan diri sampai ke tingkatmu?” Dengan lengan jubah ia menghapus dahak kental itu dari mukanya, berpaling kepada Huang Rong ia berkata, “Rong’er, ayo pergi!”

Mendengar kata-kata itu hati Guo Jing terguncang oleh keraguan, tapi ia tidak tahu pasti apa sebenarnya yang membuatnya ragu. Ia samar-samar merasa bahwa ada sesuatu yang tidak benar. Seolah-olah ada sesuatu yang melintas di benaknya, lalu tiba-tiba menghilang ke dalam kabut tebal.

Tiba-tiba ia mendengar suara teriakan, sekelompok prajurit datang menyerang. Keenam Pendekar Quanzhen dengan pedang di tangan terlibat pertempuran dengan musuh. Huang Yaoshi merasa adalah merendahkan martabatnya untuk melawan prajurit, maka ia berpaling dan menarik lengan Hong Qigong dan berkata, “Qi Xiong, ayo kita minum arak, kita bicara nanti.”

Itu tepat seperti yang sudah dinantikan oleh Hong Qigong, ia berkata sambil tertawa, “Luar biasa, sungguh luar biasa!” Dalam sekejap keduanya menghilang di kegelapan.

Guo Jing ingin membawa pergi Ke Zhen’E, namun eberapa prajurit menyerang mereka. Guo Jing tidak ingin membunuh terlalu banyak orang, jadi ia mendorong tangannya ke depan untuk membuka jalan. Dalam kekalutan itu ia melihat Qiu Chuji dan yang lain sedang bertarung mati-matian, ternyata Wanyan Honglie mengerahkan beberapa orang pengawal pribadinya di antara para prajurit itu, dan juga para anggota Sekte Telapak Besi ikut terlibat di dalamnya, membuat mereka jadi sulit dipukul mundur dalam waktu singkat. Guo Jing kuatir gurunya erluka dalam situasi kalut, ia berteriak, “Da Shifu, Da Shifu, kau di mana?” Saat itu pekikan perang dan suara senjata beradu telah bercampur menjadi keributan yang kacau, tapi di sela-selanya ia tidak mendengar jawaban Ke Zhen’E.

Setelah enerima kembali tongkat bambu dari tangan Ke Zhen’E, Huang Rong selalu berada di dekatnya. Ia melihatnya meludahi ayahnya, pikirannya kacau. Ia yakin masalah ini sudah berkembang terlalu jauh, impian jangka panjangnya hancur berkeping-keping. Maka dari itu ketika para prajurit muncul ia hanya berdiri diam sendirian, bersandar di bawah pohon. Ketika para prajurit berkuda dengan cepat melewatinya, seakan-akan ia tidak melihat atau mendengar suara mereka, ia sama sekali melamun.

Tiba-tiba ia mendengar jeritan, “Aiyo!” Itu ternyata suara Ke Zhen’E. Ia bergegas mengikuti sumber suara untuk memeriksa, hanya untuk menemukan Ke Zhen’E terbaring di sisi jalan, seorang pejabat sedang memegang golok di atas kepalanya, siap untuk menghujamkannya ke punggung Ke Zhen’E. Ke Zhen’E bergulingan menjauh, ia duduk tegak dan mengirimkan sebuah kepalan ke belakang, menghantam pejabat itu dengan telak sampai pingsan. Ke Zhen’E baru saja bermaksud untuk bangkit berdiri ketika ia mendadak jatuh lagi. Huang Rong bergegas maju dan melihat kakinya terkena panah. Ia segera menarik tangannya dan membantunya berdiri.

Ke Zhen’E berupaya menyingkirkan tangannya, tetapi salah satu kakinya lemah, yang lainnya cedera oleh anak panah, kedua kakinya kehilangan tenaga sampai tubuhnya terhuyung, ia terayun ke depan dan kembali jatuh. Huang Rong mengulurkan tangannya untuk memcekal kerah di bagian belakang lehernya, ia berkata sambil tertawa dingin, “Masih berlagak pahlawan ya?” Tangan kirinya bergerak ringan, ia menotok Jian Shen Xue di bahu kanan dengan gerakan dari Teknik Totokan Menyapu Anggrek8. Lalu ia melepaskan kerah itu dan mencekal lengan kiri Ke Zhen’E.

Ke Xhen’E ingin meronta untuk membebaskan diri, tetapi setengah bagian tubuhnya mati rasa, ia tidak bisa bergerak. Ia tak punya pilihan kecuali membiarkan Huang Rong menolongnya, tetapi mulutnya tidak berhenti mencaci-maki.

Huang Rong membiarkannya berjalan beberapa puluh langkah dan membawanya ke balik sebuah pohon besar. Mereka baru saja menarik nafas ketika sekelompok prajurit lain melihat mereka. Lebih dari selusin anak panah menghujani mereka. Huang Rong melangkah maju dan mengayun=ayunkan tongkat bambunya untuk melindungi kepala dan mukanya dari hujan anak panah, membiarkan anak-anak panah itu mengenai rompi kulit landaknya.

Ke Zhen’E mendengar desingan anak-anak panah itu dan tahu bahwa ia sedang mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkannya, hatinya melunak, ia berkata dengan suara rendah, “Kau tidak usah menguatirkan aku, pergi saja menyelamatkan dirimu!”

“Hmm,” kata Huang Rong. “Aku justru ingin menyelamatkanmu, aku ingin supaya kau menerima kebaikanku, terus kau mau apa?”

Sementara bicara, keduanya pelan-pelan mundur ke balik tembok rendah. Anak panah berhenti berdatangan, tetapi Ke Zhen’E cukup berat, Huang Rong kelelahan, nafasnya tersengal-sengal, ia bersandar di dinding untuk beristirahat. ke Zhen’E menghela nafas, “Sudah selesai, antara kau dan aku tidak ada lagi dendam dan budi. Kau bisa pergi, mulai sekarang anggap saja Si Buta Ke ini sudah mati.”

Dengan nada dingin Huang Rong berkata, “Sudah jelas kau belum mati, mengapa kau menganggap dirimu sudah mati? Kau tidak mau membalas dendam kepadaku, tapi aku akan datang mencarimu.” Tongkat bambu di tangannya dengan cepat terulur dan ditarik lagi, menotok titik akupuntur Wei Zhong Xue di belakang lututnya.”

Ke Zhen’E tidak mewaspadai hal ini, ia jatuh terduduk di tanah. Ia memaki dalam hati dan bertanya-tanya cara macam apa yang akan dipakai Iblis Cilik itu untuk menyiksanya. Jantungnya berdegup kencang karena marah, tetapi ia mendengar suara langkahnya menjauh, kedengarannya seperti ia pergi meninggalkan tembok pendek itu. Saat itu suara pertempuran jauh dan lemah, tampaknya para pendekar Quanzhen telah membunuh atau mengusir para prajurit itu. Di tengah suara berisik di jkejauhan itu ia mendengar samar-samar suara Guo Jing sedang memanggil, “Da Shifu!” Tetapi panggilan itu terdengr makin lama makin jauh, menandakan bahwa Guo Jing mencarinya ke arah yang salah. Ia ingin memanggilnya, tetapi cedera telah membuatnya tidak dapat menghimpun cukup tenaga, ia bahkan tidak bisa mendengar suaranya sendiri.

Sejenak kemudian yang bisa didengarnya hanya kesunyian, dengan suara ayam jantan berkokok mulai bersahut-sahutan di kejauhan. Ke Zhen’E takjub. “Ini terakhir kalinya aku mendengar suara ayam jantan berkokok! Besok semua ayam jantan di Jiaxing akan berkokok lagi, tapi aku akan mati di tangan Iblis Betina Kecil itu dan tak akan bisa mendengarnya lagi.” Berpikir sampai di sini ia tiba-tiba mendengar suara langkah kaki, tiga orang datang mendekat. Langkah kaki yang pertama ringan, ia mengenalinya sebagai langkah kaki Huang Rong. Yang dua lainnya berat, kedengarannya seperti mereka menyeret kaki mereka.

Ia mendengar Huang Rong berkata, “Ini Daye9, cepat gotong dia.” Sambil bicara ia mengulurkan tangannya untuk memijat tubuh Ke Zhen’E dan embebaskan totokannya.

Ke Zhen’E merasa dirinya diangkat oleh dua orang dan menempatkannya di sebuah tandu yang terbuat dari bambu, dan kemudian mereka menggotongnya pergi. Ke Zhen’E measa gusar, ia ingin bertanya, tapi kemudian teringat hal terakhir yang diucapkannya sekarang malah berbalik mengenai dirinya. Sementara ragu-ragu ia mendengar suara ‘wus!’, orang yang menggotongnya di depan menjerit kesakitan, “Aiyo!” Kedengarannya ia termakan oleh tongkat mambu Huang Rong. Ia juga mendengarnya mengomel, “Ayo cepat! Kau mengomel apa? Kau, para prajurit ini, biasa menganiaya rakyat, tidak ada yang baik!” Lalu satu ‘wus!’ lagi terdengar, orang yang di belakang juga termakan tongkatnya, tapi yang satu ini tidak berani mengatakan apa-apa.

Ke Zhen’E mengerti sekarang. “Ternyata dia menangkap dua orang prajurit untuk menggotongku. Dia pintar sekali bisa menemukan ide seperti ini.” Saat itu luka akibat anak panah di kakinya semakin menyakitkan, tapi ia kuatir Huang Rong akan mengejeknya, jadi ia menggigit bibirnya supaya jangan mengerang. Ia merasa tubuhnya terayun-ayun ke atas dan kebawah, ia tahu bahwa ia sedang digotong melewati jalanan kasar. Sesaat kemudian ia merasa ranting dan dedaunan menyapu kepala dan mukanya, jadi ia tahu bahwa mereka sedang berjalan di hutan. Kedua prajurit itu terhuyung sempoyongan di sepanjang jalan, mereka terengah-engah kehabisan nafas, tetapi tongkat bambu Huang Rong terus melecut mereka tanpa belas kasihan.

Sekitar tiga puluh li kemudian Ke Zhen’E memperkirakan bahwa saat itu sudah di akhir jam ke enam10, awal jam ketujuh11. Hujan di saat fajar sudah reda, matahari mengeringkan setengah dari bajunya yang basah.

Mereka berhenti di dekat rumah penduduk untuk beristirahat. Huang Rong membeli dua buah labu dari keluarga setempat, ia memasaknya dengan nasi, menaruhnya di sebuah mangkuk di hadapan Ke Zhen’E.

“Aku tidak lapar,” kata Ke Zhen’E.

“Kakimu sakit, kau kira aku tidak tahu ya?” kata Huang Rong. “Apanya yang lapar atau tidak lapar? Aku justru ingin kau kesakitan sampai mau mendengarkan aku.”

Ke Zhen’E sangat marah, menggunakan kedua tangannya ia mengangkat mangkuk yang penuh dengan labu kukus panas itu dan melemparkannya ke muka Huang Rong. Huang Rong tertawa dingin, tapi salah satu dari prajurit itu menjerit kesakitan. Ke Zhen’E tahu ia pasti mengelak ke samping dan semangkuk labu panas itu pasti mengenai si prajurit.

“Kenapa?” omel Huang Rong. “Ke Daye memberimu labu enak untuk dimakan, kau tidak senang ya? Ayo cepat makan!” Prajurit itu takut Huang Rong memukulnya, tapi sekaligus juga merasa perutnya sangat lapar, jadi sambil menahan sakit karena tersiram labu panas di mukanya, ia mengambil labu itu dan memakannya sepotong demi sepotong.”

Kali ini Ke Zhen’E tidak bisa memutuskan apakah ia harus marah atau tertawa. Setengah berdiri ia bersandar di dipan tandu itu. Ia merasa sangat tidak nyaman, ia ingin mencabut anak panah yang tertancap di kakinya, tapi takut kalau-kalau darah akan mengucur deras. Huang Rong pasti akan melihat orang dalam bahaya dan tidak akan menolong, malah kemungkinan akan mengejeknya.

Sementara ia masih ragu-ragu, ia mendengar Huang Rong berkata, “Cepat ambil air bersih!” Ucapannya diikuti oleh suara ‘Tar!’ tampaknya ia baru saja melecut telinga salah satu prajurit itu.

Dalam hati Ke Zhen’E merasa geli. “Iblis Cilik ini, dia baik selama tidak mengatakan sesuatu, tapi setelah buka mulut, pasti ada orang yang menderita.”

Huang Rong melanjutkan, “Pakai pisau ini, potong kain di sekitar luka Ke Daye.” Salah satu prajurit itu menurut. Huang Rong berkata lagi, “Kau, orang bermarga Ke, sebaiknya kau jangan menangis kesakitan ya, atau Nonamu tidak akan mempedulikanmu lagi kalau dia kesal.”

“Siapa yang butuh perhatianmu?” jawab Ke Zhen’E marah. “Pergi saja jauh-jauh.” Ia belum menyelesaikan kalimatnya ketika tiba-tiba ia merasa lukanya sangat sakit. Tampaknya Huang Rong memegang gagang anak panah itu dan bukan mencabutnya, malah sengaja menancapkannya lebih dalam. Ke Zhen’E terkejut dan marah, ia hendak memukul ketika ia merasa kesakitan lagi dan mendadak telapak tangannya memegang gagang anak panah. Ternyata Huang Rong telah menarik anak panah itu dan menyodorkannya ke tangannya.

Ke Zhen’E mendengar Huang Rong berkata, “Kalau bergerak sekali lagi, aku akan menampar kupingmu keras-keras.”

Ke Zhen’E tahu ia sanggup melakukan hal yang dikatakannya. Saat itu ia bukan tandingan Iblis Cilik itu, kalau Huang Rong membunuhnya dengan sebuah pisau, maka itu akan menjadi kematian yang bersih baginya. Tapi kalau ia menampar mukanya, ia akan merasa terhina seumur hidup, jadi dengan muka pucat pasi ia terdiam. Mendengar suara robean ia tahu Huang Rong sedang merobek beberapa bagian kain. Ia membalut lututnya dengan kain itu, di atas dan di bawah lukanya, balutannya sangat erat, jelas sekali ia berniat menghentikan pendarahan. Lalu ia merasakan siraman air sedingin es di atas lukanya, ternyata Huang Rong membasuh lukanya dengan air dingin. Ia terheran-heran dan berpikir, “Kalau dia punya niat jahat, kenapa menolongku? Tapi kalau dia bilang tidak punya niat jahat, hmm, hmm, mana ada sesuatu yang baik dari para Tukang Sihir Pulau Bunga Persik, ayah dan anak ini? Pasti dia punya rencana jahat untuk mencelakai aku nanti. Aih, orang-orang ini penuh akal bulus, sulit diduga apa sebenarnya yang dia pikirkan.”

Sementara ia sibuk dengan pikirannya, Huang Rong telah menaburkan obat luka dan membalut lukanya dengan baik. Ia merasa lukanya sejuk dan sebagian rasa sakitnya hilang, tapi tiba-tiba ia mendengar suara protes dari perutya.

Huang Rong dengan dingin berkata, “Kukira kau tidak lapar, tapi ternyata kau kelaparan. Sayangnya sekarang kita tidak punya makanan lagi. Baik, ayo kita pergi!” Dengan dua kali ‘Tar! Tar!’ tongkat bambunya melecut kedua prajurit itu, menyuruh mereka mengangkat Ke Zhen’E dan melanjutkan perjalanan.

Sekitar tiga-empat puluh li kemudian, langit mulai gelap. Mereka mendengar pekikan burung gagak. Ratusan ribu burung gagak beterbangan kian kemari di udara. Mendengar suara burung gagak itu Ke Zhen’E tahu bahwa mereka berada di dekat Kuil Tombak Besi[^tie-qiang-miao]. Kuil itu dibangun untuk menghormati seorang Jendral terkenal dari jaman Lima Dinasti, Si Tombak Besi, Wang Yanzhang. Di dekat kuil itu ada pagoda yang tinggi. Selama beberapa generasi burung-burung gagak telah membangun sarang mereka di atas pagoda ini. Ada sebuah legenda yang sering diceritakan oleh para penduduk lokal, bahwa burung-burung gagak di sekitar Kuil Tombak Besi itu adalah roh-roh para prajurit dan jendral yang tewas, maka tak seorang pun berani mengganggu mereka sedemikian rupa, sehingga burung-burung gagak berkembang-biak dan menjadi banyak, sampai menjadi seperti sekarang.

“Hei,” kata Huang Rong. “Langit makin gelap, di mana kita bisa bermalam?”

Ke Zhen’E berpikir sejenak. “Kalau kita menyewa rumah penduduk, takutnya mereka akan buka mulut dan membawa prajurit datang untuk menangkap kita.” Jadi ia berkata, “Tidak jauh dari sini ada kuil tua.”

“Burung-burung gagak itu, apanya yang menarik sih?” omel Huang Rong. “Kau belum pernah melihat burung gagak ya? Ayo!” Kali ini Ke Zhen’E tidak mendengar suara tongkat bambu, tapi ternyata kedua prajurit itu menjerit kesakitan. Ia bertanya-tanya, entah Huang Rong menusuk mereka dengan jarinya ataukah menendang mereka dengan kakinya.

Tak terlalu lama kemudian mereka tiba di depan Kuil Tombak Besi. Ke Zhen’E mendengar Huang Rong menendang pintu kuil sampai terbuka. Bau kotoran burung gagak yang menyengat dan debu menyerang hidung mereka. Tampaknya kuil itu sudah sangat lama ditinggalkan orang. Ia kuatir Huang Rong akan mengeluh karena kotor, tapi yang mengejutkannya adalah Huang Rong tampaknya sama sekali tidak memperhatikan. Ia mendengar Huang Rong menyuruh kedua prajurit itu menyapu lantai, ia juga menyuruh mereka pergi ke dapur dan merebus air. Kemudian ia mendengarnya dengan lembut menyanyikan sebuah lagu tentang ‘sepasang bebek mandarin yang ingin terbang bersama’ dan sesuatu tentang ‘belum tua tapi rambut di kepala telah memutih’.

Sesaat kemudian kedua prajurit itu membawa air panas. Huang Rong mengganti balutan luka Ke Zhen’E lebih dulu, sebelum membasuh muka dan kakinya sendiri. Ke Zhen’E sedang terbaring di lantai, menggunakan alas meditasi sebagai bantal. Tiba-tiba ia mendengar Huang Rong meludah dan berkata, “Mengapa kau melihat kakiku? Kau kira kakiku ini perlu kau lihat-lihat ya? Nanti kucungkil matamu!”

Prajurit itu begitu ketakutan sampai jiwanya nyaris meninggalkan dia. ‘Duk, duk, duk!’ ia membentur-benturkan kepalanya tiga kali ke lantai. Huang Rong bertanya, “Coba katakan, kenapa kau mengintip aku mencuci kaki?”

Prajurit itu tidak berani berbohong, sambil masih membentur-benturkan kepala ia berkata, “Xiaode pantas mati. Xiaode melihat kaki Nona sangat… sangat indah…”

Ke Zhen’E terkejut, ia berpikir, “Ajal cecunguk tolol ini sudah dekat, dan hatinya masih juga cabul! Entah Iblis Cilik itu bakal mencabuti kumisnya atau mengulitinya hidup-hidup.” Cukup mengherankan ternyata Huang Rong hanya tertawa dan berkata, “Orang kasar dan tolol sepertimu ternyata tahu juga tentang yang bagus dan jelek ya?” ‘Tar!’ tongkat bambunya melecut, dan prajurit itu bergulingan di lantai, tapi ia tidak mengejar masalah itu lebih jauh lagi.

Kedua prajurit itu lari terbirit-birit ke halaman belakang, dan tidak berani muncul lagi. Ia mendengar Huang Rong mondar-mandir di ruang utama. Ia bergumam, “Prestasi Tombak Besi Wang ini mengguncang dunia di jamannya, akhirnya ternyata tertangkap dan dihukum. Bagaimana dia bisa membanggakan diri sebagai pahlawan? Sebagai pejuang? Hmm, kurasa tombak besi itu pasti bukan terbuat dari besi asli.”

Ketika masih kecil, Ke Zhen’E bersama Zhu Cong, Han Baoju, Nan Xiren, Zhang Asheng dan lainnya sering datang ke kuil ini untuk bermain-main. Meskipun mereka masih anak-anak, mereka masing-masing sudah punya kekuatan yang istimewa. Mereka secara bergantian mengacung-acungkan tombak besi itu untuk bermain-main. Ketika ia mendengar apa yang dikatakan Huang Rong, ia membuka mulut, “Tentu saja itu besi asli, masa palsu!”

“Hmm,” kata Huang Rong. Ia mengulurkan tangan untuk menarik tombak besi itu. Ia berkata lagi, “Ini sekitar tiga puluh jin. Aku menghilangkan tongkat besimu dan untuk sementara tidak bisa memberimu pengganti yang layak. Besok kita harus berpisah, kita pergi sendiri-sendiri. Kau tidak punya senjata untuk melindungi diri. Kenapa kau tidak pakai tombak ini saja sebagai pengganti tongkatmu untuk sementara?” Tanpa menunggu jawaban Ke Zhen’E ia keluar san mengambil sebuat batu besar dari halaman. ‘Trang! Trang!’ ia mematahkan ujung tombak itu dan memberikan tiang itu kepadanya.

Sejak kematian kakak dan ayahnya, Ke Zhen’E tidak pernah berpisah dari keenam saudara angkatnya. Sekarang ini ia tidak punya kerabat dekat lagi. Meskipun ia baru bersama-sama Huang Rong satu hari, tanpa sadar ia merasa tidak suka harus berpisah dengannya. Ketika mendengar Huang Rong mengatakan, “Besok kita harus berpisah, kita pergi sendiri-sendiri.” ia tiba-tiba merasa ada sesuatu yang hilang. Sambil melamun ia menerima tombak besi itu, sambil berpikir bahwa tombak ini kira-kira sama panjang dan beratnya seperti tongkat besinya yang hilang, jadi ia pasti bisa memakainya sebagai senjata. Ia juga berpikir, “Dia memberiku senjata ini, jadi dia tidak punya niat jahat.”

Ia mendengar Huang Rong berkata lagi, “Ini Tian Qi Sha Dan San[^obat-1] buatan ayahku. Obat ini berguna untuk lukamu. Kau membenci kami, ayah dan anak. Kau mau pakai atau tidak, terserah!” Ia memberikan kantong obat itu kepada Ke Zhen’E. Ke Zhen’E menerimanya, lalu menaruhnya dengan hati-hati di sakunya. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak ada kalimat yang keluar dari mulutnya. Ia berharap Huang Rong akan mengatakan sesuatu yang lain, tetapi ia hanya berkata, “Baiklah, kita istirahat dulu!”

Ke Zhen’E berbaring miring, dengan tombak besi di sisinya. Hatinya dipenuhi aneka macam pikiran, bagaimana ia bisa tidur? Ia mendengar suara berisik burung-burung gagak di atas pagoda akhirnya diam, sampai yang bisa didengarnya hanya keheningan malam. Ia tidak mendengar Huang Rong tertidur, malah yang terdengar adalah suaranya membalikkan badan ke kiri dan kanan, tampaknya ia gelisah.

Setelah lama ia mendengar Huang Rong diam-diam mengutip sajak, “Empat mesin tenun, menenun sepasang bebek mandarin yang ingin segera terbang bersama. Sayangnya belum tua tapi rambut di kepala memutih. Ketika hijaunya rumput musim semi bergelombang di kedalaman senja yang dingin, berdiri berhadapan mandi mengenakan baju merah.”

Ia mendengarnya mengulangi kutipan itu dengan lembut, seolah-olah ia berusaha memahami maknanya. Ke Zhen’E tidak memahami literatur, ia tidak mengerti apa yang dikutip Huang Rong, tapi ia bisa mendengar nada sedih dalam suaranya, seolah ia sedang berduka karena patah hati. Mau tak mau ia merasa bingung.

Waktu lama berlalu. Ia ,endengar Huang Rong mengatur alas meditasi untuk tempat tidurnya, lalu ia berbaring dan pernafasannya berangsur-angsur melambat, tampaknya ia tertidur. Ke Zhen’E mengelus tombak besi di sisinya dengan lembut. Segala macam kenangan masa kecil membanjiri pikirannya kembali. Ia melihat Zhu Cong dengan buku kuno di tangannya, membaca sambil menggerak-gerakkan kepalanya. Ia melihat Han Baoju dan Quan Jinfa sedang menunggangi patung yang disembah itu, menarik-narik jenggotnya. Nan Xiren dan dirinya menarik salah satu ujung tombak besi itu, sementara Zhang Asheng menarik ujung lainnya. Mereka sedang bermain perang-perangan. Saat itu Han Xiaoying masih sekitar empat-lima tahun. Rambutnya dikepang dua, tertawa cekikikan, menyoraki mereka semua. Di kepalanya ada pita merah, berkibar-kibar kalau ia menggerakkan kepala. Mendadak semuanya berubah gelap. Enam saudara angkat, kakaknya sendiri, dan juga sepasang matanya, semuanya secara berturut-turut hancur di tangan Huang Yaoshi dan murid-muridnya. Hatinya terbakar oleh kebencian, yang sangat sulit ditahan.

Pelan-pelan ia mengangkat tombak besinya, berjalan diam-diam ke arah Huang Rong. Ia mendengar pernafasannya lembut dan tenang, ia tertidur pulas. Ke Zhen’E berpikir, “Begitu tombakku turun, dia akan mati tanpa merasakan apa-apa. Hei, kalau tidak, kungfu Huang Laoxie tidak bisa diimbangi, bagaimana aku bisa membalas sakit hati ini? Anaknya tidur di sini, Surga memberiku kesempatan yang sangat bagus, supaya dia tahu bagaimana rasanya berkabung untuk anaknya.”

Tapi kemudian pikiran lain melintas di benaknya, “Anak ini menyelamatkan aku, masa aku membalas air susu dengan air tuba?” Ia mendesah. “Setelah membunuhnya aku akan bunuh diri di sebelahnya, untuk membalas kebaikannya hari ini.” Berpikir sampai di sini, ia membulatkan tekad, ia berpikir, “Aku, Ke Zhen’E, selalu berusaha jadi orang benar seumur hidupku. Puluhan tahun belum pernah aku melakukan hal yang memalukan melawan dunia. Sekarang ini aku mau menyerang orang yang sedang tidur secara diam-diam. Ini betul-betul tindakan pengecut, tapi dengan kematianku aku akan membayar budi baiknya.”

Mengangkat tombak besinya, ia hendak memukul kepala Huang Rong ketika tiba-tiba ia mendengar suara orang tertawa di kejauhan. Suara itu menyakitkan telinga, di keheningan malam membuat bulu kuduknya meremang.

Huang Rong terbangun mendengan suara tertawa itu, ia melompat dan melihat Ke Zhen’E dengan tombak besi terangkat tinggi-tinggi, tepat di hadapannya. Ia sangat kaget, ia berseru, “Ouyang Feng!”

Mendengarnya terbangun, Ke Zhen’E tidak bisa lagi menghujamkan tombak besinya, ia mendengar suara orang berbicara dan berjalan mendekati kuil. Hanya saja mereka masih lumayan jauh dari situ, karenanya ia tidak dapat mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan. esaat kemudia ia mulai mendengar suara langkah kaki. Ada sekitar tiga-empat puluh orang. Ke Zhen’E mengenal dengan baik kuil itu, pintu depannya, halaman belakangnya. Dengan suara rendah ia berkata, “Racun Tua dan yang lain pasti melihat burung-burung gagak di atas pagoda tua itu dan datang kemari. Kita sembunyi.”

“Ya,” kata Huang Rong. Ia menendang alas meditasi itu supaya berserakan ke sekitar ruangan.

Ke Zhen’E menuntunnya ke arah halaman belakang. Ia berusaha mendorong pintu gerbang, tetapi ternyata dipalang dari luar. “Pasti kerjaan kedua prajurit keparat itu!” omelnya. Ia menduga kedua prajurit itu melarikan diri dalam gelap. Mereka takut ketahuan oleh Huang Rong, karenanya mereka memasang palang dari luar.

Saat itu sudah terlambat untuk mendobrak pintu gerbang itu dengan menggunakan tombak besinya, karena ia mendengar suara pintu utama dibuka. Ia tahu tidak ada tempat bersembunyi di dalam ruang utama. Ia berbisik, “Ke belakang patung!”

Keduanya baru saja duduk di belakang patung, ketika belasan orang memasuki ruangan. Ke Zhen’E mendengar suara ‘cess!’, diikuti oleh aroma sulfur. Ia tahu bahwa seseorang telah menyalakan api. Lalu ia mendengar suara Ouyang Feng berkata, “Zhao Wangye, meskipun kita gagal mendapatkan apa yang kita inginkan di Kedai Hujan Berkabut, akhirnya kita tetap berhasil meredam semangat musuh.”

Wanyan Honglie tertawa dan berkata, “Secara keseluruhan pertempuran ini berada di bawah kendali Xiansheng.”

Ouyang Feng tertawa ‘hehehe…’, lalu berkata, “Xiao Wangye mengatur rencana yang cerdik, mengumpulkan prajurit di Jiaxing, menembakkan puluhan ribu anak panah. Kita seharusnya bisa membungkus mereka semua dalam sekali sapu, tapi di luar dugaan kabut tebal muncul di saat yang salah dan memberi peluang bagi para pengkhianat itu untuk melarikan diri.”

Sebuah suara orang muda berkata, “Ouyang Xiansheng dan Qiu Bangzhu beraksi, meskipun sekumpulan pengkhianat lolos hari ini, mereka akan dihabisi juga satu per satu nantinya. Hanya sayangnya Wanbei terlambat selangkah jadi tidak bisa melihat Ouyang Xiansheng dengan dahsyat memamerkan kekuatannya. Sungguh sayang.”

Ke Zhen’E mengenali suara itu adalah suara Yang Kang, ia tidak bisa menahan amarahnya meluap di dalam hati. Ia mendengar Lian Ziweng, Peng Lianhu, Sha Tongtian dan yang lain berlomba-lomba menjilat Ouyang Feng setinggi langit, mengatakan bahwa ia sendirian melawan Perguruan Quanzhen, menempatkan sekelompok pendeta Tao dalam situasi sulit, Qiu Qianrem bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan dia.

Mendengar begitu banyak ahli silat berkumpul seperti ini, Ke Zhen’E tidak berani bernafas keras, kali ini ia takut ketahuan musuh, lalu Huang Rong dan dia sendiri akan tewas terbunuh. Ia mendengar para anak buah Wanyan Honglie menyiapkan tempat tidur, lalu mengundang Wanyan Honglie, Ouyang Feng dan Yang Kang untuk tidur di situ.

Yang Kang menghela nafas panjang dan berkata, “Ouyang Xiansheng, kungfu keponakanmu tinggi, sikapnya sangat alamiah dan elegan. Wanbei sangat mengaguminya, aku berharap bisa menjadi sahabat baiknya, tak kusangka dia celaka di tangan para rambut kacau dari Quanzhen. Setiap kali Wanbei teringat hal ini, aku akan sangat berduka. Aku bersumpah untuk membunuh para pendeta jahat dari Quanzhen itu satu per satu dengan tanganku sendiri untuk menenangkan arwah Ouyang Xiongdi di Surga. Sayangnya kungfu Wanbei sangat buruk. Aku sungguh punya keinginan tapi tak punya kekuatan untuk melakukannya.”

Ouyang Feng terdiam sampai lama, lalu ia pelan-pelan berkata, “Keponakanku sungguh malang, mengalami kematian tragis. Tadinya kupikir dia tewas di tangan Guo Jing, tapi mendengar ceritamu tentang omongan Qiu Chuji, aku baru tahu ternyata komplotan pendeta jahat Quanzhen yang melakukannya. Sekarang ini Perguruan Bai Tuo Shan tidak punya ahli waris, biarkan aku mengangkatmu jadi muridku.”

“Shifu!” panggil Yang Kang dengan suara keras. “Dizi memberi hormat kepada Shifu.” Suaranya penuh kegirangan, diikuti oleh suara ‘duk, duk, duk’ ketika ia merangkak ke hadapan Ouyang feng dan kowtow beberapa kali.

Ke Zhen’E berpikir bahwa orang ini adalah keturunan seorang laki-laki yang setia, tapi bukan hanya ia mengakui musuh sebagai ayahnya, bahkan juga menerima seorang jahat sebagai gurunya, kekecewaannya makin lama makin dalam. Ke Zhen’E kuatir akan sangat sulit bagi Yang Kang untuk bertobat, ia sangat marah. Ia mendengar Wanyan Honglie berkata, “Di tempat asing ini kita tidak punya apa-apa untuk dipersembahkan kepada Xiansheng, kita akan melakukan yang sepantasnya di kemudian hari.”

Ouyang feng menghela nafas dan berkata, “Mutiara dan perhiasan, Gunung Onta Putih juga punya. Ouyang Feng hanya melihat kecerdasan anak ini, aku berharap untuk memiliki ahli waris bagi kungfuku.”

Xiao Wang salah bicara,” kata Wanyan Honglie. “Xiansheng, tolong maafkan aku.”

Dengan segera Liang Ziweng dan yang lain satu per satu mengucapkan selamat kepada ketiga orang itu. Di tengah keramaian itu tiba-tiba seseorang berseru, “Shagu lapar, aku kelaparan setengah mati, masa tidak ada yang memberiku makanan?”

Ke Zhen’E sangat terkejut ketika mendengar tangisan Shagu. Ia bertanya-tanya bagaimana caranya gadis itu bisa berada di sekitar Wanyan Honglie, Ouyang Feng dan yang lain? Ia mendengar Yang Kang berkata sambil tertawa, “Betul, cepat ambil makanan untuk Nona ini, jangan sampai dia sakit karena kelaparan!”

Sesaat kemudiam suara Shagu mengunyah terdengar, ia sedang makan. Sambil tetap mengunyah ia berkata, “Hao Gege12, kau bilang mau membawaku pulang kalau aku mendengarkan kata-katamu, kenapa sampai sekarang kita belum sampai?”

“Kita akan sampai besok,” jawab Yang Kang. “Makanlah sampai kenyang, lalu tidur.”

Beberapa saat kemudian, Shagu tiba-tiba bertanya lagi, “Hao Gege, ada suara berisik di pagoda, itu apa?”

“Kalau bukan burung, pasti tikus,” jawab Yang Kang.

“Aku takut,” kata Shagu.

Yang Kang tertawa. “Sha Guniang, kau takut apa?” tanyanya.

“Aku takut hantu,” jawab Shagu.

Yang Kang tertawa. “Di sini ada banyak orang, hantu tidak berani datang.”

“Aku takut hantu orang gendut pendek itu,” kata Shagu.

Sambil memaksakan tawa, Yang Kang berkata, “Jangan ngomong sembarangan, orang pendek gendut yang mana?”

“Hmm,” kata Shagu. “Aku tahu, orang gendut pendek itu mati di kuburan Popo13, hantu Popo akan mengusir hantu orang pendek gendut itu, Popo tidak akan membiarkan orang itu tinggal di kuburannya. Orang itu akan datang ke sini dan membalasmu.”

“Kau terlalu banyak ngomong,” seru Yang Kang. “Aku akan memanggil kakekmu dan dia akan datang untuk membawamu pulang ke Pulau Bunga Persik.”

Shagu tidak berani mengatakan apa-apa lagi. Tiba-tiba Sha Tongtian berseru, “Hei, jangan injak kakiku! Duduk yang manis, jangan bergerak!” Tampaknya karena takut hantu, Shagu mendesak-desakkan dirinya ke kerumunan orang.

Ketika Ke Zhen’E mendengar percakapan itu, keraguannya bangkit. Orang gendut pendek yang dikatakan Shagu pastilah adik ketiganya, Han Baoju. Ia tewas di Pulau Bunga Persik, terang-terangan dibunuh oleh Huang Yaoshi, mana mungkin ‘hantunya’ datang untuk membalas Yang Kang? Meskipun Shagu bodoh, tapi pasti ada suatu alasan di balik ucapannya tadi. Sayangnya terlalu banyak musuh di sekitar mereka, maka ia tidak bisa keluar untuk menanyainya. Ia berpikir lebih lanjut, “Di depan Kedai Hujan Berkabut, Huang Yaoshi bilang, ‘Orang macam apakah Huang Yaoshi? Masa aku merendahkan diri sampai ke tingkatmu?’ kalau dia tidak mau membunuhku, masa dia membunuh lima orang adikku? Tapi kalau itu bukan Huang Yaoshi, lalu kenapa Si Di bilang dia melihat dengan matanya sendiri Huang Yaoshi membunuh Er Di dan Qi Mei?”14

Ia sedang bergulat dengan pikiran ini ketika tiba-tiba ia merasa Huang Rong menarik tangannya. Dengan jarinya ia menulis di telapak tangannya sebuah karakter ‘Qiu’, yang berarti ‘Mohon’, dan diikuti dengan beberapa karakter selanjutnya, ”… bantuanmu.”

Ke Zhen’E menulis untuk menjawab, “Apa itu?”

Huang Rong menulis, “Katakan kepada ayahku siapa yang membunuhku.”

Ke Zhen’E terkejut, ia tidak mengerti apa maksudnya. Ia hendak menarik tangannya untuk bertanya lebih lanjut ketika merasa angin sepoi-sepoi tepat di sebelahnya. Huang Rong sudah melompat keluar. Ia mendengarnya berkata sambil tersenyum, “Paman Ouyang, apa kabar?”

Tak seorang pun mengira ada seseorang yang bersembunyi di belakang patung. Suara ‘sring, sring!’ terdengar ketika semua orang menghunus senjata mereka dan mengepungnya sambil berseru, “Siapa itu?” “Pembunuh!” “Siapa kau?”

Huang Rong tersenyum dan berkata, “Ayah menyuruhku menunggu Paman Ouyang di sini, untuk apa kalian ribut-ribut?”

“Dari mana ayahmu tahu aku akan ke sini?” tanya Ouyang Feng.

Huang Rong menjawab, “Ayahku mengerti tentang pengobatan, ramalan dan perbintangan, tidak ada yang tidak diketahuinya. Dia bisa melakukan ramalan Wang Xiantian15 dan dia akan tahu segalanya.”

Ouyang feng sudah jelas sembilan puluh persen tidak mempercayai ucapannya, tapi ia juga tahu kalaupun ia bertanya lagi Huang Rong tetap tidak akan mengatakan apa-apa. Sha Tongtian dan yang lain pergi ke luar kuil untuk memeriksa dan tidak menemukan orang lain, jadi mereka kembali dan berdiri di sekitar Wanyan Honglie.

Huang Rong duduk di alas meditasi, sambil tersenyum dan cekikikan ia berkata, “Paman Ouyang, kau membuat ayahku dalam kesulitan!”

Ouyang Feng tersenyum tanpa menjawab. Ia tahu bahwa meskipun Huang Rong masih muda, tetapi ia penuh akal bulus. Kalau ia salah menjawab, maka anak itu akan menangkap kesempatan itu untuk mempermalukan dia, dan di depan begitu banyak orang ia jelas tidak bisa kehilangan muka. Karena itu ia menunggunya menjelaskan apa tujuannya datang ke situ sebelum ia bisa memutuskan mau berbuat apa dengan anak ini. Ia mendengarnya bicara, “Paman Ouyang, ayahku dikepung para pendata Tao dari Quanzhen di kota Xincheng, Xiao Peng Lai, kalau kau tidak menyelamatkannya, aku kuatir dia akan sulit meloloskan diri.”

Ouyang Feng tersenyum samar. “Apa betul begitu?” tanyanya.

Huang Rong dengan cemas berkata, “Kau seolah-olah bilang itu bukan apa-apa! Pria sejati harus bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri, sudah jelas kaulah yang membunuh Tan Chuduan dari Quanzhen, tapi aku tidak tahu bagaimana awalnya, pendeta-pendeta busuk itu selalu mengganggu ayahku. Di atas segalanya, Zhou Botong malah mengail di air keruh, sementara ayahku tidak mau berdebat dengan mereka. Kita harus bagaimana?”

Dalam hati Ouyang Feng kegirangan, ia berkata, “Ayahmu adalah ahli kunfu, mana bisa beberapa rambut kacau itu mengalahkan dia?”

“Para hidung sapi dari Quanzhen ditambah Lao Wantong, ayahku pasti bukan tandingan mereka,” kata Huang Rong. “Ayahku menyuruhku datang menyuruhku datang dan mengatakan bahwa setelah setengah mati berpikir selama tujuh hari tujuh malam, akhirnya dia mengerti maksud sebenarnya dari sebuah kalimat.”

“Kalimat apa?” tanya Ouyang Feng.

Huang Rong berkata, “Si Ling Xing, Ang Yi Na De. Si Re Que Xu, Ha Hu Wen Bo Ying.”

Bagi Ke Zhen’E, Wanyan Honglie dan yang lain, kalimat kacau itu tidak berarti apa-apa, tetapi Ouyang Feng terkejut. Itu adalah kalimat aneh dari bagian terakhir Jiu Yin Zhen Jing. Apakah Huang Yaoshi betul-betul memahami artinya? Jantungnya berdebar keras, tetapi mukanya tidak menunjukkan perubahan apa-apa. Ia tampak acuh tak acuh ketika berkata, “Anak kecil suka membingungkan orang. Siapa yang bisa mengerti kalimat kacau seperti itu?”

Huang Rong menjawab, “Ayah menerjemahkan kalimat aneh itu, dari atas ke bawah, dengan jelas. Aku melihatnya dengan mataku sendiri, buat apa aku membohongimu?”

Ouyang Feng tahu jelas kemampuan Huang yaoshi. Tadinya ia berpikir kalau tidak ada orang bisa memecahkan teka-teki tentang kalimat aneh itu, maka biarkan saja. Tapi kalau memang ada orang yang punya solusi, maka itu pastilah Huang Yaoshi, karena tidak ada orang lain di dunia ini yang punya kecerdasan yang sama seperti dia. Kendatipun begitu, masih dengan nada tidak terarik ia berkata, “Kalau begitu aku ucapkan selamat untuk ayahmu.”

Huang Rong menangkap arti sebenarnya di balik ucapannya, ia tahu ia masih setengah tidak percaya, maka ia melanjutkan, “Kukira aku masih ingat sebagian yang kulihat. Aku sih tidak keberatan kalau kau mendengarnya.” Dengan segera ia mengutip, “Baik ketika tubuh bergerak, atau terasa berat seolah tertekan oleh sesuatu, atau terasa ringan seperti siap terbang, atau terasa sesak, atau merasa tidak sangat panas atau dingin, atau merasa bahagia ketika mabuk, segala hal ini harus disalurkan melalui jalan istimewa sesuai dengan metode berikut.”

Penjelasan dari kitab itu membuat hati Ouyang Feng terasa gatal tak tertahankan. Ternyata Huang Rong mengutip sebagian terjemahan Yideng Dashi dari Jiu Yin Zhen Jing. Segala gejala aneh itu sebenarnya adalah situasi nyata yang dihadapi siapapun yangs edang melatih tenaga dalam. Setiap kondisi itu cukup untuk menakut-nakuti pikiran yang akan membuat para praktisi mengalami kesesatan. Kalau ada metode untuk menyalurkan kondisi-kondisi itu melalui ‘jalan istimewa’, maka metode itu bisa dianggap sangat berharga. Jadi apa yang dikatakan Huang Rong sungguh berasal dari Jiu Yin Zhen Jing dan bukan dari hasil karangannya yang sembarangan. Tenaga dalam Ouyang Feng sangat tinggi, sewajarnya ia tahu apakah yang didengarnya adalah nyata atau tipuan. Kecurigaannya lenyap. “Selanjutnya apa?” tanyanya.

Huang Rong berkata, “Aku tidak ingat sisanya, tapi aku samar-samar ingat sesuatu seperti ini: Pada saat pori-pori di sekujur tubuh kosong, segera dengan hati-hati amati ketiga puluh enam urusan di dalam tubuh. Ini akan seperti membuka pintu untuk melihat berbagai macam jerami dan biji-bijian, hati akan mengalami kejutan manis, dan dengan segera menjadi damai dan tenang.” Pertama-tama ia menjelaskan tentang kondisi aneh dari kitab itu, lalu ia memjelaskan metode latihan yang luar biasa, dengan suatu cara ia membocorkan rahasia metode dari kitab itu. Tetapi Ouyang Feng terdiam. Ia berpikir, dengan kecerdasannya, akan mustahil baginya untuk lupa, jadi ia pasti dengan sengaja tidak mau mengatakannya. Ia bertanya-tanya apa niatnya yang sesungguhnya.

Huang Rong melanjutkan, “Ayahku menyuruh bertanya kepada Paman Ouyang. Kau ingin lima ribu atau tiga ribu karakter?”

“Tolong jelaskan,” kata Ouyang Feng.

Huang Rong berkata, “Kalau kau mau pergi untuk menolong ayahku menghancurkan para pendekar Quanzhen, aku akan menghafalkan semua lima ribu karakter yang berisi Jiu Yin Shen Gong yang hebat itu untukmu.”

Ouyang Feng tersenyum. “Dan kalau aku tidak mau?” tanyanya.

Huang Rong menjawab, “Maka ayahku minta supaya kau membalaskan dendamnya. setelah kau membunuh Zhou Botong dan enam pendekar Quanzhen, aku akan membacakan tiga ribu karakter untukmu.”

Ouyang Feng tersenyum dan berkata, “Ayahmu dan aku hanya kenalan biasa, kenapa dia tiba-tiba menghormati Racun Tua setinggi langit?”

Huang Rong berkata, “Ayahku bilang: Pertama-tama, pembunuh keponakanmu adalah murid Perguruan Quanzhen, jadi menurutnya kau pasti ingin membalas dendam…”

Mendengar bagian ini Yang Kang mau tak mau jadi gemetar. Ia adalah murid Qiu Chuji, jadi dengan kalimatnya Huang Rong jelas mengarah kepada dirinya. Shagu sedang berdiri tepat di sebelahnya, ia bertanya, “Hao Gege, kau kedinginan ya?” Yang Kang bergumam tak jelas.

Huang Rong melanjutkan, “Kedua, setelah menerjemahkan kitab itu, dia ditantang oleh para pendeta Quanzhen, dia tidak punya waktu untuk menjelaskan semuanya kepadaku. Kkarena berpikir bahwa buku yang luar biasa ini sulit dicari, bagaimana mungkin ia membiarkannya lenyap kalau dia tewas? Saat ini kaulah satu-satunya orang yang punya kepribadian mirip dengan dia. Dia teringat Paman Ouyang pergi ke Pulau Bunga Persik untuk mengajukan lamaran pernikahan. Meskipun malangnya keponakanmu jatuh ke tangan murid Quanzhen, ayahku bilang kau tidak seharusnya terlalu banyak berpikir tentang dia. Karena itu dia ingin supaya kau melatih ilmu tenaga dalam ini dan nantinya mengajarkannya kepadaku.”

Ouyang Feng merasa hatinya sakit seperti tertusuk duri, tapi ia berpikir, “Yang dikatakan anak ini sangat masuk akal. Kalau tidak ada panduan dari seorang ahli, meskipun anak ini menghafal isi kitab itu selengkapnya akan tidak berguna.” Tapi kemudian sesuatu melintas di benaknya, ia berkata, “Bagaimana aku tahu kau mengatakan isi kitab yang sebenarnya atau palsu?”

Huang Rong menjawab, “Guo Jing, anak bodoh itu menulis kitab untukmu, setelah kubaca bagian-bagian penting dari terjemahan kitab itu, kau bandingkan saja dengan salinanmu, maka kau akan tahu apakah itu asli atau palsu.”

Ouyang Feng berkata, “Kau benar. Biar kupikirkan dulu, kita pergi pagi-pagi sekali untuk menyelamatkan ayahmu.”

Huang Rong dengan cemas berkata, “Menolong orang itu seperti memadamkan api, bagaimana mungkin kita menunggu sampai besok?”

Ouyang feng berkata sambil tertawa, “Berarti aku akan membalaskan sakit hati ayahmu. Bukankah itu sama saja?” Ia sudah memutuskan bahwa begitu kitab itu sudah berada di tangannya, nantinya ia akan bisa membuat Huang Rong menghafalkan bagian terpenting, dan kemudian ia bisa memikirkannya untuk memahami maksudnya. Untuk saat ini, biarkan Huang Yaoshi dan Perguruan Quanzhen bertarung sendiri. Semoga kedua belah pihak menderita luka parah, bukankah itu jauh lebih baik?

Bersembunyi di belakang patung, Ke Zhen’E mendengarkan pembicaraan kedua orang itu tentang Jiu Yin Zhen Jing. Ia bertanya-tanya mengapa Huang Rong menulis di tangannya tujuh karakter ‘Katakan kepada ayahku siapa yang membunuhku’16, ia tidak mengerti maksudnya. Ia mendengar Huang Rong berkata, “Kalau begitu kita akan berangkat besok pagi-pagi sekali, setuju?”

“Pasti,” kata Ouyang Feng sambil tersenyum. “Sekarang kau beristirahat dulu!”

Ke Zhen’E mendengar Huang Rong menyeret alas meditasi dan duduk di dekat Shagu. “Shagu,” katanya. “Yeye17 membawamu ke Pulau Bunga Persik, bagaimana kau bisa sampai di sini?”

“Aku tidak mau ikut Yeye, aku mau pulang,” kata Shagu.

“Hao Gege bermarga Yang ini, apa dia datang ke Pulau Bunga Persik dan membawamu naik kapal, dan datang kemari bersama-sama?”

“Iya betul,” kata Shagu. “Dia baik sekali.”

Hati Ke Zhen’E terguncang. “Kapan Yang Kang ke Pulau Bunga Persik? Ia mendengar Huang Rong bertanya lagi, “Kemana perginya Yeye?”

Shagu terkejut. “Jangan bilang kalau aku melarikan diri ya,” katanya. “Yeye akan memukulku.”

Huang Rong tersenyum. “Aku tidak akan bilang, tapi kalau aku tanya sesuatu kau harus jawab ya.”

“Kau tidak boleh bilang sama Yeye,” kata Shagu. “Dia mau membawaku kembali ke situ dan menyuruhku menulis.”

Huang Rong tertawa. “Aku pasti tidak akan bilang,” katanya. “Tadi kau bilang Yeye ingin mengajarmu menulis ya?”

“Iya betul,” kata Shagu. “Hari itu Yeye membawaku ke ruang belajarnya dan mengajarku menulis. Dia bilang ayahku bermarga Qu-Qu Anu, jadi margaku juga Qu-Qu Anu. Dia menulis karakter Qu-Qu Anu dan menyuruhku mengingatnya. Dia juga bilang nama ayahku Qu Qu-Anu, Anu Feng. Aku tidak ingat namanya. Yeye jadi marah dan mengomeli aku, dia bilang aku sangat bodoh. Aku kan memang Shagu18!”

Huang Rong tertawa. “Shagu memang bodoh. Yeye mengomelimu, Yeye jelek ya, Shagu anak baik!” Shagu senang sekali mendengarnya. “Lalu bagaimana?” tanya Huang Rong.

Shagu berkata, “Aku bilang aku mau pulang, Yeye malah lebih marah lagi. Tiba-tiba pelayan bisu-tuli datang, tangannya menunjuk kesana-kemari, dia ngomong ‘yi yi ah ah’. Yeye bilang, ‘Aku tidak mau terima tamu, suruh mereka pergi!’ Tak lama kemudian prlayan bisu itu kembali membawa kertas. Yeye melihatnya dan menaruhnya di atas meja. Dia menyuruhku pergi bersama pelayan bisu untuk menerima tamu. Haha… orang gendut pendek itu jelek sekali! Aku menatapnya dan dia juga menatapku.”

Ke Zhen’E teringat bahwa ketika mereka datang berkunjung ke Pulau Bunga Persik untuk bertatap muka, itu persis seperti yang diceritakan Shagu, awalnya Huang Yaoshi tidak mau menemui mereka berenam, lalu Zhu Cong menulis surat untuk dikirimkan, setelah itu Shagu datang untuk menerima mereka. Tapi adik ketiganya sudah tidak lagi hidup, kalau teringat hal ini hatinya sangat berduka.

Ia mendengar Huang Rong berkata lagi, “Yeye menemui mereka?”

Shagu berkata, “Yeye menyuruhku menemani tamu makan, tapi dia sendiri pergi. Aku tidak suka melihat orang gendut pendek itu, jadi aku diam-diam pergi. Aku melihat Yeye duduk di dekat batu, memandang ke laut. Aku juga memandang laut. Aku melihat kapal di kejauhan, datang ke pulau. Di kapal itu ada pendeta-pendeta Tao.”

Ke Zhen’E berpikir, “Hari itu kami mendengar Perguruan Quanzhen akan pergi ke Pulau Bunga Persik untuk membalas dendam, maka kami pergi mendahului mereka untuk memberitahu Huang Yaoshi supaya menjauhi mereka, dan menunggu sampai Enam Orang Aneh dari Jiangnan menjelaskan keseluruhan cerita kepada Perguruan Quanzhen. Tapi sepanjang waktu kami tidak pernah melihat para pendekar Quanzhen di pulau, kenapa Shagu ini bilang ada pendeta Tao d kapal?”

Ia mendengar Huang Rong bertanya, “Lalu apa yang dilakukan Yeye?”

Shagu menjawab, “Yeye memanggilku datang. Aku melompat ketakutan, ternyata dia sudah melihatku pergi diam-diam untuk bermain. Aku tidak berani datang, aku takut dia akan memukulku. Dia bilang, ‘Aku tidak akan memukulmu, kau ke sini’. Jadi aku ke situ. Dia bilang dia akan naik kapal untuk pergi memancing, dia menyuruhku menunggu pendeta-pendeta Tao itu dan membawa mereka masuk setelah mereka tiba di pantai. Dia menyuruhku mengajak mereka makan bersama dengan orang gendut pendek itu dan teman-temannya. Aku bilang aku mau ikut pergi memancing. Yeye bilang aku tidak bisa ikut, aku harus menunggu pendeta-pendeta Tao dan mengajak mereka masuk karena mereka tidak kenal jalan di pulau.”

“Lalu bagaimana?” tanya Huang Rong.

Shagu berkata, “Lalu Yeye pergi ke belakang batu dan berlayar. Aku tahu, pendeta-pendeta Tao itu jelek-jelek, Yeye tidak mau ketemu mereka.”

Huang Rong memujinya, “Betul, yang kau katakan itu betul sekali. Kapan Yeye pulang?”

“Pulang?” kata Shagu. “Dia tidak pulang.”

Ke Zhen’E terguncang. Ia mendengar Huang Rong bertanya, “Kau yakin begitu? Lalu apa yang terjadi?” Ia bisa mendengar suaranya agak gemetar. Tampaknya ia menyadari bahwa ini adalah bagian terpenting.

Shagu menjawab, “Yeye baru mau berangkat, mendadak ada sepasang burung besar datang, mereka iu burungmu. Yeye memanggil mereka dan bersiul kepada burung-burung itu, mereka turun. Ada sesuatu yang terikat di kaki burung itu, kelihatannya sangat lucu. Aku berteriak, ‘Yeye, berikan padaku, berikan padaku!’ …” Bicara sampai di sini ia betul-betul berteriak-teriak keras.

Yang Kang menenangkannyam “Diam! Semua orang mau tidur.”

“Shagu,” kata Huang Rong. “Lanjutkan saja ceritamu.”

Shagu berkata, “Aku bicara pelan-pelan.” Dan ia sungguh-sungguh mengecilkan suaranya, “Yeye tidak menghiraukan aku. Dia merobek kain dari jubahnya dan mengikatkannya di kaki burung besar itu, lalu dia menyuruh mereka pergi.”

“Hmm,” kata Huang Rong kepada diri sendiri. “AAyah mau menghindari para pendekar Quanzhen, tidak heran kalau dia tidak punya waktu untuk mengambil Jin Wawa. Tapi siapa yang menembak elang betina dengan anak panah?” Karena itu ia bertanya, “Siapa yang memanah elang itu?”

“Panah? Tidak ada panah,” kata Shagu, kemudian ia diam seakan-akan sedang melamun.

“Baiklah,” kata Huang Rong. “Kenapa tidak kau lanjutkan?”

Shagu melanjutkan, “Yeye melihat jubahnya robek, dia melepaskannya dan menyuruhku pulang untuk mengambil gantinya. Tapi waktu aku kembali Yeye sudah pergi, kapal pendeta-pendeta Tao itu juga pergi, aku hanya melihat jubah Yeye yang robek itu tergeletak di tanah.”

Mendengarka sampai di sini Huang Rong tidak bertanya lagi, ia diam-diam mengolahnya sendiri di kepalanya. Setalah agak lama ia bertanya, “Mereka pergi ke mana?”

“Aku melihat mereka, “kata Shagu. “Aku memanggil Yeye, tapi dia tidak menyahut. Aku memanjat pohon besar dan melihat, aku melihat kapal kecil Yeye ada di depan, kapal besar pendeta-pendeta Tao itu mengikuti di belakang, mereka berlayar pelan-pelan dan menghilang. Aku tidak suka melihat orang gendut pendek itu, aku tetap di pantai, menendangi kerikil dan bermain sampai gelap, dan kembali bersama Yeye yang ini dan kakak yang baik ini.”

“Jadi itu Yeye yang ini ya, dan bukan Yeye yang mengajarimu menulis?” tanya Huang Rong.

Shagu cekikikan dan berkata, “Yeye yang ini baik, bukan saja tidak mengajariku menulis, dia malah memberiku kue.”

“Paman Ouyang,” kata Huang Rong. “Kau masih punya kue itu? Bisa memberinya lagi?”

Ouyang Feng tertawa kering. “Masih ada.”

Ke Zhen’E merasa seolah-olah jantungnya melompat ke tenggorokan. “Ternyata Ouyang Feng ada di pulau hari itu,” pikirnya.

“Aiyo!” Tiba-tiba ia mendengar Shagu menjerit, diikuti suara ‘plak, plak’ dua kali, ada orang berkelahi, dan kemudian seseorang melompat dan mendarat lagi. Ia mendengar Huang Rong berseru, “Kau ingin membungkamnya ya?”

Ouyang Feng tertawa, “Urusan ini bisa saja disembunyikan dari orang lain, tapi pasti tidak untuk ayahmu. Kenapa aku ingin membunuh anak bodoh ini? Kalau kau ingin bertanya, tanyakan saja.” Tapi Shagu merintih dan mengeluh, ia tidak bisa bicara lagi. Ke Zhen’E bertanya-tanya di bagian mana ia dipukul Ouyang Feng.

“Aku tidak ingin bertanya,” kata Huang Rong. “Aku sudah menduga dengan tepat, aku hanya ingin supaya Shagu yang mengatakannya dengan mulutnya sendiri.”

Ouyang Feng tertawa dan berkata, “Anak ini sungguh pintar. Bagaimana kau bisa menebak? Coba katakan.”

Huang Rong berkata, “Ketika aku pertama kalinya melihat situasi di pulau, aku juga mengira ayahku membunuh Lima Orang Aneh dari Jiangnan. Tapi kemudian aku teringat sesuatu, dan aku tahu itu pasti bukan dia. Coba pikir, bagaimana dia bisa meninggalkan mayat semua laki-laki bau ini di makam ibuku untuk menemaninya? Bagaimana dia bisa meninggalkan makam tanpa menutup pintunya?”

“Aiyo,” Ouyang Feng menampar lututnya sendiri. “Kami luput memperhatikan soal itu. Kang’er, begitu kan?”

Mendengar hal ini Ke Zhen’E merasa dadanya nyaris meledak, baru saat itu ia menyadari bahwa Huang Rong sudah tahu bahwa pembunuhnya adalah Ouyang Feng dan Yang Kang. Alasannya mendadak keluar dan mengorbankan diri adalah untuk mengungkapkan kebenaran dan membersihkan ayahnya dari tuduhan palsu. Ia tahu jelas bahwa jika ia keluar, maka kemungkinan besar ia akan mengalami malapetaka, itu sebabnya ia meminta Ke Zhen’E untuk memberitahu ayahnya siapa yang membunuhnya. Ke Zhen’E merasa sangat sedih dan menyesal, ia berkata dalam hati, “Anak baik, sudah cukup kalau kau memberitahu aku siapa pembunuhnya. Mengapa harus mengorbankan hidupmu dengan sia-sia?” Tapi kemudian ia berpikir, “Aku, Fei Tian Bian Fu[^kelelawar], sangat pemarah. Aku buta, tapi aku malah menyalahkan ayah dan anak itu. Kalaupun dia mengatakan dengan jelas, apakah aku akan percaya? Ke Zhen’E, Ke Zhen’E, kau ini Si Buta Bau, kau pantas dibunuh dengan ribuan pisau, kau memaksa anak baik ini untuk mati.”

Dalam penyesalannya ia ingin mengangkat tangan dan menampar telinganya sendiri sekeras-kerasnya, tapi ia mendengar Ouyang Feng berkata, “Bagaimana kau bisa menduga itu aku?”

Huang Rong berkata, “Masa sulit? Di jaman sekarang ini, orang yang mampu memukul mati kuda kuning dan mematahkan palang timbangan besi tidak banyak. Tapi mula-mula kukira itu orang lain. Pada saat menjelang ajal Nan Xiren menulis beberapa karakter dengan jarinya di tanah, ‘Pembunuhku sepuluh’19, dia meninggal sebelum sempat menulis karakter kelima dengan tuntas. Aku berpikir namamu bukan dimulai dengan karakter ‘sepuluh’20, karena itu kukira itu karakter ‘Qiu’ dari nama Qiu Qianren21.”

Ouyang Feng tertawa keras, ia berkata, “Orang ini — Nan Xiren — sungguh sulit mati, tak kuduga dia masih bertahan dan bisa melihatmu.”

Huang Rong berkata, “Aku melihat keadaannya sebelum meninggal, aku yakin dia terkena racun aneh. Aku berpikir, Qiu Qianren melatih ilmu telapak beracun, itu sebabnya aku menduga itu perbuatannya.”

Ouyang Feng berkata sambil tersenyum, “Kungfu Qiu Qianren berdasarkan kekuatan telapak tangan dan bukan telapak tangan beracun. Telapak tangannya tidak mengandung racun. Dia menggunakan racun mendidih untuk melatih telapak tangannya, tapi itu hanya metode latihan kekuatan telapak tangan. Dia memaksa gas racun keluar, karena itu kekuatan telapak tangannya meningkat. Waktu meninggal Nan Xiren itu buka mulut, tapi bagaimana dia bisa mengatakan apapun, mukanya tersenyum, kan?”

“Betul,” kata Huang Rong. “Itu racun apa?”

Ouyang Feng tidak menjawab, ia bertanya lagi, “Tubuhnya melintir, dia bergulingan di tanah, dia tiba-tiba punya tenaga luar biasa, betul kan?”

“Betul,” kata Huang Rong. “Racun sekeras itu, kupikir selain Sekte Telapak Besi itu, tak ada orang lain di dunia ini yang punya racun seperti itu.”

Sudah jelas Huang Rong mengatakan semua itu untuk memancing Ouyang Feng, dan ia juga tahu pasti, tapi ia masih tetap tidak bisa menahan diri untuk marah dan gusar. “Kau pikir orang memanggilku ‘Racun Tua’ tanpa alasan?” Ia menghempaskan tongkat ularnya dengan keras-keras ke tanah dan berteriak, “Ular di tongkat ini menggigit lidahnya, itu sebabnya tidak ada luka di tubuhnya, tapi dia tidak bisa bicara.”

Mendengar ini Ke Zhen’E merasa darah hangat langsung naik ke otaknya, ia hampir pingsan beberapa kali. Huang Rong mendengar suara gerakan dari belakang patung, ia batuk-batuk beberapa kali, berusaha menutupi suara itu, lalu ia berkata perlahan-lahan, “Lima Orang Aneh dari Jiangnan tewas di tanganmu. Ke Zhen’E yang lolos buta, akhirnya tidak ada yang tahu siapa sebenarnya pembunuh itu.”

Mendengarkan dia hati Ke Zhen’E terusik. “Dia berusaha mengingatkan aku, menyuruhku jangan sembrono sampai kami berdua mati konyol tanpa bisa menjelaskan apa-apa.” Ia mendengar Ouyang Feng tertawa kering. “Mana mungkin orang buta busuk itu bisa lolos dari tanganku? Aku sengaja membiarkannya pergi.”

“Ah, benar,” kata Huang Rong. “Kau membunuh lima orang, membiarkannya percaya bahwa ayahkulah yang melakukannya. Dia akan pergi ke seluruh dunia dan menyebarkan masalah ini, lalu mengumpulkan semua pendekar di seluruh dunia untuk menyerang ayahku.”

Ouyang Feng berkata sambil tersenyum, “SEbetulnya itu gagasan Kang’er, bukan gagasanku, betul kan?” Yang Kang menggumamkan jawabannya.

Huang Rong berkata, “Ini sungguh strategi hebat dan ajaib. Aku sungguh kagum!”

Ouyang Feng berkata, “Kau mengubah topik, apa yang membuatmu menduga itu aku?”

Huang Rong menjawab, “Aku sempat bertarung melawan Qiu Qianren di jalanan Selatan, di antara Hunan dan Hubei. Meskipun mungkin saja dia bisa mengejar kami dan tiba di Pulau Bunga Persik lebih dulu, tapi sebenarnya sangat sulit, karena kami menunggang kuda merah. Aku berpikir lagi tentang apa yang ditulis Zhu Cong di belakang suratnya, dia mengingatkan semua orang untuk tetap waspada. Karakter terakhir itu belum selesai, dia hanya membuat tiga goresan, satu garis horizontal, satu vertikal, dan yang lain seperti kait. Ini bisa jadi permulaan dari sebuah ‘timur’ — Dong (東) — atau mungkin juga ‘barat’ — Xi (西). Betul, kan? Kalau bukan ‘Sesat Timur’, tentu ‘Racun Barat’. Aku sudah memikirkan semuanya ini di Pulau Bunga Persik, tapi ada beberapa detil yang belum kumengerti.”

Ouyang Feng menghela nafas. “Aku mengira sudah melakukannya tanpa cacat, tak kusangka ada begitu banyak jejak yang kutinggalkan. Sastrawan busuk itu begitu cepat, aku bahkan tidak melihatnya menggerakkan pena untuk menulis.”

“Dia dikenal sebagai Sastrawan Tangan Ajaib,” kata Huang Rong. “Sewajarnya dia tidak akan membiarkanmu melihat apa yang dilakukannya. Aku berpikir dalam-dalam tentang karakter ‘sepuluh’ yang ditulis Nan Xiren. Entah apa itu? Ini karena kungfu Xiao Wangye ini begitu rendah, dia sudah pasti tidak punya kemampuan untuk membunuh Lima Orang Aneh dari Jiangnan dalam sekali gebrak, karena itu aku tidak pernah mencurigainya.”

“Hm,” dengus Yang Kang.

Huang Rong melanjutkan, “Hari itu aku sama sekali sendirian di Pulau Bunga Persik, balik kiri, balik kanan, antara tidur dan bangun. Aku tidak bisa menemukan kesimpulan yang tepat. Aku memimpikan banyak orang, aku bermimpi tentang Mu Jiejie. Aku bermimpi dia ada di Yanjing22, di tengah lomba untuk mencari jodoh. Aku tiba-tiba terbangun dari mimpi, melompat berdiri, baru saat itu aku tahu bahwa pembunuh sebenarnya adalah Xiao Wangye ini!”

Mendengar Huang Rong mengatakan semua itu dengan suara tajam Yang Kang basah kuyup oleh keringat dingin, memaksakan tawa ia berkata, “Apa Mu Nianci yang mengatakannya dalam mimpimu?”

“Betul,” kata Huang Rong. “Kalau bukan karena mimpi ini, mana mungkin aku menduga bahwa itu ternyata engkau? Mana sepatu kecil dari jamrud itu?”

Yang Kang terkejut, dengan nada tajam ia bertanya, “Dari mana kau tahu? Mu Nianci juga mengatakannya dalam mimpimu?”

Dengan senyum dingin Huang Rong berkata, “Kau pikir aku memerlukannya? Setelah membunuh Zhu Cong, kau menjejalkan barang-barang berharga di makam ibuku ke sakunya, supaya kalau orang melihatnya mereka akan berpikir bahwa Zhu Cong merampok barang-barang itu dan ketahuan oleh ayahku, karenanya kehilangan nyawa. Menyalahkan orang seperti ini sebetulnya adalah gagasan pintar, tapi kau melupakan sesuatu, Zho Cong dikenal sebagai Sastrawan Tangan Ajaib.”

Rasa ingin tahu Ouyang Feng bangkit. “Kenapa kalau Sastrawan Tangan Ajaib?” tanyanya.

“Hm,” dengus Huang Rong. “Dia hanya tahu bagaimana menaruh barang berharga di saku orang lain, dia sebetulnya tidak tahu bahwa orang lain mengambil barang dari tubuhnya.”

Ouyang Feng tidak mengerti. “Barang apa?” tanyanya.

Huang Rong berkata, “Meskipun kungfu Zhu Cong lebih rendah dari kungfumu, menjelang kematiannya dia lagi-lagi memamerkan tangan ajaibnya. Dia mengambil sesuatu dari Xiao Wangye ini dan memegangnya di tangan, tentu saja kau tidak tahu. Kalau bukan karena barang ini, dalam jutaan tahun pun aku tidak akan mengira Xiao Wangye ini ternyata mengunjungi Pulau Bunga Persik.”

Ouyang Feng berkata sambil tersenyum, “Urusan ini jadi makin menarik. Ilmu Sastrawan Tangan Ajaib ini sebetulnya tinggi, nyawanya sudah melayang tapi dia masih bisa meninggalkan petunjuk bagimu. Barang yang diambilnya pasti sepatu jamrud kecil yang kau katakan itu.”

“Betul,” kata Huang Rong. “Aku sudah melihat semua harta benda di dalam makam ibuku sejak kecil, dan aku belum pernah melihat sepatu kecil itu sebelumnya. Bahkan dalam kematiannya Zhu Cong masih memegangnya erat-erat, pasti ada alasan kuat di baliknya. Di bagian depan sepatu itu ada karakter Bi23 terukir di atasnya, sementara di bagian lain ada karakter Zhao24. Aku setengah mati memikirkan hal ini, tapi sepanjang waktu itu aku tidak bisa menembus misteri ini. Malam itu aku bermimpi, aku melihat Mu Jiejie di sudut kota Yanjing memamerkan kungfunya. Ada sebuah umbul-umbul berdiri di samping, dengan kalimat Bi Wu Zhao Qin25. Tiba-tiba hal ini menyadarkan aku, dan semuanya langsung klop.”

Ouyang Feng tertawa dan berkata, “Ternyata dua karakter di sepatu itu punya sejarah romantis seperti ini! Haha… haha…!” Ia tertawa gembira, tapi sebenarnya Ke Zhen’E sedang mendengarkan dengan rasa tidak senang, karena ia tidak mengerti apa yang tersadar dalam pikiran Huang Rong.

Huang Rong tahu bahwa Ke Zhen’E tidak mengerti, maka dengan berpura-pura sedang berbicara kepada Ouyang Feng ia menjelaskan lebih lanjut, “Saat itu, di Yanjing, Mu Jiejie mengadakan Lomba Mencari Jodoh, Xiao Wangye memamerkan kebolehan kungfunya. Aku beruntung ada di tengah keramaian untuk ikut menyaksikan peristiwa meriah ini. Setelah berlomba sebentar, Xiao Wangye merebut sepatu bersulam Mu Jiejie. Dia memenangkan kontes, jadi seharusnya dia menikahi Mu Jiejie, tapi sebenarnya banyak masalah rumit yang terlibat di sini.”

Lomba Mencari Jodoh itu sungguh punya terlalu banyak efek samping di kemudian hari. Pada saat itu Liang Ziweng, Sha Tongtian dan yang lain juga hadir sebagai saksi. Wanyan Honglie berkabung untuk kematian istrinya, Yang Kang bertemu ayah kandungnya, dan semua peristiwa yang mengelilinginya. Mendengarkan bagian ini hati semua orang penuh dengan kesedihan dan penyesalan.

Huang Rong berkata, “Setelah aku teringat hal ini, aku bisa menduga apa yang terjadi. Xiao Wangye dan Mu Jiejie secara pribadi sepakat untuk hidup bersama di masa depan. Swajarnya mereka memutuskan bahwa sepatu berukir itu akan menjadi tanda mata terbaik bagi pertunangan mereka. Pasangan sepatu itu saling melengkapi, yang satu punya karakter Bi dan Zhao, dua karakter. Lainnya pastilah punya Wu26 dan Qin27 di atasnya. Xiao Wangye, dugaanku benar tidak?” Yang Kang tidak menjawab.

Huang Rong melanjutkan, “Sekali aku tahu semua itu, sisanya gampang sekali. Han Baoju dibunuh menggunakan Jiu Yin Baigu Zhua. Di dunia ini hanya Sepasang Iblis, Hei Feng Shuang Sha, yang mempraktekkan ilmu ini, tapi kedua orang itu sudah meninggal. Orang lain pasti mengira guru Sepasang Iblis pasti juga ahli dalam ilmu ini. Di luar dugaan, ayahku tidak pernah melatih ilmu ini atau ilmu lain yang mirip dengan ini, tetapi Mei Chaofeng sudah menerima seorang murid ketika ia masih hidup. Karena itu, karakter ‘sepuluh’ kecil yang ditulis Nan Xiren itu pastilah permulaan dari karakter Yang (杨). Di luar dugaan anak bodoh, Guo Jing itu, terus ngotot bahwa itu pasti adalah karakter Huang (黄).” Bicara sampai di sini Huang Rong tak dapat menahan rasa sedih.

Ouyang Feng tertawa sangat panjang dan keras, ia berkata, “Tidak heran bocah Guo Jing itu mengabaikan hidupnya sendiri, berani menyerang ayahmu di Kedai Hujan Berkabut.”

Huang Rong menghela nafas. “Tipuanmu sungguh hebat, dalam murkanya si anak bodoh itu tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Awalnya kupikir kau menangkap salah satu pelayan bisu-tuli dan memaksanya menunjukkan jalan. Baru hari ini aku menyadari ternyata Shagu yang mengantarmu masuk. Xiao Wangye pasti sudah berjanji mengantarnya pulang ke Desa Niu, Shagu sangat gembira dan melakukan apapun yang kalian suruh. Hmm, kalian berdua pasti memasang jebakan di dalam makam ibuku, lalu kalian menyuruh Shagu mengundang Enam Orang Aneh dari Jiangnan atas nama ayahku, menyuruh mereka memasuki makam. Ada Paman Ouyang menghadang di depan makam, mana mungkin mereka lolos dari kekejaman tanganmu? Ini seperti menangkap kura-kura di ember.”

Mendengarnya Ke Zhen’E mendapat kesan bahwa ia sebetulnya hadir di situ untuk menyaksikan segalanya. Perasaan ketika hari itu mereka melawan musuh tangguh di makam kembali hadir di benaknya. Ia mendengar Huang Rong melanjutkan, “Paman Ouyang sudah melihat jubah panjang ayahku tergeletak di pantai. Dia mengambilnya, dan memakainya. Penerangan di dalam makam itu redup, dalam sekejap mata beberapa dari Enam Orang Aneh terluka atau tewas, bagaimana sisanya bisa mengenali musuh dalam situasi kalut? Maka Nan Xiren memberitahu Ke Zhen’E bahwa pembunuhnya adalah ayahku. Zhu Cong dan Quan Jinfa dibunuh oleh Paman Ouyang. Han Baoju dibunuh oleh Xiao Wangye, sementara Han Xiaoying menggorok lehernya sendiri. Ke Zhen’E dan Nan Xiren berhasil melarikan diri dari makam, dan bertarung sengit di ruang belajar. Kau sengaja membiarkan Ke Zhen’E lolos. Pada saat Nan Xien mengenali bahwa pembunuhnya adalah engkau, orang bermarga Yang, dia sudah digigit ular.”

Ouyang Feng menghela nafas. “Anak kecil ini punya kemampuan meneliti tingkat dewa. Segala hal ini terjadi secara kebetulan. Ini adalah nasib Enam Orang Aneh bahwa mereka harus mati dengan cara ini. Ketika aku datang ke Pulau Bunga Persik bersama Kang’er, kami tidak tahu Enam Orang Aneh hadir di situ.”

“Itu betul,” kata Huang Rong. “Meskipun Enam Orang Aneh dari Jiangnan punya reputasi besar di Jianghu, tapi itu karena mereka punya Xia Yi28, dua karakter itu. Kalau bicara tentang ilmu silat, Paman Ouyang tidak akan melirik mereka sama sekali. Jadi kalau kalian berdua harus menempuh perjalanan panjang untuk melaksanakan rencana besar kalian, maka kalian pasti punya rencana besar lainnya.”

Ouyang Feng tersenyum dan berkata, “Xiao Guniang sangat cerdik, kau pasti sudah menduga.”

Huang Rong berkata, “Aku memang sudah menduga, tapi aku minta maaf kepada Paman Ouyang kalau dugaanku keliru. Aku yakin semula kau berniat melihat para pendekar Quanzhen dan ayahku saling berkelahi dan terluka parah, dan kemudian seperti Bian Zhuang menikam harimau kau akan menghancurkan baik Perguruan Quanzhen maupun Pulau Bunga Persik dalam sekali gebrak. Tak disangka kau terlambat selangkah, ayahku dan para pendeta itu sudah pergi meninggalkan pulau. Xiao Wangye menanyai Shagu, dan menemukan bahwa Enam Orang Aneh dari Jiangnan ada di situ. Mmm, ulai saat itu kalian berdua memamerkan kungfu kalian sepenuhnya dan membunuh Lima Orang Aneh, mengaturnya sedemikian rupa sehingga semua kesalahan akan jatuh kepada ayahku. Kalian membunuh para pelayan bisu-tuli di pulau, dan mengubur mayat mereka untuk menghilangkan jejak, denagn begitu tidak akan ada saksi hidup. Belakangan ketika masalah ini mencuat ke permukaan, mana mungkin Hong Qigong, Kaisar Duan dan yang lain mempersulit ayahku? Xiao Wanye takut kalau-kalau ayahku akan segera pulang dan ia menghapus segala jejak yang kau tinggalkan di Pulau Bunga Persik. Karena itu kau sengaja membiarkan Ke Zhen’E lolos. Orang ini buta, tapi lidahnya masih belum busuk. Memang benar dia tidak bisa melihat, tapi dia bisa mengatakan segala omong kosong.”

Mendengarnya Ke Zhen’E mau tak mau merasa sedih dan marah, tapi juga malu. Ia mendengar Ouyang Feng menghela nafas dan berkata, “Ak sungguh iri pada Huang Laoxie, dia punya anak yang pintar. Semua yang terjadi itu sebenarnya sangat rumit, tapi kau menduganya dengan benar, seolah-olah kau menyaksikannya sendiri dengan matamu. Boneka cilik, kau memang pintar.”

Footnotes

  1. Zi Shi (子时) adalah jam pertama, tengah malam, antara jam 11 malam dan jam 1 dini hari, menurut aturan umum yang kita kenal. Arti literal kedua karakter tersebut adalah ‘Jam Tikus’. Informasi mengenai ini bisa dibaca di situs ini.

  2. Chou Shi (丑时) adalah jam kedua, yaitu antara jam 1 dan jam 3 dini hari. Secara literal istilah tersebut berarti ‘Jam Kerbau’.

  3. Yi Xing Huan Wei adalah salah satu bentuk teknik meringankan tubuh yang menjadi ciri khas Sha Tongtian. istilah ini bisa diartikan ‘Menukar Gaya Berpindah Posisi’.

  4. Tou Gu Ding (透骨钉) bisa diartikan ‘Jarum Penembus Tulang’. Sebetulnya karakter Ding (钉) lebih cocok kalau kita artikan ‘Paku’, tetapi senjata rahasia Lian Ziweng sebelumnya digambarkan ‘sangat halus dan tipis’, karena itu istilah ‘paku’ terasa kurang cocok.

  5. Di Yang Chu Fan (羝羊触藩) adalah sebuah ungkapan yang terdapat di dalam Kitab Perubahan (Yijing). Biasanya digunakan untuk menggambarkan dilema yang dialami seseorang. Arti literal 4 karakter tersebut adalah ‘kambing/domba jantan yang tanduknya diikat ke sebuah pagar’.

  6. Shen Jian Luo Ying Zhang (神劍落英掌) pada hakekatnya adalah ilmu yang sama dengan Luo Ying Shen Jian Zhang (落英神劍掌), tetapi kelima karakter itu disusun dengan cara lain, mungkin tulisan asli Jin Yong juga demikian. Ilmu ini adalah ciptaan Huang Yaoshi, ilmu pedang dengan menggunakan tangan sebagai pengganti pedang, yang otomatis pedang itu menjadi tidak kelihatan. Mirip-mirip ilmu yang digunakan Duan Yu dalam serial Demi Gods and Semi Devils. Tetapi dalam serial ini Kaisar Duan yang akhirnya menjadi Yideng Dashi, yang adalah keturunan Duan Yu, justru tidak menguasainya.

  7. Ke Cia Jun adalah Perkampungan Keluarga Ke.

  8. Lan Hua Fu Xue Shou (蘭花拂穴手) adalah ilmu totokan dari Pulau Bunga Persik, ciri khas keluarga Huang Rong.

  9. Da Ye (大爺) secara literal berarti ‘Tuan Besar’ atau ‘Majikan Besar’.

  10. Jam ke-6 menurut perhitungan jam Tiongkok kuno adalah ‘Jam Ular’, sesuai urutan zodiak, yang dimulai dari ‘Tikus’. Jam ini adalah antara jam 9 pagi sampai jam 11 siang. Ia mendengar suara jangkrik dan suara anjing menggonggong, dan di kejauhan suara laki-laki dan perempuan menyanyi di ladang. Ini adalah gambaran sempurna dari keadaan ‘tenang dan damai’, dunia yang sama sekali lain dibandingkan pertempuran sengit di Danau Selatan pagi ini.

  11. Jam ke-7 adalah ‘Jam Kuda’, yang berarti sekitar jam 11 - jam 1 siang.

  12. Hao Gege berarti ‘Kakak yang baik’, untuk kakak laki-laki.

  13. Popo (婆婆) dalam konteks ini berarti ‘Nenek’, yang mengacu kepada nenek dari pihak ibu.

  14. Er Di, Si Di dan Qi Mei masing-masing berarti Adik kedua, adik keempat dan adik ketujuh. Dalam hal ini kecuali Qi Mei yang adalah Han Xiaoying, yang lain adalah laki-laki.

  15. Metode meramal yang dimaksud di sini adalah cara yang dipakai oleh para praktisi ajaran Tao.

  16. Dalam bahasa mandarin tujuh karakter itu adalah ‘Gao Wo Fu He Ren Sha Wo’ (告我父何人杀我).

  17. Ye Ye (爷爷) adalah sebutan untuk kakek dari pihak ayah.

  18. Sha Gu (傻姑), secara literal berarti ‘Bibi Bodoh’. Tetapi karakter Gu (姑) juga dipakai untuk istilah Gu Niang (姑娘), yang berarti ‘Anak Perempuan’, atau perempuan yang belum menikah, yang berarti ‘Nona’. Dengan demikian Sha Gu juga bisa bermakna ‘anak perempuan yang bodoh’. Atau bahkan disingkat ‘Gadis Bodoh’. Menyebut Shagu sebagai ‘Bibi’ kelihatannya kurang masuk akal dari sisi manapun dalam struktur keluarga Pulau Bunga Persik maupun keluarga Qu Lingfeng.

  19. Kalimat ‘Pembunuhku adalah’ dalam bahasa mandarin terdiri dari lima karakter Sha Wo Zhe Nai Shi ().

  20. Marga Ouyang Feng (歐陽鋒) dari Ouyang Feng adalah dua karakter Ouyang (歐陽), keduanya memang tidak mengandung karakter 十 yang ditulis oleh Nan Xiren.

  21. Marga Qiu Qianren adalah Qiu (裘), perhatikan karakter 十 yang berarti ‘sepuluh’ kalau berdiri sendiri di bagian atas marga itu, bagian itu harus ditulis di paling awal.

  22. Yanjing adalah ibukota Kekaisaran Jin, di jaman modern adalah Beijing.

  23. Karakter Bi (比) bermakna ‘kontes’ atau ‘lomba’.

  24. Karakter Zhao (招) punya beberapa makna, salah satunya adalah ‘merekrut’.

  25. Empat karakter Bi Wu Zhao Qin (比武招亲) yang bermakna ‘Lomba Mencari Jodoh’ ini mengandung dua karakter yang terukir di sepatu mainan yang dijadikan barang bukti oleh Huang Rong.

  26. Wu (武) berarti seni bela diri atau ilmu perang.

  27. Qin (亲) berarti relatif, atau orang yang punya hubungan dekat.

  28. Xia Yi (侠义), umumnya diterjemahkan menjadi ‘ksatria dan setia kawan’. Karakter Xia (侠) berdiri sendiri mewakili sisi ‘ksatria’ yang dimaksud. Ini juga mencakup gagah, bertanggungjawab, dan otomatis heroik. Sedangkan karakter Yi (义) di sini mewakili sisi ‘benar dan adil’.