Bab 37

Turun Dari Langit

IlustrasiNarasi
Ilustrasi Bab 37Dari segala penjuru perkemahan, petugas dan tentara datang ke tenda komando untuk menyaksikan pemandangan yang menakjubkan. Para prajurit menggabungkan kekuatan untuk mengangkat es balok itu. Di bawah cahaya obor yang terang mereka melihat Ouyang Feng memamerkan gigi dengan ekspresi marah di wajahnya, tangan dan kakinya terentang lebar. Ia membeku di dalam es balok dan tidak bisa bergerak sedikit pun. Para petugas dan prajurit meledak dalam tepuk tangan meriah.

Suatu hari pasukan Guo Jing mendirikan kemah di tepi sungai. Di sore hari Guo Jing sedang membaca buku strategi militer ketika tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di luar tenda. Tirai yang menutup tendanya terbuka, dan seseorang memaksa masuk. Para pengawal di luar berteriak-teriak, berusaha menghentikannya, tapi orang itu menggerakkan tangannya dan para pengawal itu jatuh bergelimpangan di tanah. Orang itu mengangkat kepalanya dan tertawa. Di bawah cahaya lilin Guo Jing bisa melihat mukanya dengan jelas, itu tak lain dari Racun Barat Ouyang Feng, yang dicari-cari Guo Jing kesana-kemari sejauh puluhan ribu li. Secara tak terduga ia muncul di tanah asing ini, Guo Jing terkejut bercampur girang. Ia melompat dari kursinya dan berseru, “Mana Nona Huang?”

“Aku baru ingin menanyakannya kepadamu,” jawab Ouyang Feng. “Mana anak itu? Cepat bawa dia kemari!”

Mendengar hal ini, kegembiraan Guo Jing sungguh tak terkira. “Jadi Rong’er masih hidup, dan bukan hanya itu, dia juga bisa melarikan diri dari tangan jahatnya,” pikirnya.

“Mana anak itu?” tanya Ouyang Feng lagi dengan nada galak.

“Dia pergi bersamamu di Jiangnan, lalu apa yang terjadi? Dia… apa dia baik-baik saja? Kau tidak membunuhnya, aku harus bilang terima kasih! Aku… aku harus berterima kasih,” kata Guo Jing. Ia tergagap karena terlalu gembira.

Ouyang Feng tahu Guo Jing tidak bisa berbohong, tapi semua petunjuk mengatakan bahwa Huang Rong sedang bersamanya. Mana mungkin ia tidak tahu, Ouyang Feng memikirkan kembali semua asumsinya. Ia duduk bersila di karpet tenda Guo Jing.

Guo Jing menghapus air matanya, ia lalu membebaskan totokan para pengawalnya dan meminta mereka menyajikan teh susu bercampur arak1.

Ouyang feng minum semangkuk airag2, ia berkata, “Anak bodoh, aku bisa bilang terus terang. Anak perempuan itu memang bersamaku sejak kami berada di Kuil Tombak Besi di Jiaxing, tapi tak kuduga beberapa hari kemudian dia melarikan diri.”

Guo Jing bersorak kegirangan, ia berkata, “Dia sangat pintar, sekali dia memutuskan untuk melarikan diri, dia pasti akan menemukan cara untuk melarikan diri. Bagaimana dia melakukannya?”

Ouyang Feng berkata dengan penuh kebencian, “Di Rumah Awan, di tepi Danau Tai… Buihh!” ia meludah. “Mengapa aku harus mengatakannya? Pendeknya, dia lari.”

Guo Jing tahu Ouyang Feng orang yang sombong, ia tidak menyangka Ouyang Feng akan mengatakan kegagalannya sendiri, maka ia berhenti bertanya. Mengetahui bahwa Huang Rong masih hidup dan sehat ia sangat gembira, ia terus berseru, “Luar biasa! Sungguh luar biasa!”

Ouyang Feng jengkel. “Apa maksudmu luar biasa?” tanyanya. “Setelah dia melarikan diri aku melacak jejaknya. Beberapa kali aku hampir berhasil menangkapnya, tapi setiap kali dia berhasil lari mengandalkan kelicikannya. Tapi aku selalu mengikutinya dari jarak dekat, dia tidak bisa melarikan diri ke Pulau Bunga Persik. Aku mengejarnya ke perbatasan Mongolia lalu tiba-tiba jejaknya menghilang. Kukira dia pasti menyelinap ke pasukanmu. Karena itu aku berjaga-jaga di sini untuk mencegahnya lari lagi.”

Mendengar bahwa Huang Rong ada di Mongolia adalah kejutan yang menyenangkan bagi Guo Jing. “Kau melihatnya?” tanyanya.

Ouyang Feng geram. “Kalau aku melihatnya, masa tidak kutangkap?” katanya. “Siang malam aku berada di tengah pasukanmu membuka mata lebar-lebar, aku sama sekali tidak melihat bayangan anak perempuan ini. Anak bodoh, kau ini sedang main akal-akalan macam apakah?”

Guo Jing terdiam lama, ia bertanya, “Siang malam kau ada di pasukanku? Kenapa aku tidak mengenalimu?”

Ouyang Feng tersenyum. “Aku hanya prajurit wilayah Barat rendahan di kelompok Tian Qian-mu. Kau komandan pasukan, mana mungkin kau mengenali aku?” Di dalam pasukan Mongolia ada banyak mantan tawanan perang yang dijadikan prajurit. Ouyang Feng datang dari wilayah Barat, sekali ia membaur dengan para prajurit dari wilayah yang sama, memang sulit dibedakan dari yang lain.

Mendengarkan ucapannya Guo Jing terkejut, ia berpikir, “Kalau dia bermaksud mencelakai aku, sekarang aku pasti sudah mati.” Ia bergumam, “Kenapa kau bilang Rong’er ada di dalam pasukanku?”

“kau menangkap kedua anak Genghis Khan, kau menghancurkan kota-kota dan membasmi musuh, kalau bukan karena petunjuk dari anak perempuan itu, mana mungkin anak bodoh sepertimu berhasil melakukan semua itu?” jawab Ouyang Feng. “Tapi anak itu tidak pernah muncul sendiri. Ini betul-betul aneh. Aku tidak punya pilihan selain memaksamu menyerahkannya kepadaku.”

Guo Jing tersenyum. “Kalau Rong’er mau muncul, itu akan jadi keinginanku yang sebenarnya. Coba pikir, masa aku mau menyerahkannya kepadamu?”

“Baik,” kata Ouyang Feng. “Kau tidak mau menyerahkannya, aku akan mencari cara sendiri untuk menangkapnya. Kau punya kekuasaan untuk memerintah sepuluh ribu prajurit, tapi di mata Ouyang Feng, hehehe… di luar atau di dalam tenda ini, aku bisa datang dan pergi sesukaku, siapa yang bisa melarangku?”

Guo Jing mengangguk, diam-diam ia menyetujui apa yang dikatakannya.

“Anak bodoh, bagaimana kalau kita membuat kesepakatan?” tanya Ouyang Feng.

“Kesepakatan apa?” tanya Guo Jing, balas bertanya.

Ouyang Feng berkata, “Kau katakan di mana dia bersembunyi, aku jamin tidak akan melukainya sehelai rambutpun. Tapi kalau kau tidak mau mengatakannya, cepat atau lambat aku tetap akan menemukannya. Kalau saat itu tiba, hmm, hal ini bukan masalah lagi, kan?”

Guo Jing tahu Ouyang Feng pintar dan pengetahuannya luas. Selama Huang Rong tidak berada di Pulau Bunga Persik, suatu saat nanti ia akan tertangkap. Ucapan Ouyang Feng bukan gertak sambal. Ia ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, “Baik, aku akan membuat kesepakatan denganmu, tapi bukan seperti itu.”

“Apa maksudmu?” tanya Ouyang Feng.

“Ouyang Xiansheng,” kata Guo Jing. “Kungfumu jauh lebih tinggi dariku, tapi aku jauh lebih muda darimu. Suatu hari nanti kau akan tua dan kehilangan kekuatanmu, kau tidak akan bisa mengalahkan aku lagi.” Sebelumnya Guo Jing selalu memanggilnya ‘Paman Ouyang’, tapi setelah Ouyang Feng membunuh lima orang gurunya, kebencian Guo Jing sedalam lautan, karena itu ia tidak bisa lagi mengatakan ‘Paman’.

Tidak pernah terlintas di benak Ouyang Feng bahwa suatu hari nanti ia akan menjadi tua dan kehilangan kekuatannya. Ramalan itu membuat hatinya dingin. “Yang dikatakan anak bodoh ini sebenarnya sama sekali tidak bodoh,” pikirnya. “Lalu kenapa?” tanyanya.

“Permusuhan di antara kita sangat dalam,” kata Guo Jing. “Aku tidak bisa membiarkan dendam ini tidak dibalas. Meskipun kau terbang ke langit, akan datang suatu hari di mana aku yang datang mencarimu.”

Ouyang Feng mengangkat kepalanya dan tertawa keras-keras. “Sebelum aku tua dan kehilangan kekuatanku, aku akan membunuhmu!” Begitu selesai bicara ia menekuk lututnya sedikit, dan mendorong kedua tangannya ke depan dengan tenaga yang mengguncangkan bumi.

Pada saat itu Guo Jing telah menguasai Yi Jin Duan Gu Pian3 dari Jiu Yin Zhen Jing. Ia juga melatih diri di bagian yang diterjemahkan Yideng Dashi. Tenaga dalamnya telah meningkat sedikit. Ia memiringkan tubuhnya sedikit untuk menghindari serangan itu, dan pada saat yang sama melakukan serangan balik dengan jurus Jian Long Zai Tian.

Ouyang Feng menerima serangan Guo Jing secara langsung, berpikir bahwa ia telah akrab dengan Delapan Belas Jurus Penakluk Naga ini. Lagipula, Guo Jing adalah murid dari Hong Qigong, maka tenaganya pasti jauh lebih lemah ketimbang Hong Qigong. Karena itu ia tidak menggunakan terlalu banyak tenaga di pertahanannya. Tetapi di luar dugaannya ketika telapak tangan mereka bertemu ia tergetar. Kalau tenaga dalamnya tidak kuat, maka ia pasti sudah terluka parah. Ia lengah dan nyaris kalah di tangan Guo Jing. Ia berpikir, “Mungkin anak ini akan mengejarku bahkan sebelum aku menjadi tua dan kehilangan kekuatanku.” Cepat-cepat ia mengirimkan tangan kirinya.

Lagi-lagi Guo Jing memiringkan tubuhnya dan melakukan serangan balik. Kali ini Ouyang Feng tidak berani membenturnya secara langsung, ia menjentikkan tangannya untuk mengalihkan telapak tangan Guo Jing. Guo Jing tidak tahu niat Ouyang Feng yang sebenarnya, ia mengira Ouyang Feng hanya menangkis serangannya sekedarnya. Tak disangka di dalam gerakan bertahan itu tersembunyi sebuah serangan mendadak. Guo Jing merasakan tenaga yang kuat meluncur deras ke mukanya. Tidak cukup waktu untuk menghindar, ia terpaksa mengulurkan tangan kanannya untuk menangkis.

Kalau bicara tentang tenaga dalam, Guo Jing masih setingkat di bawah Ouyang Feng. Situasi saat itu mirip dengan di Istana Kekaisaran di Lin’an, di dalam gua di belakang air terjun. Meskipun Guo Jing akan mampu bertahan untuk sementara, tetapi akhirnya ia akan terluka parah atau bahkan tewas.

Gerakan Ouyang Feng seperti labu, memancing lawan untuk masuk, dan Guo Jing terpancing. Ouyang Feng senang, tapi tiba-tiba merasakan Guo Jing menarik tangan kanannya sedikit, seolah-olah kehilangan tenaganya. Ouyang Feng mengirim lebih banyak tenaga ke telapak tangannya, menekan lebih kuat. Tak disangka telapak tangan Guo Jing tergelincir sedikit, dan dengan demikian terhindar dari tekanan.

Ouyang Feng mendengus geram, mengirimkan seleruh tenaga ke telapak tangannya, ia berpikir, “Hari ini adalah hari kematianmu.”

Melihat ujung jari lawan menyapu dadanya, Guo Jing mengangkis dengan cara menyapukan telapak tangan kirinya secara horizontal sementara telunjuk kanannya terulur dan dengan kejam meluncur ke arah titik akupuntur Tai Yang milik Ouyang Feng. Itu adalah Yi Yang Zhi yang dilihatnya ketika dipraktekkan oleh Yideng Dashi. Tetapi apa yang dipelajarinya sangat dangkal, hanya di kulit luarnya, ia hanya melihat gerakan, tapi ia tidak tahu variasi-variasi yang ada di dalamnya. Dalam situasi kritis ini secara naluriah ia menggunakan teknik Shuang Shou Hubo ajaran Zhou Botong.

Yi Yang Zhi adalah musuh abadi Jurus Kodok, bagaimana Ouyang Feng bisa tidak terkejut ketika melihatnya? Ia melompat mundur untuk menghindarinya, berteriak marah, “Si Tua Duan Zhixing mau mempersulit aku, ya?”

Sayangnya ilmu jari Guo Jing bukan Yi Yang Zhi yang sebenarnya, karenanya tidak bisa mematahkan Jurus Kodok, tetapi Ouyang Feng jadi takut, tanpa melihat dengan jelas ia melompat mundur saking kagetnya. Baru kemudian ia sadar bahwa Yi Yang Zhi punya variasi tak terbatas, kenapa setelah melancarkan serangan pertama Guo Jing menarik jarinya? Dari situ ia tahu bahwa Guo Jing belum mempelajari ilmu itu sepenuhnya. Tanpa menunggu Guo Jing melancarkan serangan susulan, kedua telapak tangannya, yang satu menghadap ke atas dan yang lain ke bawah, yang satu menyerang dan lainnya menjaga, bergerak ke arah Guo Jing. Serangan ini begitu cepatnya sehingga Guo Jing tidak punya waktu untuk berpikir, ia hanya melompat mundur untuk meloloskan diri. ‘Krekk!’ meja kecil di belakangnya hancur oleh telapak tangan Si Racun Barat.

Karena sedang unggul, Ouyang Feng melanjutkan serangannya dengan cara mengirimkan telapak tangannya secara bertubi-tubi. Tetapi mendadak ia merasa ada hembusan angin menerpanya dari belakang, seseorang menyerangnya. Tanpa berpaling ia mengirimkan kaki kirinya menendang ke belakang. Ternyata si penyerang itu juga menggunakan kakinya, maka kedua kaki itu bertemu. Si penyerang terlempar ke belakang. Untungnya tulang-tulangnya tidak patah, tampaknya ia telah mengantisipasi serangan balik Ouyang Feng.

Ouyang Feng memalingkan kepalanya dan melihat tiga orang pengemis sedang berdiri di pintu masuk tenda, mereka adalah tiga penatua Kai Pang, Lu, Jian dan Liang Zhanglao. Lu Youjiao bergerak cepat ke arah Jian dan Liang Zhanglao, dan saling mengaitkan lengan mereka . Ini adalah cara para anggota Kai Pang menggabungkan kekuatan untuk melawan musuh tangguh dengan menggunakan metode ‘Si Lemah Mengalahkan Si Kuat’. Di tengah rapat umum Kai Pang, di Gunung Jun, untuk memilih ketua baru pada hari itu, para anggota Kai Pang membentuk dinding manusia, membuat Guo Jing dan Huang Rong tak berdaya melawan mereka.

Ouyang feng belum pernah menghadapi ketiga orang ini sebelumnya, tapi dari kontak pertama dengan kaki Lu Youjiao ia tahu bahwa tenaga dalam Lu Youjiao tidak lemah. Kedua pengemis lainnya tampak tidak berbeda terlalu jauh. Kalau ia melawan Guo Jing satu lawan satu, ia pasti akan menang, tetapi dengan tambahan ketiga pengemis bau ini ia tahu bahwa jalan ceritanya tidak akan berakhir baik baginya. Ia tertawa keras-keras. “Anak bodoh, kungfumu sudah maju pesat.”

Ia melipat kakinya dan duduk di karpet, sama sekali mengabaikan Lu Youjiao dan kedua pengemis lainnya. “Kesepakatan macam apa yang kau inginkan? Coba kudengar,” katanya.

“Kau ingin supaya Nona Huang menjelaskan Jiu Yin Zhen Jing untukmu,” kata Guo Jing. “Entah ia mau melakukannya atau tidak, itu sepenuhnya terserah dia. Kau tidak boleh melukainya sehelai rambut pun.”

Ouyang Feng tertawa. “Kalau ia memang mau, tentu saja aku tidak akan mengganggunya sedikit pun. Kau kira gampang menghadapi Huang Laoxie ya?” katanya. “Tapi kalau ia tidak mau, kenapa aku tidak boleh menggunakan sedikit bujukan?”

Guo Jing menggelengkan kepalanya. “Tidak, kau idak boleh.”

“Nah, kau ingin aku menyetujui hal ini, lalu apa untungnya bagiku?” tanya Ouyang Feng.

“Mulai sekarang, kalau kau jatuh ke tanganku, aku akan mengampuni nyawamu tiga kali,” jawab Guo Jing.

Ouyang Feng bangkit berdiri, tertawa sangat panjang. Tawanya didukung oleh tenaga dalam yang kuat, suaranya terbawa sampai jauh ke padang rumput. Kuda-kuda merasa terganggu, mereka meringkik dan membuat keributan.

Tatapan Guo Jing menusuk mata Ouyang Feng, dengan nada rendah ia berkata, ‘Ini tidak lucu, dan kau tahu itu. Akan tiba suatu hari nanti kau akan jatuh ke tanganku.”

Meskipun ia tertawa tapi sebenarnya Ouyang Feng gentar. Ia menyadari bahwa anak ini tahu rahasia Jiu Yin Zhen Jing, kungfunya sedan melompat maju tanpa bisa diukur. Ia sungguh tidak boleh meremehkan bocah ini. Sementara mulutnya tertawa, otaknya membuat keputusan. “Aku — Ouyang Feng — memohon kepadamu — bocah tengik ini — untuk mengampuniku? Coba kita lihat saja,” katanya sambil tersenyum.

Guo Jing mengulurkan tangannya dan berkata, “Sekali seorang pria sejati mengatakan sesuatu.”

Ouyang Feng tersenyum dan menjawab, “Seperti seekor kuda cepat mendapat cambukan.” Ia juga mengulurkan tangannya dan menepuk tangan Guo Jing tiga kali. Ini adalah cara rakyat Dinasti Song meresmikan kesepakatan mereka. Siapa yang melanggar kesepakatan itu, ia akan dibenci dan tidak akan dihormati di sepanjang hidupnya.

Setelah meresmikan kesepakatan mereka Ouyang Feng baru bermaksud menanyai Guo Jing tentang keberadaan Huang Rong lebih lanjut lagi, ketika sudut matanya menangkap bayangan sedang bergerak di luar tenda. Bayangan itu sangat cepat. Hati Ouyang Feng terusik, ia cepat-cepat keluar, tetapi ia tidak melihat siapa pun. Ia memalingkan kepalanya dan berkata, “Dalam waktu sepuluh hari aku akan menemuimu lagi. Akan kita lihat apakah kau akan mengampuni aku ataukah aku akan mengampunimu?” Diiringi suara tawa keras ia bergerak cepat, dalam waktu singkat tawanya terdengar dari jarak puluhan zhang dari situ.

Lu, Jian dan Liang Zhanglao saling berpandangan dengan kaget, mereka berpikir, “Kungfu orang ini sangat tinggi. Dia orang yang luar biasa, sungguh-sungguh menandingi Hong Bangzhu.”

Guo Jing kemudian menceritakan kepada ketiga orang itu alasan Ouyang Feng untuk mengunjunginya. Lu Youjiao berkata, “Dia bilang Huang Bangzhu ada di dalam pasukan kita, itu omong kosong. Kalau Huang Bangzhu ada di sini, mana mungkin kami tidak tahu? Lagipula…”

Guo Jing duduk bersandar di kursinya, dengan salah satu tangannya menopang pipi. “Sebetulnya aku merasa omongannya sangat masuk akal. Seingkali aku merasa bahwa Nona Huang ada di sebelahku. Ada masalah sesulit apapun, dia selalu memberiku jalan keluar yang luar biasa. Hanya saja, apa pun juga yang kupikirkan, aku tetap tidak bisa melihatnya.” Bicara sampai di sini, matanya basah oleh air mata.

Lu Youjiao berusaha menghiburnya. “Gongzi, jangan kuatir, berpisah sebentar, bersatu selamanya kemudian.”

“Aku sudah membuatnya tersinggung,” kata Guo Jing. “Aku kuatir dia tidak akan mau menemuiku lagi. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk membayar kesalahanku ini.”

Lu, Jian dan Liang Zhanglao saling berpandangan tanpa mengatakan apa-apa.

Guo Jing melanjutkan, “Meskipun dia tidak mau bicara, seandainya saja dia mau menemuiku sekali saja, maka aku akan merasa sangat terhibur.”

“Gongzi lelah, sebaiknya cepat beristirahat,” kata Jian Zhanglao. “Besok pagi kita akan membicarakan bagaimana cara menangani Ouyang Feng kalau dia bikin masalah lagi.”

Pagi berikutnya pasukan itu melanjutkan perjalanan ke Barat. Sore itu setelah mendirikan kemah, Lu Youjiao datang dan berkata, “Beberapa tahun yang lalu Xiaoren membeli lukisan di Jiangnan. Xiaoren orang kasar dan tak berpendidikan, mana bisa Xiaoren memahami makna di balik lukisan itu. Waktu Gongzi kesepian di dalam barak ini, mungkin Gongzi bisa menikmatinya dengan santai.” Sambil bicara ia meletakkan sebuah gulungan lukisan di atas meja.

Guo Jing membuka gulungan itu dan melihatnya, ia tak bisa menahan kekagumannya. Lukisan itu menggambarkan seorang gadis muda dengan setangkai bunga di rambutnya, ia sedang duduk menenun kain sutra dengan sebuah alat tenun. Penampilannya mirip Huang Rong, hanya saja ia tampak sedih, sepasang alisnya bertemu dan mukanya tampak pucat dan kurus.

Guo Jing lama memandanginyam ia melihat di dekat gambar itu ada dua baris puisi. Yang pertama tertulis, “Tujuh alat tenun, di musim semi ulat sutra memuntahkan sutranya, tak mudah menenunnya menjadi kain sutra. Jangan sembarangan menggunakan sepasang gunting, atau Si Burung Luan4 dan Phoenix akan terpisah di kedua sisi kain itu.” Yang lainnya tertulis, ” Sembilan alat tenun, sepasang bunga, sepasang daun, dan sepasang ranting. Sejak dahulu kala cinta seekor burung walet seringkali terpisah. Dari ujung kepala sampai ujung kaki akan terikat bersama, melewati helaian benang sutra.” Kedua bait itu mirip dengan puisi Si Zhang Ji[^si-zhang-ji] milik Ying Gu, tetapi kesedihan yang dibawanya dua kali lipat dibandingkan ‘empat mesin tenun’.

Meskipun sulit bagi Guo Jing untuk memahami makna puisi itu, tetapi ia mengerti bagian ‘Sejak dahulu kala cinta seekor burung walet seringkali terpisah’. Setelah lama merenungkannya ia berpikir, “Lukisan ini pasti hasil karya Rong’er, entah dari mana Lu Zhanglao mendapatkannya?”

Ia mengangkat kepalanya dan bertanya, tetapi Lu Youjiao sudah pergi. Buru-buru Guo Jing menyuruh pengawal pribadinya untuk memanggilnya kembali. Lu Youjiao bersikeras dengan apa yang dikatakannya tadi, bahwa ia membeli lukisan itu di sebuah toko buku di Jiangnan. Meskipun Guo Jing sepuluh kali lipat lebih bodoh sekalipun, ia tahu pati ada sesuatu yang salah di sini. Lu Youjiao adalah orang yang bicara langsung dan seorang kasar, untuk apa ia mengunjungi toko buku dan membeli lukisan? Kalau lukisan itu sebuah hadiah, ia akan langsung membuangnya tanpa berpikir dua kali. Kalau memang ia membelinya di toko buku di Jiangnan, kenapa gadis di dalam lukisan itu begitu mirip Huang Rong? Tetapi Lu Youjiao mati-matian tidak mau mengatakan yang sebenarnya, tak ada lagi yang bisa dilakukannya.

Sementara ia ragu-ragu, Jian Zhanglao masuk dan berbisik ke telinganya, “Xiaoren baru saja melihat bayangan seorang laki-laki berherak menuju tenda di sebelah timur laut kita. Tapi dia dengan cepat menghilang. Xiaoren kuatir Ouyang Feng keparat itu ingin menyelinap ke sini malam ini.”

“Bagus,” kata Guo Jing. “Kita berempat akan bekerja sama untuk menangkapnya.”

“Xiaoren punya usul,” kata Jian Zhanglao. “Entah Gongzi setuju atau tidak.”

“Usul apapun bagus,” kata Guo Jing. “Tolong katakan.”

Jian Zhanglao berkata, “Ini usul yang agak tidak biasa. Kita menggali sebuah lubang yang dalam, lalu kita menempatkan dua puluh prajurit dengan sekarung pasir menjaga di luar. Kalau dia tidak muncul, anggap saja dia beruntung. Kujamin dia bisa datang tapi tidak akan bisa pergi.”

Guo Jing sangat senang, ia berpikir bahwa Ouyang Feng sangat sombong, tidak pernah memandang orang lain. Ide ini sebenarnya trik kuno, tapi sungguh sangat efektif melawan orang seperti dia.

Ketiga penatua itu segera memimpin beberapa prajurit untuk menggali lubang yang sangat dalam. Lalu bagian atas lubang itu ditutupi karpet, dan sebuah kursi kayu ditempatkan di atas karpet itu. Dua puluh prajurit dengan karung pasir di tangan menjaga di luar tenda.

Bukan sesuatu yang luar biasa bagi sebuah pasukan untuk menggali lubang di tengah gurun, mencari sumber air, maka aktivitas itu tidak diperhatikan.

Perangkap itu selesai dan Guo Jing menunggu di samping lilin, membaca. Tapi Ouyang Feng tidak muncul malam itu. Setelah mendirikan kemah hari berikutnya, lagi-lagi ketiga penatua itu mengajak para prajurit menggali lubang, tapi lagi-lagi tak ada sesuatu pun yang terjadi malam itu. Menjelang senja hari keempat Guo Jing mendengar suara aneh di tengah-tengah perkemahan, jantungnya berdegub kencang. Tiba-tiba ada suara gemerisik di luar tendanya, sambil tertawa keras-keras Ouyang Feng berjalan memasuki tenda lalu dengan santai berjalan ke arah kursi kayu.

‘Krekk! Krek!’ dengan suara keras orang dan kursi itu terjatuh ke dalam lubang. Perangkap itu dalamnya sekitar dua puluh lima meter, mulutnya dangkal. Meskipun kungfu Ouyang Feng tinggi, bagaimana ia bisa melompat kembali semudah itu? Dua puluh prajurit mengerumuni tenda itu, empat puluh karung pasir dengan cepat dituangkan ke dalam lubang, mengubur tubuh Ouyang Feng.

Lu Youjiao meledak dalam tawa. “Huang Bangzhu meramal seperti dewa…” katanya.

Jian Zhanglao meliriknya. Lu Youjiao segera menutup mulutnya rapat-rapat.

“Huang Bangzhu apa?” anya Guo Jing buru-buru.

“Xiaoren keseleo lidah,” kata Lu Youjiao. “Maksudku Hong Bangzhu. Kalau Hong Bangzhu ada di sini, dia pasti sangat senang.”

Guo Jing menatapnya lekat-lekat. Ia hendak mengajukan pertanyaan lain ketika para prajurit di luar tendanya tiba-tiba berteriak-teriak dengan ribut. Guo Jing dan ketiga penatua Kai Pang itu buru-buru keluar dan melihat para prajurit sedang menunjuk ke tanah sambilberteriak-teriak. Guo Jing bergegas maju untuk meneliti, ia melihat tanah secara berangsur-angsur terangkat, tampaknya seseorang sedang berusaha untuk naik dari dalamnya. Dengan segera Guo Jing menyadari apa yang terjadi. “Dengan kungfunya yang luar biasa itu Ouyang Feng menggali di bawah, mencoba untuk naik,” katanya. Ia memerintahkan puluhan orang prajurit untuk menaiki kuda dan menginjak-injak tanah di bagian itu.

Berat dari puluhan prajurit berikut kuda mereka cukup untuk menekan kembali tanah yang terangkat. Meskipun tenaga Ouyang Feng menakjubkan ia tidak bisa menembus tanak, maka tanah itu perlahan-lahan kembali seperti semula. Yang mengejutkan semua orang adalah, di lokasi lain tanah kembali terangkat. Para prajurit mengendarai kuda mereka ke arah mana pun tanah terangkat dan m,enginjak-injaknya sampai rata.

Tak terlalu lama kemudian tidak lagi tanah di bagian mana pun yang terangkat. Mereka mengasumsikan bahwa Ouyang Feng telah kehabisan tenaga atau bahkan tewas akibat sesak nafas. Guo Jing memerintahkan para prajurit
untuk turun dari kuda dan menggali lubang. Saat itu sudah jam pertama, yaitu antara jam sebelas malam dan jam satu dini hari. Para prajurit mengangkat obor mereka tinggi-tinggi, mereka berdiri dalam lingkaran mengelilingi penggalian lubang itu.

Sekita selisin prajurit menggunakan sekop dan pacul agak lebih jauh dari satu zhang dari situ sebelum akhirnya melihat Ouyang Feng sedang berdiri di dalam pasir. Lokasi ini adalah beberapa zhang dari tenda. Meskipun pasir itu halus, tetapi Ouyang Feng berhasil menggali di bawah tanah menggunakan tangan kosong seperti tikus. Ini adalah demonstrasi tenaga dalam yang sangat kuat, sungguh luar biasa. Para prajurit itu terperangah penuh kekaguman, mereka mengangkatnya naik dan meletakkannya di atas tanah.

Lu Youjiao memeriksa pernafasannya, tetapi merasa dadanya asih hangat, ia memerintahkan para prajurit untuk mengikatnya dengan rantai besi karena takut Ouyang Feng akan membuat masalah begitu ia sadar. Tak seorang pun mengira bahwa sebenarnya ketika sedang merangkak naik di dalam pasir Ouyang Feng tidak mampu menggali jalan ke atas karena beban dari pasukan berkuda itu, ia pura-pura mati, berpikir untuk melarikan diri nanti. Ia menahan nafasnya, dan tidak melihat Lu Youjiao berdiri di sebelahnya. Tapi begitu Lu Youjiao menyerukan perintahnya untuk mengambil rantai, Ouyang Feng melompat, berteriak keras, dan menyambar jalan darah utama di tangan kanan Lu Youjiao.

Ini perubahan yang sangat mendadak, sesosok mayat kembali hidup. Semua orang terkesiap. Guo Jing bergegas maju, tangan kirinya menekan titik akupuntur Tao Dao di punggung Ouyang Feng, sementara tangan kanannya menyerang titik akupuntur Ji Zhong di pinggang Ouyang Feng. Kedua titik itu adalah titik akupuntur utama di punggung seseorang. Kalau bukan karena Ouyang Feng telah terkubur di dalam tanah, setengah mati, dan sangat kelelahan, mana mungkin ia membiarkan titik akupuntur utamanya ditotok semudah itu?

Ouyang Feng terkejut, ia mengayunkan tangannya ke belakang untuk menangkis, tetapi sebagian tubuhnya mati rasa. Ia sadar bahwa Guo Jing tidak menggunakan sepenuh tenaganya, kalau tidak maka organ-organ dalamnya akan terguncang. Lebih jauh lagi, kedua tangan dan kakinya lemah, sekalipun Guo Jing tidak menotoknya ia tetap bukan tandingan Guo Jing. Ia terpaksa melepaskan Lu Youjiao dan berdiri diam.

“ouyang Xiansheng,” kata Guo Jing. “Boleh kutanya apakah kau melihat Nona Huang tadi?”

“Aku melihat bayangannya, itu sebabnya aku datang untuk mencarinya,” jawab Ouyang Feng.

“Kau melihatnya dengan jelas?” desak Guo Jing.

Ouyang Feng berkata dengan penuh kebencian, “Kalau bocah licik itu tidak terlibat di sini, aku berani taruhan kau tidak akan bisa memikirkan jebakan pintar seperti ini.”

Guo Jing terdiam sampai lama, lalu akhirnya berkata, “Kau boleh pergi. Aku mengampunimu.” Tangan kanannya bergerak ringan, mengirim Ouyang Feng jatuh sedikit lebih jauh dari satu zhang. Ia takut jika membebaskannya dari jarak terlalu dekat, Ouyang Feng akan balas menyerang secara mendadak.

Ouyang Feng berpaling dan berkata dengan dingin, “Aku tidak pernah menggunakan senjata kalau menghadapi orang muda, tapi kau diam-diam dibantu oleh bocah perempuan licik itu. Dia sangat licik. Apa yang terjadi kepadaku malam ini adalah buktinya. Aku akan kembali dalam sepuluh hari dengan tongkat ularku. Kau sudah pernah melihat sendiri penghisap darah itu dengan matamu. Hati-hati saja.” Begitu selesai bicara, Ouyang Feng terbang dari situ.

Sambil melihat bayangannya dengan cepat menghilang di kegelapan ke arah Utara, hawa dingin menyerang tulang belakang Guo Jing. Ia ingat dengan sangat baik tentang tongkat ular dan teknik permainan tongkat Ouyang Feng, ia tak dapat menahan rasa gelisah. Meskipun ia telah dilatih secara matang dalam menggunakan senjata oleh Enam Orang Aneh dari Jiangnan, tak satupun keterampilan yang dikuasainya bisa mengimbangi orang sekaliber Ouyang Feng, sementara sudah pasti bukan ide yang baik menghadapi tongkat ular itu dengan tangan kosong.

Ia melamun sejenak, mendongak memandang langit ia melihat serpihan salju putih melayang turun di kegelapan. Tak lama setelah ia kembali ke tendanya cuaca berubah dingin. Para prajuritnya menyalakan api unggun dan membawa kuda mereka ke dalam tenda untuk melindungi mereka dari hawa dingin di luar.

Para anggota Kai Pang tidak punya mantel bulu, dengan perubahan cuaca mendadak itu mereka terpaksa mengedarkan tenaga dalam ke seluruh tubuh untuk mempertahankan kehangatan tubuh mereka. Dengan segera Guo Jing memerintahkan prajuritnya untuk menyembelih domba dan membuat sejumlah mantel kulit. Hasilnya tidak sebagus mantel kulit yang dijemur, tetap cukup membantu para pengemis untuk melawan hawa dingin.

Hari berikutnya cuaca berubah menjadi lebih dingin lagi. Salju di atas tanah berubah menjadi es. Pasukan Khwarezmia memanfaatkan keuntungan dari cuaca dingin itu dan menyerang. Untungnya Guo Jing telah mengantisipasi kemungkinan ini. Menggunakan formasi Naga Terbang5 mereka memenangkan pertempuran itu dengan besar-besaran, mengejar para prajurit lawan sampai jauh malam ke arah padang pasir Utara yang diliputi salju.

Ada sebuah syair kuno tentang ekspedia ke wilayah Barat di tengah cuaca dingin. “Jendral pasukan itu tidak melepas baju perang emas mereka di malam hari. Di tengah malam para prajurit menyingkirkan tombak mereka, angin berhembus laksana sayatan pisau. Keringat di surai kuda membumbung tinggi laksana uap di salju, gambar bunga dengan lima kelopaknya pada uang logam terasa seperti es, di dalam tenda cairan tinta untuk menulis surat membeku.”

Lalu ada sebuah syair lain, “Para prajurit dan tawanan perang berjejal dalam ruangan yang sama, tulang-belulang di medan laga melilit akar rerumputan. Tiupan angin laksana bilah pedang yang menyapu lebar, kuku kuda menjauh dari pasir dan bebatuan yang membeku.”

Guo Jing dibesarkan di padang gurun Utara, ia sudah terbiasa dengan cuaca dingin, tetapi ia teringat jika Huang Rong sungguh berada di tengah-tengah pasukannya, ia dibesarkan di Jiangnan yang hangat, apakah ia bisa bertahan dalam cuaca sedingin ini? Kegelisahannya berlipat ganda. Dalam beberapa hari ke depan ia menjelajahi tenda-tenda tanpa disadari semua orang, secara diam-diam menyelidiki setiap tenda, tetapi bahkan bayangan Huang Rong pun tidak terlihat.

Kembali ke tendanya, ia melihat Lu Youjiao sedang mengawasi para prajurit menggali lubang lain. “Ouyang Feng ini licik dan waspada, pertama kali ia memang masuk dalam perangkap, mana mungkin ia jatuh lagi ke perangkap yang sama untuk kedua kalinya?” tanya Guo Jing.

“Dia justru akan berpikir bahwa kita akan menyiapkan perangkap lain, tapi dia tidak akan menduga kita akan memasang perangkap yang sama,” kata Lu Youjiao. “Ini disebut ‘kekosongan di dalam benda padat, dan benda padat di dalam kekosongan’, kombinasi samar-samar antara kekosongan dan benda padat.”

Guo Jing meliriknya, ia berpikir, “Kau bilang memimpin pengemis tidak memerlukan strategi militer, tapi kau hafal isi buku strategi militer dengan baik.”

Lu Youjiao melanjutkan, “Tapi orang ini pasti memikirkan cara untuk lolos dari tumpukan pasir, karena itu kita mengusahakan cara lain. Kita akan menggunakan air mendidih untuk menenggelamkan dia.”

Guo Jing melihat lusinan prajurit sedang menyiapkan sekitar dua puluh panci besar di luar tendanya. Para prajurit itu menggunakan kapak untuk memecahkan es dan memasukkannya ke dalam panci menggunakan sekop. “Bukankah dia bisa mati kepanasan?” tanya Guo Jing.

“Gongzi membuat kesepakatan bahwa jika dia jatuh ke tangan Gongzi, maka Gongzi akan mengampuninya sampai tiga kali. Tapi kalau kali ini dia mati kepanasan, berarti dia bukan jatuh ke tangan Gongzi, kalau pun Gongzi ingin mengampuninya Gongzi juga tidak bisa. Karena itu tidak bisa dikatakan Gongzi melanggar kesepakatan,” kata Lu Youjiao, menyusun pembenaran.

Tak terlalu lama kemudian lubang itu telah tergali, bibirnya ditutup karpet, dan sebuah kursi kayu ditempatkan di atasnya. Di luar tenda para prajurit sedang sibuk menambahkan bahan bakar ke dalam api di bawah panci. Es itu pelan-pelan meleleh, tetapi cuaca sungguh terlalu dingin, air di permukaan pelan-pelan berubah kembali menjadi es. “Lebih panas, lebih panas!” seru Lu Youjiao menyemangati para prajurit.

Mendadak di atas saljut sebuah bayangan datang secepat kilat. Ouyang Feng dengan tongkat di tangan telah tiba di pintu masuk tenda. “Anak bodoh, perangkap macam apapun yang kau siapkan, kakekmu ini tidak takut!” katanya sambil bergegas terbang ke arah kursi untuk duduk.

Lu, Jian dan Liang Zhanglao tidak menduga Ouyang Feng akan muncul secepat ini. Es di dalam panci-panci itu baru meleleh menjadi air, dan sangat dingin, yang sudah pasti tidak akan membunuh orang karena kepanasan. Airnya bahkan masih terlalu dingin untuk mandi. Mereka melihat Ouyang Feng bergerak mendekati kursi, mereka tak kuasa menahan rasa kecewa.

‘Krekk!’ sekali lagi dengan suara makian yang keras Ouyang feng dan kursinya terjatuh ke dalam lubang. Kali ini tidak ada karung pasir di sekelilingnya. Dengan tingkat ilmu silatnya yang tinggi adalah sangat mudah baginya untuk naik kembali. Ketiga penatua itu tak berdaya,, mereka kuatir Guo Jing akan cedera. “Gongzi, cepat keluar dari tenda ini, cepat!” seru mereka dengan panik.

Tapi tiba-tiba seseorag berteriak dari belakang tenda, “Tuangkan air!” Begitu Lu Youjiao mendengar suara itu, tanpa keraguan ia berseru, “Tuangkan air!” Para prajurit mengangkat panci-panci mereka dan menuang air ke dalam lubang.

Ouyang Feng baru hendak melompat kembali ke atas ketika air dari panci pertama dituangkan ke atas kepalanya. Ia terkejut dan dipaksa jatuh kembali. Ia menggunakan tongkat ularnya sebagai tumpuan di atas dasar lubang, dan berusaha untuk melompat naik untuk kedua kalinya. Kali ini ia lebih siap, ia yakin bahwa ia tidak akan bisa dipaksa jatuh lagi akibat siraman air. Di luar dugaannya cuaca sungguh sangat dingin, begitu air meninggalkan panci, dengan segera membeku menjadi es. Ketika Ouyang feng melompat, air di sekitar kakinya berubah menjadi es. Dengan kekuatannya yang menakjubkan ia berusaha untuk melompat, tetapi ‘duk!’ ia merasakan kepalanya sakit akibat tertimpa es balok. Ia berusaha keras menendang ke sekeliling, tetapi kakinya terkubur di dala es, ia bahkan tidak bisa menggerakkannya. Ia tersentak kaget. Diiringi teriakan keras ia meronta dengan segenap tenaganya, tetapi begitu kakinya mulai bebas, tubuh bagian atasnya terendam air dingin, yang juga langsung berubah menjadi es.

Para prajurit yang menuang air itu telah dilatih dengan baik. Empat prajurit mengangkat panci untuk menuang air, sementara empat orang lainnya telah siap di belakang mereka. Satu tim demi satu tim mereka menuangkan air ke dalam lubang seperti kincir air. Untuk melindungi diri dari air mendidih, setiap orang mengikatkan kian ke muka mereka. Tak terduga salju tidak mendidih, air dingin juga bisa melumpuhkan musuh. Dalam waktu singkat dua puluh panci air telah dituangkan ke dalam lubang, membentuk sebuah balok es raksasa setinggi empat sampai lima zhang dengan diameter sekitar tujuh kaki.

Semua orang kegirangan, apa yang mereka kira sebuah kegagalan ternyata berubah menjadi sukses besar. Ketiga penatua Kai Pang mengawasi para prajurit menggali di sekitar lubang, kemudian mereka mengikatkan tali di sekeliling es balok. Dengan bantuan dua puluh ekor kuda es balok raksasa itu ditarik ke atas tanah.

Dari semua penjuru perkemahan para petugas dan prajurit berdatangan ke kemah pusat komando untuk menyaksikan tontonan yang menakjubkan. Para prajurit menggabungkan kekuatan untuk mendirikan es balok itu. Di bawah cahaya dari obor mereka melihat Ouyang Feng memamerkan giginya dengan ekspresi murka di wajahnya, kaki dan tangannya terpentang lebar-lebar. Ia membeku di dalam es balok, tidak bisa bergerak sedikit pun. Para petugas dan prajurit meledak dalam sorak-sorai menggelegar.

Lu Youjiao kuatir tenaga dalam Ouyang Feng yang tinggi akan bisa melelehkan es, ia memerintahkan para prajurit menuangkan lebih banyak es dan air ke atas es balok itu untuk mempertebal lapisannya.

“Aku sudah membuat kesepakatan dengan dia untuk mengampuninya tiga kali. Pecahkan es itu, biarkan dia pergi!” perintah Guo Jing.

Ketiga penatua itu kecewa, tetapi seorang pendekar harus menepati janjinya, maka mereka tidak mengatakan apa-apa. Lu Youjiao mengambil sebuah palu dan berjalan ke arah es balok untuk memecahkannya, ketika tiba-tiba Jian Zhanglao berseru, “Tahan!” Ia berpaling kepada Guo Jing dan bertanya, “Gongzi, dengan kemampuannya, menurut Gongzi berapa lama Ouyang Feng bisa bertahan di dalam es?”

“Dia mungkin bisa bertahan sampai beberapa jam,” kata Guo Jing. “Lebih lama dari itu nyawanya akan terancam.”

“Bagus sekali,” kata Jian Zhanglao. “Biarkan dia menderita dua jam. Kita boleh saja mengampuninya, tapi dia harus menderita sebentar.”

Teringat bahwa Ouyang Feng telah membunuh guru-gurunya, Guo Jing mengangguk setuju.

Berita itu tersebar dengan cepat, para petugas dan prajurit dari unit lain mendengarnya dan mereka berdatangan untuk menonton. Kepada tiga penatua Kai Pang Guo Jing berkata, “Dari jaman kuno ada pepatah, ‘Seorang pahlawan bisa dibunuh, tetapi tidak dipermalukan.’ Meskipun dia jahat, tetapi dia masih tetap seorang guru besar dari perguruan silatnya sendiri. Bagaimana kita bisa membuatnya menjadi bahan tertawaan orang?” Ia langsung memerintahkan para prajuritnya untuk mendirikan tenda di sekeliling es balok itu dan mengatur jadwal ronda. Tak seorang pun diijinkan untuk memasuki tenda untuk menonton, termasuk bagi seorang jendral.

Dua jam kemudian ketiga penatua itu menghancurkan es balok, membebaskan Ouyang Feng. Ouyang Feng duduk bersila di atas tanah, mengedarkan tenaga dalamnya ke seluruh tubuh. Setelah memuntahkan darah kehitaman tiga kali ia pun berjalan pergi dengan marah.

Guo Jing dan ketiga penatua itu mengawasinya dua jam penuh. Meskipun tampak lelah tetapi ia mampu berjalan pergi begitu saja, ia membuat mereka mendesah penuh kekaguman.

Sepanjang waktu ini Guo Jing terus menerus gelisah. Ia kuatir ketika Ouyang Feng masih berada di dalam es balok, tetapu setelah Ouyang feng pergi, ia masih tetap tidak bisa menenangkan diri.

Ia duduk, berpikir keras. Seumur hidup ia tak pernah merasa begitu kesepian, hatinya terasa kosong. Ia berusaha keras untuk memikirkan alasannya. Tiba-tiba ia teringat sebelum Lu Youjiao mengeluarkan perintah untuk menuangkan air, sepertinya ia mendengar seseorang berseru dengan suara rendah, “Tuangkan air!” Ia merasa bahwa suara itu sangat dikenalnya, ia merasa delapan puluh sampai sembilan puluh persen pasti bahwa suara itu punya aksen yang dimiliki Huang Rong. Tetapi karena Ouyang feng jatuh ke dalam perangkap dan ia sedang memikirkan masalah mendesak, maka ia tidak memberikan perhatian pada sumber suara itu. “Tuangkan air!” Suara itu terngiang-ngiang di telinganya sementara hatinya dipenuhi keraguan. Ia bangkit mendadak dan bergumam, “Rong’er betul-betul di dalam pasukan ini. Aku harus memeriksa semua orang, semua petugas dan prajurit, tanpa kecuali. Aku yakin kali ini dia tidak akan lolos.” Tapi kemudian sebuah pikiran melintas di benaknya, “Dia tidak ingin melihatku, kenapa aku harus dengan susah-payah memaksanya keluar?” Sambil membuka gulungan lukisan, ia menatap gambar gadis itu dengan tatapan kosong. Hatiya dipenuhi kegetiran.

Di keheningan malam tiba-tiba ia mendengar derap kaki kuda datang dengan cepat dari kejauhan. Tak lama kemudian ia mendengar pengawalnya minta ijin dan dengan segera seorang kurir masuk ke tendanya, membawa berita militer dari Genghis Khan. Ternyata pasukan Mongolia telah masuk jauh ke dalam wilayah musuh, menikmati kemenangan ke mana pun mereka pergi. Hanya dalam jarak beberapa ratus li ke Barat mereka akan mencapai kota berbenteng Khwarezmia, Samarkand. Genghis Khan tahu bahwa kota ini telah menjadi ibukota Khwarezmia yang baru. Dipertahankan oleh sebuah pasukan besar yang terdiri dari sekurang-kurangnya seratus ribu orang, dengan perbekalan yang cukup untuk jangka panjang. Pertahanannya ketat, tembok kota punya reputasi sebagai tembok yang tak dapat ditembus. Karena itu Genghis Khan memerintahkan keempat pasukan bekerja sama dan menyerang secara serentak.

Saat fajar hari berikutnya, pasukan Guo Jing meninggalkan kemah mereka menuju ke Selatan di sepanjang sungai. Dalam waktu sepuluh hari mereka tiba di luar tembok kota Samarkand. Ketika melihat pasukan kecil Guo Jing lawan keluar dari kota untuk melibatkan mereka dalam pertempuran sengit. Dengan barisan Feng Yang dan Yun Chui, Guo Jing mampu membunuh sekitar lima ribu prajurit lawan hanya dalam waktu setengah hari. Dengan kekalahan ini pasukan Khwarezmia dipaksa untuk mundur ke dalam kota benteng mereka.

Pada hari ketiga, pasukan besar Genhis Khan, beserta pasukan Jochi dan Chagatai, tiba satu per satu. Lebih dari seratus ribu prajurit mengepung kota itu, menyerang dari segala penjuru. Tetapi pertahanan Samarkand sangat ketat, ribuan prajurit dan pejabat Mongolia terluka atau tewas, tetapi kota itu masih tegak berdiri.

Hari berikutnya putra sulung Chagatai berusaha untuk membuat prestasi, dengan berani ia menyerang tembok kota, malangnya sebuah anak panah ditembakkan dari tembok kota, mengenai kepalanya dan ia tewas. Genghis Khan sangat menyayangi cucunya ini, melihatnya tewas di medan perang kesedihan dan murkanya tak terlukiskan. Ketika pengawal pribadi cucunya membawa jenazahnya datang, Genghis Khan melemparkan diri ke jenazah itu dengan berlinang air mata, memeluk cucunya yang tewas. Ia mencabut anak panah yang menewaskan cucunya, hanya untuk melihat bahwa panah itu adalah sebuah gigi serigala yang berhias bulu elang, gagangnya bertahtakan emas, terukir di situ empat karakter, ‘Da Jin Zhao Wang’ — alias ‘Raja Zhao dari Jin Agung’. Orang-orang di sekitarnya yang mengerti tulisan itu membacakan kalimat itu kepadanya.

“Ah!” seru Genghis Khan dengan murka. “Ini adalah Si keparat Wanyan Honglie!” Melompat ke atas kuda ia menyerukan sebuah dekrit, “Para petugas dan prajurit, besar dan kecil, dengarkan ini. Barang siapa yang punya cukup keberanian untuk menjebol pertahanan kota dan menangkap Wanyan Honglie untuk membalas dendam cucuku, para perempuan dan anak-anak di kota itu, giok dan sutra, semuanya akan menjadi miliknya!” Seratus penunggang kuda dengan segera ditugaskan untuk mengumumkan dekrit Genghis Khan.

Ketiga pasukan lainnya mendengar pengumuman itu dan semangat mereka bangkit. Seperti kerumunan belalang mereka menyerang tembok kota dengan pekikan perang yang mengguncangkan bumi. Beberapa orang berusaha memanjat tembok itu dengan tangan kosong, beberapa orang menaiki anak tangga, beberapa orang melemparkan tali dengan pengait, beberapa orang menggunakan batang pohon besar untuk mendobrak pintu gerbang kota. Tetapi para pejuang di atas tembok kota mempertahankan kota mereka dengan berani. Pertempuran berlanjut hingga senja. Mongolia telah kehilangan sekitar empat ribu orang, tetapi kota Samarkand masih tegak berdiri seperti gunung.

Sejak dimulainya ekspedisi militer melawan Khwarezmia, inilah kekalahan besar pertama Genghis Khan. Malam itu di dalam tendanya, ia menangisi kematian cucu kesayangannya, amarahnya meluap seperti halilintar.

Guo Jing kembali ke tendanya sendiri, membolak-balik buku Warisan Wumu, berusaha menemukan cara untuk menjebol tembok kota, tetapi Samarkand berbeda dengan kota-kota di Zhongyuan, karena itu semua yang tertulis di buku itu tak dapat diterapkan.

Guo Jing mengundang Lu Youjiao ke tendanya untuk mendiskusikan situasi ini. Tahu bahwa Lu Youjiao pasti akan pergi kepada Huang Rong untuk minta nasihat, begitu ia meninggalkan tenda, Guo Jing mengikutinya dari belakang. Di luar dugaan Lu Youjiao telah mengatur para anggota Kai Pang untuk berdiri di sepanjang jalan dari tenda Guo Jing ke tendanya sendiri. Begitu melihat Guo Jing, mereka berdiri dan menyapanya dengan suara nyaring.

Guo Jing segera memahaminya. “Ini pasti salah satu akal bulus Rong’er,” pikirnya. “Aih! Dia sealu menemukan cara untuk menghindari aku. Dia bisa menduga setiap tindakan dan setiap langkah dengan tepat.”

Lebih dari dua jam kemudian, Lu Youjiao kembali dan melapor, “Kota besar ini sungguh sulit ditembus, Xiaoren tidak menemukan ide yang baik. Kita tunggu saja beberapa hari lagi, mungkin kesempatan akan muncul sendiri dan kita bisa menyerang.”

Guo Jing mengangguk tanpa mengatakan apa-apa. Ketika pertama kalinya ia meninggalkan Mongolia untuk pergi ke Selatan, ia hanya seorang anak muda yang naif dan sederhana. Tetapi selama beberapa tahun ia telah mengalami kesengsaraan, kesulitan dan terkadang bahaya. Pengalaman telah sangat mendewasakan dia. Malam itu di dalam tendanya ia mau tak mau merasa sangat emosional ketika ia memikirkan tentang makna dua baris puisi di lukisan. Ia berpikir, “Rong’er pasti beranggapan aku tidak punya hati, ia menunggu sampai aku minta maaf. Sayangnya aku ini bodoh sejak lahir, aku tidak tahu bagaimana cara minta maaf, aku tidak tahu bagaimana harus melakukan sesuai dengan harapannya.” Memikirkan semua ini ia jadi semakin cemas.

Malam itu ia tidak bisa tidur nyenyak, pikirannya dipenuhi Huang Rong. Ia gelisah di tendanya. Baru sekitar jam ketiga ia akhirnya tertidur. Ia bermimpi bertemu Huang Rong. Ia menanyakan bagaimana seharusnya minta maaf. Huang Rong menjawab dengan berbisik di elinganya. Guo Jing sangat senang, ia terbangun dengan segera, tapi ia tidak bisa mengingat apa yang dikatakan Huang Rong. Ia berusaha setengah mati untuk mengingat-ingat, tapi ia gagal. Ia ingin kebali tidur dan bertanya kepada Huang Rong dalam mimpinya, tapi sayangnya mimpi itu telah meninggalkannya.

Terbakar oleh kecemasan ia memukul kepalanya sendiri beberapa kali. Mendadak ia terinspirasi, “Aku tidak ingat, kenapa tidak menanyakannya lagi?” Ia berseru dengan lantang, “Cepat undang Lu Zhanglao ke sini!”

Lu Youjiao berpikir entah urusan militer penting apa yang membutuhkan perhatiannya? Membungkus tubuhnya dengan kulit domba ia bergegas ke tenda Guo Jing dengan kaki talanjang.

“Lu Zhanglao, bagaimanapun juga aku ingin bertemu dengan Nona Huang besok sore,” kata Guo Jing. “Aku tidak peduli bagaimana caramu melakukannya. Entah kau menemukan ide sendiri atau bertanya kepada orang lain, pokoknya aku ingin kau memberiku ide bagus bagaimana caranya aku bisa menemuinya. Aku memberimu waktu sampai besok siang.”

Lu Youjiao tercengang. “Huang Bangzhu tidak di sini, bagaimana caranya Gongzi bisa ketemu dia?”

“Kau punya kebijaksanaan dewa, kau pasti bisa menemukan cara,” jawab Guo Jing. “Kalau kau tidak bisa menemukan cara sampai besok, aku akan menanganimu sesuai dengan hukum militer.” Sadar bahwa ia sedang omong kosong, Guo Jing diam-diam merasa geli.

Lu Youjiao hendak mengajukan alasan ketika Guo Jing memalingkan muka untuk bicara kepada pengawalnya, “Siapkan seratus prajurit untuk bertindak sebagai algojo besok siang.” Pengawalnya menerima perintah tersebut dengan suara lantang.

Lu Youjiao tampak tertekan, dengan murung ia kembali ke tendanya.

Salju turun dengan lebatnya pagi-pagi sekali pada hari berikutnya. Tembok kota itu tertutup es, licin seperti minyak. Mustahil memanjat tembok itu. Genghis Khan menarik mundur pasukannya pada hari itu. Ia berpikir musim dingin tiba, hari-hari mendatang akan semakin dingin, mereka tidak akan melihat hari yang hangat sampai bulan kedua atau ketiga, yang mana masih beberapa bulan ke depan. Ia memutuskan untuk meninggalkan kota ini dan melanjutkan ke Barat, maka berarti ia secara praktis menyisakan seratus ribu musuh, dengan potensi untuk memutuskan jalannya kembali ke Mongolia. Tetapi jika ia menempatkan sebagian pasukannya untuk mengawal kota, ia kuatir musuh akan mendapat bala bantuan, maka pasukannya akan kalah jumlah. Sekali pertempuran terjadi, pasukannya akan tercerai-berai di tanah asing ini dan ia akan kehilangan sejumlah besar prajurit dan kuda.

Genghis Khan mondar-mandir di depan tendanya dengan tangan di belakang punggungnya. Ia melamun dan menatap kosong ke arah puncak yang diselimuti salju di mana kota itu berdiri. Puncak itu begitu tinggi hingga mencapai awan. Genghis Khan mengerutkan keningnya. Ia melihat puncak itu sangat aneh, menjulang tinggi sendirian di tengah gurun pasir. Tak ada tanaman yang tumbuh di situ, penduduk lokal menyebutnya ‘Puncak Kayu Gundul’. Samarkand dibangun menempel pada puncak ini, lereng bukit sebenarnya berfungsi sebagai tembok kota sebelah barat. Ia membayangkan bahwa siapapun yang membangun kota itu pasti tidak memperhitungkan biaya. Para ahli strategi militer dan para arsitek yang merancang kota ini pasti punya kemampuan dan kepandaian yang menakjubkan. Bukit ini sangat terjal, secara praktis adalah sebuah batu raksasa, tidak ada tanaman yang bisa tumbuh di atasnya. Bahkan monyet dan kera pun tak punya cara untuk memanjatnya. Samarkand sungguh punya pertahanan yang tak bisa ditembus.

Genghis Khan berpikir, “Sejak permulaan karir militerku, aku sudah terlibat ratusan peperangan, besar dan kecil. Tapi aku belum pernah menghadapi situasi sesulit hari ini. Benarkah Surga ingin memperpendeek umurku?” Ia duduk di atas kudanya, menatap kosong ke arah butiran salju yang turun. Tenda-tenda tertutup salju, sementara di dalam kota asap membumbung tinggi dari cerobong asap. Semua itu hanya menambah kesengsaraannya.

Pikiran Guo Jing dipenuhi keprihatinan lain. Ia bertanya-tanya apakah cara kasarnya untuk memaksa Huang Rong muncul akan membuat gadis itu membencinya lebih dalam lagi. Bagaimana kalau Lu Youjiao bertekad untuk tidak membuka mulutnya? Tentunya ia tidak bisa memenggalnya, kan?

Sudah hampir tengah hari, dengan muka tenang Guo Jing duduk di tendanya, sementara di kedua sisi tenda berdiri algojo, sedang menunggu tugas. Kemudian terompet berbunyi, mengumumkan bahwa saat itu adalah tengah hari.

Lu Youjiao berjalan masuk ke dalam tenda. “Xiaoren sudah memikirkan caranya, tapi Xiaoren kuatir Gongzi akan menganggapnya sulit dilakukan,” kataya.

Guo Jing girang. “Cepat katakan! Aku tidak peduli kalau cara itu menuntut nyawaku. Apanya yang sulit?” tanyanya.

Lu Youjiao menunjuk ke Puncak Kayu Gundul dan berkata, “Malam ini sekitar setengah jam sebelum tengah malam, Huang Bangzhu akan menunggu di sana.”

Guo Jing terdiam. “Bagaimana dia bisa mendaki ke situ?” tanyanya. “Kau hanya ingin mempermainkan aku ya?”

“Bukankah aku sudah bilang dari awal bahwa ini akan sulit?” kata Lu Youjiao. “Kalaupun aku menciptakan rencana yang cerdik, itu toh akan sia-sia.” Selesai berbicara ia membungkuk, berbalik dan keluar dari tenda.

Guo Jing berpikir, “Pasti ini omongan Huang Rong. Dia menyebutku tidak berguna. Puncak Gundul ini jauh lebih terjal ketimbang Puncak Telapak Besi, tebing Mongolia tidak ada apa-apanya dibandingkan ini. Entah ada atau tidak seorang dewa di puncak itu yang akan menurunkan tali untuk membantuku memanjatnya.”

Dengan murung ia membubarkan algojo-algojo itu lalu berjalan menuju puncak, menatap kosong ke atas. Ia memperhatikan bahwa dari bawah ke atas puncak itu tidak menunjukkan perbedaan, permukaannya ditutupi lapisan es tebal, tampak seperti kristal yang licin, mirip sekali dengan es balok yang membungkus Ouyang Feng waktu itu. Ini sungguh-sungguh gunung yang ‘di luar dunia ini’. Kecuali burung-burung, tak ada manusia atau binatang buas mampu mencapai puncak itu.

Guo Jing meneliti puncak itu. Tiba-tiba ‘pluk!’ topi kulitnya jatuh ke atas salju. Dalam sekejap sebuah pikiran muncul, “Kalau aku tidak bisa menemui Rong’er, toh akan lebih baik mati juga. Meskipun puncak ini berbahaya, aku akan mengambil resiko mendakinya. Mskipun aku jatuh dan mati, aku akan tetap mati baginya.” Begitu membuat keputusan, seketika ia merasa lebih baik.

Sore itu ia makan sampai kenyang, lalu menyelipkan sebuah belati di pinggangnya dan menyandang seutas tali di punggungnya. Saat itu belum gelap ketika ia keluar dari tendanya. Ia dikejutkan oleh ketiga penatua Lu, Jian dan Liang Zhanglao yang sedang menunggunya di luar, mereka berkata, “Xiaoren akan mengantar Gongzi ke puncak.”

“Mengantarku ke puncak?” tanya Guo Jing bingung.

“Pasti,” kata Lu Youjiao. “Bukankah Gongzi ada janji untuk ketemu Huang Bangzhu di puncak malam ini?”

Kejutan yang menyenangkan bagi Guo Jing. “Jadi Rong’er tidak menipuku sama sekali,” pikirnya. Dengan hati gembira ia berjalan bersama ketiga penatua itu ke arah Puncak Kayu Gundul.

Ia melihat lusinan prajuritnya sedang menanti di dekat puncak dengan membawa lusinan anak sapi dan domba. Lu Youjiao berkata, “Sembelih!”

Seorang prajurit mengangkat goloknya dan mengiris kaki belakang domba. Sementara darah masih hangat, kaki itu ditanam ke dinding tebing. Darah itu membeku dalam waktu singkat, kaki itu dengan mantap tertanam di dinding batu, kemudian diperkuat dengan paku besi.

Guo Jing masih belum memahami apa yang sedang mereka lakukan. Prajurit lain memotong kaki belakang domba lainnya dan menanamnya di dinding, kira-kira empat kaki di atas yang pertama. Guo Jing sangat gembira, sekarang ia mengerti bahwa ketiga penatua itu sedang membuat tangga dari kaki domba. Itu sangat kejam bagi hewan-hewan itu, tapi sungguh tak ada cara lain yang lebih baik melakukannya.

Ia melihat Lu Youjiao melompat secara vertikal ke atas dan hinggap di kaki yang kedua. Jian Zhanglao memotong kaki domba berikutnya dan menyodorkannya ke atas, Lu Youjiao menancapkan kaki itu ke dinding. Beberapa kaki berikutnya tangga kaki domba itu sudah mencapai ketinggian lusinan zhang. Ketika kaki yang dipotong di bawah disodorkan ke atas, kaki itu akan membeku pada saat mencapai tempat tujuannya. Guo Jing membantu ketiga penatua itu menggantungkan tali ke bawah. Mereka mengerek domba hidup-hidup dan menyembelihnya tepat sebelum menancapkan kaki mereka di dinding.

Ketika tangga kaki domba itu mencapai setengah ketinggian dari puncak, mereka merasa hembusan angin jauh lebih kuat dibandingkan di dasar. Untungnya keempat orang itu adalah ahli silat, tubuh mereka agak terayun, tetapi kaki mereka tertanam kuat di atas kaki domba. Meskipun begitu, karena takut kemungkinan tergelincir di atas kaki domba dan kehilangan tempat enjejakkan kaki, mereka mengikatkan seutas tali ke pinggang mereka, supaya mereka berempat bisa saling menolong seandainya terjadi kecelakaan.

Mereka sibuk bekerja sampai menjelang tengah malam, ketika akhirnya tangga kaki domba mencapai puncak. Ketiga penatua itu tak diragukan lagi sangat kelelahan, sementara Guo Jing sendiri juga berkeringat deras. Lu Youjiao terengah-engah sambil sekaligus tersenyum. “Gongzi, kau bisa memaafkan Xiaoren?” tanyanya.

Guo Jing merasa tidak nyaman, tapi juga sangat berterima kasih. “Aku sungguh tidak tahu bagaimana harus membalas kebaikan kalian bertiga,” katanya.

“Ini gagasan Bangzhu, kalaupun lebih sulit lagi, kami tetap harus melaksanakannya. Siapa suruh kami punya seorang Bangzhu yang begitu licik dan aneh?” kata Lu Youjiao. Ketiga penatua itu tertawa, berbalik dan pelan-pelan menuruni puncak.

Setelah melihat ketiga penatua itu selangkah demi selangkah menuruni tangga kaki domba di sisi bukit dengan selamat, barulah Guo Jing berpaling dan melihat pemandangan yang menakjubkan di puncak bukit. Sepuluh ribu tahun hawa dingin telah menciptakan sebuah dunia kristal yang berwarna-warni. Sebagian menyerupai merah-hijau bunga dan rerumputan, sebagian menyerupai binatang buas aneh dan burung-burung langka, sebagian menyerupai hutan batu, sebagian menyerupai ranting-ranting pohon dan hutan bambu. Guo Jing menikmati pemandangan itu dengan takjub. Hatinya dipenuhi pujian.

Memikirkan bahwa sebentar lagi Huang Rong akan memanjat tangga kaki domba itu untuk menemuinya, darah mengalir deras di sekujur tubuhnya, memberinya rasa hangat dan tidak jelas, membuat pipinya memerah. Mendadak ia mendengar suara cekikikan seorang perempuan. Suara cekikikan itu seperti kejutan listrik yang menyengat Guo jing. Ia berpaling dan melihat di bawah sinar bulan, seorang gadis muda tersenyum manis kepadanya. Siapa lagi kalau bukan Huang Rong. Meskipun Guo Jing tahu jelas ia sudah berjanji untuk menemuinya di sini, tapi bertatap muka langsung seperti ini terasa seperti mimpi baginya.

Kedua orang itu saling berpandangan sejenak, lalu keduanya saling mendekat, mengabaikan dinginnya es yang licin di puncak itu. Karena kesedihan dan sukacita mereka, mereka berlari dan terpeleset bersama-sama. Guo Jing takut Huang Rong mungkin terluka, bahkan sebelum kakinya menyentuh tanah, ia menendang ke belakang dan mendorong tubuhnya ke depan untuk menangkap Huang Rong, memeluknya. Mereka telah berpisah sebih dari setahun, dan mereka saling merindukan. Kali ini mereka bertemu kembali, bagaimana mungkin mereka tidak bahagia?

Setelah beberapa saat Huang Rong dengan lembut melepaskan diri dari pelukannya. Mereka duduk berdampingan di atas sebuah es batu yang berbentuk menyerupai sebuah baru besar. “Kalau aku tidak melihat betapa kau merindukanku, aku tidak ingin menemuimu,” katanya.

Guo Jing hanya menatapnya, tanpa mengatakan setengah kata pun. Setelah agak lama ia membuka mulut, “Rong’er.”

“Mmm?” jawab Huang Rong.

Guo Jing kegirangan, ia memanggil lagi, “Rong’er.”

Huang Rong tersenyum. “Masa kau belum cukup memanggilku?” tanyanya. “Beberapa hari belakangan ini meskipun aku tidak bersamamu, bukankah kau memanggilku puluhan kali setiap hari?”

“kau tahu dari mana?” tanya Guo Jing.

Huang Rong tersenyum lagi. “Kau tidak bisa melihatku, tapi sebenarnya aku cukup sering melihatmu.”

“Kau selalu berada di tengah-tengah pasukan kami, kenapa kau tidak membiarkan aku melihatmu?” tanya Guo Jing.

“kau masih punya muka untuk bertanya?” kata Huang Rong marah. “Begitu kau tahu aku masih hidup dan baik-baik saja, bukankah kau akan menikahi Putri Huazheng itu? Aku lebih baik tidak membiarkanmu tahu aku ada di mana. Kau pikir aku goblok ya?”

Begitu ia mendengarnya menyebutkan nama ‘Huazheng’, kegembiraan Guo Jing lenyap. Mukanya begitu murung hingga Huang Rong buru-buru berpaling ke arah lain dan berkata, “Istana kristal itu sangat indah, ayo kita ke sana mencari tempat untuk ngobrol sambil duduk.”

Guo Jing mengikuti arah pandangannya dan melihat sebongkah besar es padat yang menyerupai sebuah gua. Di bawah sinar bulan yang redup kilaunya sangat indah. Penampilannya memang menyerupai sebuah kristal besar yang dipahat ke sebuah istana. Mereka berdua bergandengan tangan memasuki gua itu, lalu mencari sebuah tempat untuk duduk.

“Bicara tentang bagaimana kau memperlakukan aku di Pulau Bunga Persik, coba katakan, apa aku harus memaafkanmu?” kata Huang Rong.

Guo Jing berdiri dan berkata, “Rong;er, biar aku bersujud seratus kali untuk minta maaf.” Ia serius, dengan segera ia berlutut dan mulai kowtow.

Huang Rong tersenyum manis, mengulurkan tangan untuk menariknya bangkit. “Sudahlah. Kalau aku belum memaafkanmu, aku tidak akan mau merangkak naik ke puncak ini meskipun kau memotong kepala Lu Youjiao seratus kali!”

Guo Jing sungguh bahagia, “Rong’er, kau benar-benar baik.”

“Apa maksudmu baik atau tidak baik?” kata Huang Rong. “Tadinya kupikir kau dengan sepenuh hati ingin membalas dendam guru-gurumu, suudah jelas di dalam hatimu sama sekali tidak ada aku. Sewajarnya aku betul-betul marah! Belakangan aku tahu membuat kesepakatan dengan Ouyang Feng. kau bersedia mengampuninya tiga kali demi aku. Baru saat itu aku tahu bahwa kau masih punya aku di hatimu.”

Guo Jing menggelengkan kepalanya. “Tak kusangka baru sekarang kau mengerti hatiku.”

Huang Rong memonyongkan bibirnya dan tersenyum. “Kau melihat apa yang kupakai?” tanyanya.

Sejauh ini Guo Jing hanya memperhatikan mukanya, baru setelah Huang Rong menyinggung tentang hal ini ia memalingkan pandangannya ke pakaian yang dikenakannya. Ternyata ia memakai mantel bulu hitam yang dihadiahkannya ketika mereka pertama kali berkenalan di Kalgan. Hatinya tergerak, ia menggenggam tangan Huang Rong erat-erat.

Keduanya duduk saling bersandar sejenak. Akhirnya Guo Jing memecahkan keheningan, “Rong’er, Da Shifu bilang kau ditangkap Ouyang Feng di Kuil Tombak Besi, bagaimana kau bisa melarikan diri?”

Huang Rong menghela nafas. “Aku sungguh menyesal untuk Gui Yun Zhuang milik Lu Shige6 yang nyaman itu. Racun Tua menyuruhku menjelaskan isi Jiu Yin Zhen Jing untuknya. Aku bilang penjelasannya tidak sulit, tapi aku perlu tempat yang sepi dan nyaman. Racun Tua bilang kalau itu masalahnya, kita akan mencari kuil terpencil. Kubilang biksu Buddha itu menjijikkan, aku tidak suka makan makanan vegetarian. Lalu Racun Tua menanyakan aku mau apa. Aku bilang di dekat Danau Tai ada tempat yang bernama Gui Yun Zhuang, pemandangannya sangat indah, makanan dan araknya luar biasa. Satu-satunya masalah adalah pemiliknya adalah temanku, itu membuat Racun Tua curiga.”

“Itu betul,” kata Guo Jing. “Dia memutuskan untuk tidak pergi ke sana?”

“Tidak, dia sombong,” kata Huang Rong. “Dia tidak pernah takut siapapun. Makin kubilang begitu, ia makin ingin ke situ. Katanya seberapa banyak pun teman-temanku, Racun Tua akan menghadapi mereka semua. Waktu kami sampai di Rumah Awan, sebetulnya Lu Shige, ayah dan anak, sedang tidak ada di rumah. Mereka sedang pergi ke Utara, ke kota Baoying, mengunjungi keluarga menantunya, Cheng Da Xiaojie. Kau sudah tahu kan, Zhuangzhu itu — Lu Shige — belajar teknik membangun rumah dari ayahku menurut aturan Wu Xing Bagua7. Begitu Racun Tua masuk ke situ, dia merasa ada sesuatu yang salah. Dia ingin menarikku keluar dari situ, tapi aku masuk kesana-kemari, dengan cepat dia kehilangan jejakku. Bagaimana pun dia berusaha, tetap saja tidak bisa menangkapku, akhirnya dia marah dan membakar Rumah Awan.”

“Ah!” seru Guo Jing, terkesiap. “Aku memang mampir ke Gui Yun Zhuang mencarimu, tapi aku menemukannya dalam keadaan payah, tinggal puing-puing. Ternyata itu perbuatan Racun Tua.”

“Aku tahu dia akan menghancurkan perkampungan itu,” kata Huang Rong. “Jadi aku memperingatkan semua orang supaya mereka bisa lari. Meskipun dia tidak bisa menangkapku, tapi Racun Tua sangat jahat dan kejam. Dia selalu mengawasi jalan ke arah Pulau Bunga Persik, berharap bisa menangkapku di situ. Beberapa kali aku nyaris tertangkap. Setelah itu aku lari ke Utara, ke arah perbatasan Mongolia, dan dia mengikutiku. Sha Gege, untungnya kau ini bodoh. Kalau kau secerdik Racun Tua, maka kalian berdua akan mengepung aku dari dua sisi, dan aku jadi tidak tahu harus pergi ke mana.”

Guo Jing hanya tersipu dan tersenyum konyol.

“Tapi akhirnya kau mulai lebih pintar, kau bisa menekan Lu Youjiao untuk memikirkan sesuatu,” kata Huang Rong.

“Rong;er, kau yang mengajari aku,” kata Guo Jing.

Huang Rong tercengang. ”Aku mengajarimu?”

“kau mengajar di dalam mimpiku,” jawab Guo Jing. Lalu ia menceritakan mimpinya malam itu.

Kali ini Huang Rong tidak menertawakan dia, bahkan sesungguhnya hatinya tergerak. Ia buru-buru berkata, “Orang-orang kuno biasa mengatakan bahwa kejujuran dan ketulusan bisa membuka logam dan batu. Kau berpikir tentang aku dan merindukan aku sampai sejauh ini, seharusnya aku membiarkanmu melihatku lebih awal.”

“Rong’er,” kata Guo Jing. “Nantinya kau tidak akan meninggalkanku lagi selamanya, bukankah itu bagus?”

Huang Rong menyapukan pandangannya ke arah struktur luar biasa yang berserakan di puncak itu. “Jing Gege, aku kedinginan,” katanya, agak mendadak.

Guo Jing cepat-cepa menanggalkan mantel bulunya sendiri dan mengenakannya di tubuh Huang Rong. “Ayo kita turun,” katanya.

“Baik,” kata Huang Rong. “Kita kembali ke sini besok malam. Aku akan menjelaskan Jiu Yin Zhen Jing secara terperinci kepadamu.”

Guo Jing tercengang. “Apa?” tanyanya.

Tangan kanan Huang Rong masih memegang tangan kiri Guo Jing, ia meremas tangannya dan berkata, “Ayahku sudah menerjemahkan bagian terakhir kitab itu, di mana ada kalimat-kalimat kacau. Aku akan menjelaskan semuanya besok malam.”

“Bagian yang berisi bahasa Sansekerta itu jelas diterjemahkan oleh Yideng Dashi,” pikir Guo Jing. “Kenapa dia bilang ayahnya yang menerjemahkan?” Ia dipenuhi keraguan, dan akan bertanya lagi ketika Huang Rong mmeremas tangannya sekali lagi. Ia tahu pasti ada alasan tertentu di balik semua itu, maka ia mengiyakan tanpa bertanya. Keduanya menuruni puncak itu.

Begitu sampai di tendanya, Huang Rong berbisik di telinganya, “Ouyang Feng juga ikut mendaki puncak itu, dia bersembunyi di belakang kita waktu kita bicara, diam-diam ikut mendengarkan.”

Guo Jing terkejut. “Ah! Aku bahkan tidak tahudia ada di situ.”

“Dia bersembunyi di balik es balok besar,” kata Huang Rong. “Racun Tua teramat sangat licik, tapi kali ini dia lupa, es itu kan tembus pandang, tidak bisa menyembunyikan sesuatu. Baru setelah sinar bulan meneranginya aku bisa melihat ada bayangan samar-samar di belakangnya.”

“Jadi rupanya kau bicara tentang Jiu Yin Zhen Jing sebetulnya untuk dia.” kata Guo Jing.

“Hmm, aku ingin menggiringnya ke puncak itu, lalu kita singkirkan tangga kaki domba itu. Kita lihat saja, apa dia bisa bermeditasi untuk hidup kekal di puncak itu, mungkin dia bisa menjadi dewa,” kata Huang Rong.

Guo Jing sangat gembira, ia bertepuk tangan dan bersorak.

Hari berikutnya Genghis Khan menyerbu kota itu lagi. Lagi-lagi ribuan prajurit Mongolia tewas. Para prajurit Khwarezmia di atas tembok kota melontarkan berbagai penghinaan dan mengutuk musuh mereka. Genghis Khan murka, tetapi ketika menyapu medan laga dengan matanya ia melihat mayat-mayat prajurit Mongolia dan kuda-kuda mereka, ia sangat berduka.

Pada sore itu Guo Jing, Huang Rong dan ketiga penatua Kai Pang mempersiakan diri, mereka tinggal menunggu sampai Ouyang Feng medaki ke puncak, kemudian mereka akan segera menghancurkan tangga kaki domba itu. Di luar dugaan, Ouyang Feng ternyata sudah mengantisipasi hal ini. Begitu tahu Guo Jing dan Huang Rong tidak mendaki, ia juga tetap tinggal di bawah, bersembunyi.

Huang Rong terpaksa memikirkan cara lain. Ia mengambil beberapa utas tali dan merendamnya dalam minyak. Khwarezmia sangat kaya akan minyak, lebih dai seribu tahun yang lalu orang-orang menggali sumur untuk mencari air, tapi mereka malah menemukan minyak bumi. Sejak saat itu orang mulai menggunakan minyak untuk memasak. Para prajurit Mongolia telah mencuri beberapa barel minyak dan memakainya sebagai bahan bakar.

Guo Jing dan Huang Rong memanjat ke puncak dengan tali yang sudah direndam minyak di punggung mereka. Kemudian mereka menyembunyikan tali-tali itu di balik sebuah es balok besar. Keduanya duduk di dalam istana kristal untuk mengobrol. Tal terlalu lama kemudian mereka melihat bayangan khas Ouyang Feng muncul dari balik sebuah es balok besar. Ilmu meringankan tubuhnya terlatih mendekati sempurna, gerakannya nyaris tak bersuara, ia tak pernah menyangka bahwa kedua anak muda itu menyadari kehadirannya.

Dengan segera Huang Rong mulai bicara tentang isi kitab, yang mereka diskusikan dengan sungguh-sungguh, tentu saja mereka mendiskusikan isi kitab yang asli. Ouyang feng mendengarkan dengan cermat, ia menemukan fakta bahwa isi kitab itu benar-benar luar biasa, ia kegirangan. Ia berpikir kalaupun ia memaksa anak perempuan ini menjelaskan semuanya, ia belum tentu akan menceritakan seluruh isi kitab, tapi sekarang ia mencuri dengar, dan ia merasa sangat beruntung.

Huang Rong menjelaskan perlahan-lahan, dan Guo Jing pura-pura melontarkan sejumlah besar pertanyaan. Ouyang Feng berpikir, “Ia tidak bisa memahami kebenaran yang sesederhana itu, betul-betul dungu.”

Tiba-tiba terompet dibunyikan dengan nada sangat mendesak di dasar tebing. Guo Jing segera melompat. “Khan Agung memanggil para jendral, aku harus pergi.” serunya. Sebetulnya ini suara terompet palsu, ia telah mengatur tipuan ini sebelumnya.

“Kita turun bersama,” kata Huang Rong.

“Kita harus naik-turun ke puncak ini, betul-betul merepotkan,” kata Guo Jing. “Apa tidak bisa di tendaku saja?”

“Tidak bisa, Ouyang feng sudah mencariku kemana-mana, dia sangat licik. Sulit sekali menemukan tempat untuk bersembunyi,” kata Huang Rong. “Tapi kalaupun dia sepuluh kali lipat lebih licik, dia pasti tidak akan menduga bahwa kita bisa naik ke puncak ini.”

Dasar Ouyang Feng memang sombong, ia berpikir, “Hei, puncak kecil begini sih bukan apa-apa. Kalaupun kalian lari ke ujung dunia aku tetap akan mengejar kalian.”

“Kalau begitu sebaiknya kau tunggu di sini saja,” kata Guo Jing. “Aku seharusnya selesai dalam waktu sekitar satu jam. Aku akan cepat-cepat kembali ke sini.”

Huang Rong mengangguk setuju.

Tanpa mengaakan apa-apa lagi Guo Jing segera menuruni puncak itu. Ia merasa kurang nyaman meninggalkan Huang Rong sendirian di atas bersama dengan Ouyang Feng, tapi ia berpikir bahwa Ouyang Feng pasti sudah tidak sabar ingin mendengarkan rahasia kitab itu, maka ia pasti tidak akan mencelakai Huang Rong.

Dalam waktu sekitar yang diperlukan untuk menghabiskan semangkuk nasi kemudian, Huang Rong berdiri dan sengaja menuangkan apa yang ada di pikirannya keras-keras, “Kenapa Jing Gege masih belum kembali? Entah ada hantu atau tidak di puncak ini. Mungkin hantu Yang Kang atau Ouyang Ke muncul di sini. Kurasa sebaiknya aku turun, aku akan kembali bersama Jing Gege nanti.”

Ouyang Feng takut Huang Rong akan memergokinya, ia melingkar di belakang es balok, tidak berani bergerak sedikit pun. Ia melihat Huang Rong turun dari puncak itu.

Guo Jing dan ketiga penatua Kai Pang sedang menunggu di bawah. Begitu Huang Rong turun, mereka menyalakan api dan membakar tali. Ternyata ketika Guo Jing turun, ia melilitkan tali yang sudah dicelup minyak ke setiap kaki domba. Begitu tali terbakar, panasnya melelehkan es yang menahan kaki-kaki domba beku di dinding tebing, maka kaki-kaki domba itu berjatuhan ke dasar tebing.

Api itu pelan-pelan menjalar ke atas di sepanjang tali. Kegelapan malam membuat pantulan api yang sedang menjalar itu di permukaan salju dan es terlihat indah dan sekaligus menyeramkan. Huang Rong bertepuk tangan kegirangan dan bertanya, “Jing Gege, menurutmu kita masih harus mengampuninya kali ini?”

“Ini adalah kali ketiga,” kata Guo Jing. “Kita tidak boleh melanggar kesepakatan.”

Huang Rong tersenyum. “Aku punya ide,” katanya. “Kau tidak harus melanggar kesepakatan, tapi kau bisa membunuhnya untuk membalas dendam guru-gurumu.”

Guo Jing kegirangan. “Rong’er, kau ini sungguh banyak akal bulus,” katanya. “Coba katakan apa idemu?”

Huang Rong tersenyum. “Ini tidak sulit,” katanya. “Kita biarkan saja Ouyang Feng makan angin Barat Laut selama sepuluh hari sepuluh malam. Biarkan dia kedinginan dan kelaparan, dia akan kelelahan setengah mati. Lalu kita buat lagi tangga kaki domba untuk membantunya turun. Itu akan menjadi ketiga kalinya kita mengampuninya, ya kan?”

“Itu betul,” kata Guo Jing.

“Kau sudah mengampuninya tiga kali saat itu, berarti kau tidak harus menahan diri lagi,” kata Huang Rong. “Kita tunggu saja di bawah. Begitu dia sampai di bawah, kita bisa mulai melawannya. Kita akan punya bantuan dari tiga penatua Kai Pang. Lima orang melawan satu orang yang setengah mati, menurutmu kita bisa membunuhnya?”

“Kita pasti bisa,” kata Guo Jing. “Tapi dengan cara ini tidak terlalu sesuai dengan cara seorang pendekar, betul kan?’

“Hei,” omel Huang Rong. “Masa kita perlu bicara soal pendekar dengan orang jahat dan kejam? Apa dia pakai cara pendekar ketika membunuh lima orang gurumu?”

Berpikir tentang guru-gurunya yang mulia tewas dengan cara keji, Guo Jing murka. Ia juga berpikir bahwa kungfu Ouyang Feng begitu tinggi, kalau ia melepaskan orang itu sekarang, ia belum tentu akan mendapat kesempatan lain untuk membalas dendam. Karena itu ia menggertakkan giginya dan berkata, “Baiklah, kita lakukan seperti itu.”

Keduanya masuk ke dalam tenda. Kali ini mereka benar-benar mendiskusikan Jiu Yin Zhen Jing. Mereka saling menemukan fakta bahwa pasangannya telah mengalami kemajuan cukup pesat, mereka sangat bersyukur.

Setelah diskusi itu selesai Guo Jing berkata, “Si keparat Wanyan Honglie itu ada di dalam tembok kota. Kita tahu dia ada di sana, tapi kita tidak bisa berbuat apa-apa. Kau punya cara untuk menjebol pertahanan kota itu?”

Huang Rong ragu-ragu. “Beberapa hari ini aku sudah memeras otak,” katanya. “Aku punya setidaknya selusin cara untuk melakukannya, tapi tak ada satu pun yang bisa kujamin pasti sukses.”

Guo Jing menjawab, “Di antara anggota Kai Pang ada beberapa saudara, mungkin belasan orang, yang punya qinggong bagus. Bagaimana kalau kita berdua, ditambah mereka, mencoba memanjat tembok kota?”

Huang Rong menggelengkan kepalanya. “Itu tidak gampang,” katanya. “Setiap zhang dari tembok itu dikawasl ketat oleh prajurit bersenjata busur dan anak panah. Tidak perlu cerita soal memanjat tembok. Begitu sampai di dalam, ada lebih dari seratus ribu orang prajurit. Kita bahkan tidak bisa memaksa diri untuk membuka pintu gerbang.”

Keduanya bicara sepanjang malam, mereka bahkan tidak tidur.

Hari berikutnya Genghis Khan menyerang kota lagi. Sekitar sepuluh ribu prajurit Mongolia menggunakan alat pelempar batu, menghujani kota itu dengan batu-batu besar. Tetapi para prajurit yang mempertahankan kota bersembunyi di rumah-rumah petak. Batu-batu itu menghancurkan rumah-rumah penduduk, tetapi kerugian bagi para prajurit yang bertahan itu sebetulnya sangat ringan. Serangan itu bertahan hingga hari ketiga, tetapi sejauh ini hasilnya sangat kecil.

Pada hari keempat salju melayang turun dari langit. Guo Jing memandang ke puncak tebing dan berkata, “Kupikir kita tidak perlu menunggu sampai sepuluh hari, Ouyang Feng pasti akan membeku setengah mati.”

“Tenaga dalamnya sangat kuat,” kata Huang Rong. “Kemungkinan besar dia akan bertahan sampai sepuluh hari.” Ia beru menutup mulutnya ketika mereka berdua menjerit kaget. Sesuatu jatuh dari puncak itu, dan kelihatannya itu Ouyang Feng.

Hang Rong bertepuk tangan. “Racun Tua tidak tahan lagi, dia bunuh diri!” katanya. Tapi ia langsung berseru sambil bertanya-tanya, “Uh, aneh! Bagaimana dia melakukannya?” Ouyang Feng tidak langsung jatuh ke bawah, tetapi tubuhnya melayang di udara seperti layang-layang.

Guo Jing dan Huang Rong sangat takjub. Bagaimana caranya seseorang yang jatuh dari puncak gunung setinggi ribuan zhang bisa tidak mati secara mengerikan, tetapi malah melayang perlahan-lahan? Mungkinkah Racun Tua menggunakan ilmu sihir?

Pada saat itu Ouyang Feng telah jatuh lebih jauh. Sekarang keduanya bisa melihat dengan jelas bahwa ia telanjang, tetapi ada dua buah benda seperti balon di atas kepalanya. Tiba-tiba Huang Rong memahami apa yang terjadi. “Gawat!” serunya.

Ternyata ketika Ouyang Feng terdampar di Puncak Kayu Gundul itu, meskipun kungfunya hebat, ia tahu bahwa ia tidak bakal bisa meluncur ke bawah dari puncak setinggi ribuan zhang ini. Setelah bertahan beberapa hari dalam kelaparan dan kedinginan ia mendadak terinspirasi. Ia melepaskan semua pakaiannya, termasuk semua pakaian dalamnya, dan dengan kuat mengikat celananya menjadi beberapa simpul. Karena kuatir celananya mungkin tidak cukup, ia mengambil jubahnya dan mengikatnya ke celananya, kemudian mengikatkan semuanya ke pinggangnya. Sambil menggertakkan gigi ia melompat turun dari puncak gunung.

Itu sebuah upaya yang penuh resiko, tapi ia dalam keadaan terdesak, ia tak punya alternatif lain. Sekali ia melompat dari puncak itu, sepasang celananya menggelembung dan memperlemah lajunya ke bawah. Ia telanjang, kedua tangannya nyaris membeku. Ia memerangi hawa dingin dan angin dengan cara mengedarkan tenaga dalamnya yang kuat ke seluruh tubuh.

Huang Rong merasa geli dan sekaligus kesal. Untuk sementara ia tidak tahu bagaimana harus menangani perkembangan masalah ini.

Pada saat itu kedua pasukan di dalam dan di luar tembok kota telah melihat pemandangan itu. Puluhan ribu pasang mata melihat manusia terbang ini di udara. Beberapa prajurit berpangkat rendah mengira itu adalah seorang dewa yang turun ke bumi, mereka semua berlutut di atas tanah untuk menyembahnya.

Guo Jing melihat arah jatuh Ouyang Feng, tampaknya ia akan mendarat di dalam tembok kota. Ia menunggu sampai jarak Ouyang Feng tinggal puluhan zhang, kemudian ia mengambil sebuah busur dan anak panah untuk menembak tubuh Ouyang Feng. Ia mengira ketika sedang di udara Ouyang Feng tidak akan bisa menangkisnya. Tetapi bagaimanapun juga ia masih ingat akan kesepakatannya untuk mengampuni Ouyang Feng tiga kali, maka ia mengincar titik yang tidak fatal, lutut Ouyang Feng.

Sementara di udara, trenyata Ouyang Feng membuka matanya lebar-lebar, melihat ke semua penjuru. Ia melihat anak panah datang ke arahnya, ia menekuk pinggangnya, menyapu dengan kakinya dan memukul jatuh panah-panah Guo Jing satu per satu.

Meskipun berbeda pasukan, tetapi Genghis Khan juga menyadari kesepakatan antara Guo Jing dengan Ouyang Feng. Ia memerintahkan pasukannya untuk menembakkan panah. Dengan segera puluhan ribu anak panah meluncur seperti gerombolan jangkrik terbang ke arah Ouyang Feng.

Kalaupun punya seribu tangan dan sepuluh ribu kaki, mustahil bagi Ouyang Feng untuk memukul jatuh semua anak panah itu. Ia telanjang, dan karena sedang di udara gerakannya sangat terbatas. Rasanya sebentar lagi ia akan tampak seperti landak. Dalam situasi mengerikan itu Ouyang Feng melepaskan tangannya, ia terjun bebas dengan kepala di bawah. Ratusan ribu orang berteriak dalam satu suara, suara yang timbul beyul-betul menggetarkan bumi.

Secara menakjubkan Ouyang Feng melenturkan pinggangnya di tengah udara dan melemparkan diri ke arah sebuah bendera di dalam kota. Pada saat itu angin Barat Laut sedang bertiup kencang, bendera itu berkibar lurus dari barat ke timur. Ouyang Feng mengulurkan tangan kirinya dan menangkap salah satu sudut bendera, merobeknya menjadi dua. Meminjam tenaga dari bendera itu, Ouyang Feng bersalto, melontarkan kakinya ke arah tiang bendera. Memeluk tiang bendera ia meluncur turun dan menghilang di dalam tembok kota.

Kedua pasukan menyaksikan tontonan menakjubkan itu, mereka saling berbicara tentang hal ini, untuk sementara mereka lupa bahwa mereka sedang berperang.

“Ini tidak bisa dihitung sebagai ‘mengampunimu’,” pikir Guo Jing. “Bagaimana aku masih bisa mengampuninya lain kali, Rong;er pasti akan marah.” Tak terduga ketika ia memalingkan mukanya ia melihat mata Huang Rong sedang bersinar kegirangan dan mukanya tersenyum. Buru-buru ia bertanya, “Rong’er, ada apa? Kenapa kau begitu senang?”

Huang Rong bertepuk tangan dan tertawa. “Aku mempersembahkan seuah hadiah besar untukmu, entah kau menyukainya atau tidak?”

“Hadiah apa?” tanya Guo Jing.

“Kota Samarkand,” jawab Huang Rong.

Guo Jing terdiam.

“Racun Tua mengajari aku bagaimana cara menjebol benteng pertahanan kota itu,” kara Huang Rong. “Cepat siapkan pasukanmu. Malam ini kau akan mempersembahkan jasa besar.” Kemudian ia berbisik ke telinga Guo Jing, menjelaskan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Begitu memahaminya, Guo Jing begitu kegirangan sampai ia bersorak dan bertepuk tangan berkali-kali.

Siang itu Guo Jing mengeluarkan perintah rahasia, menugaskan pasukannya untuk membongkar tenda mereka dan memotong bahannya menjadi payung bundar, kemudian mengikat tali kulit ke payung itu. Ia menginginkan sepuluh ribu payung dijahit dan siap dalam waktu satu jam.

Semua petugas dan prajurit itu terheran-heran. Mereka berpikir tanpa tenda di tengah cuaca dingin ini, malam hari akan tak tertahankan. Tetapi wakil komandan yang bertugas telah mengeluarkan perintah, mereka tak punya alternatif lain kecuali mematuhinya.

Guo Jing juga memerintahkan pasukannya untuk mengumpulkan anak sapi dan domba di bawah puncak bersalju itu. Lebih jauh lagi ia menugaskan unit sepuluh ribu orang untuk siaga di luar pintu gerbang utara dalam empat barisan perang: Tian Fu, Di Zai, Feng Yang dan Yun Chui, siap untuk menyerang. Kemudian ia menempatkan unit sepuluh ribu orang lainnya di kedua sisi lain pintu gerbang utara dalam empat formasi: Long Fei, Hu Yi, Niao Xiang dan She Pan. Tugas utama mereka adalah untuk menggiring musuh ke dalam jebakan unit pertama. Unit sepuluh ribu orang yang ketiga dipersiapkan di samping untuk dikirim kemudian.

Sore itu pasukan Guo Jing makan sampai puas, lalu dua unit sepuluh ribu orang bergerak ke posisi mereka masing-masing di pintu gerbang utara. Sekitar akhir jam ke sebelas, awal jam ke dua belas, Guo Jing salah seorang pengawalnya untuk melapor kepada Genghis Khan, memintanya untuk mengirim pasukan untuk mengepung kota, karena pintu gerbang itu akan didobrak. Genghis Khan terkejut, ia sangat ragu. Ia memberitahu pengawal untuk pergi memanggil Guo Jing ke Tenda Emasnya. Pengawal itu menjawab, “Saat ini juga Pangeran Golok Emas telah memimpin pasukannya untuk melancarkan serangan. Beliau menunggu Khan Agung untuk membantunya.”

Tepat pada saat itu suara terompet berbunyi dari arah pasukan Guo Jing. Sekitar seribu prajurit mulai menyembelih anak sapi dan domba, membangun tangga kaki domba di dinding puncak. Para anggota Kai Pang dengan kungfu mereka yang tinggi naik turun untuk mengulurkan tangan. Dengan sangat cepat lusinan tangga kaki domba telah terbangun.

Guo Jing menyerukan perintahnya, dan ia adalah orang pertama yang mendaki ke puncak. Sepuluh ribu petugas dan prajurit mengikutinya dengan tali panjang terikat di pinggang, perlahan-lahan mereka menaiki tangga itu. Mereka semua bekerja di bawah perintah ketat yang diberikan sebelumnya, yaitu supaya beroperasi tanpa suara.

Di kegelapan malam puluhan deret panjang prajurit merangkak dan berputar seperti naga yang merayap ke puncak itu.

Puncak itu sebenarnya tidak terlalu lebar, maka mustahil untuk menampung spuluh ribu orang sekaligus. Begitu ia berhasil mengumpulkan cukup banyak orang, Guo Jing memimpin para prajurit untuk mengikatkan payung ke pinggang mereka, kemudian dengan senjata terhunus di tangan mereka siap melompat ke dalam kota. Sasaran mereka adalah pintu gerbang selatan.

Dengan sebuah tepukan tangan Guo Jing adalah orang pertama yang melompat turun, diikuti oleh beberapa ratus murid Kai Pang.

Sebenarnya lompatan dari atas puncak itu sangat berbahaya, tetapi para prajurit Mongolia sangat berani. Sebelumnya pada hari itu mereka telah melihat Ouyang Feng melompat dari puncak dengan sepasang celana sebagai parasut. Mereka yakin payung mereka jauh lebih aman ketimbang celana. Terlebih lagi, komandan mereka telah memberi contoh, karenanya satu per satu mereka melompat turun dengan berani. Dengan segera langit dipenuhi ribuan parasut yang mengembang, membawa para petugas dan prajurit itu turun.

Huang Rong duduk di atas es balok di puncak. Ia melihat tahap pertama rencana mereka telah diselesaikan dengan sukses. Ia tak bisa menahan kegirangannya. “Genghis Khan bisa menjebol pertahanan kota atau tidak, itu bukan urusanku. Tapi kalau Jing Gege mendengarkan apa yang kukatakan, dia bisa meraih kesempatan untuk melakukan hal besar.”

Begitu kakinya mendarat di tanah Guo Jing merobek parasut dari pinggangnya, mengacungkan golok besarnya ia dengan ganas menyapu pasukan pertahanan. Pada saat itu ada beberapa pasukan yang sedang bertugas jaga malam. Mereka melihat ribuan pasukan musuh turun dari langit, mereka takjub dan takut, mereka kehilangan minat untuk bertempur. Terlebih lagi, semua orang yang pertama kali mendarat adalah para murid Kai Pang, masing-masing orang adalah ahli silat. Dalam waktu singkat mereka mendekat ke pintu gerbang kota.

Setelah itu pasukan Mongolia mendarat dengan sukses. Meskipun ada beberapa prajurit yang tewas karena parasutnya tidak mengembang, tetapi sembilan dari sepuluh orang berhasil mendarat dengan selamat. Beberapa di antaranya tertiup angin dan mendarat di luar gerbang kota. Beberapa orang mendarat terpisah dari unit mereka, prajurit-prajurit ini akhirnya tertangkap atau tewas di tangan musuh. Tetapi yang mendarat dengan sukses berjumlah antara seribu sampai dua ribu orang. Guo Jing memerintahkan setengahnya untuk menggempur musuh, sementara setengah lainnya bergerak ke pintu gerbang kota.

Genghis Khan melihat pasukan Guo Jing terbang memasuki kota, ia takjub dan terkejut karena senang. Ia memerintahkan ketiga unit lain dari pasukannya untuk menyerang secara serempak. Mereka melihat pintu selatan terbuka lebar. Beberapa ratus prajurit Mongolia dengan tombak di tangan pengawal gerbang itu, membiarkan beberapa ribu rekan mereka memasuki kota. Dan kemudian mereka segera menggabungkan diri dengan pasukan Guo Jing, menghancurkan musuh.

Ratusan ribu pasukan yang mempertahankan kota panik, mereka tidak tahu dari mana datangnya musuh. Orang-orang Mongolia membunuh dan mengguyur minyak di mana-mana, membakar kota itu. Neraka itu mencapai langit, pasukan Khwarezmia kacau balau.

Menjelang fajar, pertahanan kota tercerai-berai. Raja Khwarezmia, Muhammad, menerima laporan bahwa tidak ada musuh di pintu gerbang utara, maka ia bergegas menuju gerbang utara untuk melarikan diri. Di luar dugaannya, sepuluh ribu prajurit Guo Jing telah menantinya di kedua sisi pintu gerbang utara. Panah dan tombak bergerak dan membunuh sejumlah besar orang.

Muhammad tidak ingin memperpanjang pertempuran. Ia memerintahkan Wanyan Honglie untuk memimpin pasukan pertahanan, sementara ia membawa para pengawal pribadinya untuk berusaha menyelamatkan nyawanya sendiri.

Tujuan Guo Jing satu-satunya adalah menemukan Wanyan Honglie. Melihat helmnya berkilau di tengah kekacauan perang, Guo Jing memerintahkan pasukannya untuk memburunya. Pasukan Khwarezmia tahu bahwa mereka telah kalah, tapi jumlah mereka lebih besar. Mereka bertempur mati-matian, nyaris di titik mengabaikan keselamatan sendiri. Pasukan Guo Jing lebh kecil, pergerakan mereka terbatas. Dari depan datang seekor kuda cepat melaporkan bahwa pasukan musuh dengan segera akan menerobos masuk.

Guo Jing ingat sebuah ajaran dari buku strategi militer, “Jangan makan umpan musuh, jangan menghentikan pasukan yang sedang mundur. Pasukan yang terkepung belum tentu lemah, musuh yang kelelahan tidak boleh dikejar terlalu jauh.” Ia mengeluarkan perintah untuk segera mengubah taktik. Panji-panji isyaratnya terbuka, empat barisan: Tian Fu, Di Zai, Feng Yang dan Yun Chui, menyebar untuk mengepung musuh. Pada saat itu pasukan musuh yang tersisa di istana adalah sekitar sepuluh ribu orang. Meskipun semuanya adalah pejuang tangguh, tetapi mereka menyadari kekalahan dan telah kehilangan semangat bertempur. Mereka dengan mudah ditangkap oleh pasukan Guo Jing.

Guo Jing mengamati para tawanan itu, tetapi tidak melihat Wanyan Honglie di antara mereka. Meskipun ia telah mencapai kemenangan, tetapi hatinya tidak puas.

Pada saat fajar pertahanan kota itu telah hancur total. Genghis Khan menggelar rapat umum di dalam istana Muhammad. Guo Jing sedang mengurus pasukannya, menangani para korban dan menghibur yang terluka, ketika mendengar bunyi terompet emas Khan Agung. Ia bergegas menuju ke istana.

Di dekat pintu gerbang istana ia melihat sekelompok kecil prajurit. Juang Rong, Lu Youjiao dan para penatua lainnya sedang berdiri di antara mereka. Huang Rong menepuk tangannya dan dua orang prajurit melangkah maju sambil membawa sebuah karung goni. Ia tersenyum dan berkata, “Hei, kau bisa menebak apa isi karung ini?”

Guo Jing tertawa. “Kota ini punya banyak barang aneh dan luar biasa, mana aku tahu?” katanya.

“Yang ini hadiah untukmu, aku yakin kau akan menyukainya,” kata Huang Rong.

Tiba-tiba Guo Jing teringat. Mungkinkah ia menemukan seorang perempuan cantik di kota itu dan memberikannya kepada dirinya untuk? Ia cepat-cepat meggelengkan kepalanya dan berkata, “Aku tidak menginginkannya,” katanya.

Huang Rong tertawa. “Kau yakin?” tanyanya. “Kau masih bisa berubah pikiran setelah melihatnya.”

Dengan segera ia mengguncangkan karung itu dan memang benar ada seseorang menggelinding keluar dari situ. Rambutnya acak-acakan, mukanya penuh darah. Ia memakai seragam pasukan Khwarezmia. Guo Jing melihat mukanya dengan teliti, dan ia takjub. Ia mengenalinya sebagai Pangeran Zhao dari Kekaisaran Jin, Wanyan Honglie. Guo Jing kegirangan. “Luar biasa! Di mana kau menangkapnya?” tanyanya.

Huang Rong berkata, “Aku melihat para prajurit yang kalah dan tercerai-berai sedang melarkan diri ke arah pintu utara. Sekelompok prajurit yang membawa panji-panji Pangeran Zhao sedang menuju ke timur dipimpin oleh seseorang yang memakai helm emas. Kupikir si keparat Wanyan Honglie ini lebih licik dari itu, tidak mungkin dia terang-terangan memamerkan panji-panji Pangeran Zhao di saat kalah. Kukira kalau panji-panji ini menuju ke timur, maka ia pasti ada di barat, jadi aku membawa Lu Zhanglao dan yang lain untuk menyiapkan perangkap di barat. Kami ternyata benar-benar berhasil menangkap keparat ini dengan segera.”

Guo Jing membungkuk kepadanya, ia berkata, “Rong’er, kau membalaskan dendam ayahku. Aku sungguh tidak tahu bagaimana harus mengucapkan berterima kasih.”

Huang Rong memonyongkan bibirnya dan tersenyum. “Itu sih hanya kebetulan. Kau sudah berjasa besar, Khan Agung pasti akan memberimu hadiah besar. Itu bagus, kan?” katanya.

“Aku tidak menginginkan apa-apa,” kata Guo Jing.

Huang Rong melangkah ke samping dan berbisik. “Ke sini.” Guo Jing mengikutinya. “Kau benar-benar tidak menginginkan apa-apa di dunia ini?” tanya Huang Rong.

Guo Jing terkejut. “Yang kuinginkan hanya tidak berpiisah denganmu lagi,” katanya dengan sungguh-sungguh.

Huang Rong tersenyum. “Hari ini kau membuat prestasi besar. Apapun yang kau minta, aku yakin Khan Agung tidak akan marah kepadamu.”

“Hmm,” gumam Guo Jing, ia masih tidak mengerti. Huang Rong melanjutkan, “Saat ini kalau kau memintanya untuk mengangkatmu menjadi pejabat tinggi, dia pasti tidak akan menolaknya. Kalau kau minta supaya jangan mengangkatmu, dia juga akan sulit menolak. Yang penting adalah, kau harus membuatnya berjanji di depan. Apapun yang kau minta, dia akan mengabulkannya.”

“Betul!” kata Guo Jing.

Mendengarnya menjawab singkat “Betul!” tanpa mengatakan apapun lainnya, Huang Rong menggelengkan kepala. Ia marah. “Kelihatannya menjadi Pangeran Golok Emas adalah hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidupmu ya?”

Ucapannya membuat Guo Jing mengerti, ia berkata, “Hmm, aku mengerti. Kau ingin supaya aku meminta Khan Agung membatalkan perkawinanku, tapi aku harus lebih dulu membuatnya berjanji bahwa dia tidak akan menolak apapun yang kuminta.”

Huang Rong terluka. “Itu semua tergantung kepadamu. Kau mungkin saja memang ingin menjadi Pangeran Menantu!”

“Rong’er,” kata Guo Jing. “Huazheng Meizi memperlakukanku dengan tulus, tapi cintaku kepadanya adalah cinta seorang kakak. Mula-mula kupikir aku harus mematuhi kesepakatan yang kubuat, karena aku tidak menolak perjodohan itu lama sebelumnya. Tapi kalau Khan Agung bersedia membatalkan kesepakatan itu, maka hal itu pasti akan memuaskan semua pihak yang terlibat.”

Huang Rong sangat bahagia, ia meliriknya dengan senyum paling manis tersungging di wajahnya. Guo Jing ingin tetap tinggal dan mengobrol dengannya lebih lama, tetapi terompet telah berbunyi kedua kalinya dari istana. Ia meletakkan tangannya di atas tangan Huang Rong sambil berkata, “Rong’er, tunggu kabar baik dari aku di sini.” Ia menyeret Wanyan Honglie ke dalam istana untuk menemui Khan Agung.

Genghis Khan sangat gembira melihat Guo Jing datang, ia meninggalkan singgasananya untuk menyapa Guo Jing, dan kemudian menggandeng tangannya untuk memasuki gedung bersama-sama. Ia memerintahkan Guo Jing supaya mengambil sebuah bangku yang dilapisi sulaman dan menyuruh Guo Jing duduk di sisinya. Mendengar laporan Guo Jing tentang tertangkapnya Wanyan Honglie, kegembiraannya bertambah. Melihat Wanyan Honglie berlutut di hadapannya, Genghis Khan mengangkat kaki kanannya untuk menginjak kepala Wanyan Honglie. Sambil tersenyum lebar ia berkata, “Hari itu kau datang ke Mongolia memamerkan kekuatan militer dan prestasimu, pernahkah kau berpikir bahwa akan datang hari seperti ini?”

Wanyan Honglie tahu ajalnya sudah sangat dekat, ia mengangkat kepalanya dengan berani dan berkata, “Saat itu negaraku Jin Agung kaya raya dan kuat. Aku sangat menyesali kenyataan bahwa kami tidak memadamkan Mongolia kecilmu itu lebih awal, alih-alih hidup sampai hari ini.”

Genghis Khan tertawa terbahak-bahak, memerintahkan pengawalnya untuk membawa Wanyan Honglie keluar dan memenggalnya di depan istana. Guo Jing ingat kematian ayahnya akhirnya terbalas. Hatinya bahagia dan sekaligus sedih.

Genghis Khan berkata, “Aku telah berjanji bahwa siapapun yang menjebol pertahanan kota dan menangkap Wanyan Honglie, aku akan memberinya para wanita dan anak-anak di kota ini, dengan semua emas dan sutra. Terimalah hadiahmu.”

Guo Jing enggelengkan kepalanya. “Ibuku dan aku sudah menikmati kebaikan hati Khan Agung. Kami tidak kekurangan makanan dan pakaian. Aku tidak membutuhkan budak atau emas dan sutra.”

“Bagus,” kata Genghis Khan. “Itulah kualitas dari seorang pahlawan sejati. Lalu apa yang kau inginkan? Kau hanya perlu mengatakannya, aku tidak akan menolak apapun.”

Guo Jing meninggalkan kursinya dan membungkuk di hadapan Khan. “Aku memang punya sebuah permohonan. Khan Agung, mohon jangan marah,” katanya.

Genghis Khan tertawa. “Katakan saja,” katanya.

Guo Jing hendak mengatakan tentang perjodohan ketika tiba-tiba ia mendengar jeritan yang menyayat hati dan mengguncangkan bumi dari ribuan rakyat di kejauhan. Para jendral yang sedang berkumpul itu melompat dari kursi mereka, menghunus senjata. Mereka mengira para prajurit Khwarezmia yang menyerah dan rakyat tiba-tiba memberontak.Mereka bersiap untuk lari keluar dan mengatasinya. Genghis Khan tertawa. “Tidak ada apa-apa! Tidak ada apa-apa!” katanya. “Kota anjing ini menolak untuk tunduk pada kekuatan Surga, membunuh banyak prajurit dan pejabatku, bahkan membunuh cucuku. Harus dibersihkan dengan menyembelih mereka. Mari kita pergi untuk melihatnya.” Ia segera meninggalkan tempat duduknya diikuti para jendral.

Mereka meninggalkan istana menunggang kuda, menuju ke bagian barat kota. Semakin mereka mendekat ke tempat tujuan, semakin menyayat hati jeritan yang terdengar. Di luar pintu gerbang kota mereka melihat ratusan ribu rakyat berlarian sambil meratap keras-keras, salin dorong dan bergulingan dan menjatuhkan diri dengan panik, dikejar-kejar oleh para prajurit Mongolia di atas kuda, yang membunuh orang-orang itu menggunakan golok panjang.

Sebelumnya para prajurit Mongolia memerintahkan seluruh penduduk untuk keluar dari kota, tak seorang pun ketinggalan. Awalnya rakyat mengira orang-orang Mongolia akan melacak mata-mata di tengah-tengah mereka. Di luar dugaan setelah mencari-cari persenjataan, mereka juga mencari segala macam barang berharga. Kemudian mereka membawa wanita-wanita muda yang cantik, menikah ataupun tidak, mengikat mereka semua dengan tali panjang. Penduduk Samarkand sekarang menyadari bahwa mereka sedang menghadapi malapetaka besar. Beberapa orang berusaha melakukan perlawanan, tapi mereka segera tewas oleh golok panjang. Akhirnya beberapa ribu prajurit Mongolia dengan pekikan perang keras menyerbu rakyat itu, dan melanjutkan pesta pembunuhan itu dengan golok panjang mereka. Laki-laki dan perempuan, tua dan muda, mereka secara acak dipenggal. Pembantaian ini sungguh dilakukan dengan kebrutalan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dari orang-orang tua berambut putih dan kelabu, sampai bayi-bayi di pelukan ibunya, tidak ada yang beruntung bisa lolos.

Ketika Genghis Khan dan rombongannya tiba di situ untuk menyaksikan, lebih dari sepuluh ribu penduduk telah menjadi korban kebrutalan para prajurit. Daging dan darah berceceran di segala penjuru. Tapal besi kuda-kuda Mongolia menginjak-injak mayat di mana-mana, mondar-mandir di antara rakyat jelata dan membunuh lebih banyak orang.

Genghis Khan tertawa terbahak-bahak dan berteriak, “Bagus! Bagus! Biar mereka tahu kekejamanku.”

Setelah menyaksikan adegan tersebut beberapa saat, Guo Jing tidak bisa menahan kesabarannya lagi, ia bergegas maju ke depan kuda Genghis Khan dan berkata, “Khan Agung, mohon ampuni mereka.”

Genghis Khan melambaikan tangannya, berteriak lantang, “Bunuh mereka semua, jangan sisakan seorang pun!”

Guo Jing tidak berani mengatakan apa-apa, tapi kemudian ia melihat seorang bocah berumur kira-kira tujuh-delapan tahun, menyelinap keluar dari kerumunan dan menjatuhkan diri di tubuh seorang wanita yang baru saja dijatuhkan oleh seekor kuda sambil berseru, “Mama!” Seorang prajurit Mongolia bergegas datang dan mengayunkan golok panjangnya, ibu dan anak itu terpotong menjadi empat bagian. Tangan anak itu masih mencengkeram ibunya erat-erat.

Darah Guo Jing mendidih. Ia melupakan segalanya dan berseru, “Khan Agung, kau bilang bahwa semua wanita dan anak-anak di kota ini, berikut semua emas dan sutra adalah milikku. Kenapa kau memberi perintah untuk membantai mereka?”

Genghis Khan terkejut, ia tersenyum. “Kau bilang kau tidak menginginkannya.”

“Kau bilang bahwa apapun yang kuminta, kau tidak akan menolaknya, bukan begitu?” tanya Guo Jing.

Genghis Khan mengangguk, masih tersenyum.

Dengan suara lantang Guo Jing berkata, “Ucapan Khan Agung adalah seperti gunung. Aku memintamu untuk mengampuni puluhan ribu nyawa ini.”

Genghis Khan tercengang, dalam mimpi pun ia tidak menduga bahwa Guo Jing akan memintanya melakukan hal ini. Tetapi ia sudah berjanji, bagaimana ia bisa menolaknya? Ia sangat marah, matanya menatap Guo Jing berapi-api. Tangannya mencengkeram gagang goloknya, ia membentak, “Nak, kau sungguh-sungguh menginginkan ini?”

Semua pangeran dan jendral ketakutan melihat Genghis Khan semarah itu. Genghis Khan dikelilingi oleh para pejuang pemberani, masing-masing telah berperang entah berapa kali, tak seorang pun lemah, mereka menghadapi kematian tepat di depan mata, tapi ketika menghadapi kemarahan Genghis Khan mereka mau tak mau gemetar.

Guo Jing belum pernah melihat Genghis Khan menatapnya seperti ini, ia juga merasa sangat ngeri. Tubuhnya gemetaran tanpa henti, tetapi ia berkata, “Aku meminta Khan Agung untuk mengampuni nyawa orang-orang ini.”

Dengan geraman bernada rendah Genghis Khan bertanya, “Kau tidak akan menyesali hal ini?”

Guo Jing teringat bahwa Huang Rong menyuruhnya meminta pembatalan pernikahannya, sekarang ia membiarkan kesempatan itu lepas dari tangannya. Ia kehilangan berkat dari Genghis Khan untuk selamanya, yang mana ia tidak keberatan, tetapi ia sungguh sadar hubungannya dengan Huang Rong baru saja terlempar ke tempat sampah. Ia melihat dan mendengar ratusan ribu rakyat jelata ini meratap memelas hati, bagaimana ia bisa melihat orang menderita dan berpangku tangan? Maka dari itu, dengan berani ia berkata, “Aku tidak akan menyesal.”

Genghis Khan mendengar suaranya gemetar, ia tahu Guo Jing ketakutan setengah mati, tapi ia tetap dengan berani mengajukan permohonan. Ia terpaksa mengagumi keberanian Guo Jing. Menghunus golok panjangnya ia berseru, “Tarik mundur pasukan!”

Para pengawalnya meniup terompet. Puluhan ribu kavaleri Mongolia dengan darah di sekujur tubuh mereka mengekang kuda mereka dan berbaris rapi.

Sejak Temujin menjadi Genghis Khan, tak pernah seorang pun berani membantah perintahnya. Kali ini Guo Jing dengan berani menghambat perintahnya untuk membantai kota. Ia benar-benar marah. Dengan teriakan lantang ia melemparkan golok panjangnya ke tanah, kemudian ia memacu kudanya kembali ke kota.

Para jendral lainnya menatap marah ke arah Guo Jing. Sekarang setelah Genghis Khan marah, mana ada yang tahu siapa yang akan cukup sial untuk menjadi sasaran kemarahannya. Mereka juga tidak puas, karena sejak pertahanan Samarkand jebol, mereka berharap untuk merampas dan membunuh sepuasnya sampai beberapa hari, tetapi sekarang harapan mereka pupus.

Guo Jing tahu rasa tidak senang yang lain, tetapi ia mengabaikannya, ia menunggangi kuda merahnya perlahan-lahan menuju ke sebuah tempat terpensil. Sejak awal peperangan itu ribuan rumah telah terbakar habis, mayat bergelimpangan di mana-mana, salju yang menutupi tanah berwarna merah darah. Ia berpikir, “Perang membawa kehancuran, sampai seburuk saat ini. Supaya bisa membalas dendam ayahku, aku harus memimpin pasukan untuk membunuh orang sebanyak ini. Supaya bisa memerintah dunia, Khan Agung membunuh lebih banyak orang lagi. Tetapi bagi para prajurit, pejabat, dan juga rakyat jelata, apa yang mereka lakukan sehingga layak dibunuh secara kejam, tulang-belulang mereka terlantar di alam liar?”

Makin dipikir, ia makin gelisah. “Aku menghancurkan sebuah kota untuk membalas dendam ayahku, sungguh-sungguh membunuh orang sebanyak ini. Pada akhirnya, apakah semua ini pantas dilakukan?” Ia mengelilingi alam liar tanpa arah di punggung kudanya, mondar-mandir sementara berpikir keras dan dalam. Sudah gelap ketika ia memutuskan untuk kembali ke perkemahan.

Ketika tiba di gerbang perkemahan, ia melihat dua orang pengawal pribadi Khan Agung sedang menunggunya di luar. Mereka melangkah maju dan membungkuk hormat, melapor, “Khan Agung memanggil Pangeran. Xiaoren sudah lama menunggu, meminta Pangeran untuk segera pergi.”8

Guo Jing berpikir, “Hari ini aku menantang perintahnya, Khan Agung bisa jadi ingin memenggal kepalaku. Sudah terlanjur seperti ini, aku tinggal menunggu apa yang akan terjadi.” Memberi isyarat kepada pengawalnya sendiri, ia berbisik ke telinganya, memerintahkan untuk mengatakan kepada Lu Youjiao bahwa ia pergi ke istana. Ia cemas, tapi ia sudah bertekad, “Tak peduli semarah apapun dia, aku tidak akan menarik permohonanku untuk mengampuni orang-orang itu. Dia adalah seorang Khan Agung, dia tidak bisa mengingkari kata-katanya sendiri.”

Hatinya dipenuhi gambaran bahwa Khan Agung akan mengumbar amarahnya, tapi di luar dugaan ketika ia mendekati pintu gerbang istana ia ternyata suara Khan Agung tertawa gembira terdengar dari dalam istana. Guo Jing mau tak mau agak terkejut. Ia mempercepat langkahnya memasuki gedung utama.

Ia melihat di sebelah Khan Agung duduk seorang laki-laki, dan di dekat kakinya duduk seorang gadis muda sedang bersandar di lututnya. Laki-laki itu berwajah kaemerahan dengan rambut putih, ia tak lain dan tak bukan adalah Changchun Zi, Qiu Chuji. Dan siapa lagi nona muda itu kalau bukan Putri Huazheng.

Guo Jing sangat senang, ia bergegas menemui mereka. Tiba-tiba Genghis Khan merebut sebuah tombak panjang dari tangan pengawalnya, bepaling dan menyerang kepala Guo Jing dengan ganas dengan tombak itu.

Guo Jing terkejut, ia memiringkan tubuhnya ke samping untuk mengelak. ‘Krekk!’ gagang tombak menghantam bahu kirinya dan patah menjadi dua. Genghis Khan meledak dalam tawa. “Nak, yang sudah berlalu biarkan berlalu. Kalau bukan memandang muka Qiu Daozhang dan anakku, aku pasti sudah memenggal kepalamu hari ini.”

Putri Huazheng bangkit berdiri. “Ayah, kau pasti sudah menganiaya kakak Guo Jing-ku sementara aku tidak ada di sini.”

Genghis Khan membuang tombak yang patah itu ke lantai. Ia tertawa. “Siapa bilang begitu?”

“Aku melihatnya dengan mataku sendiri, kenapa kau menyangkalnya?” kata Huazheng. “Itu sebabnya hatiku gelisah, aku datang kemari bersama dengan Qiu Daozhang untuk melihat.”

Genghis Khan tertawa, ia menarik tangan pputrinya dengan satu tangan, dan Guo Jing dengan tangan yang lain, ia berkata, “Jangan cekcok, duduk manis, kita dengarkan Qiu Daozhang membaca puisi.”

Dalam pertarungan di Yan Yu Lou9, Qiu Chuji melihat dengan matanya sendiri bahwa Zhou Botong masih hidup dan dalam keadaan sehat walafiat, Ia sadar bahwa Tan Chuduan dibunuh oleh Ouyang Feng, dan bukan Huang Yaoshi. Bersama-sama dengan Ma Yu dan yang lain mereka minta maaf kepada Huang Yaoshi. Setelak itu Keenam Pendekar Quanzhen berpapasan dengan Ke Zhen’E yang menceritakan semua yang trejadi, mereka semua menghela nafas dalam-dalam. Penyesalan Qiu Chuji sangat mendalam, ia merasa kurang berhati-hati dengan miridnya, ia mengajarkan ilmu silat kepada Yang Kang, tetapi tidak membawanya keluar dari istana. Anak muda itu telah dimanjakan dalam kekayaan dan kehormatan, dan sekarang hidupnya berakhir dengan tragis.

Suatu hari ia menerima surat dari Genghis Khan dan Guo Jing. Ia berpikir bahwa sekarang Mongolia telah menjadi lebih kuat dan bisa jadi akan menelan Kekaisaran Song. Adalah tidak biasa Genghis Khan mengundang seseorang untuk mengunjunginya. Ia berpikir bahwa ia akan bisa menggunakan kesempatan ini untuk memberi nasihat kepada Genghis Khan, berusaha untuk membuka hatinya bagi kebenaran, supaya seandainya ia dapat mencegah pembantaian sejumlah tak terbatas manusia di seluruh dunia, ini akan menjadi sumbangan terbesarnya bagi umat manusia. Dan juga, ia sangat merindukan Guo Jing, karenanya dengan melawan cuaca dingin ia membawa serta lebih dari selusin muridnya untuk pergi ke arah Barat.

Qiu Chuji melihat Guo Jing telah ditempa angin dan salju, kulitnya sekarang lebih gelap, tetapi tubuhnya sungguh terlihat lebih sehat dan kuat. Qiu Chuji sangat gembira. Sebelum Guo JIng datang ia telah mendiskusikan apa yang dilihatnya dengan Khan Agung. Ia berkata bahwa ia telah mengalami kedahsyatan cuaca, karena itu ia telah menyusun beberapa baris puisi. Sambil mengelus janggutnya ia mulai membaca: “Selama sepuluh tahun rakyat telah menderita akibat perang, di tengah jutaan bahkan satu-dua nyawa pun tidak lolos. Tahun kemarin telah bertemu kebaikan nasib menerima perintah kerajaan yang welas asih, musim semi ini menghadapi cuaca dingin menempuh perjalanan. Menantang tiga ribu li pegunungan Utara, menjelajah dua ratus propinsi di perbukitan Timur. Kelelahan dan cemas, terengah-engah mempertahankan hidup, digerogoti penderitaan rakyat.”

Seorang pejabat yang memahami literatur bangsa Han memanggil Yelu Chucai untuk menerjemahkan puisi itu ke dalam bahasa Mongolia. Genghis Khan mendengarkan. Ia menganggukkan kepalanya tetapi tidak mengatakan apa-apa.

Kepada Guo Jing Qiu Chuji berkata, “Tahun itu ketika aku dan ketujuh orang gurumu mengadu ilmu silat di Kedai Dewa Mabuk, gurumu yang kedua mmengambil puisi yang baru setengah jadi dari sakuku. Kali ini aku berjalan ke Barat tanpa bisa melihat ketujuh orang gurumu lagi, tapi akhirnya aku berhasil menyelesaikan puisi itu.” Ia mulai membacanya. “Sejak jaman dahulu kala, bulan Zhongqiu adalah yang paling terang. Hembusan angin sejuk di malam hari begitu jelas. Hari ketika meteor jatuh lebih terang daripada jagat raya, Sang Naga dari Empat Samudera melompat dari dalam air.” Ia berhenti sejenak, dan mengomentari bacaan itu, “Keempat baris itu adalah yang dibaca oleh gurumu yang kedua. Aku baru saja menyelesaikan empat baris berikutnya, dia belum pernah melihatnya.” Ia malanjutkan bacaannya, “Nyanyian dari menara Kerajaan Wu dan Yue terdengar luas, barak militer Kerajaan Qin dipenuhi nyanyian, makan dan minuman. Aku tiba di hadapan Kaisar dari sebelah Utara Sungai, berhasrat menghentikan tikaman tombak, berharap menikmati kedamaian dan rasa aman.”

Terinat akan Tujuh Orang Aneh dari Jiangnan, Gou Jing berlinang air mata.

Genghis Khan berkata, “Dalam perjalanan ke Barat, Daozhang pasti sudah melihat kekuatan militerku. Apakah puisimu itu bercerita tentang hal ini?”

Qiu Chuji menjawab, “Di sepanjang jalan aku telah melihat kekuatan Khan Agung dalam menghancurkan kota-kota dan mengobrak-abrik bumi. Hal itu menimbulkan kesan mendalam di hatiku, memberiku inspirasi untuk menulis dua bait puisi. Yang pertama adalah, ‘Surga telah mengirim seorang pembawa pesan ke bumi, mengapa tidak berusaha menyelamatkan jutaan jiwa yang menderita? Jutaan jiwa itu siang dan malam dirajang sampai mati, menelan amarahnya, menelan ratapan mereka tanpa bersuara. Mereka memandang langit dan menjerit ke Surga, tetapi Surga tidak menjawab. Ini hanya masalah sepele yang tak layak diperhatikan Surga. Kedamaian di antara ribuan kekacauan, tanpa agama membangun jiwa-jiwa yang berbudi.‘”

Yelu Chucai berpikir bahwa Genghis Kha tidak akan senang mendengar kalimat puisi itu, maka ia ragu-ragu dan tidak menerjemahkan dengan segera. Qiu Chuji mengabaikan dia, ia melanjutkan, “Puisiku yang kedua adalah ini: ‘Wahai, dunia terbuka luas, di atasnya hidup jutaan makhluk. Kekejaman dan keganasan saling berperang tanpa henti, membawa kesengsaraan manusia sebagai persembahan ke tahtanya. Kaisara dari Surga, Ratu dari bumi, bersama dengan para dewa, menyaksikan maut, mengapa mereka tidak menolong? Pembawa pesan itu sedih tapi tak berdaya, siang dan malam dipenuhi sakit hati yang sia-sia’.”10

Kedua puisi itu meskipun tak terlalu dalam, tetapi esensi ratapan nasib manusia yang kerkandung di dalamnya sangat jelas. Sebelumnya pada hari itu Guo Jing telah melihat sendiri pembantaian rakyat di kota, ia jadi makin muram.

“Puisi Daozhang pasti bagus, apa isinya? Cepat, terjemahkan,” kata Genghis Khan.

Yelu Chucai berpikir, “Aku sudah menasihati Khan Agung supaya jangan membunuh terlalu banyak rakyat yang tidak bersalah, tapi dia tidak mau mendengar. Untungnya Pendeta ini punya belas kasihan yang dalam, dan menggubah puisi yang indah ini. Kuharap dia bisa membujuk Khan Agung.” Ia cepat-cepat menerjemahkan puisi itu.

Mendengar puisi itu, Genghis Khan merasa tidak puas, ia berpaling kepada Qiu Chuji dan berkata, “Aku mendengar ada sebuah teknik untuk mencapai hidup abadi, untuk tidak menjadi tua, di Zhong Yuan. Kuharap Daozhang sudi mengajarkannya kepadaku.”

“Tidak ada hal semacam itu — mencapai hidup abadi — atau tidak menjadi tua,” jawab Qiu Chuji. “Tapi sungguh ada ajaran Tao untuk mengatur pernafasan, yang akan mencegah penyakit dan memperpanjang usia.”

“Boleh aku tanya apa yang paling penting dalam mengatur pernafasan itu?” tanya Genghis Khan.

“Jalan Surga tidak berpihak, selalu mengenali orang baik,” jawab Qiu Chuji.

“Yang seperti apa kau bilang ‘baik’?” tanya Genghis Khan.

“Hati Orang Suci tidak terbagi-bagi, hatinya adalah untuk rakyat,” kata Qiu Chuji.

Genghis Khan diam. Qiu Chuji melanjutkan, “Ada sebuah kitab di Zhong Yuan, namanya Dao De Jing, yang mana kami — para penganut ajaran Tao — memandangnya sebagai benda pusaka. Kata-kata semacam ‘Jalan dari Surga’ atau ‘Hati Orang Suci’ diambil dari kitab itu. Ada pepatah lain dalam kitab itu, ‘Prajurit dan senjata adalah alat-alat yang jahat, bukan alat bagi seorang terhormat. Alat itu akan digunakan untuk melawan keinginannya sendiri, bukan digunakan untuk mencari keuntungan. Tapi berdukalah orang yang suka membunuh. Barang siapa suka membunuh tidak akan mengenali harapannya sendiri di bawah kolong langit.‘”

Ketika Qiu Chuji melakukan perjalanan ke Barat, ia melihat kebiadaban dalam bencana akibat peperangan, hatinya dipenuhi duka. Ia memanfaatkan keuntungan yang didapatnya dari undangan Genghis Khan yang ingin bertanya mengenai kehidupan abadi untuk secara terus-menerus memohon bagi keselamatan rakyat jelata.

Genghis Khan semakin tua, kekuatannya memudar, ia ingin mempelajari teknik untuk mencapai ‘hidup abadi’. Ia sangat gembira melihat kedatangan Qiu Chuji, dan mengira bahwa dengan segera ia akan mempelajari teknik untuk mencegah kematian dan metode untuk memperpanjang umurnya. Di luar dugaannya, ia malah dinasihati untuk tidak menggunakan kekuatan militer dan tidak terlalu banyak membunuh orang. Pembicaraan itu tidak sesuai dengan seleranya. Karena itu setelah bicara sedikit lagi, ia berpaling kepada Guo Jing dan berkata, “Temani Daozhang untuk beristirahat.”

Catatan Penulis

Khwarezmia adalah negara Islam yang besar, lokasinya ada di bagian Selatan Uni Soviet di dunia modern, di dekat Afganistan dan Iran. Samarkand berada di lokasi yang di jaman modern ini adalah Uzbekistan. Menurut catatan yang ada di dalam Yuan Shi (Sejarah Dinasti Yuan), Genghis Khan menyerang Khwarezmia dalam tahun Yu Long Jie Chi11, menggunakan minyak bumi untuk membakar kota dan mematahkan pertahanan lawan.

Menurut catatan sejarah, Pendeta Qiu Chuji dan Genghis Khan bertukar korespondensi hingga tiga kali sebelum akhirnya Qiu Chuji membawa delapan belas muridnya dalam perjalanan mengarungi pegunungan bersalju Kunlun. Muridnya, Li Zhicang menyusun sebuah buku yang berjudul Chang Chun Zhen Ren Xi You Ji12, merekam pengalaman mereka di sepanjang perjalanan. Buku ini masih dipandang tinggi oleh para pelajar hingga hari ini.

Footnotes

  1. Ru Jiu Lao Cha (乳酒?茶) adalah minuman hasil kombinasi teh, susu dan arak. Entah apa nama asli minuman ini dalam bahasa Mongolia. Saya tidak menemukan karakter ‘Lao’ yang sesuai, barangkali maksudnya adalah Gao (膏) yang berarti krim atau lemak. Kemungkinan besar alkohol yang dipakai adalah Airag, yang terbuat dari susu kuda.

  2. Airag adalah minuman beralkohol khas Mongolia yang terbuat dari fermentasi susu kuda. Dalam bahasa mandarin nama minuman ini adalah Ma Ru Jiu (马乳酒).

  3. Yi Jin Duan Gu Pian (易筋锻骨篇), atau Mengubah Otot Menempa Tulang adalah bagian dari rangkaian ilmu silat yang terdapat di dalam Jiu Yin Zhen Jing.

  4. Seperti juga phoenix dan naga, burung ini adalah sebuah simbol mitologi kuno.

  5. Long Fei (龙飞). Bandingkan dengan uraian berikut.

  6. Gui Yun Zhuang bisa diterjemahkan menjadi ‘Rumah Awan’. Baca lagi Bab 14 yang menceritakan Lu Chengfeng dan keluarganya.

  7. Wu Xing Ba Gua (五行八卦) adalah ‘Lima Elemen Delapan Diagram’. Baca lagi mengenai Delapan Diagram dan Lima Elemen di halaman lain.

  8. Saat itu Guo Jing sudah bergelar ‘Menantu Khan Agung’, meskipun resminya ia belum menikah dengan Huazheng. Gelar ini adalah setingkat dengan pangeran. Karena tidak ada istilah yang sesuai dalam bahasa Indonesia, istilah ‘Pangeran’ bisa kita gunakan di sini, bergantian dengan istilah bahasa mandarin Fu Ma Ye.

  9. Yan Yu Lou (烟雨), dalam episode sebelumnya diterjemahkan menjadi ‘Kedai Hujan Berkabut’. Pertarungan sengit antara Enam Pendekar Quanzhen melawan Huang Yaoshi trejadi di lokasi ini.

  10. Catatan Penulis: Semua puisi ini berisi bait dengan tujuh karakter dalam bahasa aslinya.

  11. Yu Long Jie Chi (玉龙杰赤), Yu Long secara literal berarti ‘Naga Giok’. Sedangkan karakter Jie (杰) bisa mengandung beberapa makna, salah satunya adalah ‘outstanding’. Dan karakter Chi (赤) bermakna ‘Scarlet’, atau ‘merah’. Asumsi pribadi saya (yang bisa jadi salah), gabungan kedua karakter Jie Chi (杰赤) ini mengacu dan bisa kita artikan ‘teramat sangat merah’, mengingat keempat karakter tersebut adalah nama tahun, yang dalam hal ini adalah Tahun Naga Giok.

  12. Chang Chun Zhen Ren Xi You Ji (长春真人西游记), secara literal berarti Perjalanan Ke Barat Orang Suci Chang Chun. Chang Chun adalah gelar keagamaan Qiu Chuji. Dalam judul itu ditambahkan sebuah gelar kehormatan ‘Zhen Ren’, yang secara literal berarti ‘Manusia Sejati’, dan adalah gelar tertinggi yang dikenal oleh para penganut Taoisme. Guru Qiu Chuji, Wang Chongyang juga menyandang gelar ini, demikian juga pendiri Perguruan Wudang (Bu Tong Pai), Zhang Sanfeng.