Bab 24

Perawatan Di Tempat Tersembunyi

IlustrasiNarasi
Ilustrasi Bab 24Sha Gu menghampiri Liang Ziweng dan berkata, “Kau memukul hidungku, aku harus memukul hidungmu. Kau memukulku sekali, aku harus membalas tiga kali.” Tinjunya melayang lurus ke arah hidung Liang Ziweng.

Huang Rong sudah berjalan dua langkah ketika melihat raut muka Guo Jing yang curiga, seolah-olah bisa membaca niatnya untuk membunuh. Ia berpikir, “Aku sih tidak punya masalah kalau membunuh Sha Gu, tapi Jing Gege bisa jadi akan menanyakan hal ini nantinya. Ia mungkin tidak akan bertanya sekarang, mungkin juga tidak akan pernah mengungkit masalah ini… tapi di hatinya akan timbul kebencian kepadaku, dan itu bukan hal yang baik. Baiklah, tampaknya kita harus mengambil resiko besar ini.” Ia segera menutup pintu dan melihat ke sekeliling ruangan dengan cermat.

Di sudut barat, di dekat plafon ruangan kecil itu, ada jendela ventilasi kecil kira-kira tiga puluh sentimeter persegi, yang membuat cahaya matahari bisa menyelinap masuk melalui tirai kulit kerang. Dengan penerangan inilah mereka bisa melihat segala sesuatu yang ada di dalam ruangan. Lubang ventilasi itu berdebu, karena itu Huang Rong membersihkannya dengan pisaunya. Sisa-sisa bau busuk sebelumnya masih ada, tapi tidak kentara bagi mereka. Dilihat dari pengalaman melalui hidup-mati sebelumnya, ruangan yang berbau busuk dan berdebu ini menjadi mirip sebuah biara bagi mereka.

Guo Jing bersandar ke tembok, tersenyum tipis dan berkata, “Tak ada lagi ruangan yang lebih baik untuk mengobati lukaku daripada ruangan ini. Sayangnya kita ditemani dua orang mati. kau takut?”

Dalam hati Huang Rong sebenarnya merasa ngeri, tetapi ia sudah bertekad untuk tidak memikirkannya. Ia tersenyum dan berkata, “Yang seorang adalah kakak seperguruanku, yang tidak akan menggangguku, yang lainnya hanya seorang pegawai kecil pemerintahan. Waktu hidup sekalipun dia tidak akan menakuti aku, apalagi sekarang sudah mati.” Ia cepat-cepat menendang sepasang kerangka itu ke arah sudut utara ruangan. Ia mengambil jerami untuk menutupi tumpukan semangka. “Bagaimana menurutmu?”

“Bagus sekali,” jawab Guo Jing. “Kita bisa mulai sekarang.”

Huang Rong membantunya duduk di atas alas jerami, dan ia sendiri duduk bersila di sebelah kiri Guo Jing. Ketika mengangkat kepala, ia melihat ada sebuah lubang sebesar koin kecil di dinding tepat di depannya. Ia mengintip melalui lubang itu, dan ia senang ketika melihat sebuah cermin yang memungkinkannya melihat seisi ruangan di luar. Tampaknya orang yang membangun ruangan ini sudah merencanakannya dengan baik. Ketika bersembunyi dari musuh di luar, orang masih bisa mengamati gerak-gerik lawan di luar ruangan. Karena sudah lama tidak digunakan, cermin itu tertutup oleh debu tebal. Ia mengambil saputangan, lalu melilitkannya di telunjuknya, dan ia membersihkan cermin melalui lubang kecil itu. Ia melihat Sha Gu sedang duduk di lantai sambil melempar-lemparkan kerikil dan bersenandung. Huang Rong tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang disenandungkannya, jadi ia menekankan telinganya ke lubang untuk mendengarkan lebih teliti. Sepertinya Sha Gu menyenandungkan sebuah kidung nina-bobo, “Ayun, ayun, ayun… Ayun ke jembatan nenek. Nenek bilang aku bayi cantik…”

Agak mengherankan, makin mendengar, ia makin tersentuh oleh emosi yang dibawa lagu itu. Hatinya dipenuhi perasaan lembut. Ia bertanya-tanya, “Apa lagu ini dinyanyikan oleh ibunya ketika ia masih kecil? Kalau ibuku masih hidup, mungkin dia juga akan menyanyikan lagu ini untukku?” Berpikir tentang hal ini, matanya basah.

Guo Jing melihat raut mukanya dan berkata, “Kau sedang memikirkan apa? Lukaku tidak terlalu buruk kok… tidak usah sedih begitu.”

Huang Rong menghapus air matanya sambil berkata, “Cepat ajari aku cara mengumpulkan tenaga dalam.” Mulai saat itu Guo Jing mulai menghafalkan bagian untuk merawat luka dari Jiu Yin Zhen Jing.

Ada sebuah pepatah di kalangan para ahli silat, ‘Belajarlah meneria pukulan terlebih dahulu, sebelum belajar memukul orang lain.’ Karena itu pelajaran dasar dari ilmu silat adalah bagaimana menerima pukulan tanpa mengalami cedera serius. Ketika ilmunya semakin tinggi, seorang pesilat akan harus belajar bagaimana melindungi tubuh mereka sendiri dan juga hidup mereka, dengan jalan menutup jalan darah melalui totokan dalam merawat luka, memperbaiki tulang yang patah, mengobati keracunan, mengobati luka, dan sejumlah besar teknik tingkat lanjut lainnya. Teknik yang lebih baik akan menghasilkan keterampilan yang lebih baik, dan setinggi apapun ilmu silat seseorang, pasti akan ada saatnya ia mengalami kekalahan dan jatuh. Bagian ‘Merawat Cedera’ dari Jiu Yin Zhen Jing menjelaskan bagaimana seorang pesilat tingkat tinggi bisa menggunakan tenaga dalamnya sendiri untuk mengobati luka, dan bagaimana ia bisa menyalurkan tenaga dalamnya, beserta tenaga dalam dari orang lain, untuk mengobati luka dalam. Kalau mengenai luka-luka luar seperti patah tulang, luka akibat senjata tajam, dan lain-lainnya, diasumsikan bahwa orang yang mempelajari kitab tersebut sama sekali tidak membutuhkan petunjuk tambahan.

Huang Rong hanya perlu mendengar sekali tentang hampir segala hal, dan ia akan mengingatnya selamanya. Ada beberapa bagian yang tidak jelas di dalam kitab itu, yang mana mereka perlu mendiskusikannya sejenak detilnya. Yang satu punya landasan kuat pada cara latihan tenaga dalam Aliran Quanzhen, dan yang lainnya punya kecerdasan tingkat tinggi. Dengan usaha keras, akhirnya mereka berhasil memahami hampir semuanya. Huang Rong menempelkan tangan kanannya di tangan kiri Guo Jing, dan mereka mulai berlatih dengan serius menurut petunjuk yang ada di dalam Jiu Yin Zhen Jing.

Setelah berlatih selama empat jam mereka beristirahat sejenak. Dengan pisau di tangan kirinya, Huang Rong mengiris semangka. Ia menyuapi Guo Jing sambil tetap menahan tangan kanannya di tangan kiri Guo Jing. Setelah berlatih beberapa jam lagi, rasa sesak di dada Guo Jing perlahan-lahan mulai berkurang, seiring dengan hawa hangat yang datang dari telapak tangan Huang Rong berangsur-angsur memasuki tulangnya. Rasa sakit di sisi tubuhnya juga secara berangsur-angsur berkurang. Ia merasa bahwa teknik yang ada di dalam kitab itu sungguh-sungguh tiada taranya. Ia tidak berani sembrono, dan meneruskan upaya mereka dengan cermat.

Ketika tiba saatnya istirahat ketiga, penerangan alamiah yang datang melalui ventilasi mulai meredup. Sudah menjelang senja. Bukan hanya rasa sesak di dada Guo Jing berkurang, tetapi Huang Rong pun merasa semangatnya meningkat. Mereka mengobrol sebentar sebelum melanjutkan latihan. Tiba-tiba mereka mendengar suara orang berlari yang berhenti di depan rumah itu. Lalu beberapa orang masuk. Terdengar suara kasar, “Cepat bawa makanan! Tamu-tamu di sini semuanya kelaparan!”

Mereka mengenali suara itu adalah suara Hou Tonghai, Si Naga Berkepala Tiga. Guo Jing dan Huang Rong saling pandang karena terkejut. Huang Rong buru-buru mengintip dari lubang kecil, dan ia kaget ketika melihat melalui cermin bahwa bukan hanya Hou Tonghai, tetapi Wanyan Honglie, Ouyang Feng, Yang Kang, Peng Lianhu dan yang lain juga hadir di situ. Huang Rong tidak tahu kemana perginya Sha Gu.

Hou Tonghai menggebrak meja dengan keras, tetapi tak seorangpun datang. Liang Ziweng keluar dan berjalan hilir-mudik mengelilingi tempat itu. Ia merengut dan berkata, “Tidak ada orang tinggal di sini.” Hou Tonghai dengan sukarela pergi ke desa untuk membeli arak dan makanan. Ouyang Feng menemukan sebuah tempat yang terlindung dari angin dan menggelar jerami di situ. Lalu ia menggotong keponakannya, dan dengan lembut menurunkannya di atas tumpukan jerami yang baru saja digelarnya supaya ia bisa berbaring dengan tenang untuk menyembuhkan kakinya yang patah.

Peng Lianhu berkata sambil tertawa, “Meskipun para pengawal itu tidak berguna, mereka terus mengejar kita seperti hantu. Kita bahkan tidak sempat berhenti untuk makan sepanjang hari ini. Wangye, kau orang Utara, tapi kau ternyata bisa tahu ada desa terpencil di Sungai Qiantang dan membawa kami ke sini. Sungguh tidak ada yang bisa disembunyikan dari Wangye.”

Meskipun ia mendengar nada pujian dalam suara Peng Lianhu, tapi Wanyan Honglie sedikitpun tidak merasa puas. Ia hanya menghela nafas pelan dan berkata, “Aku datang ke sini sembilan belas tahun yang lalu.” Semua orang bisa melihat perubahan air mukanya. Mereka merasa agak heran. Tentu saja, tak seorangpun tahu bahwa ia sedang memikirkan bagaimana Bao Xiruo menyelamatkan hidupnya di desa ini. Desa terpencil ini masih ada, tetapi wanita lembut dengan tusuk konde di rambutnya, yang mengenakan jubah hijau, yang menyuapinya dengan sup ayam hangat, sudah tidak lagi hidup di dunia ini.

Sementara itu Hou Tonghai sudah kembali dari desa membawa arak dan makanan. Peng Lianhu menuangkan arak untuk mereka semua dan berkata kepada Wanyan Honglie, “Wangye, hari ini kau sukses mendapatkan kitab perang yang berisi strategi militer itu. Ini pertanda bahwa Kekaisaran Jin Agung segera akan menjadi inspirasi besar bagi dunia ini, dan pasukanmu akan mendominasi puluhan ribu wilayah. Kami semua ingin bersulang untuk Wangye!” Ia mengangkat cawan dan meneguk araknya. Suaranya lantang dan jernih, jadi Guo Jing bisa mendengarnya dengan jelas meskipun ada tembok cukup tebal memisahkan mereka. Ia sangat terkejut. “Warisan Yue Yeye1 jatuh ke tangannya!” pikirnya dengan pahit. Segera setelah kecemasan memasuki pikirannya, aliran tenaga di dadanya menjadi terbalik. Huang Rong bisa merasakan telapak tangannya bergetar, dan ia tahu bahwa Guo Jing sudah mendengar semuanya. Ini mempengaruhi energi dari Dan Tian. Kalau tidak segera dikendalikan, maka nyawanya dalam bahaya. Ia cepat-cepat menempelkan mulutnya di telinga Guo Jing dan berbisik, “Kalau dia bisa mencuri buku, kenapa kita tidak bisa? Nanti waktu Er Shifu2 bergerak, mencuri sepuluh buku pun gampang saja.”

Guo Jing merasa pendapat itu ada benarnya, dan ia buru-buru memejamkan mata. Pikirannya tidak lagi tertuju pada isi pembicaraan di balik tembok. Huang Rong mengintip lagi melalui lubang, dan melihat Wanyan Honglie mengangkat cawannya dan meneguk arak. Lalu denga senyum menawan ia berkata, “Hari ini semua orang berperan serta dalam pertempuran, dan Ouyang Xiansheng punya jasa paling besar. Kalau dia tidak menyingkirkan anak bermarga Guo itu, kita harus membuang lebih banyak energi untuk mendapatkan buku itu.”

Ouyang Feng tertawa kering, yang terdengar mirip bunyi simbal rusak. Ketika Guo Jing mendengar suara itu, hatinya mulai kacau lagi. Dalam hati Huang Rong berpikir, “Surga berkati kami, jangan biarkan Racun Barat memetik sitar iblisnya lagi, atau nyawa Jing Gege jadi lebih sulit diselamatkan.”

Ia kembali mendengar suara Ouyang Feng berkata, “Tempat ini begitu jauh, pasukan Song tidak akan menemukan kita di sini. Aku ingin tahu harta karun macam apa yang ada di dalam warisan Yue Fei3 ini. Mari sama-sama kita lihat.”

Ia mengambil kotak batu itu dari dalam sakunya dan meletakkannya di atas meja. Dalam pikirannya, kalau buku warisan Wumu berisi sejenis ilmu silat yang sangat indah, maka ia akan merebutnya tanpa mempedulikan semua orang lain. Tetapi kalau buku itu ternyata hanya berisi strategi perang dan cara mengatur barisan militer, maka tidak ada gunanya sama sekali baginya. Dengan demikian ia akan membiarkan smeua orang lain menikmatinya, dan membiarkan Wanyan Honglie menyimpannya.

Sementara itu pandangan semua orang tertuju pada kotak batu itu. Huang Rong berpikir, “Apa yang bisa kulakukan untuk menghancurkan buku itu? Menghancurkannya adalah jauh lebih baik daripada membiarkannya jatuh ke tangan para pengkhianat ini.” Ia mendengar Wanyan Honglie berkata, “Xiao Wang sudah meneliti dengan cermat cara berpuisi Yue Fei. Aku juga sudah mempelajari dengan teliti catatan sejarah resmi dinasti sebelumnya tentang bangunan Istana Kekaisaran. Aku akhirnya menyimpulkan bahwa buku ini tersembunyi lima belas langkah ke timur dari Cui Han Tang. Hari ini dugaanku terbukti benar. Kurasa tak seorang pun di dalam Dinasti Song yang menduga bahwa ada harta begini berharga tersembunyi di istana mereka. Mengenai keributan yang terjadi tadi malam, kurasa tak seorang pun tahu apa yang sebenarnya terjadi.” Ia terdengar sangat bangga akna dirinya sendiri. Semua orang mengambil kesempatan itu untuk berebut memujinya.

Wanyan Honglie memelintir kumisnya dan tertawa “Kang’er,” katanya. “Cepat, buka kotaknya.”

Yang Kang patuh dan melangkah maju. Mula-mula ia menyingkirkan segel dan kemudian membuka tutup kotak. Mata semua orang tertuju pada kotak itu. Air muka mereka mendadak berubah, dan mereka semua melongo. Tak seorang pun bersuara. Kotak itu ternyata kosong. Tak ada buku strategi militer di dalamnya… bahkan tak ada selembar kertaspun ada di situ. Meskipun Huang Rong tidak bisa melihat isi kotak itu, tetapi menilai dari air muka semua orang ia menduga bahwa kotak itu kosong. Ia kegirangan, dan mulai merasa semua ini lucu.

Wanyan Honglie sangat kecewa. Ia berpegangan pada sisi meja sambil duduk. Tangannya mengusap mukanya sambil berpikir dalam-dalam. “Ribuan perhitunganku, puluhan ribu pengulangannya, semuanya menunjukkan bahwa buku warisan Yue Fei pasti ada di dalam kotak ini. Mana mungkin bahkan tidak ada sedikitpun jejaknya?” pikirnya. Tiba-tiba ia mendapat ide, dan mukanya berseri. Ia mengambil kotak itu dan membawanya keluar menuju ke sumur, lalu membantingnya sekuat tenaga. ‘Braakkk!’ kotak itu hancur berkeping-keping.

Ketika Huang Rong mendengar suara pecahan itu, ia segera berpikir, “Ah! Pasti ada semacam rongga tersembunyi di dalam kotak itu.” Ia jadi gelisah, ingin melihat apakah benar-benar ada buku warisan di dalam kotak itu. Tetapi bagaimanapun juga, ia tetap tidak bisa keluar. Beberapa saat kemudian ia melihat Wanyan Honglie dengan kecewa kembali ke dalam ruangan dan duduk kembali di kursinya.

“Aku tahu pasti ada rongga tersembunyi di dalam kotak itu, tapi ternyata rongga itu juga kosong,” kata Wanyan Honglie.

Semua orang saling berebut melontarkan pendapat mereka. Huang Rong dengan senang menikmati semua imajinasi mereka. Semuanya terdengar aneh-aneh dan lucu. Ia segera menceritakan semuanya kepada Guo Jing. Ketika mendengar bahwa buku itu tidak ditemukan di dalam kotak, Guo Jing merasa sangat lega. Huang Rong masih terus berspekulasi. “Orang-orang ini tidak akan menyerah segampang itu… mereka pasti akan datang lagi ke istana malam ini.” Ia berpikir tentang gurunya yang masih berada di dapur istana, dan ia takut kalau gurunya akan terkena dampak semua ini kalau sampai ketahuan. Zhou Botong memang hadir di situ dan bisa menolongnya, tetapi Huang Rong masih tetap gelisah karena kelakukan Zhou Botong bisa dibilang mirip orang gila. Ia tidak bisa menangani urusan penting dengan benar.

Yang jelas, ia kemudian mendengar Ouyang Feng berkata, “Itu bukan masalah besar. Kita bisa kembali ke istana malam ini, dan mencari lebih teliti lagi.”

“Kita tidak bisa kembali ke situ malam ini,” kata Wanyan Honglie keberatan. “Kita tadi malam membuat keributan, dan aku yakin mereka pasti menjaga istana dengan ketat malam ini.”

“Kita tidak bisa menghindari pengawal,” kata Ouyang Feng. “Tapi kenapa harus kuatir soal itu? Wangye dan Xiao Wangye tidak perlu ikut pergi. Kalian dan keponakanku boleh tinggal di sini dan beristirahat.”

Wanyan Honglie merangkapkan tangannya di depan dada. “Kalau begitu aku harus merepotkan Ouyang Xiansheng untuk melaksanakan pekerjaan ini untukku. Xiao Wang akan menunggu kabar baik dari Xiansheng dengan tenang.” Dengan segera semua orang mengatur tumpukan jerami di ruangan itu dan berbaring untuk tidur. Setelah lebih dari dua jam, Ouyang Feng membangunkan yang lain, dan mereka pergi ke kota sekali lagi.

Wanyan Honglie gelisah. Ia terus-terusan mengubah posisi tidur tanpa bisa tertidur sekejap pun. Sekitar tengah malam ia mendengar suara deru ombak di sungai. Ia juga mendengar gonggongan anjing di sisi lain desa itu. Dan gonggongan anjing itu terdengar sepanjang malam, seolah-olah anjing itu sedang meratap. Dalam keheningan malam suara itu menimbulkan kesedihan di hati, semakin menambah kegelisahan yang ada di dalam hatinya.

Setelah beberapa lama, terdengar suara langkah kaki di luar pintu… seseorang sedang berjalan mendekat. Wanyan Honglie buru-buru duduk dan menghunus pedangnya. Yang Kang bergegas melompat ke belakang pintu untuk memasang jebakan. Di bawah cahaya bulan mereka melihat seorang wanita dengan rambut acak-acakan yang menyenandungkan lagu anak-anak membuka pintu dan masuk. Itu ternyata Sha Gu. Ia baru saja pulang setelah bermain-main sepanjang hari di dalam hutan. Ia tak pernah berpikir akan menjumpai orang lain sedang tidur di rumahnya, jadi ia terus berjalan lurus ke arah tumpukan kayu bakar, dan berbaring di dekatnya. Tak lama kemudian ia pun mendengkur.

Ketika Yang Kang melihat yang masuk ternyata hanya seorang gadis desa, ia tersenyum dan kembali tidur. Di pihak lain, pikiran Wanyan Honglie dipenuhi aneka macam bayangan masa lalu dan saat ini. Ia tidak bisa tidur sampai lama sekali. Ia bangkit, mengambil lilin dari perbekalannya dan menyalakannya. Ia mengeluarkan sebuah buku dan mulai membolak-balik beberapa halaman.

Huang Rong melihat cahaya lilin melalui lubang kecil itu. Ia mengintip dan melihat seekor kumbang4 terbang mengitari cahaya lilin, lalu tiba-tiba masuk ke dalam api lilin. Sayapnya tentu saja terbakar seketika dan ia jatuh ke atas meja. Wanyan Honglie memungut kumbang itu. Ia tak dapat menahan perasaan sedihnya. Ia berpikir, “Seandainya saja Bao Furen-ku masih hidup, pasti dia akan merawatmu baik-baik.” Dari dalam saku bajunya ia mengambil sebuah pisau kecil dan juga botol obat kecil, dan mengelus-elus keduanya dengan penuh perasaan.

Huang Rong menepuk pelan pundak Guo Jing dan minggir sedikit, supaya Guo Jing bisa ikut melihat melalui lubang kecil itu. Yang dilihat Guo Jing dengan matanya sendiri membuatnya marah. Ia mengenali pisau perak dan botol obat milik ibu Yang Kang, Bao Xiruo. Ia pernah melihat Bao Xiruo memakai kedua peralatan ini di pondok kecilnya, di areal Istana Zhao, ketika sedang merawat luka seekor kelinci. Ia mendengar Wanyan Honglie sedang bergumam lembut, “Sembilan belas tahun yang lalu, di desa ini juga, aku pertama kalinya berjumpa denganmu… Ah! Aku ingin tahu sekarang ini rumahmu yang dulu menjadi seperti apa?” Setelah mengatakannya ia bangkit berdiri, mengangkat lilin, lalu berjalan keluar melalui pintu.

Guo Jing terkejut. “Apa mungkin ini kampung halaman orang tuaku, Desa Niu?” pikirnya bertanya-tanya. Ia menempelkan mulutnya di telinga Huang Rong untuk bertanya. Huang Rong mengangguk. Darah Guo Jing bergolak, sekujur tubuhnya gemetar.

Telapak tangan kanan Huang Rong sedang menempel di telapak tangan kiri Guo Jing, jadi ia bisa merasakan nafasnya yang tidak teratur karena emosi, yang mana sangat berbahaya. Ia buru-buru mengulurkan tangan kirinya untuk memegang tangan kanan Guo Jing, dan mereka bersama-sama berusaha menyelaraskan aliran tenaga, sementara Guo Jing perlahan-lahan mengendalikan pernafasannya. Setelah lama, mereka melihat cahaya lilin bergerak dan mendengar suara Wanyan Honglie menghela nafas panjang sambli berjalan kembali ke ruangan. Saat itu Guo Jing sudah bisa mengendalikan emosinya, tetapi telapak tangan kirinya masih terus dipegang oleh telapak tangan kanan Huang Rong. Ia kembali mengintip melalui lubang dan melihat Wanyan Honglie sedang memagang beberapa potongan batu bata dan bekas lantai, duduk tenggelam dalam lamunan di bawah cahaya lilin.

Guo Jing berpikir, “Pengkhianat ini kurang dari sepuluh langkah dari aku. Yang harus kulakukan hanya melemparkan sebuah pisau ke arahnya dan ia pasti tewas.”

Tangan kanannya menghunus belati emas pemberian Genghis Khan dan berbisik ke telinga Huang Rong, “Buka pintunya.”

“Jangan!” kata Huang Rong buru-buru. “Membunuhnya gampang saja, tapi tempat persembunyian kita akan terbongkar.”

Dengan suara gemetar Guo Jing berkata, “Enam hari lagi aku tidak akan tahu dia ada di mana.”

Huang Rong tahu tidak mudah membujuknya, jadi ia berbisik ke telinga Guo Jing, “Ibumu dan Rong’er ingin kau tetap hidup.”

Guo Jing merasa hawa dingin melanda hatinya. Ia mengangguk sambil menyimpan kembali belatinya, dan kembali mengintip dari lubang itu. Tiba-tiba ia melihat seseorang bangkit dari tumpukan jerami. Muka orang itu diterangi oleh cahaya lilin, tetapi di cermin mukanya tidak terlihat dengan jelas. Guo Jing hanya melihatnya bangkit berdiri tanpa bersuara dan berjalan menghampiri Wanyan Honglie. Ia mengambil pisau perak dan botol obat dari atas meja dan memandanginya sejenak, lalu dengan lembut meletakkannya kembali ke atas meja. Lalu ia memalingkan mukanya, dan Guo Jing melihat bahwa orang itu ternyata Yang kang.

Dalam hati Guo Jing berkata, “Betul, kau harus membalas dendam orang tuamu. Ini kesempatan yang sangat bagus. Hanya dengan sekali tusuk, musuh itu, yang tidak bisa hidup damai di bawah langit yang sama denganmu, pasti akan mati. Kau tidak akan punya peluang sebagus ini kalau Racun Barat dan yang lain sudah kembali.”

Ia sangat gelisah, berharap Yang Kang segera membuat keputusan. Tetapi setelah meletakkan pisau perak dan botol itu kembali di atas meja, Yang Kang meniup api lilin. Untuk sejenak lamanya ruangan itu tampak gelap baginya. Lalu ia melihat Yang Kang menanggalkan jubah panjang yang dipakainya, dan dengan lembut melingkarkannya di pundak Wanyan Honglie untuk melindunginya dari hawa dingin malam itu.

Guo Jing sangat marah dan memalingkan mukanya, ia tidak mau melihat ke luar ruangan lagi. Ia tidak mengerti bagaimana Yang Kang bisa memperlakukan musuh yang membunuh kedua orang tuanya dengan begitu lembut dan penuh kasih. Huang Rong menghiburnya dengan berkata, “Jangan gegabah. Setelah lukamu sembuh, pengkhianat itu mau lari ke luar dari cakrawala sekalipun, kita pasti akan menangkapnya. Dia bukan Racun Barat… masa kau pikir sulit membunuhnya?” Guo Jing mengangguk dan kembali menyalurkan tenaga dalamnya.

Fajar dengan segera menyingsing, dan dari desa terdengar suara ayam berkokok bersamaan dengan segala kegiatan pagi hari. Qi sudah tujuh kali beredar di sekujur tubuh mereka, membuat mereka merasa sangat santai dan nyaman. Huang Rong menaikkan telunjuknya dan berkata sambil tersenyum, “Satu hari berlalu!”

“Dan sangat berbahaya!” sahut Guo Jing dengan suara rendah. “Kalau bukan karena engkau, aku pasti tidak bisa menjaga pikiranku tetap tenang dan damai. Aku hampir saja membuat semuanya lebih buruk.”

“Masih enam hari lagi,” kata Huang Rong. “Kau sudah berjanji untuk mendengarkan kata-kataku.”

Guo Jing tertawa. ‘Kapan aku tidak mendengarkan kata-katamu?” katanya.

Huang Rong memiringkan kepalanya ke satu sisi dan berkata, “Hm, coba kuingat-ingat dulu.”

Saat itu seberkas cahaya matahari masuk melalui lubang ventilasi. Kulitnya yang putih dan pipinya yang kemerahan seperti mawar tampak seperti awan merah di senja hari. Guo Jing tiba-tiba menyadari bahwa tangannya terasa sangat hangat dan halus. Sesuatu bergolak di dadanya, dan ia buru-buru mengusir pikiran ini dari benaknya, tetapi pipinya sudah terlanjur memerah. Sejak mereka bersama, Guo Jing belum pernah merasakan perasaan seperti ini sebelumnya. Ia merasa terkejut dan diam-diam ia mengutuk diri.

Huang Rong melihatnya tersipu dan merasa heran. “Jing Gege,” katanya. “Tadi barusan ada apa?”

Dengan suara rendah Guo Jing menjawab, “Aku salah. Aku mendadak berpikir tentang… berpikir tentang…”

“Apa?” tanya Huang Rong.

“Aku sudah tidak memikirkannya lagi,” kata Guo Jing.

“Lalu tadinya kau berpikir tentang apa?” desak Huang Rong.

Tak bisa menghindari pertanyaan itu, Guo Jing mengaku. “Tadi aku berpikir tentang memelukmu… menciummu.”

Huang Rong merasakan kehangatan yang manis tiba-tiba menyelimuti hatinya, dan ia juga tersipu. Ia tampak semakin manis ketika malu-malu.

Melihatnya menundukkan kepala tanpa mengatakan apa-apa, Guo Jing bertanya, “Rong’er, kau marah? Tadi aku sama jahatnya seperti Ouyang Ke, memikirkan hal buruk.”

Huang Rong melemparkan senyumnya yang paling menawan. “Aku tidak marah,” katanya dengan lembut. “Aku hanya berpikir nantinya kau akan memeluk dan menciumku juga, karena aku pasti akan jadi istrimu.” Guo Jing merasa sangat bahagia. Ia gemetar, tetapi tidak bisa mengatakan apa-apa.

“Kau ingin memeluk dan menciumku… masa itu buruk?” tanya Huang Rong.

Guo Jing baru hendak menjawab, ketika tiba-tiba terdengar suara langkah kaki tergesa-gesa di luar dan dua orang pria memburu masuk ke dalam rumah. Ia mendengar suara Hou Tonghai berkata, “Neneknya! Sudah kubilang di dunia ini memang ada hantu, tapi Shige tidak percaya.” Ia sangat gelisah sampai tidak bisa bicara dengan jelas dalam kemarahannya. Lalu Sha Tongtian memjawab, “Hantu apa? Aku sudah bilang… kita ketemu ahli silat!”

Huang Rong mengintip keluar melalu lubang kecil dan melihat muka Hou Tonghai berlumuran darah, sementara pakaian Sha Tongtian robek-robek. Kelihatannya kakak beradik seperguruan itu baru saja mengalami situasi sulit.

Wanyan Honglie dan Yang Kang sangat terkejut melihat keadaan mereka berdua, dan mereka buru-buru bertanya apa yang terjadi. Hou Tonghai menjawab, “Kami sangat tidak beruntung… kamu ketemu hantu di Istana Kekaisaran tadi malam. Sialan! Kuping Lao Hou diiris hantu itu tadi.”

Wanyan Honglie memang melihat kedua sisi mukanya berlumuran darah dan tampak sangat tidak biasa. Ternyata kedua telinganya hilang. Wanyan Honglie sangat terkejut.

Sha Tongtian membentak, “Kau masih mengoceh soal hantu! Apa kau belum cukup mempermalukan kita semua?”

Hou Tonghai takut kepada kakak seperguruannya, tetapi ia masih berusaha membantah, “Aku melihatnya dengan jelas. Matanya biru… dia itu Si Jenggot Merah, Pan Guan5, menonjokku dengan suara menyeramkan! Aku hanya menoleh, lalu dia mencengkeram leherku, dan kupingku hilang. Si Pan Guan ini mukanya sama persis seperti yang ada di kuil-kuil… mana mungkin bukan dia?”

Sha Tongtian hanya melawan ‘Sang Hakim’ selama tiga jurus, dan pakaiannya dirobek-robek sampai compang-camping. Sang Hakim itu sudah pasti adalah seorang pendekar hebat, bukan hantu aneh, tetapi Sha Tongtian sama sekali tidak punya petunjuk bagaimana orang itu bisa tampil sebagai Pan Guan.

Keempat orang lainnya memberikan pendapat, dan mereka bahkan bertanya kepada Ouyang ke yang sedang berbaring karena cederanya, tetapi tak seorangpun menemukan jawaban yang memuaskan.

Ketika mereka sedang bicara, Lingzhi Shangren, Peng Lianhu dan Liang Ziweng berturut-turut tiba di kembali di tempat itu. Kedua tangan Lingzhi Shangren terikat di belakang punggungnya dengan rantai besi, pipi Peng Lianhu bengkak sampai merah biru, dan keadaan Liang Ziweng adalah yang paling lucu… semua rambut putih yang tersisa di kepalanya dicabut bersih sampai ke akar-akarnya, sampai ia terlihat mirip seorang biksu. Ketika ia berdiri di samping Sha Tongtian, mereka berdua terlihat sangat mirip dengan kepala botak yang menyilaukan.

Ternyata ketika mereka tiba di Istana Kekaisaran dan menyebar untuk mencari buku warisan Wumu, mereka bertemu dengan hantu, tetapi masing-masing bertemu dengan hantu yang berbeda. Yang seorang bertemu dengan Wu Chang Gui6, yang lain bertemu Huang Ling Guan7, dan yang terakhir bertemu dengan Tu Di Pu Sa[^ti-di-pu-sa].

Liang Ziweng menampar kepalanya sendiri dan membuka mulutnya untuk mengucapkan segala sumpah serapah menggunakan semua istilah jorok yang diketahuinya. Peng Lianhu menahan diri sebisanya tanpa mengucapkan sepatah katapun, sementara ia berusaha keras untuk melepaskan rantai besi yang mengikat kedua tangan Lingzhi Shangren. Rantai itu punya kait di kedua ujungnya, diikat dengan sangat ketat sampai menembus daging. Peng Lianhu harus mengerahkan banyak tenaga, dan tangannya sampai memar dan berdarah-darah sebelum akhirnya berhasil melepaskan rantai itu. Semua orang saling pandang dengan wajah murung tanpa suara. Dalam hati mereka semua tahu bahwa semalam mereka telah berjumpa dengan ahli kungfu tingkat tinggi dan mereka telah dipermalukan sampai ke tingkat paling rendah. Mereka sangat malu. Hou Tonghai masih percaya bahwa itu hantu, dan tak seorangpun ingin berdebat lagi dengannya.

Agak lama kemudian barulah Wanyan Honglie membuka mulutnya. “Entah kenapa Ouyang Xiansheng masih belum kembali juga. Apa mungkin dia juga bertemu hantu?”

“Ilmu silat Ouyang Xiansheng tidak ada tandingannya,” kata Yang Kang. “Meskipun ketemu hantu, dia juga tidak akan kalah.” Peng Lianhu dan yang lain merasa sangat terhina.

Huang Rong mendengar semua kesulitan yang mereka alami dan juga cerita soal hantu. Ia sangat girang dan berpikir, “Topeng-topeng yang kubeli untuk Zhou Dage secara tak terduga mendongkrak kekuatan dan harga dirinya… betul-betul di luar dugaanku. Entah dia sudah ketemu Racun Tua atau belum.” Saat itu ia merasa tenaga dalam Guo Jing mulai mengalir melalui telapak tangannya, dan ia segera kembali mengikutinya.

Peng Lianhu dan yang lain sibuk sepanjang malam, dan sekarang mereka sangat lapar. Mereka bekerja sama untuk memotong kayu bakar, membeli beras dan sayuran, dan menyiapkan makanan. Ketika makanannya siap, Hou Tonghai pergi ke lemari perlengkapan untuk mencari mangkuk. Ia melihat mangkuk besi itu dan secara alamiah berusaha untuk mengangkatnya, tetapi tidak bisa. Ia terkejut dan berteriak, “Hantu!” Ia menarik mangkuk itu dengan segenap tenaganya, tetapi tentu saja mangkuk itu tidak bergerak. Huang Rong mendengar suaranya dan terperanjat, karena tempat persembunyian mereka tentu saja tidak boleh sampai ketahuan oleh mereka. Bukan hanya itu, kalau sampai terjadi perkelahian, mereka juga belum tentu menang. Dan lebih jauh lagi, kalau mereka sampai bergerak sedikit saja, nyawa Guo Jing akan terancam. Itu semua tidak boleh sampai terjadi. Di dalam persembunyian mereka, ia sangat takut, dan tak tahu harus berbuat apa. Di luarnya, Sha Tongtian mendengar teriakan adik seperguruannya dan mengomelinya karena membesar-besarkan urusan yang tidak ada.

Hou Tonghai tidak marah, ia berkata, “Baiklah kalau begitu, coba kau ke sini dan angkat mangkuk ini.” Sha Tongtian mengulurkan tangan untuk mengambil mangkuk, tetapi mangkuk itu tidak bergerak. “Ah!” serunya.

Peng Lianhu mendengar seruannya dan ikut bergabung. “Sha Xiong,” katanya. “Itu pasti ada hubungannya dengan alat rahasia. Coba putar ke kiri-kanan.”

Huang Rong tahu bahwa situasinya sangat mendesak, mereka dipaksa mengambil segala resiko. Ia memberikan belati kepada Guo Jing dan mengulurkan tangan mengambil tongkat bambu yang diberikan Hong Qigong. Dalam hati ia sangat sedih karena berpikir bahwa hidup mereka harus berakhir seperti ini. Di saat kritis itu ia menoleh dan melihat tumpukan kerangka di sudut ruangan. Tiba-tiba sebuah gagasan melintas di benaknya. Ia buru-buru meraih tengkorak dan mengangkat sebuah semangka besar, dan menaruh tengkorak itu di atas semangka.

Dengan suara berderit pintu besi terbuka, menampakkan lubang di belakangnya. Huang Rong menaruh sebuah semangka d atas kepalanya dan mengacak-acak rambut sampai menutupi mukanya. Begitu Sha Tongtian membuka pintu, ia melihat monster berkepala dua di dalam ruangan itu, dan berseru ngeri, “Wah, wah!” Kedua kepala monster itu semuanya tengkorak, berdampingan di atas sebuah bola bergaris hijau-biru, dengan berewok panjang awut-awutan di bawahnya.

Mereka semua sudah menderita sepanjang malam, dan mereka masih terguncang. Sekarang mendadak mereka melihat hantu di dalam ruangan tersembunyi dan mereka sungguh sangat ketakutan. Hou Tonghai menjerit dan langsung lari keluar. Tanpa pikir panjang yang lain semuanya menyusul. Satu-satunya yang tinggal hanya Ouyang Ke. Ia terbaring lemah di kasur jerami dengan kaki patah, tidak bisa melarikan diri.

Huang Rong menghela nafas panjang dan buru-buru menutup pintu ruangan tersembunyi itu. Ia tak bisa menahan senyum setelah menyadari bahwa, setidaknya untuk sementara, mereka lolos dari ancaman serius. Ia juga tahu bahwa beberapa dari pengkhianat itu adalah nama-nama veteran di dunia persilatan, jadi mereka sudah pasti akan kembali. Mereka melarikan diri karena ditakut-takuti oleh Lao Wantong. Kalau bukan karena itu, masa saat ini ia bisa begitu gampangnya menipu mereka semua. Ia masih belum pasti untuk selanjutnya harus berbuat apa.

Keluhan Huang Rong masih belum lenyap ketika ia mendengar suara di pintu masuk kedai itu, ada orang lain datang. Huang Rong memegang sebuah Jarum Baja Emei erat-erat di tangannya, sambil mempertahankan tongkat bambu di dekatnya. Begitu pintu besi ruangan itu terbuka, ia mula-mula harus melontarkan jarumnya, dan berpikir tentang langkah berikutnya kemudian. Setelah beberapa saat, ia mendengar suara merdu memanggil, “Pelayan… pelayan!”

Huang Rong sungguh-sungguh terkejut ketika mendengar suara ini, Ia buru-buru mengintip melalui lubang kecil dan melihat seorang wanita yang mengenakan gaun bersulam sedang duduk di ruangan itu. Pakaian dan perhiasannya indah, menandakan bahwa ia datang dari keluarga kaya. Ia duduk membelakangi cermin, jadi Huang Rong tidak bisa melihat mukanya.

Wanita itu menunggu beberapa saat, lalu memanggil lagi, “Pelayan… pelayan!”

Huang Rong berpikir, “Suaranya sangat akrab… lembut tapi kuat. Kedengarannya mirip suara Cheng Da Xiaojie dari Baoying.” Saat itu Si Nona memalingkan mukanya, dan ternyata memang Nona Cheng. Huang Rong merasa ini sebuah kejutan yang menyenangkan. “Untuk apa dia datang ke sini?”

Sha Gu masih belum bangun meskipun tadi Hou Tonghai dan yang lain sempat membuat keributan, tapi sekarang ia sudah cukup tidur, maka ia merangkak bangkit dari kasur jeraminya.

“Pelayan,” kata Nona Cheng. “Tolong siapkan makanan, aku akan sangat berterima kasih.”

Sha Gu menggelengkan kepalanya. menandakan bahwa ia tidak punya makanan. Tiba-tiba ia bersin dan mencium bau nasi matang. Ia buru-buru pergi ke dapur dan mengangkat tutup periuk, dan melihat periuk itu ternyata penuh dengan nasi putih yag disiapkan oleh Peng Lianhu dan kawan-kawan. Sha Gu sangat girang, dan tanpa merasa heran dari mana makanan itu berasal, ia mengisi dua mangkuk penuh dengan nasi, memberikan semangkuk kepada Nona Cheng, dan ia sendiri makan semangkuk lainnya. Nona Cheng melihat bahwa tidak ada makanan lain di situ, hanya nasi putih. Ia makan beberapa suap, lalu meletakkan mangkuknya. Sha Gu dengan cepat menghabiskan tiga mangkuk penuh, lalu ia menepuk-nepuk perutnya, tampak sangat puas.

“Nona,” kata Nona Cheng. “Boleh aku tanya sesuatu? Kau tahu seberapa jauh Desa Niu dari tempat ini?”

“Desa Niu?” kata Sha Gu. “Ini Desa Niu. Seberapa jauh dari tempat ini, aku tidak tahu.”

Nona Cheng tersipu. Ia menundukkan kepalanya dan memainkan ujung ikat pinggangnya. Setelah beberapa saat ia berkata, “Jadi ini ternyata Desa Niu. Kalau begitu entah Nona kenal seseorang… seseorang…”

Sha Gu tidak menunggu sampai ia menyelesaikan kalimatnya. Ia menggelengkan kepalanya dengan tidak sabar, lalu bergegas keluar melalui pintu. Huang Rong bertanya-tanya dalam hati, “Entah siapa yang dicarinya di Desa Niu ini? Ah, betul juga! Dia murid Sun Bu’er. Kemungkinan besar dia disuruh gurunya mencari murid Qiu Chuji, Yang Kang.”

Huang Rong melihat Nona Cheng duduk tegak, pakaiannya rapi dan ia dengan lembut menyentuh perhiasan mutiara di pelipisnya. Mukanya merona dan di sudut bibirnya tersungging senyum tipis. Huang Rong tidak tahu apa yang sedang dipikirkannya dan merasa ini sangat menarik. Ia tiba-tiba mendengar suara langkah kaki ketika seseorang datang dari luar. Orang ini tinggi, tampan, dan langkahnya mantap. Segera setelah masuk, ia juga memanggil pelayan. Huang Rong berpikir, “Dengan kebetulan macam apa semua orang yang kukenal bisa berkumpul di Desa Sapi8 ini? Rupanya feng shui Desa Niu Jing Gege ini begitu bagus… kalau bukan karena harta, maka pasti karena orang.” Ternyata yang baru muncul adalah majikan muda Rumah Awan, Lu Guanying. Ketika melihat Nona Cheng, ia terkejut. Lalu ia memanggil lagi, “Pelayan!”

Ketika Nona Cheng melihat pemuda itu, ia merasa malu dan buru-buru memalingkan mukanya. Lu Guanying juga merasa tidak enak. “Kenapa ada seorang nona cantik duduk sendirian di tempat ini?” pikirnya. Ia berjalan ke dapur dan tidak menemukan orang lain. Ia merasa sangat lapar dan melihat ada nasi di periuk. Ia berpaling kepada Nona Cheng dan berkata, “Xiaoren9 sangat lapar, bisakah nona memberiku semangkuk?”

Nona Cheng menundukkan kepalanya lebih dalam lagi, ia tersenyum tipis dan berkata, “Nasi ini bukan milikku. Xiang Gong, silakan ambil sendiri saja.”

Lu Guanying makan dua mangkuk penuh, lalu merangkapkan tangannya untuk berterima kasih. Ia berkata, “Xiaoren ingin menanyakan salah satu tempat. Entah Desa Niu berapa jauh dari sini ya?”

Nona Cheng dan Huang Rong sama-sama senang. “Ha! Ternyata dia juga sedang mencari Desa Niu,” pikir mereka. Nona Cheng berdiri dan membalas sikap hormat itu, lalu berkata, “Ini Desa Niu.”

Lu Guanying sangat senang. “Wah, ini bagus sekali!” katanya. “Xiaoren juga ingin tahu, mungkin Nona kenal seseorang.”

Nona Cheng hendak berkata bahwa ia bukan penduduk desa ini, tetapi kemudian ia berubah pikiran. “Entah siapa yang dicarinya?” pikirnya.

Lu Guanying berkata, “Aku sedang mencari seorang pria bermarga Guo, Guo Jing Gongzi. Entah dia tinggal di mana ya… Apa saat ini dia ada di rumah?”

Baik Nona Cheng maupun Huang Rong sangat terkejut. “Kenapa dia mencari Guo Jing?” pikir mereka.

Nona Cheng terdiam. Ia menundukkan kepala dan mukanya merona sampai ke telinga. Melihat air mukanya, Huang Rong menebak dengan keyakinan delapan puluh persen, “Kelihatannya Nona ini diam-diam jatuh cinta kepada Jing Gege karena ditolong waktu di Baoying.” Karena Huang Rong masih sangat muda, dan punya pikiran terbuka, dan juga percaya dalam hati bahwa Guo Jing pasti akan sependapat, karena itu hatinya terbebas dari cemburu. Ia bahkan merasa senang bahwa ada orang lain yang juga menyukai Guo Jing.

Spekulasi Huang Rong sungguh tepat sasaran. Ketika Nona Cheng ditawan Ouyang Ke, memang benar para anggota Kai Pang, Li Sheng dan anak buahnya yang berusaha menolongnya, tetapi mereka semua bukan lawan Ouyang Ke. Seandainya Guo Jing dan Huang Rong tidak muncul, ia akan menderita penghinaan yang tak terpikirkan. Ia melihat Guo Jing masih muda, kungfunya sangat hebat, dan sikapnya tulus. Secara tak terduga benih cinta telah tumbuh di hatinya kepada Guo Jing.

Ia seorang anak perempuan dari keluarga kaya raya dan sebelumnya tidak pernah jauh dari rumah. Ia sekarang ada di usia di mana ia mulai tertarik kepada lawan jenis, maka ketika ia berjumpa dengan seorang pemuda yang menarik, Guo Jing, di luar dugaan ia jatuh cinta. Bahkan setelah Guo Jing pergi, ia masih selalu hadir di benak Nona Cheng. Ia sudah lama memikirkan hal ini dari banyak sisi, dan akhirnya ia punya cukup keberanian untuk meninggalkan rumah di tengah malam. Meskipun ia belajar kungfu, tetapi ia belum pernah meninggalkan rumah sebelumnya dan sama sekali tidak mengenal seluk-beluk dunia persilatan. Ia mendengar bahwa Guo Jing berasal dari Desa Niu di propindi Lin’an, maka dari itu ia mencari jalan ke situ.

Karena penampilannya yang anggun dan sikapnya yang terhormat, para penjahat tidak berani mengganggunya di sepanjang jalan. Di desa sebelumnya ia diberitahu bahwa Desa Niu tidak jauh dari situ, dan ketika ia tiba-tiba mendengar Sha Gu mengatakan bahwa tempat ini adalah Desa Niu, ia tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya. Ia telah menempuh jarak ribuan li untuk mencari Guo Jing… dan sekarang ia malah berharap Guo Jing tidak ada di rumah. Yang ada di benaknya adalah, “Aku akan datang ke rumahnya malam-malam, melihatnya sekali, lalu pulang. Jangan sampai dia tahu aku datang mencarinya… aku bisa mati karena malu kalau dia sampai tahu.”

Sekarang tiba-tiba Lu Guanying datang dan menanyakan tentang Guo Jing. Nona Cheng takut ia tahu rahasia hatinya. Sejenak pikirannya kacau, lalu ia memutuskan untuk berdiri dan pergi dari situ. Tiba-tiba dari luar seraut wajah yang buruk muncul, kemudian menghilang. Nona Cheng terkejut, lalu mundur dua langkah. Muka jelak itu muncul lagi dan berseru, “Hantu berkepala dua! Ayo keluar ke bawah matahari kalau berani. Naga Berkepala Tiga, Hou Daxia, menantangmu berkelahi. Aku punya kepala lebih banyak dari engkau! Di bawah matahari, Hou Daxia sama sekali tidak takut kepadamu!” Maksudnya jelas, kalau di dalam kegelapan ‘Sang Pendekar Hou’ mengaku kalah meskipun punya kepala lebih banyak. Lu Guanying dan Nona Cheng jelas tidak mengerti apa maksudnya.

“Hm!” dengus Huang Rong. “Jadi mereka akhirnya kembali,” ia bergumam sendiri. Ia yakin kungfu Lu Guanying dan Nona Cheng tidak terlalu tinggi, dan pasti mereka akan mengalami kesulitan untuk menghadapi Peng Lianhu dan kawan-kawan. Kalau ia dan Guo Jing mau membantu, pastilah mereka hanya akan mengantar dua nyawa tambahan. Saat ini jalan terbaik adalah memberitahu keduanya supaya melarikan diri secepatnya. Tapi bagaimana cara memberitahu mereka? Ia memikirkan beberapa cara lain, tetapi setelah memikirkannya lagi ia tidak bisa menemukan ide yang baik. Yang mereka miliki hanya diri sendiri dan keberanian.

Ketika Peng Lianhu dan kawan-kawan melihat hantu berkepala dua itu, mereka pikir hantu itu pastilah orang yang sama seperti sebelumnya, yang mempermalukan mereka malam sebelumnya. Karenanya mereka melarikan diri sejauh mungkin dari desa itu. Tak seorangpun berani kembali ke situ, kecuali Hou Tonghai. Ia seorang yang berpikiran sederhana, dan sungguh percaya bahwa yang dilihatnya memang hantu. Ia merasakan panasnya sengatan matahari di kepalanya, serasa membakar kulit kepalanya. Sementara yang lain menghilang, ia mengutuk, “Hantu akan mati kutu di bawah sinar matahari. Mereka tahu itu, tapi mereka masih berani berkeliling Jianghu. Aku, orang bermarga Hou ini, tidak takut! Aku akan kembali untuk menghadapi hantu. Biar mereka menghormatiku!” Maka ia kembali ke kedai Sha Gu dengan langkah lebar, meskipun dengan hati kebat-kebit juga. Ketika ia melongok ke dalam kedai, ia melihat Lu Guanying dan Nona Cheng sedang duduk di dalamnya. “Celaka!” pikirnya. “Hantu Berkepala Dua itu sudah menjelma menjadi laki-laki dan perempuan! Lao Hou, Lao Hou, sebaiknya kau berhati-hati.”

Lu Guanying dan Nona Cheng mendengar tantangannya, tetapi mereka tidak mengerti apa alasannya. Mereka saling pandang dan menyimpulkan bahwa Hou Tonghai hanya orang gila, karena itu mereka mengabaikannya. Hou Tonghai terus mengutuk, tetapi hantu-hantu itu masih juga tidak mau keluar untuk menghadapinya. Ia percaya bahwa hantu takut kepada sinar matahari, Kalau untuk menerjang masuk dan menangkap hantu, Lao Hou tidak punya keberanian. Mereka bertiga macet di posisi ini selama beberapa saat. Ia menunggu sampai kedua hantu itu menjelma menjadi hantu lain lagi, tetapi ternyata kedua hantu itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda ke arah itu. Mendadak ia teringat bahwa hantu takut kepada benda-benda jorok, karena itu ia segera pergi mencari kotoran manusia atau hewan.

Ada beberapa kandang di desa itu, dan ada kandang yang besar di dekat kedai. Dalam upayanya untuk menangkap hantu ia tidak takut kotor, jadi ia menanggalkan jubah luarnya untuk mengambil sejumlah besar kotoran ternak, dan kembali ke kedai. Ia melihat Lu Guanying dan Nona Cheng masih tetap duduk di tengah ruangan. Senjata rahasia di tangannya telah berhasil meningkatkan keberaniannya secara signifikan. Ia berseru nyaring, “Baiklah, hantu! Lao Hou memerintahkan supaya kalia kembali ke wujud semula!” Dengan trisula di tangan kirinya dan buntalan kotoran hewan di tangan kanan, ia dengan penuh keberanian memasuki kedai.

Ketika Ku Guanying dan Nona Cheng melihat orang gila itu kembali, mereka agak heran. Bahkan sebelum orang itu datang mereka telah mencium bau tidak sedap yang dibawanya. Hou Tonghai bertanya-tanya, “Kudengar orang bilang laki-laki lebih licik dari perempuan, tapi hantu perempuan lebih berbahaya daripada hantu laki-laki.” Karena itu ia mengangkat buntalannya dan melemparkannya ke arah Nona Cheng.

Nona Cheng berseru kaget dan bergerak ke samping untuk menghindarinya. Lu Guanying sudah mengangkat sebuah bangku untuk memukul buntalan jauh-jauh. Buntalan itu jatuh ke lantai dan pecah terbuka. Kotoran dii dalamnya tersebar kemana-mana dan bau busuk yang tajam dengan segera menyerang hidung mereka, membuat mereka merasa ingin muntah.

Hou Tonghai berseru keras, “Hantu berkepala dua, kembalilah ke wujud asalmu!” Sambil mengangkat trisulanya ia menyerang Nona Cheng dengan sengit. Ia berpikiran sederhana, tapi kungfunya tidak buruk. Serangan trisulanya cepat dan berbahaya.

Lu Guanying dan Nona Cheng terkesiap dan keduanya berpikir, “Orang ini sudah jelas seorang ahli silat, dan pasti bukan orang gila.”

Lu Guanying melihat Nona Cheng sebagai seorang wanita dari keluarga yang terkenal, dan ia tampak begitu lemah lembut, seolah bisa terbang dan hilang tertiup angin. Ia takut orang gila ini akan melukainya, maka ia mengangkat bangku panjang itu untuk menangkis trisula baja Hou Tonghai. “Siapa nama Daxia?” tanyanya. Hou Tonghai mengabaikan pertanyaannya dan mengirimkan tiga tusukan berturut-turut dengan trisulanya. Lu Guanying masih terus menggunakan bangku sebagai senjata dan juga menanyakan namanya.

Hou Tonghai melihat bahwa meskipun kungfu hantu itu tidak lemah, tapi sangat berbeda dari kungfu hantu yang secara misterius bisa muncul dan menghilang malam sebelumnya. Ia menyimpulkan bahwa ini adalah hasil dari serangan kotoran hewan yang barusan. Ia jadi berani dan sikap angkuhnya muncul, ia berseru, “Kau, hantu pendoa, kau buat apa menanyakan namaku, ingin mengutukku ya? Tuanmu tidak segampang itu ditipu!”

Semula ia ingin memanggil dirinya ‘Tuan Hou’, tapi sekarang ia mendadak terinspirasi, dan mengabaikan ‘Hou’ untuk menghindari kutukan hantu itu. Cincin-cincin baja di trisulanya membuat suara ting-tang-ting-tang ketika ia meningkatkan serangannya.

Kungfu Lu Guanying memang kalah dibandingkan Hou Tonghai, dan ia menggunakan bangku sebagai senjata. Ia ingin menghunus golok panjang yang tergantung di pinggangnya, tetapi ia tidak punya kesempatan. Ia terpaksa mundur beberapa langkah sampai akhirnya punggungnya menutupi lubang kecil yang digunakan Huang Rong untuk mengintip.

Hou Tonghai menghujamkan trisulanya dan Lu Guanying buru-buru mengelak ke samping. ‘Brakk!’ garpu bermata tiga itu menusuk tembok kurang dari satu kaki dari tempat Huang Rong sedang mengintip. Sebelum ia menarik trisulanya, bangku di tangan Lu Guanying menghantam ke arah bagian atas kepalanya. Kaki Hou Tonghai melayang untuk menendang tangan Lu Guanying, sementara kepalan kirinya menyerang muka Lu Guanying. Bangku itu terlepas dari tangan Lu Guanying karena ia terpaksa merunduk menghindari tinju lawannya. Sementara itu Hou Tonghai sudah berhasil menarik keluar trisulanya.

Nona Cheng melihat situasi kritis dan melompat maju, menarik golok dari pinggang Lu Guanying dan menyerahkannya kepada pemuda itu. “Terima kasih banyak!” kata Lu Guanying. Ia tak pernah menduga bahwa dalam situasi kritis gadis yang begitu sopan, lembut dan menawan ini akan berani memasuki arena perkelahian dan menghunus golok untuk membantunya. Ia melihat kilau terang dari trisula datang ke arahnya, goloknya segera terangkat secara horizontal di depan dadanya dan ‘traangg!’ bunga api tersebar kemana-mana ketika kedua senjata itu bertemu. Trisula itu dipaksa menyingkir, tetapi ia merasa dadanya sakit. Kelihatannya tenaga orang gila ini tidak bisa diremehkan, tetapi dengan golok di tangan, keberaniannya meningkat.

Setelah beberapa jurus, kaki kedua orang itu mulai menginjak kotoran ternak dan menyebarkannya kemana-mana dengan langkah mereka. Awalnya Hou Tonghai bertarung dengan takut-takut dan ia berpikir untuk menyelinap ke pintu untuk melarikan diri. Ia tidak berani menggunakan seluruh tenaganya, tetapi makin lama mereka bertarung, ia mulai melihat bahwa hantu itu ternyata tidak bisa mengalahkannya. Jelas sekali kekuatan gaibnya sudah diredam oleh kotoran hewan. Ia menjadi lebih nekad dan serangannya pun lebih ganas. Akhirnya Lu Guanying mengalami kesulitan menangkis serangannya.

Semula Nona Cheng merasa geli melihat kotoran ternak bertebaran di lantai dan ia hanya berdiri diam di sudut sambil mengawasi jalannya pertarungan. Tetapi ia melihat pemuda tampan ini akan kehilangan nyawanya di ujung trisula orang gila itu. Ia ragu-ragu sejenak, dan akhirnya membulatkan tekad, ia menghunus pedangnya. Ia berteriak kepada Lu Guanying, “Xiong Gong, aku akan membantumu. Maafkan aku.” Sikapnya begitu sopan, sampai-sampai minta maaf sebelum membantu orang lain. Pedangnya meluncur ke arah dada Hou Tonghai.

Ia adalah murid dari Qingjing Shangren, Sun Bu’er, jadi secara alamiah ia menguasai ilmu pedang aliran Quanzhen dengan baik. Hou Tonghai sudah menunggu hal ini. Ia berpikir bahwa Hantu berkepala Dua telah menjelma menjadi dua orang, dan hantu perempuan itu, sebagai roh jahat, cepat atau lambat pasti akan menyerangnya, maka ia sama sekali tidak heran. Tetapi Lu Guanying justru terkejut dan sekaligus senang. Ia melihat gerakan nona ini sangat cepat dan teknik pedangnya sangat indah. Hatinya dipenuhi kekaguman. Goloknya sendiri mulai bergerak kacau dan ia basah kuyup oleh keringat, tetapi sekarang seseorang datang menolong, semangatnya bangkit.

Awalnya Hou Tonghai agak kuatir tentang kedahsyatan hantu perempuan ini. Tetapi setelah beberapa jurus ia mulai melihat bahwa meskipun teknik pedangnya sangat bagus, tetapi tenaganya biasa saja. Lebih jauh lagi, ia tampak gugup. Mungkin ia belum lama menjadi hantu dan belum mencapai tingkat ‘Hantu Tua’. Ia secara berangsur-angsur merasa makin lega. Serangan trisulanya menimbulkan hembusan angin kuat. Meskipun dua lawan satu, tetapi ia masih mampu lebih banyak menyerang ketimbang lawan.

Menyaksikan dari ruangan lain, Huang Rong merasa sangat gelisah karena ia tahu Lu Guanying dan Nona Cheng akhirnya pasti akan kalah dan jatuh ke tangan lawan. Ia ingin membantu mereka, tetapi ia tidak bisa menginggalkan Guo Jing sejengkalpun. Kalau tidak begitu, dengan pengalaman segudang dan kecerdasannya yang tinggi, akan sangat mudah baginya untuk menipu Si Naga Berkepala Tiga itu.

Ia mendengar Lu Guanying berseru, “Nona, cepat pergi! Kau tidak perlu membahayakan dirimu melawan orang ini.”

Nona Cheng tahu bahwa Lu Guanying kuatir ia akan mengalami cedera dan ingin melawan orang gila ini sendirian. Ia sangat berterima kasih, tetapi ia juga tahu bahwa jika pemuda ini melawannya sendirian, ia tidak akan mampu mengimbangi lawan. Ia menggelengkan kepalanya dan menolak mundur.

Sambil melawan dengan sengit, Lu Guanying berseru kepada Hou Tonghai, “Sebagai pria sejati kau menyulitkan seorang perempuan, pendekar macam apa kau ini? Lawan aku saja, orang bermarga Lu, dan biarkan nona ini pergi.”

Meskipun keras kepala, tetapi sekarang Hou Tonghai sadar bahwa kedua orang ini bukan hantu. Tetapi melihat betapa cantiknya Nona Cheng, dan juga sekarang ia sedang berada di atas angin, ia mana mau melepaskannya begitu saja. Sambil tertawa ia berkata, “Aku ingin menangkap hantu laki-laki dan aku juga ingin mengambil hantu perempuan.” Trisulanya bergerak horizonal dengan tusukan keras. Ia bersikap tiga puluh persen lunak terhadap Nona Cheng, kalau tidak sekarang juga ia passti sudah menusuknya.

“Nona, cepat pergi!” kata Lu Guanying kuatir. “Orang bermarga Lu ini berterima kasih untuk kebaikanmu.”

“Marga Xiong Gong Lu, bukan?” tanya Nona Cheng dengan suara rendah.

“Tepat sekali,” kata Lu Guanying. “Nona, siapa namamu? Dari perguruan mana asalmu?”

“Guruku bermarga Sun. Orang memanggilnya Qingjing Shangren,” kata Nona Cheng. “Aku… aku…” Ia bermaksud mengatakan namanya, tetapi ia malu dan menutup mulutnya.

“Nona, aku akan menghalangi dia, dan kau bisa lari, cepat,” kata Lu Guanying. “Selama orang bermarga Lu ini masih hidup, aku akan mencarimu. Aku berterima kasih atas pertolonganmu hari ini.”

Nona Cheng tersipu dan agak gugup. “Aku… aku tidak… Xiong Gong…” Ia memalingkan kepalanya ke arah Hou Tonghai dan berkata, “Hei, orang gila! Jangan sembarangan melukai orang ini. Guruku Sun Zhenren dari Perguruan Quanzhen. Dia akan datang segera.”

Nama besar Tujuh Pendekar Quanzhen sudah terkenal di dunia persilatan. Hou Tonghai sudah melihat dengan matanya sendiri, ketika Si Kaki Besi, Wang Chuyi, mengintimidasi sekelompok ahli silat di Istana Zhao. Sekarang ketika mendengar Nona Cheng, ia agak gentar, tetapi setelah kejutan sesaat itu ia mengutuk, “Kalaupun Tujuh Pendekar Quanzhen maju bersama-sama, gurumu ini akan memotong-motong mereka semua, satu persatu!”

Dari luar pintu, tiba-tiba terdengan suara jernih berkata, “Siapa itu yang omong kosong dan sudah bosan hidup?”

Ketiganya sedang bertarung sengit, tetapi ketika mendengar suara ini mereka semua segera melompat mundur. Lu Guanying takut Hou Tonghai akan melancarkan serangan mendadak, jadi ia menarik Nona Cheng ke belakangnya dan melindunginya dengan golok. Baru pada saat itulah ia mengangkat mukanya dan melihat dengan lebih teliti.

Ia melihat seorang pendeta Tao muda sedang berdiri di pintu masuk, mengenakan jubah kulit dan ikat rambut berbintang. Wajahnya tampan, matanya cerah, ia memegang kebutan khas pendeta Tao di tangannya. “Siapa bilang mau memotong-motong Tujuh Pendekar Quanzhen?” tanyanya dengan dingin.

Dengan trisula di tangan kanan, dan tangan kiri bertolak pinggang, mata berbinar, Hou Tonghai berkata lantang, “Aku yang bilang! Ini gurumu! Jadi kenapa?”

“Baiklah,” kata pendeta muda itu. “Silakan kau coba.” Sambil mencondongkan tubuhnya ke depan, ia menyapu dengan kebutannya ke arah muka Hou Tonghai.

Saai itu Guo Jing sudah menyelesaikan latihannya satu putaran dan mendengar suara senjata beradu di luar, ia mengintip melalui lubang kecil. Huang Rong bertanya, “Anak muda ini juga seorang Pendekar Quanzhen?”

Guo Jing mengenali pendeta muda itu sebagai Yin Zhiping, murid Qiu Chuji. Dua tahun yang lalu ia menerima perintah dari gurunya untuk mengirimkan surat kepada Enam Orang Aneh dari Jiangnan dan sempat terlibat perkelahian dengan Guo Jing di malam hari, dan saat itu Guo Jing kalah. Guo Jing menceritakan semuanya kepada Huang Rong.

Setelah mengamatinya bertarung beberapa jurus melawan Hou Tonghai, Huang Rong menggelengkan kepalanya dan berkata, “Dia tidak akan bisa mengalahkan Naga Berkepala Tiga ini.”

Saat Yin Zhiping agak lengah terhadap serangan Hou onghai, Lu Guanying dengan golok di tangan segera maju untuk membantunya. Dibandingkan dengan saat melawan Guo Jing malam itu, ia sekarang telah mengalami beberapa kemajuan, tetapi bahkan setelah melawan Hou Tonghai bersama-sama dengan Lu Guanying, mereka hanya bisa menahan Hou Tonghai dalam posisi imbang.

Tangan kiri Nona Cheng hanya sempat dipegang Lu Guanyings elama beberapa saat, tetapi hatinya masih berdebar-debar tak keruan. Ketika mereka bertiga sedang bertarung sengit, ia sebetulnya melamun dan dengan lembut menyentuh tangannya sendiri. Tiba-tiba ia dikejutkan dari lamunan oleh suara senjata beradu dan teriakan Lu Guanying yang cemas, “Nona, awas!”

Hou Tonghai memperhatikan keadaannya dan menusukkan trisulanya ke arah gadis itu. Lu Guanying buru-buru menangkis serangan itu sambil berteriak memperingatkan. Muka Nona Cheng semakin memerah ketika ia tersadar dan kembali melibatkan diri dalam pertarungan. Kungfu Nona Cheng tidak begitu tinggi, tetapi dengan tiga melawan satu, Hou Tonghai mulai kewalahan membendung ketiga orang ini. Ia mengacung-acungkan trisulanya bertubi-tubi, berusaha menciptakan peluang untuk melarikan diri dan mencari bantuan, tetapi kebutan Yin Zhiping menari-nari mengelilingi mukanya, mengaburkan pandangannya. Ia lengah sesaat dan golok Lu Guanying berhasil melukai kakinya.

“Celakalah delapan belas leluhurmu!” kutuk Hou Tonghai. Tetapi akibat cedera ini ia menjadi lambat. Ia menusukkan trisulanya ke depan dan Yin Zhiping menangkis dengan kebutannya, dan kebutan itu melilitnya. Mereka saling tarik dengan sengit berusaha membebaskan senjata masing-masing. Karena Hou Tonghai lebih kuat, Yin Zhiping terpaksa melepaskan kebutannya.

Nona Cheng mengirimkan tusukan pedangnya menggunakan jurus Dou Yao Xing He dan menikam bahu kanannya. Hou Tonghai tidak mampu lagi mempertahankan trisulanya, dan senjata itu jatuh. Yin Zhiping mengambil kesempatan ini untuk menyapu kakinya, dan Hou Tonghai terjungkal ke lantai. Lu Guanying segera melabraknya. Mengambil sabuk kulit dari pinggangnya, ia mengikat kedua tangan Hou Tonghai ke belakang punggungnya.

Yin Zhiping tertawa dan berkata, “Kau bahkan tidak mampu mengalahkan murid Tujuh Pendekar Quanzhen, lalu bagaimana caramu memotong-motong Tujuh Pendekar Quanzhen?” Hou Tonghai membuka mulutnya untuk menyumpah-nyumpah, mengatakan bahwa itu karena tiga melawan satu, dan sama sekali bukan cara pendekar terhormat. Yin Zhiping merobek sebagian jubahnya untuk membungkam mulutnya. Muka Hou Tonghai tampak sangat marah, tapi ia tidak bisa berkata apa-apa.

Yin Zhiping membungkuk kepada Nona Cheng, “Shijie adalah murid Sun Shishu? Shidi Yin Zhiping menyapamu.”

Nona Cheng buru-buru membalas sikap tersebut sambil berkata, “Aku tidak layak menerimanya. Entah Shixiong ini murid Shibo yang mana? Shimei memberi hormat kepada Yin Shixiong.”

“Shidi murid dari Changchun,” jawab Yin Zhiping.

Sejak menjadi murid Sun Bu’er, Nona Cheng tidak pernah meninggalkan rumah. Ia juga belum pernah bertemu dengan keenam pendekar Quanzhen lainnya. Kendatipun begitu, gurunya sudah menceritakan mengenai paman-paman gurunya, dan bahwa Changchun Zi, Qiu Shibo adalah yang paling heroik dan punya ilmu silat paling tinggi. Setelah tahu bahwa Yin Zhiping adalah murid Qiu Chuji, ia memandangnya dengan penuh hormat. Sambil menundukkan kepala ia berkata, “Shixiong adalah kakak seperguruanku. Margaku Cheng. Panggil saja Cheng Shimei.”

Yin Zhiping sudah lama menjadi murid gurunya dan ia juga mewarisi pikiran terbuka serta sifat heroik yang sama. Ia beranggapan adik seperguruannya ini sangat feminin dan pemalu. Ia sama sekali tidak tampak seperti seorang pendekar, jadi diam-diam ia merasa geli. Ia mengobrol sebentar dengan Nona Cheng mengenai perguruan mereka, lalu berpaling kepada Lu Guanying untuk memperkenalkan diri. Lu Guanying memperkenalkan dirinya, tetapi sama sekali tidak menyebutkan nama ayahnya maupun julukannya.

Yin Zhiping beralih kepada Hou Tonghai. “Kungfu orang gila ini sebetulnya sangat bagus. Entah dari mana asalnya. Kita tidak boleh melepaskannya.” katanya.

Lu Guanying berkata, “Biar Xiaodi memakai golok untuk menghabisinya.” Ia pemimpin para perompak Danau tai, dan membunuh sama sekali bukan masalah baginya. Di lain pihak, Nona Cheng, berhati lembut. “Ah! Jangan membunuhnya!” katanya.

Yin Zhiping tersenyum. “Tidak masalah bagiku kalau tidak membunuhnya,” katanya. “Cheng Shimei, kau sudah lama di sini?”

Nona Cheng tersipu. “Shimei baru saja tiba,” katanya.

Yin Zhiping menatap keduanya dan berpikir, “Kelihatannya mereka berdua saling jatuh cinta… Aku tidak boleh ikut campur. Aku akan mampir sebentar lalu pergi.” Ia berkata, “Aku menerima perintah Shifu untuk pergi ke Desa Niu dan mencari seseorang, dan menyampaikan pesan kepadanya. Aku harus segera pergi. Sampai ketemu lagi.” Ia merangkapkan tangannya dan berpaling untuk pergi.

Muka merah Nona Cheng masih belum hilang dan ketika mendengarkan ucapannya, sepertinya rona merah itu kembali mewarnai wajahnya. Sambil menundukkan kepala ia bertanya malu-malu, “Yin Shixiong, kau sedang mencari siapa?”

Yin Zhiping ragu-ragu sejenak dan berpikir, “Cheng Shimei adalah murid perguruanku dan sobat ini adalah teman seperjalanannya, jadi ia juga bukan orang lain. Kurasa tidak apa-apa menceritakan kepada mereka.” Karena itu ia berkata, “Aku sedang mencari seorang teman bernama Guo.”

Mendengar kalimat ini orang-orang dari kedua sisi tembok tercengang. Lu Guanying bertanya, “Mungkinkah teman ini punya nama dengan satu karakter ‘Jing’?”

“Itu benar,” kata Yin Zhiping. “Lu Xiong juga mengenal sobat Guo ini?” tanyanya.

Lu Guanying menjawab, “Yang sedang kucari memang tepat adalah Guo Shishu ini.”

Yin Zhiping dan Nona Cheng sama-sama terkejut. “Kau memanggilnya Shishu?”

“Ayahku satu generasi dengan dia,” jawan Lu Guanying. “Karena itulah Xiaodi memanggil dia Shishu.” Lu Chengfeng dan Huang Rong memang satu generasi dalam arti mereka samasama murid Huang Yaoshi, dan Guo Jing bertunangan dengan Huang Rong. Ini alasannya kenapa Lu Guanying menganggap Guo Jing paman gurunya.

Nona Cheng tidak mengatakan apa-apa, tetapi hatinya kacau. Yin Zhiping cepat-cepat bertanya, “Kau sempat ketemu dia? Di mana dia?”

“Xiaodi baru saja tiba. Aku baru mau bertanya-tanya tentang dia waktu orang gila ini menyerang tanpa alasan,” jawab Lu Guanying.

“Bagus!” kata Yin Zhiping. “Kalau begitu ayo kita sama-sama mencarinya.” Ketiganya keluar dari pintu bersama-sama.

Huang Rong dan Guo Jing saling pandang dengan senyum pahit. “Mereka akan kembali,” kata Guo Jing. “Rong’er, buka pintunya dan panggil mereka.”

Huang Rong menghela nafas dan berkata, “Mana mungkin aku berbuat begitu? Orang-orang ini mencarimu dan itu pasti ada kaitannya dengan urusan penting. Kau masih berusaha menyembuhkan lukamu… mana bisa perhatianmu terbagi-bagi?”

“Itu benar!” kata Guo Jing setuju. “Itu pasti urusan penting. Kau bisa menebak atau tidak?”

Huang Rong berkata, “Aku tidak akan membuka pintu meskipun langit ambruk.”

Sudah pasti tak lama kemudian Yin Zhiping dan yang lain kembali lagi ke kedai itu. Lu Guanying berkata, “Bahkan di kampung halamannya tak ada yang tahu keberadaannya. Ini bukan berita baik.”

Yin Zhiping berkata, “Boleh kami tahu ada urusan penting apa Lu Xiong mencari dia?”

Semula Lu Guanying tidak ingin menceritakannya, tetapi setelah melihat tatapan Nona Cheng yang penuh harap, entah mengapa ia sulit untuk menolak. Ia berkata, “Ceritanya agak panjang. Biar Xiaodi menyapu semua kotoran di lantai ini dulu, lalu aku akan menceritakan semuanya kepada kalian berdua.” Tidak ada sapu atau kemoceng, atau apapun yang bisa dipakai sebagai sapu di kedai itu, jadi Yin Zhiping dan Lu Guanying harus menggunakan tiga batang ranting pohon untuk membersihkan kotoran itu, dan baru setelah itu mereka bisa duduk untuk bicara.

Lu Guanying baru hendak bicara ketika Nona Cheng mendadak berkata, “Tunggu sebentar!” Ia menghampiri Hou Tonghai dan merobek sedikit kain dari pakaiannya untuk menyumbat teliga orang itu. “Kita tidak boleh membiarkannya ikut mendengar,” katanya dengan nada rendah.

Lu Guanying memujinya, “Nona sangat teliti. Kita tidak tahu asal-usul orang gila ini, jadi kita tidak boleh membiarkan dia ikut mendengar apa yang kita bicarakan.”

Di balik tembok, Huang Rong diam-diam tertawa. “Kami menguping di sini dan sama sekali tidak mungkin kalian bisa tahu. Ouyang Ke berbaring di dalam sambil mendengarkan dan tak ada yang curiga, dan kau masih bicara soal ketelitian?”

Nona Cheng belum pernah berkeliling Jianghu sebelumnya. Yin Zhiping mewarisi sifat sembrono gurunya dan juga masih muda dan kurang pengalaman. Lu Guanying adalah seorang pemimpin perompak Danau Tai yang sudah terbiasa memberi perintah, dan tidak terbiasa memperhatikan detil. Itu sebabnya mereka bertiga membicarakan urusan penting tanpa menyelidiki dengan teliti keadaan sekelilingnya.

Ketika berjongkok, Nona Cheng sempat melihat bahwa telinga Hou Tonghai telah dipotong. Ia hanya terkejut sesaat sebelum menyumbat lubang telinganya dengan kain. Ia ttersenyum tipis dan berkata kepada Lu Guanying. “Sekarang kita bisa bicara.”

Lu Guanying agak enggan bicara, “Ah! Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Aku mencari Guo Shishu dan terus terang saja, sebaiknya ini tidak kulakukan, tapi aku harus melakukannya.”

“Ini agak aneh,” kata Yin Zhiping mengomentari.

“Ini benar,” lanjut Lu Guanying. “Aku mencari Guo Shishu bukan karena dia sendiri, tapi karena keenam gurunya.”

Yin Zhiping menampar meja dan berseru, “Enam Orang Aneh dari Jiangnan?”

“Tepat sekali,” jawab Lu Guanying.

“Aha!” seru Yin Zhiping. “Kurasa Lu Xiong datang ke tempat ini dengan alasan yang sama seperti aku. Kenapa kau tidak menulis sebuah nama dan biarkan Cheng Shimei yang menilai apa kita memang sedang memikirkan masalah yang sama.”

Sebelum Lu Guanying sempat menjawab, Nona Cheng sudah tersenyum dan berkata, “Itu ide yang baik. Kalian berdua sama-sama berbalik dan tulis.”

Yin Zhiping dan Lu Guanying sama-sama mengambil sebatang ranting dan menulis sesuatu di lantai. Yin Zhiping berkata sambil tersenyum, “Cheng Shimei, coba lihat apa kita berdua menulis sesuatu yang sama?”

Nona Cheng melihat tulisan mereka, dan dengan suara rendah ia berkata, “Yin Shixiong, dugaanmu salah. Tulisan kalian berdua berbeda.”

“Ah!” seru Yin Zhiping sambil bangkit berdiri.

Nona Cheng tersenyum dan berkata, “Kau menulis ‘Huang Yaoshi’, dan dia sebetulnya menggambar bunga persik.”

Huang Rong tersentak. “Keduanya mencari Jing Gege karena urusan ayahku?” pikirnya. Ia mendengar Lu Guanying berkata, “Yang ditulis Yin Xiong adalah nama guru besar perguruanku. Xiaodi tidak berani menulis namanya.”

Yin Zhiping terkejut. “Guru besarmu? Hmm, kelihatannya kita memang menulis hal yang sama. Bukankah Huang Yaoshi adalah majikan Pulau Bunga Persik?”

“Oh! Jadi rupanya begitu,” kata Nona Cheng.

Yin Zhiping berkata, “Karena Lu Xiong murid Pulau Bunga Persik, maka alasanmu untuk mencari Enam Orang Aneh dari Jiangnan pastilah bukan untuk keuntungan mereka, kan?”

“Wah, itu salah,” kata Lu Guanying.

Yin Zhiping melihat Lu Guanying enggan bicara. Ia merasa tidak senang dan berkata, “Karena Lu Xiong tidak menganggapku sebagai teman, maka tidak ada gunanya kita bicara lagi. Aku pergi sekarang.” Ia bangkit berdiri dan berbalik untuk pergi.

Lu Guanying cepat-cepat berkata, “Yin Xiong, tunggu! Xiaodi punya kesulitan dan aku perlu bantuanmu.”

Yin Zhiping sangat senang ketika mendengar orang datang kepadanya karena perlu bantuan, maka ia dengan senang hati berkata, “Baiklah, silakan bicara.”

Lu Guanying berkata, “Yin Xiong, kau murid dari Quanzhen. Kalau kau tahu ada orang dalam bahaya, kau pasti akan memperingatkan orang itu supaya waspada. Itu bagian dari kewajibanmu sebagai orang benar. Tapi bagaimana kalau atasanmu sendiri yang ingin menyakiti orang tak bersalah… kau masih memperingatkan orang-orang tak bersalah itu untuk waspada terhadap atasanmu?”

Yin Zhiping menepuk lututnya sendiri dan berseru, “Betul sekali! Aku tahu kau murid Pulau Bunga Persik, jadi kau pasti kesulitan besar dalam urusan ini. Baiklah, kita lihat apa yang bisa kulakukan.”

Lu Guanying berkata, “Dalam hal ini, kalau Xiaodi tidak berbuat apa-apa berarti Xiaodi tidak melakukan tugas untuk menegakkan kebenaran. Tapi kalau Xiaodi melakukannya, berarti Xiaodi mengkhianati perguruan sendiri. Meskipun sebenarnya Xiaodi sangat mengharapkan bantuan, sejujurnya saja, Xiaodi tidak bisa membuka mulut.”

Yin Zhiping sedikit banyak sudah bisa menduga apa yang diinginkannya, tetapi karena ia menolak untuk mengatakannya secara terbuka, Yin Zhiping jadi tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia mengangkat tangannya untuk menggaruk kepalanya dan tampak bingung.

Nona Cheng teringat sesuatu, kalau seorang gadis terlalu malu untuk mengatakan keinginan hatinya, maka ibu dari semua saudaranya biasanya akan menanyakan segudang pertanyaan, dan menyimpulkan apa yang sesungguhnya diinginkannya hanya dari anggukan atau gelengan kepala. Meskipun ini bukan cara terbaik, tetapi cara ini biasanya akan mengungkapkan isi hati gadis itu pada akhirnya. Contohnya Sang Ibu biasanya akan bertanya, “Nak, apakah kau betul-betul menyukai Zhang Sange?” Dan gadis itu ternyata menggelengkan kepalanya. “Mungkin Li Silang?” Dan gadis itu menggeleng lagi. “Kalau begitu pastilah saudara sepupu keluarga Wang.” Si Gadis ternyata menundukkan kepalanya tanpa berkata apa-apa, yang berarti dugaan ibunya benar. Maka dari itu Nona Cheng berkata kepada Yin Zhiping, “Yin Shixiong, kau coba tanya sesuatu kepada Lu Xiong. Kalau benar dia akan mengangguk, dan kalau salah maka dia akan menggeleng. Dengan cara itu dia tidak akan bilang apapun untuk mengkhianati perguruannya.”

Yin Zhiping kegirangan. “Shimei, ini ide bagus. Lu Xiong, biar kuceritakan dulu apa urusanku sebenarnya. Guruku, Changchun Zhenren, mendengar bahwa majikan Pulau Bunga Persik membenci Enam Orang Aneh dari Jiangnan sampai ke tulang sumsumnya, dan bahwa dia ingin seluruh keluarga mereka berenam dari muka bumi. Guruku dengan segera berangkat ke Jiaxing untuk memberi peringatan. Dari situ guruku mengunjungi keluarga mereka berenam satu per satu dan menganjurkan supaya mereka menghindar dari bahaya. Waktu Huang Daozhu tiba, dia tidak menemukan siapapun yang dicarinya di situ. Dia sangat marah dan melampiaskan segala emosinya ke udara… lalu dia berangkat ke Utara. Aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Kau sudah tahu masalah ini?”

Lu Guanying mengangguk. Yin Zhiping melanjutkan, “Kukira Huang Daozhu mengejar Enam Orang Aneh ke Utara. Semula memang ada perbedaan pendapat antara guruku dengan Enam Orang Aneh, tapi pertama-tama, perbedaan pendapat ini sudah diselesaikan, dan kedua, guruku sangat mengagumi kegagahan Enam Orang Aneh dalam menolong orang lain yang sedang kesusahan. Dan yang terakhir, guruku berpikir urusan ini sama sekali bukan salah Enam Orang Aneh sama sekali. Maka yang terjadi selanjutnya adalah Tujuh Pendekar Quanzhen mengadakan pertemuan di Jiangnan dan dari situ mereka menyebar untuk menemukan Enam Orang Aneh, untuk memperingatkan mereka akan bahaya yang akan datang. Yang terbaik adalah kalau mereka bisa bersembunyi di tempat yang sangat jauh sehingga Guru Besarmu tidak bisa menemukan mereka. Apakah kau setuju bahwa kita sedang melakukan hal yang benar?”

Lu Guanying menganggukkan kepalanya berkali-kali.

Huang Rong heran. “Jing Gege sudah melakukan kewajibannya untuk pergi ke Pulau Bunga Persik. Kenapa ayah masih terus mencari masalah dengan Enam Orang Aneh?” Ia tidak tahu kalau ayahnya mendengar kebohongan Lingzhi Shangren dan percaya bahwa putrinya sudah tewas di tengah laut. Maka dari itu ia ingin melampiaskan amarahnya kepada Enam Orang Aneh.

Ia mendengar Yin Zhiping melanjutkan, “Karena tidak bisa menemukan Enam Orang Aneh, guruku kemudian teringat murid mereka, Guo Jing. Dia berasal dari Desa Niu di propinsi Lin’an dan sangat mungkin kembali ke kampung halamannya. Untuk alasan inilah guruku mengirimku ke sini. Dengan begitu kita mungkin bisa tahu di mana Enam Orang Aneh berada. Kau juga ke sini untuk alasan yang sama?”

Lu Guanying lagi-lagi menganggukkan kepalanya. Yin Zhiping berkata, “Siapa sangka Guo Xiong masih belum pulang. Guruku sangat dekat dengan Enam Orang Aneh, tapi karena tidak bisa menemukan mereka, guruku jadi tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tapi karena masalahnya seperti ini, maka kemungkinan Huang Daozhu juga tidak bisa menemukan mereka. Lu Xiong, kau bilang mengharapkan bantuan… juga ada kaitannya dengan urusan ini?”

Lu Guanying mengangguk. Yin Zhiping berkata, “Silakan Lu Xiong memberi perintah apapun. Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi harapanmu.”

Lu Guanying tidak membuka mulutnya dan ia tampak bimbang. Nona Cheng berkata sambil tersenyum, “Yin Shixiong, kau lupa bahwa Lu Xiang Gong tidak bisa membuka mulut untuk bicara secara terbuka.”

Yin Zhiping tersenyum. “Betul juga,” katanya. “Lu Xiong… kau ingin supaya aku menunggu Guo Xiong di tempat ini?” Lu Guanying menggelengkan kepalanya.

“Kau ingin supaya aku mencari Enam Orang Aneh dan Guo Xiong kalau begitu?” tanya Yin Zhiping. Lagi-lagi Lu Guanying menggelengkan kepalanya.

“Ah, aku tahu,” kata Yin Zhiping. “Lu Xiong ingin supaya aku menyebarkan berita di Jianghu. Enam Orang Aneh berasal dari Jiangnan. Sekali berita ini muncul, maka mereka cepat atau lambat juga akan mendengarnya.”

Lu Guanying lagi-lag menggelengkan kepalanya. Yin Zhipingmencoba menawarkan tujuh sampai delapan solusi berikutnya, tetapi Lu Guanying terus menggelengkan kepalanya. Nona Cheng juga menanyakan dua pertanyaan, tetapi tak satupun tebakannya benar. Tak hanya Yin Zhiping yang bingung, Huang Rong di ruang sebelah juga sama. Mereka bertiga terjebak macet di sini sampai lama sekali. Akhirnya Yin Zhiping tertawa dan berkata, “Cheng Shimei, kau bisa bicara dengan dia… Aku tidak bisa terus main kucing-kucingan seperti ini. Aku keluar dulu untuk berjalan-jalan. Aku akan kembali beberapa jam lagi.” Dengan itu ia berjalan keluar ruangan.

Selain Hou Tonghai, tak ada orang lain lagi di samping Lu Guanying dan Nona Cheng. Kepala Nona Cheng tertunduk, dan ia melihat Lu Guanying masih juga belum bergerak. Ia mencuri pandang tepat pada saat Lu Guanying juga sedang menatapnya. Keduanya bertemu mata dan mereka buru-buru memalingkan muka. Muka Nona Cheng lebih merah dari sebelumnya dan menundukkan kepalanya lebih dalam, sampai dagunya menyentuh dada. Tangannya memainkan perhiasan sutra di ujung pedangnya.

Lu Guanying perlahan-lahan bangkit berdiri dan berjalan mendekati sebuah panci, yang di atasnya terdapat sebuah patung Dewa Dapur. Ia berdiri di depan Dewa Dapur itu dan berkata, “Dewa Dapur, wanbei punya masalah yang menyesakkan dada, tapi tidak bisa mengatakannya kepada orang lain. Aku igin mengatakannya kepadamu, berharap dengan kekuatanmu yang ajaib kau akan memberkati urusan ini.”

Diam-diam Nona Cheng memujinya. “Orang cerdik.” Ia mengangkat kepalanya dan mendengarkan dengan cermat.

Lu Guanying berkata, “Wanbei Lu Guanying, anak dari Lu Zhuangzhu dari Rumah Awan di Danau Tai. Nama ayahku Lu Chengfeng, dan dia murid dari Huang Daozhu dari Pulau Bunga Persik. Beberapa hari yang lalu guru besarku datang ke Rumah Awan dan bilang bahwa dia ingin membunuh Enam Orang Aneh dar Jiangnan berikut seluruh keluarga mereka. Dia memberi perintah kepada ayahku dan juga Shibo Mei Chaofeng untuk membantunya mencari mereka semua. Mei Shibo punya dendam yang sangat dalam kepada Enam Orang Aneh dari Jiangnan, jadi dia menerima perintah itu dengan segala senang hati. Tapi ayahku mengenal Enam Orang Aneh dari Jiangnan sebagai patriot dan pendekar yang gagah berani. Membunuh mereka akan sama sekali tidak benar. Terlebih lagi, ayahku adalah sahabat baik murid Enam Orang Aneh, Guo Shishu, maka dari itu dia tidak bisa mengabaikan urusan ini begitu saja. Ayahku telah menerima perintah dari guru besarku, dan dia dalam situasi sulit. Dia ingin mengutusku untuk memperingatkan Enam Orang Aneh dari Jiangnan, supaya mereka bisa meloloskan diri dari bahaya, tetapi ayahku tidak bisa mengkhianati gurunya sendiri. Malam itu ayahku menegadah ke langit sambil menghela nafas, dan bicara kepada diri sendiri untuk mengungkapkan kekuatirannya. Wanbei sedang berada di dekat situ dan mendengar semuanya. Sebagai anak yang berbakti, wanbei ikut menanggung beban yang sama. Akhirnya guru besarku pergi, dan wanbei malam itu juga berangkat untuk mencari Enam Orang Aneh dan mengirimkan peringatan.”

Huang Rong dan Nona Cheng sama-sama berpikir, “Ternyata dia mencontoh cara ayahnya, memberitahu seseorang tanpa mengkhianati perguruan sendiri.”

Mereka mendengarkan Lu Guanying melanjutkan, “Enam Orang Aneh tidak bisa ditemukan di mana-mana, tapi aku teringat muridnya, Guo Shishu, tapi dia juga tidak bisa ditemukan di mana-mana. Guo Shishu adalah menantu dari guru besarku…”

“Ah!” Nona Cheng berseru tertahan, tetapi kemudian ia buru-buru menutup mulutnya dengan tangan. Semula ia tertarik kepada Guo Jing dan mengira jatuh cinta kepadanya. Ia tidak menyadari bahwa hal itu hanya sekedar pesona sesaat, dan bukan sungguh-sungguh cinta. Hari ini bertemu dengan Lu Guanying yang tampak berbeda, tampan dan elegan. Dalam segala hal ia tampak jauh mengungguli Guo Jing. Ketika mendengar bahwa Guo Jing adalah menantu dari Huang Yaoshi, ia terkejut, tapi ternyata sama sekali tidak sedih ataupun patah hati. Sebaliknya ia merasa lega. Ia juga teringat ketika di Baoying, Guo Jing dan Huang Rong memang terlihat sangat dekat. Seketika itu semuanya ini tidak lagi menjadi masalah baginya. Tanpa sadar hati wanita muda ini sudah diambil oleh orang lain.

Lu Guanying mendengar seruan pelannya. Ia ingin menoleh dan menatapnya, tapi kemudian menahan diri. Ia berpikir, “Kalau aku tahu seseorang sedang mendengarkan, maka aku harus segera berhenti bicara. Hari itu ketika ayah bicara kepada Surga, tak pernah sekalipun dia memandang ke arahku. Sekarang ini aku sedang bicara kepada Dewa Dapur. Kalau dia mendengarkan, berarti dia mencuri dengar, itu tidak ada hubungannya sama sekali denganku.” Maka dari itu ia meneruskan, “Aku berharap waktu ketemu Guo Shishu, dia dan Huang Shigu akan memohon kepada guru besarku supaya berbelas kasihan. Guru besarku memang pemarah, tapi dia menyayangi putrinya dan menantunya, jadi kemungkinan dia tidak akan membunuh guru-guru menantunya. Namun begitu, dari cara ayahku bicara, kedengarannya seperti Guo Shishu dan Huang Shigu sudah mengalami bencana besar. Apapun itu, sama sekali tidak enak bagiku untuk bertanya kepada ayah.”

Mendengarkan sampai di sini, Huang Rong berpikir, “Apa ayah tahu kalau Jing Gege sedang terluka parah? Tidak, dia tidak mungkin tahu masalah ini. Kemungkinan besar dia mendengar kabar bahwa kami mengalami malapetaka di pulau itu.”

Sementara itu Lu Guanying melanjutkan, “Yin Xiong sangat terus terang dan adil. Nona Cheng sangat cerdas dan ramah…”

Mendengar Lu Guanying memuji dirinya, Nona Cheng senang dan sekaligus malu.

”… tetapi apa yang ada di hatiku lebih mirip angan-angan dan mereka tidak mungkin menduganya. Kupikir Enam Orang Aneh dari Jiangnan adalah para pendekar terkenal dan orang-orang baik. Meskipun kungfu mereka lebih rendah daripada guru besarku, tetapi meminta mereka melarikan diri dari bahaya adalah sama dengan menuduh mereka takut mati. Mereka sudah pasti tidak akan mempertimbangkan tindakan pengecut semacam itu. Aku justru takut begitu mereka mendengar kabar itu, bukannya melarikan diri, mereka malah justru akan pergi mencari guru besar! Kalau begitu, bukannya menolong mereka aku malah justru seperti sengaja mengirim mereka ke malapetaka.”

Huang Rong menganggukkan kepalanya di empat tak terlihat. Ia pikir Lu Guanying sangat layak menjadi pemimpin para pendekar Danau Tai, dan ia sangat memahami pikiran para pendekar di Jianghu. Ia mendengarnya melanjutkan lagi, “Aku juga mendengar bahwa Tujuh Pendekar Quanzhen adalah orang-orang yang gagah berani dengan nama dan prestasi yang besar. Kungfu mereka juga sangat tinggi. Seandainya Yin Xiong dan Nona Cheng bersedia memohon dengan tulus kepada guru-guru mereka untuk menjadi penengah, maka guru besarku kemungkinan besar akan memberi muka kepada mereka. Kupikir tidak ada permusuhan yang begitu dalam sampai tak terselesaikan antara guru besarku dan Enam Orang Aneh dari Jiangnan. Kemungkinan besar mereka berenam telah mengatakan atau melakukan sesuatu yang menyinggung harga diri guru besar. Yang mereka perlukan adalah seorang pribadi dengan reputasi besar yang bisa menengahi, maka kata maaf pastilah bukan hal yang tak mungkin dicapai. Dewa Dapur, kesulitan wanbei adalah, ide besarku ini hanya omong kosong belaka, karena aku juga tidak bisa membeberkannya kepada orang lain. Aku memohon kepadamu untuk menangani masalah ini untukku.” Setelah selesai bicara, ia berkali-kali membungkuk untuk memberi hormat kepada Sang Dewa Dapur.

Setelah Lu Guanying selesai bicara, Nona Cheng buru-buru berbalik untuk mencari Yin Zhiping, tetapi ketika ia berjalan ke pintu ia mendengar Lu Guanying bicara lebih jauh lagi, “Dewa Dapur, seandainya Tujuh Pendekar Quanzhen bersedia menengahi, mereka akan melakukan suatu pekerjaan besar yang sangat mulia. Sewaktu bicara dengan guru besarku, kuharap mereka semua bisa menjaga sikap sopan dan selayaknya, dan tidak menyinggung guru besarku dalam hal apapun. Kalau tidak, maka ‘ombak besar belum surut, gelombang lain datanglah…’ dan segala upaya akan menjadi sia-sia. Ini semua harapanku kepadamu.”

Nona Chen tersenyum dan berkata dalam hati, “Kau sudah selesai bicara, sekarang giliranku untuk menangani masalahmu.” Lalu ia meninggalkan kedai itu untuk mencari Yin Zhiping. Tapi setelah berkeliling desa, ia sama sekali tidak menemukan bayangan maupun jejaknya.

Ia hendak berpaling dan kembali ketika tiba-tiba mendengar suara Yin Zhiping memanggilnya dengan suara rendah, “Cheng Shimei!” Ia memberi isyarat kepada gadis itu dari sudut sebuah dinding.

“Ah! Rupanya kau di sini,” kata Nona Cheng dengan gembira.

Yin Zhiping memberi isyarat dengan tangannya supaya ia tidak bicara. Ia menunjuk ke arah barat dan berjalan mendahuluinya. Dengan suara rendah ia memberitahu, “Ada beberapa orang mencurigakan menyelinap di situ, dan mereka semua membawa senjata.”

Pikiran Nona Cheng dipenuhi hal-hal yang barusan diucapkan Lu Guanying. Ia berkata, “Kurasa mereka hanya numpang lewat.”

Muka Yin Zhiping sangat serius dan sekali lagi ia berkata dengan suara rendah, “Gerakan mereka sangat gesit dan kungfu mereka pasti sangat tinggi. Kita harus berhati-hati.” Sebetulnya yang dilihatnya adalah Peng Lianhu dan kawan-kawannya. Mereka menunggu Hou Tonghai sekian lama dan ia belum juga kembali. Mereka pikir ia pasti dalam bahaya, tapi mereka semua masih ingat ahli kungfu yang pura-pura jadi hantu malam sebelumnya di Istana Kekaisaran. Mereka juga tidak berani menolongnya. Yin Zhiping menunggu sejenak dan setelah tidak melihat ada gerakan, ia mendekat untuk melihat-lihat… tetapi orang-orang itu ernyata sudah menghilang tanpa jejak. Lalu Nona Cheng memberitahunya segala sesuatu yang didengarnya dari Lu Guanying.

Yin Zhiping tersenyum dan berkata, “Jadi itu yang dipikirkannya. Bagaimana orang bisa tahu? Cheng Shimei, kau pergi untuk minta bantuan Sun Shishu, aku akan minta bantuan Shifu. Kalau Tujuh Pendekar Quanzhen bersedia bertindak, maka tidak ada masalah di bawah matahari yang tak terselesaikan.”

“Tapi kita harus berhati-hati supaya tidak kacau,” kata Nona Cheng. Lalu ia meneruskan apa yang dikatakan Lu Guanying tepat sebelum ia meninggalkan kedai.

“Hmm!” dengus Yin Zhiping. “Memangnya siapa sih Huang Yaoshi ini? Apa dia lebih kuat dari Tujuh Pendekar Quanzhen?”

Nona Cheng hendak mengingatkannya supaya jangan arogan, tetapi ketika melihat air mukanya yang tegas, ia segera menelan kembali ucapannya. Keduanya berjalan kembali ke kedai Sha Gu.

Lu Guanying berkata, “Xiaodi harus segera pergi. Kapanpun kalian lewat di sekitar Danau Tai, silakan mampir dan menginap beberapa hari.” Nona Cheng sangat kecewa melihatnya hendak segera pergi, tapi mana mungkin ia mengungkapkan perasaannya yang tersembunyi dalam-dalam.

Yin Zhiping berpaling menghadap patung Dewa Dapur dan berkata, “Dewa Dapur, Perguruan Quanzhen selalu bersedia menolong semua orang yang kesusahan. Kapanpun terjadi ketidakadilan di Jianghu dan murid-murid Quanzhen mendengarnya, maka tidak mungkin kami tidak ikut campur.”

Lu Guanying tahu bahwa ucapan itu ditujukan kepada dirinya dan ia juga bicara, “Dewa Dapur, aku berdoa supaya engkau memberkati, maka urusan ini akan bisa diselesaikan dalam damai. Wanbei akan selamanya berterima kasih kepada semua orang yang menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk membantu.”

Yin Zhiping berkata, “Dewa Dapur, jangan kuatir. Kekuatan Tujuh Pendekar Quanzhen emngguncang dunia. Selama mereka bersedia turun tangan, maka tak ada persoalan di dunia ini yang tidak sanggup mereka hadapi.”

Lu Guanying terkejut dan berpikir, “Bagaimana guru besarku akan bisa diyakinkan kalau Ketujuh Pendekar Quanzhen mengandalkan kekuatan mereka?” Ia buru-buru berkata, “Dewa Dapur, kau tahu bahwa guru besarku datang dan pergi semaunya dan tak pernah memperhatikan orang lain. Kalau orang bicara sebagai teman, ia akan mendengarkan, tapi ia akan meremehkan kalau orang ingin menasihatinya.”

“Ha, ha …” Yin Zhiping laughed, then said, “Kitchen God, Master, how can the Quanzhen Seven Masters be afraid of others? Originally this matter had nothing to do with us and my Master only sent me to deliver a warning, but if anybody provokes us Quanzhen disciples, I don’t care whether he is Huang Yaoshi or Hei Yaoshi [surname ‘huang’ lit. ‘Yellow’, hei lit. ‘Black’], the Quanzhen Sect will definitely teach him a lesson.”

“Haha…!” Yin Zhiping tertawa. lalu berkata, “Dewa Dapur, mana mungkin Tujuh Pendekar Quanzhen takut kepada orang lain? Awalnya urusan ini tidak ada kaitannya dengan kami dan guruku hanya menyuruhku menyampaikan pesan peringatan, tapi kalau ada orang yang menantang kami para murid Quanzhen, aku tidak peduli dia Huang yaoshi atau Hei Yaoshi10, perguruan Quanzhen pasti akan memberinya pelajaran.”

Lu Guanying merasa dadanya hampir meledak karena marah dan berkata, “Dewa Dapur, apa yang baru Wanbei ucapkan, tolong anggap saja aku sedang mengigau. Kalau ada orang yang meremehkan kami, maka kami juga tidak ingin menerima bantuan orang lain lagi.” Kedua orang ini sedang saling bicara, tetapi mereka menghadap patung Dewa Dapur. Yang seorang bicara, yang lain menanggapi, lama kelamaan isi pembicaraan itu semakin panas.

Nona Cheng ingin menengahi, tetapi kedua pria itu masih muda dan berdarah panas, dan tak seorangpun dari mereka bersedia mengalah setengah katapun. Akhirnya Yin Zhiping berkata, “Dewa Dapur, ilmu silat aliran Quanzhen adalah yang paling murni dari ilmu ortodoks, sementara yang lain mengandung ilmu sesat. Meskipun mereka bagus, mana mungkin dibandingkan dengan ilmu Quanzhen.”

Lu Guanying menanggapi, “Dewa Dapur, aku sudah mendengar reputasi ilmu silat Quanzhen. Sudah pasti ada beberapa ahli silat dalam perguruan Quanzhen, tapi itu bukan berarti tidak ada orang yang arogan dan bermulut besar di antara para muridnya.”

Yin Zhiping sangat marah. Telapak tangannya meluncur dan salah satu sudut meja dapur itu pun pecah. Ia menatap tajam dan berseru nyaring, “Bocah, kau menghina orang!”

‘Braakkk!’ Lu Guanying menghanta, sudut lainnya dan juga pecah berantakan ke lantai. Ia membentak, “Mana mungkin aku menghinamu? Aku hanya menghina murid-murid yang brengsek dan licik itu.”

Yin Zhiping sudah melihat kungfu Lu Guanying dan ia tahu bahwa ilmu silatnya lebih unggul, jadi kepercayaan dirinya meningkat. Sambil tertawa dingin ia berkata, “Baik, ayo kita uji, dan kita lihat siapa di sini yang licik.”

Lu Guanying tahu pasti bahwa ia bukan tandingan Yin Zhiping, tetapi ia sangat benci kalau ada orang menghina perguruannya. Ia seperti orang yang sedang menunggang harimau. Ia tidak bisa terus menungganginya, tapi sangat sulit meloloskan diri dengan aman. Ia menghunus goloknya, memberi sikap hormat dengan merangkapkan tangannya, lalu berkata, “Xiaodi sudah siap menerima jurus hebat dari aliran Quanzhen.”

Nona Cheng sangat cemas, dan air mata mulai menitik di pipinya. Ia ingin melemparkan diri di antara kedua orang ini, tetapi setiap kali memikirkan hal ini, keberaniannya menyusut. Ia melihat Yin Zhiping menyapukan kebutannya, dan melangkah maju untuk melancarkan serangannya. Keduanya langsung mulai berkelahi dengan sengit.

Lu Guanying sama sekali tidak berharap untuk menang… ia hanya berharap untuk terhindar dari kekalahan yang memalukan. Ia segera melancarkan Luo Han Dao Fa yang dipelajarinya dari Biksu Kumu, menciptakan pertahanan ketat di sekeliling tubuhnya.

Yin Zhiping dengan segera mengambil posisi menyerang, dan ia terkejut menyadari bahwa tenaga dari sambaran golok lawannya ternyata begitu kuat. Ia sadar bahwa ia secara sembrono sudah meremehkan lawannya ketika tangan kirinya nyaris terbabat putus. Hatinya terguncang, ia segera berkonsentrasi untuk menyambut serangan dan membalasnya dengan lebih baik. Menggunakan ilmu khusus dari perguruannya untuk menenangkan pikiran dan semangatnya, ia memakai langkah lambat dan gerakan tangan cepat. Hanya dengan menerapkan cara ini ia berhasil mengungguli lawan.

Selama beberapa bulan terakhir, Lu Guanying menerima petunjuk ayahnya, jadi ia mengalami kemajuan sangat pesat, tetapi tetap saja wwaktu latihannya masih belum cukup lama jika dibandingkan dengan Yin Zhiping yang adalah murid utama dari Qiu Chuji.

Huang Rong mengamati mertarungan itu dari lubang kecil. Ia melihat Yin Zhiping secara berangsur-angsur berhasil mengungguli lawannya, dan dalam hati ia mengutuk. “Xiao Za Mao[^xiao-za-mao] ini menghina ayahku. Seandainya saja Jing Gege tidak cedera, aku pasti akan memberinya pelajaran tentang ‘Ilmu Sesat Pulau Bunga Persik’. Waduh! Celaka!” Ia melihat golok Lu Guanying membabat dengan gerakan yang cukup mudah dikenali, yang segera dipotong dan dialihkan oleh Yin Zhiping dengan menggunakan kebutannya. Lalu ia memutar tangannya dan jarinya bergerak dengan kecepatan luar biasa ke arah cekukan di siku Lu Guanying. Lu Guanying merasa lengannya mati rasa dan goloknya jatuh ke lantai. Tanpa belas kasihan Yin Zhiping menyapukan kebutannya ke arah muka Lu Guanying sambil berseru keras, “Inilah kungfu aliran Quanzhen, ingat baik-baik!” Kebutannya terbuat dari ekor kuda bercampur helaian perak. Kalau muka Lu Guanying terkena pasti akan tersayat tak terhingga jumlahnya.

Lu Guanying menyadari situasi berbahaya dan buru-uru mengelak. Kebutan itu diikuti oleh sapuan ke bawah. Tiba-tiba terdengar suara lembut, “Yin Shixiong!” Nona Cheng menghunus pedangnya untuk menangkis kebutan. Lu Guanying mengambil kesempatan itu untuk melompat mundur dan memungut goloknya dari lantai.

Yin Zhiping tertawa dingin. “Bagus! Cheng Shimei… kau membela orang luar. Ayo! Kalian berdua, sepasang kekasih maju sekaligus.”

“Kau… kau…” suara Nona Cheng gemetar.

Yin Zhiping menyapu degan kebutannya tiga kali, memaksa kaki dan tangannya bergerak tak terkendali. Lu Guanying melihatnya dalam situasi buruk, dan segera bergabung untuk bertarung dua lawan satu. Nona Cheng tidak ingin bertarung melawan saudara seperguruannya sendiri, ia melompat mundur.

“Ayo!” kata Yin Zhiping. “Dia tidak sanggup melawanku sendirian. Sebentar lagi kau juga pasti akan datang membantunya lagi.”

Huang Rong menonton pertarungan ketiga orang itu dengan senang. Selagi ia bertanya-tanya bagaimana cara menyelesaikan urusan ini, ia tiba-tiba mendengar suara berisik dari pintu masuk. Ia melihat Sha Tongtian, Peng Lianhu, bersama dengan Yang kang dan lainnya datang bersama.

Mereka telah menunggu Hou onghai sangat lama, dan ia tak juga kembali. Sha Tongtian kuatir akan keselamatan adik seperguruannya. Mengumpulkan keberaniannya, ia diam-diam datang untuk melihat-lihat. Ia melihat dua orang sedang berkelahi di dalam kedai, dan tampaknya kungfu mereka biasa saja. Ia menunggu lama dan tidak melihat ada orang lain di situ. Ia takut masuk sendirian, jadi ia kembali, lalu mengajak semua orang lain untuk kembali bersamanya.

Yin Zhiping dan Lu Guanying melihat ada sejumlah orang datang, maka mereka melompat mundur dan berhenti berkelahi. Mereka menanyakan nama para pendatang baru itu, tetapi Sha Tongtian hanya melangkah maju dengan tangan terbuka sambil mencekal pergelangan tangan keduanya. Sementara itu, Peng Lianhu berjongkok untuk membebaskan ikatan Hou Tonghai.

Hou Tonghai sudah menderita selama setengah harian dan sekarang ia sangat lapar. Tanpa membuang kain yang menyumbat mulutnya, ia berteriak dan menerjang Nona Cheng dengan telapak tangannya. Nona Cheng mengelak dengan gerakan melingkar ke belakang. Muka Hou Tonghai ungu karena memar, dan tinjunya melayang lurus, ke atas dan bawah, dengan berafsu menyerang Nona Cheng.

“tahan!” kata Peng Lianhu berkali-kali. “Kita bicara dulu.” Tetapi mulut dan telinga Hou Tonghai tertutup kain, ia tidak dapat mendengar ucapannya.

Titik akupuntur di pergelangan tangan Lu Guanying dicekal oleh Sha Tongtian. Ia merasa setengah bagian tubuhnya mati rasa dan tidak bisa bergerak. Melihat Nona Cheng dalam bahaya dan Hou Tonghai bertingkah seperti harimau gila, ia meronta keras, dan tidak jelas dengan kekuatan dari mana, ia berhasil lolos dari cekalan Sha Tongtian. Ia dengan nekad menerjang ke arah Hou Tonghai.

Sebelum ia mencapai sasaran, Peng Lianhu menyapu kakinya dan mengirimnya jatuh terjungkal, lalu segera meringkusnya. Ia mencekal bagian belakang leher Lu Guanying dan mengangkatnya tinggi-tinggi. “Siapa kau?” tanyanya. “Mana kawanmu yang pura-pura jadi hantu itu?”

Tiba-tiba pintu terbuka perlahan. Semua orang berpaling serempak, tetapi tak ada orang masuk. Peng Lianhu dan yang lain agak gemetar dan dalam hati mereka takut. Mendadak kepala seorang perempuan dengan rambut acak-acakan muncul di pintu. Liang Ziweng dan Lingzhi Shangren melompat ketakutan, dan bahkan berseru. “Celaka, ini hantu perempuan!”

Peng Lianhu bisa melihat bahwa ia hanya seorang gadis desa. “Masuk!” serunya.

Sha Gu masuk sambil cekikikan, dan sambil menjulurkan lidah ia berkata, “Wah, begitu banyak orang!”

Liang Ziweng yang sebelumnya berteriak ‘Hantu perempuan!’, sekarang bisa melihat bahwa ia hanya seorang gadis desa yang malang dengan pakaian lusuh dan tingkah laku agak tolol. Dari malu, sekarang ia berubah marah. Ia melompat dan berteriak, “Siapa kau?” Ia mengulurkan tangan untuk mencekal lengannya. Tak terduga Sha Gu menarik lengannya, membalikkan tangannya, lalu telapak tangannya menyerang dengan menggunakan Bi Bo Zhang Fa Pulau Bunga Persik. Meskipun ilmunya kasar, tetapi gerakannya tersamar dan mencegangkan. Liang Ziweng sama sekali tidak mencoba bertahan terhadap serangan itu. ‘Plak!’ Telapak tangan Sha Gu mengenai punggung tangannya dengan keras.

Liang Ziweng terkejut dan sekaligus marah. “Bagus!” serunya. “Kau hanya berlagak dungu!” Ia menerjang maju dengan kedua tinju terangkat. Sambil meangkah mundur untuk mengelak, Sha Gu mendadak menuding kepalanya yang botak dan tertawa keras-keras. Suara tertawa ini mengejutkan semua orang. Liang Ziweng terperanjat dan menghentikan langkahnya beberapa detik… lalu ia dengan kejam meneruskan serangannya. Sha Gu mengangkat tangan untuk menangkis, tetapi ia terhuyung ke belakang. Ia tahu bahwa ia bukan tandingan orang ini, jadi ia berbalik dengan maksud untuk melarikan diri, tetapi Liang Ziweng tidak ingin melepaskannya. Ia mengulurkan kaki kirinya untuk menghadangnya, sementara sikunya menyerang ke belakang, diikuti oleh tinjunya. Hidung Sha Gu ditonjok dengan telak dan ia merasa pandangannya berkunang-kunang. Ia berteriak, “Jiejie yang lagi makan semangka, cepat keluar! Tolong aku! Ada orang memukulku!”

Huang Rong terkejut dan berpikir, “Aku sungguh keliru tidak membunuh si dungu ini. Dia bisa membawa bencana untuk kami.” Tiba-tiba ia mendengar suara “Hm” yang lembut. begitu lembutnya sampai nyaris tak terdengar, tetapi hati Huang Rong melompat kegirangan. “Ayah di sini!” pikirnya. Ia segera mengintip dari lubang kecil dan melihat Huang Yaoshi memakai topeng kulit sedang berdiri di pintu. Tak seorangpun melihat kedatangannya… tetapi ia tampak seolah-olah sudah ada di situ sebelum semua orang lain datang. Ia berdiri tak bergerak seperti sepotong kayu, tanpa menunjukkan emosi sedikitpun di mukanya. Siapapun yang melihatnya akan gemetar. Mukanya tidak hijau, dan ia juga tidak punya taring yang menyeramkan, dan ia tidak tampak buruk rupa atau jahat, tetapi tak seorang pun merasa mukanya adalah muka orang hidup.

Sha Gu hanya sempat bergebrak beberapa jurus dengan Liang Ziweng, tetapi Huang Yaoshi langsung bisa mengenali bahwa ia menggunakan ilmu silat dari perguruannya. Dengan kepala penuh segudang pertanyaan, ia bertanya, “Nona, siapa gurumu? Di mana dia?”

Sha Gu hanya menggelengkan kepalanya seperti biasa, dan menatapnya dengan pandangan kosong. Ia mendadak bertepuk tangan dan tertawa. Huang Yaoshi mengerutkan keningnya, ia tahu anak ini pasti ada hubungannya dengan salah seorang muridnya. Kalau bukan murid mereka, pastilah keluarga atau salah satu saudara. Ia sangat menyayangi semua muridnya, dan juga cenderung melindungi mereka semua. Tak mungkin ia akan membiarkan mereka diganggu orang lain. Mei Chaofeng adalah murid murtadnya, yang melakukan kejahatan besar melawan Sang Guru. Tetapi ia masih tetap membelanya ketika ia dikalahkan oleh Guo Jing, apalagi Sha Gu, yang adalah seorang gadis lugu dengan tingkah seperti anak kecil. Karena itu ia berkata, “Anak bodoh, ada orang memukulmu, kenapa kau tidak balas memukulnya?”

Saat di atas kapal itu, Huang Yaoshi tidak mengenakan topeng kulit, ia sedang mencari putrinya, maka penampilannya sama sekali berbeda dengan hari ini, tak seorangpun mengenalinya. tetapi segera setelah ia membuka mulut untuk bicara, Wanyan Honglie, Yang Kang, dan Peng Lianhu, ingat suaranya, dan mereka bisa mengira-ngira siapa orang ini. Peng Lianhu tahu bahwa orang jahat ini pasti tidak bermaksud baik, dan juga menduga bahwa hantu yang mereka jumpai di Istana Kekaisaran tadi malam pasti dia. Ia tahu bahwa ia tidak mungkin menang melawannya, jadi selagi ada kesempatan ia berpikir untuk melancarkan strategi ke tiga puluh enamnya — melarikan diri.

Sha Gu berkata, “Aku tidak bisa memukulnya!”

“Siapa bilang kau tidak bisa memukulnya?” kata Huang Yaoshi. “Dia memukul hidungmu, maka kau juga harus memukul hidungnya. Dia memukulmu sekali, jadi kau harus membalasnya tiga kali.”

Sha Gu tertawa. “Baik!” katanya. Tanpa berpikir panjang tentang kungfu Liang Ziweng yang di atasnya, ia melangkah maju dan berkata, “Kau memukul hidungku… aku harus memukul hidungmu. Kau memukulku sekali… aku harus membalas tiga kali.” Tinjunya melayang lurus ke arah hidung Liang Ziweng.

Liang Ziweng mengangkat tangannya untuk menangkis, tetapi mendadak titik akupuntur Qu Chi di lekukan lengannya mati rasa. Tangannya setengah jalan ke atas tetapi tidak bisa bergerak lebih jauh. ‘Dukk!’ hidungnya terkena pukulan Sha Gu dengan telak.

“Dua!” seru Sha Gu sambil mengirimkan kepalan berikutnya.

Liang Ziweng menekuk lututnya sambil mempertahankan punggungnya tetap lurus, dan tangan kirinya bergerak lurus menggunakan teknik mencekal dan mengendalikan tingkat tinggi. Ia yakin akan bisa membelokkan lengan Sha Gu dan mengalihkan serangannya. Tetapi secara tak terduga ketika jarinya menyentuh lengan Sha Gu, titik akupuntur Bi Ru di lengannya mati rasa, dan ia tidak bisa bergerak untuk mengalihkan serangan Sha Gu. ‘Dukk!’ untuk kedua kalinya hidungnya ditonjok telak oleh kepalan Sha Gu. Pukulan itu begitu kerasnya, sampai-sampai kepalanya terdorong ke belakang dan ia terhuyung-huyung, nyaris jatuh. Liang Ziweng betul-betul marah.

Semua orang tercengang, tetapi mereka tidak melihat ada keanehan lain. Peng Lianhu adalah seorang ahli dalam penggunaan senjata rahasia, dan ia satu-satunya orang yang melihat sesuatu yang tidak biasa. Setiap kali Liang Ziweng berusaha menangkis serangan, ia mendengar suara yang sangat samar dari senjata rahasia. Ia tahu Huang Yaoshi meluncurkan semacam jarum yang sangat kecil ke titik akupuntur Liang Ziweng, tetapi ia tidak melihat tangan Huang Yaoshi bergerak, jadi ia juga tidak tahu bagaimana cara Huang Yaoshi melakukannya.

Sebetulnya Huang Yaoshi menyentil jarum itu dengan jarinya dari balik lengan jubah, dan mengirimnya keluar melalui sela-sela kain. Jarum-jarum itu datang begitu mendadak, tak terlihat dan nyaris tanpa suara. Tak seorang lawanpun bisa mengelak dari serangan semacam ini.

“Tiga!” seru Sha Gu. Tak satupun tangan Liang Ziweng mematuhi perintah majikannya. Matanya melihat tinju itu datang ke arah mukanya dan tak ada pilihan lain kecuali melangkah mundur untuk menghindarinya. Tepat pada saat ia hendak melangkah mundur, titik akupuntur Bai Hai di sebelah dalam kaki kanannya mati rasa. Rasa kagetnya belum hilang ketika kilauan melayang di udara dan ia merasa matanya berlinang air mata.

Tampaknya ketika hidungnya terkena tinju Sha Gu, titik akupuntur yang berhubungan dengan air mata juga terkena. Ia selalu beranggapan bahwa kalah dalam sebuah pertarungan tidak penting, tetapi kalau air mata sampai mengalir turun ke mukanya, maka reputasinya yang sudah dibangun seumur hidup akan hancur. Ia buru-buru berusaha mengangkat lengan bajunya untuk menghapus air mata itu, tetapi lengannya tidak mematuhi perintahnya. Dua butir air mata akhirnya turun membasahi pipinya.

Sha Gu melihat air matanya dan cepat-cepat berkata, “Jangan menangis! Jangan takut, aku tidak akan memukulmu lagi.”

Dibandingkan dengan ketiga pukulan telak ke hidungnya, kedua kalimat hiburan itu jauh lebih sulit diterima oleh Liang Ziweng. Saking malunya, ia sampai muntah darah. Ia menatap Huang Yaoshi dan berkata, “Kau siapa, Tuan? Kau diam-diam menyakiti orang lain… Pendekar macam apa kau ini?”

Sambil tertawa dingin Huang Yaoshi menjawab, “Kau cukup layakkah menanyakan namaku?” Mendadak ia menaikkan nada suaranya, “Ayo semuanya… enyahlah dari hadapanku!”

Semua orang yang berdiri di pinggir ruangan merasa persendian dan tulang-belulang mereka lemas, dan tak seorangpun berani maju untuk melawan. Mereka berdiri diam di kedai itu tanpa tahu harus berbuat apa. Ketika mereka mendengar teriakannya, seolah-olah mereka baru saja menerima pengampunan atas nyawa mereka. Peng Lianhu adalah orang pertama yang ingin segera pergi, tetapi setelah dua langkah ia melihat bahwa Huang Yaoshi berdiri di pintu, tidak mengijinkan siapapun juga lewat, jadi ia berhenti di tengah jalan.

Huang Yaoshi mendengus, “Aku menyuruh kalian pergi, tapi kalian tidak pergi. Kalian ingin kusembelih satu per satu?”

Peng Lianhu sudah mendengar temperamen aneh Huang Yaoshi, jadi ia akan menuruti apa pun yang diinginkannya. Karena itu, Peng Lianhu berpaling kepada lainnya dan berkata, “Lao Qianbei ini menyuruh kita pergi. Ayo kita pergi.”

Saat itu Hou Tonghai sudah menyingkirkan kain yang menyumbat mulut dan telinganya. Ia melangkah ke arah Huang Yaoshi dan menatapnya dengan galak. “Biarkan aku lewat!” serunya.

Huang Yaoshi sama sekali mengabaikan kehadirannya. “Kau sama sekali tidak layak menyuruhku minggir,” katanya dengan nada datar. “Kalau ingin hidup, merangkak di antara kakiku.”

Semua orang saling pandang dengan tidak senang, dan jelas sekali muka mereka menggambarkan kemarahan. Mereka berpikir bahwa Huang Yaoshi mungkin saja punya kungfu tingkat tinggi, tetapi di ruangan ini ada banyak ahli silat. Kalau semuanya bekerja sama dengan segala resiko, mereka juga belum tentu akan kalah.

Hou Tonghai berteriak dan melompat ke arah Huang Yaoshi. Sambil tertawa dingin, Huang Yaoshi menggerakkan tangan kirinya dan Hou Tonghai terangkat tinggi di udara. Lalu tangan kanannya menarik lengan kiri Hou Tonghai. ‘Kreekkk!’ Lengan Hou Tonghai, daging dan tulangnya, terlepas dari tubuhnya. Huang yaoshi melemparkan lengan yang patah berikut orangnya ke lantai. Ia mengangkat kepalanya menatap langit, tampak tidak peduli sama sekali akan segala sesuatu di sekitarnya. Hou Tonghai pingsan karena kesakitan dan darah mengucur seperti air mancur dari lengannya yang copot.

Air muka semua orang berubah warna. Huang Yaoshi perlahan-lahan memalingkan kepalanya dan pandangan matanya menyapu wajah semua orang yang hadir di ruangan itu satu per satu. Sha Tongtian, Peng Lianhu dan lainnya sudah terbiasa membunuh orang tanpa mengedipkan mata, tetapi ketika melihat tatapan mata Huang yaoshi, mereka langsung ciut ketakutan. Ujung-ujung rambut mereka serasa berdiri, dan kulit mereka merinding.

Huang Yaoshi tiba-tiba membentak, “Kalian mau merangkak atau tidak?” Hanya suaranya sudah cukup membuat mereka merinding. Tak seorangpun berpikir lagi tentang bekerja sama untuk melawan. Peng Lianhu menundukkan kepalanya, dan menjadi orang pertama yang merangkak di antara kedua kaki Huang Yaoshi. Sha Tongtian membebaskan Yin Zhiping dan Lu Guanying, dan sambil memegangi adik seperguruannya, ia mengikuti. Yang kang membantu Wanyan Honglie, diikuti oleh Liang Ziweng dan Lingzhi Shangren, mereka satu per satu merangkak di antara kaki Huang Yaoshi. Segera setelah mencapai pintu keluar, mereka pun pontang-panting seperti kucing ketakutan. Tak seorangpun berani menengok ke belakang.

Footnotes

  1. Yeye (爷爷) = Kakek.

  2. Er Shifu atau guru kedua yang dimaksud Huang Rong adalah Zhu Cong, guru Guo Jing, yang dikenal sebagai Sastrawan Tangan Ajaib.

  3. Istilah yang digunakan adalah Yue Fei Yishu, yang juga sering disebut Wumu Yishu.

  4. Betulkah Moth adalah ‘kumbang’?

  5. Pan Guan (判官) juga karakter dalam mitologi Tiongkok, hakim di dunia akhirat.

  6. Hantu yang dianggap bertugas mengambil jiwa orang setelah kematiannya.

  7. Nama aneh ini bisa diterjemahkan menjadi ‘Pejabat Berjiwa Kuning’, tidak jelas apa sebabnya, tetapi sudah pasti adalah bagian dari mitologi Tiongkok kuno.

  8. Nama desa ‘Niu’ (牛) berarti ‘Sapi’.

  9. Xiao Ren (小人) adalah panggilan untuk diri sendiri sebagai orang ketiga tunggal dengan tujuan merendah. Arti literalnya adalah ‘Orang kecil ini’.

  10. Bahasa mandarin karakter Huang (黄) dalam nama Huang Yaoshi berarti ‘Kuning’, sedangkan Hei (黑) berarti ‘Hitam’. Di sini Yin Zhiping bermain dengan kata-kata untuk mengejek Huang Yaoshi.