Bab 30
Biksu Yideng
Ilustrasi | Narasi |
---|---|
Berturut-turut melewati tujuh celah, mereka mendengar seseorang membaca dengan keras, sepertinya mereka sudah sampai di ujung jembatan batu. Di sisi lain celah itu, seorang sastrawan sedang duduk bersila, dengan sebuah buku di tangannya, yang sedang dibacanya. Di belakang sastrawan itu ada celah pendek lainnya. |
Kedua orang itu berjalan maju mengikuti jalan setapak pegunungan, dan tak lama kemudian jalur itu berakhir. Di depan ada jembatan batu selebar satu kaki, bertengger di antara dua puncak gunung, tertutup awan yang ujung lainnya tidak terlihat. Jika jembatan batu ini diletakkan di atas tanah, maka akan berfungsi seperti gang sempit, tidak ada yang perlu ditakuti, tetapi di bawah jembatan batu itu ada jurang yang sangat dalam. Melihatnya saja sudah membuat hati gemetar ketakutan, apalagi berjalan melewatinya.
Huang Rong menghela nafas, “Kaisar Duan ini menyembunyikan diri dengan sangat baik. Kalau musuh yang penuh dendam tiba di tempat ini, setengah dari kebenciannya akan hilang lebih dulu,” katanya.
“Mengapa nelayan itu mengatakan bahwa Kaisar Duan telah meninggalkan dunia fana ini?” tanya Guo Jing. “Dia benar-benar membuat hatiku gelisah.”
“Aku benar-benar tidak bisa menebak apa maksudnya bilang begitu,” jawab Huang Rong, “Melihat wajahnya dia sepertinya tidak berbohong. Dia juga bilang Shifu melihatnya dengan matanya sendiri waktu Kaisar Duan meninggal.”
“Semuanya sudah sampai sejauh ini, kita hanya bisa bergerak maju, tidak mundur lagi,” kata Guo Jing. Ia berjongkok untuk menggendong Huang Rong di punggungnya, dan kemudian dengan ilmu meringankan tubuhnya berjalan menuju jembatan batu itu.
Permukaan jembatan batu itu bergelombang, ditambah diselimuti awan tebal sepanjang tahun, yang membuatnya sangat licin. Semakin lambat mereka berjalan, semakin besar kesempatan mereka untuk jatuh. Oleh karena itu Guo Jing berlari ke depan dengan cepat. Setelah sekitar tujuh, delapan zhang kemudian tiba-tiba Huang Rong berseru, “Hati-hati, jembatannya rusak di depan.”
Guo Jing juga melihat bahwa jembatan batu itu tiba-tiba putus dengan jarak sekitar tujuh, delapan kaki di antaranya. Alih-alih melambat, ia berlari lebih cepat dan meminjam momentum melompati celah.
Huang Rong telah melewati bahaya yang mengerikan, sejak awal ia sudah mengabaikan hidup dan mati. Ia tertawa dan berkata, “Jing Gege, terbangmu tidak semantap elang putih.”
Melewati satu bagian, melompati celah, segera mereka melewati tujuh celah seperti itu. Di seberang gunung di depan mereka melihat hamparan tanah datar. Tiba-tiba mereka mendengar seseorang sedang membaca doa dengan suara keras. Sepertinya mereka telah sampai di ujung jembatan batu, tetapi di ujung jembatan sebenarnya ada celah yang sangat panjang, lebarnya hampir satu zhang. Di sisi lain celah, seorang sastrawan sedang duduk bersila, sebuah buku ada di tangannya, ia sedang membacanya dengan suara keras. Di belakang sastrawan itu ada celah pendek lainnya.
Guo Jing berhenti, ia berdiri kokoh di jembatan, tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya, “Melompati celah ini tidak terlalu sulit,” pikirnya. “Tapi sastrawan itu duduk tepat di tengah jembatan, selain tempat yang ditempatinya, tidak ada tempat lain yang bisa kuinjak.” Kemudian dengan suara nyaring ia berseru, “Kami berdua ingin bertemu dengan guru Qianbei yang terhormat, kami meminta Paman untuk menunjukkan jalannya kepada kami.”
Kepala sastrawan itu bergoyang saat membaca dengan penuh perhatian, seolah tidak mendengar seruan Guo Jing. Guo Jing mengangkat suaranya dan memanggil sekali lagi, sastrawanwan itu masih menutup telinganya. “Rong’er, apa yang harus kita lakukan?” tanya Guo Jing dengan suara rendah.
Huang Rong mengerutkan kening tanpa berkata apa-apa, ia melihat ke tempat sastrawan itu duduk dan menyadari masalah ini bisa menjadi rumit. Jembatan batu itu sangat sempit sehingga pertempuran di atasnya berarti situasi hidup dan mati. Kalaupun Guo Jing menang, mereka justru datang untuk mencari bantuan, bagaimana mungkin mereka menyakiti orang lain? Ia menatap sastrawan itu lagi, yang masih tidak memperhatikan, dan diam-diam merasa kuatir. Ia mencoba untuk mendengarkan apa yang sedang dibacanya, dan tahu bahwa itu adalah isi Kitab Lun Yu1 yang sangat umum. Ia sedang membaca, “Suatu malam di musim semi, pakaian musim semi sudah siap. Lima, enam orang memakai topi, enam, tujuh orang masih muda. Mandi di tepi sungai, angin sepoi-sepoi membuat air mancur menari, dan lagu terbawa angin.”
Ia sedang membaca dengan penuh minat dan semangat, mendesah tiga kali, seperti angin musim semi yang membawa lagu itu jauh-jauh, sepertinya ia sangat menikmati buku itu. Huang Rong berpikir, “Kalau ingin membuka mulutnya, aku harus menantangnya.” Kemudian ia mencibir dan berkata, “Tidak ada gunanya membaca Lun Yu ribuan kali, tapi tidak memahami kata-kata luhur Sang Guru yang maknanya sangat dalam itu.”
Sastrawan itu terkejut dan segera berhenti membaca. Ia mengangkat kepalanya dan berkata, “Kata-kata luhur apa dengan makna yang dalam? Tolong beri aku pencerahan.”
Huang Rong memperhatikan sastrawan itu, ia tampak berusia sekitar empat puluh tahun, Xiao Yao Jin[^topi-sarjana] di kepalanya, kipas lipat di tangannya, janggut hitam panjang di bawah dagunya, ia benar-benar memiliki penampilan seorang sastrawan. Ia dengan dingin tertawa dan bertanya, “Xiansheng, apakah Xiansheng tahu berapa banyak murid yang dimiliki Kong Zi?”
Sastrawan itu tersenyum, “Apa yang sulit tentang itu?” katanya. “Konfusius punya 3000 murid, di antara mereka, 72 adalah murid terbaiknya.”
“Dari 72 murid, ada yang tua dan ada yang muda,” lanjut Huang Rong. “Xiansheng tahu berapa banyak murid yang memakai topi2 dan berapa banyak yang muda?”
Si Sastrawan terkejut dan berkata, “Itu tidak dicatat dalam Lun Yu dan komentar lainnya.”
“Wanbei bilang tidak ada gunanya kalau Xiansheng tidak memahami kata-kata luhur Guru dengan makna yang dalam, apa Wanbei mengatakan sesuatu yang salah?” tanya Huang Rong. “Wanbei dengan jelas mendengar Xiansheng membaca beberapa saat yang lalu, ‘Lima, enam orang memakai topi, enam, tujuh orang masih muda.’ Lima kali enam adalah tiga puluh, ada 30 murid yang lebih tua, enam kali tujuh adalah empat puluh dua, ada 42 murid yang lebih muda. Xiansheng menjumlahkan kedua angka itu, maka akan mendapatkan tepatnya 72 orang. Wanbei lihat Xiansheng membaca tanpa pemahaman. Hai! Ini berbahaya! Sangat berbahaya!”
Sastrawan itu mendengar bagaimana ia membuat argumen yang kuat tentang masalah yang tidak jelas di buku klasik, ia tidak bisa menahan tawanya, tetapi di dalam hati ia juga mengakui kecerdasan dan kecerdikannya. Ia tersenyum dan berkata, “Xiao Guniang benar-benar punya pikiran yang dipenuhi isi buku puisi. Zaixia sungguh kagum. Guniang ingin ketemu guruku, boleh Zaixia tahu untuk urusan apa?”
Huang berpikir, “Kalau aku bilang kita ke sini untuk minta pengobatan, dia pasti akan mempersulit kita sebisa-bisanya. Tapi pertanyaannya tidak bisa dibiarkan tidak terjawab. Bagus. Dia sedang membaca Lun Yu, aku juga akan mengutip dari Konfusius untuk menghindari pertanyaannya.” Setelah itu ia berkata, “Seorang bijak, aku tidak perlu menemuinya! Seorang terhormat, aku mungkin menemuinya. Seorang teman datang dari jauh, bukankah itu menyenangkan hati?”
Sastrawan itu memandang ke langit dan tertawa terbahak-bahak. “Baiklah, baiklah,” katanya. “Aku punya tiga tes untuk kalian. Kalau kau lulus, aku akan membawamu untuk menemui guruku. Tapi kalau sampai kau gagal, meskipun hanya satu, aku harus meminta kalian berdua untuk kembali ke tempat asal kalian.”
“Aiyo!” kata Huang Rong. “Aku belum membaca terlalu banyak buku, kalau terlalu sulit aku mungkin tidak bisa menjawab.”
“Tidak sulit, tidak sulit,” kata si sastrawan. “Aku punya puisi, di dalamnya tersembunyi asalku dalam empat karakter. Mari kita lihat apa kau bisa menebaknya.”
“Bagus, teka-teki!” kata Huang Rong. “Itu pasti menarik. Coba katakan.”
Cendekiawan itu memelintir janggutnya dan mulai melafalkan, “Enam kitab suci telah berada di peti untuk waktu yang lama, satu pedang selama sepuluh tahun telah diasah di tangan…”
Huang Rong menjulurkan lidahnya dan berkata, “Wen Wu Quan Cai3, sungguh luar biasa!”
Sastrawan itu tersenyum dan melanjutkan, “Di atas bunga aprikot, sebuah cabang tergantung secara horizontal, jika kau takut membocorkan rahasia surga, jangan buka mulut. Satu titik meningkat menjadi pertarungan besar, namun bahkan tidak bisa menutupi setengah tempat tidur. Semuanya selesai, topi digantung, waktunya pulang. Identitasku yang sebenarnya, apakah Zhuangzhu tahu?”
Huang Rong berpikir, “Semuanya selesai, topi digantung, waktunya pulang. Identitasku yang sebenarnya, apakah Zhuangzhu tahu?’ Melihat penampilanmu, seharusnya kau adalah menteri Kaisar Duan di masa lalu, gantung topimu mengikuti majikanmu, kembali ke gunung berhutan yang tersembunyi ini. Apa sulitnya ditebak?” Kemudian ia berkata, “Ketika Xiansheng menambahkan karakter ‘satu’ (一) dan ‘sepuluh’ (十) di bawah karakter ‘enam’ (六), maka jadilah karakter ‘xin’ (辛). Tambahkan garis horizontal ke karakter Xing (aprikot, 杏), dan hapus karakter ‘mulut’ (口), menjadi karakter ‘wei’ (未). Tambahkan karakter ‘besar’ (大) ke setengah dari karakter Chuang (床, tempat tidur) dan beri titik di atasnya, maka menjadi karakter ‘zhuang’ (状). Lepaskan karakter ‘selesai’ (Wan, 完), maka menjadi karakter ‘yuan’ (元). Xin Wei Zhuang Yuan (辛未状元), tolong terima rasa hormat Wanbei. Ternyata Xiansheng adalah Zhuang Yuan4 pada tahun Xin Wei.”
Sastrawan itu terkejut, ia mengira teka-tekinya sangat sulit. Bahkan jika seseorang akhirnya bisa memberikan jawaban, itu seharusnya memakan waktu setidaknya setengah hari. Kungfu kedua anak muda ini mungkin tinggi, tetapi mereka tidak akan bisa berdiri terlalu lama di jembatan batu yang sempit ini. Ia pikir ia akan menasihati mereka untuk menyerah, dan secara baik-baik kembali menuruni gunung. Siapa sangka hampir tanpa pikir panjang Huang Rong bisa memberinya jawaban yang benar. Ia mau tidak mau jadi sangat terkejut. Ia sekarang tahu gadis cilik ini sangat pintar, ia harus menemukan pertanyaan yang lebih sulit untuknya.
Ia mengalihkan pandangannya ke sekeliling dan melihat deretan pohon palem di lereng bukit, daunnya bergoyang lembut tertiup angin sepoi-sepoi, menyerupai gerakan kipas. Ia adalah seorang Zhuangyuan, tentu saja ia lebih berbakat daripada seorang pelajar pada umumnya. Ia melambaikan kipas di tangannya dan berkata, “Aku punya bagian atas bait, kuminta Guniang untuk melengkapinya.”
“Menyelesaikan bait tidak semenarik teka-teki,” kata Huang Rong. “Baiklah, sepertinya kalau Wanbei tidak bisa menyelesaikannya, maka Xiansheng tidak akan membiarkan kami lewat. Ayo!”
Sastrawan itu melambaikan kipasnya, menunjuk ke deretan pohon palem dan berkata, “Angin mengayunkan pohon palem, seperti seribu tangan melambaikan kipas lipat.” Bagian atas ini tidak hanya menggambarkan pemandangan, tetapi juga dengan jelas mengangkat posisinya.
Huang Rong berpikir, “Kalau aku hanya menyebutkan nama benda apapun tanpa hubungan yang berarti, kemenanganku tidak akan lengkap.” Ia juga mengalihkan pandangannya ke sekeliling dan melihat sebuah kuil kecil dengan kolam teratai di depannya. Saat itu bulan ketujuh, pertengahan musim panas, tetapi di gunung yang tinggi ini pagi hari terasa dingin, sebagian besar daun teratai sudah layu oleh embun beku. Hatinya tergerak, ia tersenyum dan berkata, “Wanbei punya bagian kedua dari bait itu, tetapi ini akan menyinggung perasaan Paman, tidak nyaman untuk mengatakannya.”
“Sebaiknya kau mengatakannya,” jawab sastrawan itu.
“Tapi Paman harus berjanji tidak akan marah,” kata Huang Rong.
“Aku tidak akan marah,” janji sastrawan itu.
Huang Rong menunjuk ke Xiao Yao Jin di kepalanya dan berkata, “Baiklah. Baris kedua Wanbei adalah, Embun beku membuat daun teratai layu, seperti iblis berkaki satu yang memakai Xiao Yao Jin.”
Pada baris kedua ini, sastrawan itu tertawa terbahak-bahak. “Luar biasa! Luar biasa!” katanya. “Tidak hanya kalimatnya sangat tepat, itu juga sangat cepat!”
Guo Jing melihat batang teratai memang menopang daun yang layu, tampak seperti hantu berkaki satu yang mengenakan ‘xiao yao jin’, ia juga tidak bisa menahan tawa. Huang Rong tersenyum. “Jangan tertawa, jangan tertawa!” katanya. “Begitu jatuh, kita akan menjadi sepasang hantu tanpa ‘xiao yao jin’!”
Sastrawan itu berpikir, “Kutipan biasa tidak akan membuatnya bingung. Aku harus menggunakan yang terakhir. Tiba-tiba ia ingat ketika masih seorang siswa muda, gurunya menyebutkan bait yang selama puluhan tahun tidak pernah bisa diselesaikan oleh siapa pun, ia memutuskan untuk mempersulitnya, setelah itu ia berkata, “Aku punya bait lain, kuminta Nona menyelesaikannya, Qin Se Pi Pa5, semua kepalanya dihiasi oleh delapan raja besar.”
Mendengarkan hal ini, Huang Rong sangat senang, “Qin se pi pa empat karakter itu semuanya punya delapan karakter ‘raja’ (王), awalnya itu adalah bait yang sangat sulit. Sayang sekali bait ini bukan ciptaanmu sendiri. Ayah telah memecahkan bait ini bertahun-tahun yang lalu di Pulau Bunga Persik waktu dia tidak punya pekerjaan lain. Aku akan pura-pura kesulitan menyelesaikannya untuk menggodanya.”
Ia mengerutkan alisnya dan membuat wajahnya tampak tertekan. Sastrawan itu senang, ia akhirnya bingung, ia merasa sangat bangga. Tapi kemudian ia takut Huang Rong akan balas menanyainya, jadi ia berkata di depan, “Ini adalah bait yang sangat sulit, aku juga tidak punya jawabannya. Tetapi kita sudah sepakat bahwa, kalau Nona tidak bisa menjawabnya maka kalian harus kembali.”
Huang Rong tersenyum, “Apa sulitnya sih menyelesaikan bait? Hanya saja Wanbei baru saja menyinggung Paman, sekarang dengan menjawab, maka Wanbei akan menyinggung kalian berempat, nelayan, penebang kayu, petani, dan sastrawan, itu sebabnya Wanbei sangat ragu untuk mengatakannya.”
Sastrawan itu tidak percaya, pikirnya, “Menyelesaikan kutipan itu saja sudah sangat sulit untuk dilakukan, bagaimana kau bisa menyinggung kami berempat sekaligus?” Oleh karena itu ia berkata, “Kalau kau benar-benar bisa menyelesaikan bait ini, apa salahnya dengan sedikit lelucon?”
Huang Rong tersenyum, “Kalau begitu, ijinkan Wanbei minta maaf kepada Paman terlebih dahulu. Baris kedua adalah, Chi Mei Wang Liang (魑魅魍魉)6, empat setan kecil dengan perut dan ususnya’.”
Sastrawan itu tercengang, ia melompat untuk berdiri, dengan lengan jubah panjangnya berkibar ia berlari ke arah Huang Rong, “Aku menyerah dengan penuh kekaguman,” katanya.
Huang Rong membalas hormatnya dan berkata sambil tersenyum, “Kalau Paman berempat yang terhormat tidak melakukan hal terbaik untuk menghalangi kami mendaki gunung, bait Paman tadi benar-benar sulit untuk diselesaikan.”
Ternyata ketika Huang Yaoshi memecahkan teka-teki ini, Chen Xuanfeng, Qu Lingfeng, Lu Chengfeng dan Feng Mofeng, empat murid itu ada di sisinya. Huang Yaoshi memaksudkan baris kedua ini sebagai lelucon bagi keempat muridnya. Waktu itu Huang Rong bahkan belum lahir. Kemudian ia mendengar ayahnya mengingat cerita ini, dan hari ini ia berhasil menggunakan kalimat yang sama untuk mengolok-olok nelayan, penebang kayu, petani, dan sarjana.
“Huh,” dengus sastrawan itu. Ia berbalik untuk membuat celah kecil dan berkata, “Silakan.”
Guo Jing berdiri dengan tenang mendengarkan kedua orang itu saling bertukar kata dan saling mengejek, ia takut Huang Rong tidak akan bisa menjawab dan dengan demikian menyia-nyiakan semua upaya sebelumnya. Melihat sastrawan itu menyingkir untuk memberi jalan bagi mereka, ia sangat senang. Ia mengerahkan tenaganya dan melompati celah, mendarat di tempat di mana si sastrawan sebelumnya duduk. Akhirnya ia melompati celah terakhir.
Sastrawan itu memperhatikan bagaimana Guo Jing melompati celah dengan mudah bahkan sambil menggendong Huang Rong di punggungnya, ia menghela nafas dan berkata dalam hatinya, “Aku membanggakan diri sebagai orang yang sangat ahli dalam sastra dan ilmu silat, sebenarnya dalam sastra aku lebih rendah dari gadis cilik ini, dan dalam hal kungfu aku bukan tandingan anak muda ini. Malu, aku benar-benar malu.” Ia melirik ke samping untuk melihat ekspresi gembira Huang Rong, ia mengira gadis ini baru saja mengalahkan seorang Zhuangyuan yang terhormat dan berpendidikan tinggi, tidak heran ia tidak bisa menyembunyikan perasaan optimisnya. Ia berpikir, “Aku ingin menggodanya, mengajarinya untuk tidak terlalu berpuas diri!” Kemudian ia berkata, “Bakat sastra Nona luar biasa, tapi kelakuanmu kurang.”
“Mohon penjelasan Paman,” kata Huang Rong.
Sastrawan itu menjawab, “Mengzi7 menulis dalam bukunya, ‘Pria dan wanita tidak berhubungan intim, itu hanya pantas dilakukan oleh suami-istri’, bagaimana dia bisa menggendongmu di punggungnya? Mengzi mengatakan seorang saudara laki-laki bisa membantu adik iparnya yang tenggelam, atau seorang paman membantu keponakannya. Nona belum jatuh ke air, Xiao Ge ini juga bukan iparmu. Menggendong dan berpelukan seperti ini benar-benar melanggar ajaran agama.”
“Huh,” pikir Huang Rong. “Jing Gege baik kepadaku, tapi orang lain selalu mempermasalahkan bahwa dia bukan suamiku. Lu Shige juga mengatakan hal yang sama.” Setelah itu ia berkata dengan terang-terangan, “Mengzi suka bicara omong kosong, bagaimana Xiansheng bisa percaya apa yang dikatakannya begitu saja?”
Sastrawan itu tersinggung, “Mengzi adalah orang bijak yang hebat dan layak, mengapa kita tidak bisa mempercayai apa yang dia katakan?”
Huang Rong tersenyum dan melafalkan, “Bagaimana bisa seorang pengemis punya dua istri? Dari mana tetangga memiliki begitu banyak ayam? Dinasti Zhou masih punya seorang raja, mengapa mendiskusikan banyak hal dengan Wei dan Qi?”8
Semakin sastrawan itu berpikir, semakin ia menyadari kebenaran di dalam kata-kata Huang Rong. Ia berdiri di sana menatap kosong, tidak bisa mengatakan sepatah kata pun.
Sebenarnya Huang Yaoshi yang menulis pepatah itu. Ia membenci tradisi dan membenci sedekah kosong, ia suka meneliti, menyanggah, mengejek, dan menyindir makna kosong dari perkataan lama yang diturunkan dari orang-orang bijak yang dipandang agung dan layak. Suatu kali ia membuat banyak puisi dan lagu untuk menyindir Konfusius dan Mengzi.
Mengzi bercerita tentang seorang pria dari Dinasti Qi yang punya seorang istri dan seorang selir, namun ia mengemis ke sana-sini untuk minta nasi dingin dan sup basi, juga tentang seorang laki-laki yang setiap hari mencuri ayam milik tetangganya. Huang Yaoshi berkata bahwa kedua cerita ini digunakan untuk menipu orang lain. Tentang ucapan selanjutnya, masalahnya adalah, selama periode Peperangan Antar Negara (475 – 221 SM), Raja Zhou masih bertahta, namun demikian Mengzi tidak mendukung keluarga kerajaan, tetapi malah pergi ke Pangeran Hui9 dari Liang, dan Pangeran Xuan10 dari Qi, dan ia meminta posisi dalam pemerintahan. Huang Yaoshi menganggap tindakan ini sangat tidak mematuhi cara orang suci dan orang bijak yang ortodoks.
Sastrawan itu berpikir, “Orang Qi yang mencuri ayam itu adalah sebuah perumpamaan, tidak layak untuk dipelajari lebih dalam, tetapi kalimat terakhir, aku kuatir bahkan Mengzi sendiri di dalam kuburannya akan kesulitan menyangkal.” Ia menatap mata Huang Rong dan berpikir, “Dia masih sangat muda, bagaimana bisa punya kecerdasan yang seaneh ini?” Tanpa berkata apa-apa lagi ia memimpin kedua orang itu berjalan ke depan.
Saat melewati kolam teratai pandangannya terpana oleh daun teratai di kolam, ia tidak bisa menahan diri untuk mencuri pandang ke arah Huang Rong. Huang Rong menahan tawanya dan menoleh ke arah lain.
Sastrawan itu memimpin kedua orang itu memasuki kuil, meminta mereka duduk di sayap timur dan menyuruh seorang biksu muda menyajikan teh. “Tolong tunggu sebentar di sini,” kata sastrawan itu, “Aku akan melapor kepada Shifu.”
“Tunggu!” kata Guo Jing. “Paman Petani itu masih mengangkat batu besar di lereng bukit, dia tidak bisa pergi sendiri. Paman tolong bantu dia dulu.” Sastrawan itu terkejut dan berlari keluar.
“Sekarang kita bisa membuka kantong kuning itu,” kata Huang Rong.
“Ah, kalau kau tidak bilang, aku benar-benar lupa,” kata Guo Jing. Dengan tergesa-gesa ia mengeluarkan kantong kuning itu dan merobeknya. Di dalam kantong itu ada selembar kertas polos tanpa tulisan apa pun, hanya sebuah gambar.
Gambar tersebut menggambarkan seorang laki-laki yang mengenakan pakaian kerajaan India. Pria itu memotong dagingnya sendiri dengan pisau, seluruh tubuhnya dipenuhi luka dan memar, berlumuran darah. Ada neraca di depannya, di salah satu ujung timbangan berdiri seekor merpati putih, di ujung lainnya menumpuk potongan dagingnya. Merpati itu tampak kecil, tetapi lebih berat daripada tumpukan daging di ujung sana. Seekor elang yang tampak garang berdiri di samping timbangan.
Goresan pena dari gambar itu cukup jelek. Huang Rong berpikir, “Ternyata Ying Gu belum belajar cara menggambar, tulisan tangannya tidak buruk, tapi gambar ini seperti coretan anak kecil.” Ia melihat gambar itu sampai lama, tetapi tidak bisa menguraikan apa artinya.
Melihat Huang Rong tidak dapat menebak tentang apa makna gambar itu, Guo Jing berpikir tidak ada gunanya ia mencoba. Ia melipat gambar itu dan memegangnya di tangannya.
Tidak lama kemudian mereka mendengar langkah kaki memasuki ruangan. Petani masuk, terbakar amarah, didukung oleh si sastrawan. Ia sangat lelah karena terlalu lama harus menahan batu besar itu.
Sekitar waktu yang dibutuhkan untuk minum secangkir teh kemudian, seorang biksu muda masuk, sambil mengatupkan tangannya di depan dada, ia berkata, “Gongzi dan Guniang datang dari jauh. Xiaosheng11 ingin tahu apa maksud kedatangan kalian berdua?”
“Kami ingin bertemu dengan Kaisar Duan,” jawab Guo Jing, “Kami harus merepotkanmu untuk mengumumkan kunjungan kami.”
“Kaisar Duan tidak lagi berada di dunia fana ini, perjalananmu yang melelahkan ini sia-sia,” kata biksu muda itu sambil menggenggam tangannya lagi, “Silakan makan sayur, dan kemudian Xiaosheng akan mengantar kalian turun gunung.”
Guo Jing sangat kecewa, ia memikirkan kesulitan mereka yang tak terhitung untuk sampai ke tempat ini, dan sekarang mereka harus kembali menuruni gunung, masa hal semacam ini baik? Tapi ketika Huang Rong melihat kuil itu, ia tiga puluh persen yakin, sekarang melihat biksu muda ini, ia lima sampai enam puluh persen yakin. Ia mengambil gambar itu dari tangan Guo Jing dan berkata, “Dizi Guo Jing dan Huang Rong ada di sini, berharap gurumu yang terhormat akan menghormati hubungan masa lalu dengan Jiu Zhi Shen Gai dan Pulau Bunga Persik, dan memberi kami kesempatan bertemu. Kami akan sangat menghargai kalau Xiao Shifu bisa memberikan selembar kertas ini kepada gurumu.”
Biksu muda itu menerima lukisan itu. Ia tidak berani membukanya, ia hanya menggenggam tangannya dan berbalik untuk masuk ke dalam ruangan. Tak lama kemudian ia kembali, menundukkan kepalanya dan mengatupkan tangannya, ia berkata, “Dengan hormat mengundang kalian masuk.” Guo Jing sangat gembira, ia membantu Huang Rong berdiri dan bersama-sama mereka mengikuti biksu muda itu masuk.
Meskipun kuil itu tampak kecil, namun sangat dalam. Ketiga orang itu berjalan melewati gang kecil yang dilapisi batu ubin hijau, melewati rerimbunan bambu kecil yang lebat dan rindang. Tempat itu sangat sunyi dan tenteram, menyebabkan siapa pun yang masuk ke dalamnya akan membuang pikiran kotor mereka.
Ada tiga rumah batu yang tersembunyi di antara pohon bambu. Biksu muda itu dengan ringan mendorong pintu terbuka, lalu melangkah ke samping, membungkukkan tubuhnya untuk membiarkan keduanya masuk.
Guo Jing punya kesan yang sangat baik terhadap biksu muda yang sopan dan santun ini, ia tersenyum untuk mengungkapkan rasa terima kasihnya, lalu ia masuk berdampingan dengan Huang Rong.
Di dalam ruangan ia melihat sebuah meja kecil dengan pembakar dupa kayu cendana di atasnya, di sebelah meja dua biksu Buddha duduk di atas tikar meditasi bundar. Seorang biksu berkulit gelap dengan hidung mancung dan mata yang dalam, rupanya ia adalah seorang biksu India. Biksu lainnya mengenakan jubah yang terbuat dari kain kasar, alis putihnya begitu panjang sehingga terkulai dari sudut matanya. Wajahnya lembut, meskipun sorot matanya menyiratkan kesedihan, sekilas ekspresinya secara keseluruhan adalah orang yang anggun dan agung. Sastrawan dan petani itu berdiri di belakangnya.
Semua kecurigaan Huang Rong lenyap, ia dengan ringan menarik tangan Guo Jing dan berjalan ke biksu dengan alis panjang, ia berlutut dan membungkuk ke tanah dan berkata, “Murid Guo Jing dan Huang Rong menyapa Shibo12.”
Guo Jing terkejut, tetapi tanpa pikir panjang ia hanya mencontoh sikap Huang Rong dan membungkuk ke tanah, bersujud empat kali.
Biksu dengan alis panjang itu tersenyum tipis, ia berdiri dan mengulurkan tangannya untuk mengangkat kedua orang itu. Ia berkata sambil tersenyum, “Qi Xiong menerima seorang murid yang baik, dan Yao Xiong mendapatkan seorang putri yang baik. Pinseng mendengar mereka berkata,” ia menunjuk ke si petani dan si sastrawan, “Kungfumu jauh lebih unggul dari murid-murid Pinseng. Haha… selamat, selamat!”
Mendengarkan ia berbicara, Guo Jing berpikir, “Pidato semacam ini jelas milik Kaisar Duan, pas sekali dengan posisinya sebagai seorang kaisar, tapi kenapa dia berubah menjadi seorang biarawan? Ini sangat membingungkan. Mengapa mereka mengatakan bahwa dia tidak lagi berada di dunia fana ini? Bagaimana Rong’er tahu dia adalah Kaisar Duan?”
Ia mendengar biksu itu berkata kepada Huang Rong, “Apakah ayahmu dan Shifu baik-baik saja? Waktu kami bertemu saat pertandingan di Hua Shan, ayahmu belum menikah. Tak disangka sudah dua puluh tahun dan dia mendapatkan putri cantik ini. Kau punya saudara perempuan atau laki-laki? Entah pendekar senior yang mana yang jadi ayah dari ibumu?”
Mata Huang Rong memerah, ia berkata, “Ibu hanya sempat melahirkan aku, dia sudah lama meninggal. Aku bahkan tidak mengenal keluarganya.”
“Ah!” seru biksu itu, lalu dengan ringan menepuk pundaknya untuk menghibur. “Aku bermeditasi selama tiga hari tiga malam, dan berakhir beberapa saat yang lalu,” katanya. “Kalian sudah menunggu lama?”
Huang Rong berpikir, “Melihat wajahnya, dia sangat senang melihat kita. Jika itu masalahnya, maka menghentikan kami dan tidak membiarkan kami naik gunung adalah ide murid-muridnya.” Oleh karena itu ia menjawab, “Dizi baru saja tiba. Untungnya para Paman ini melakukan yang terbaik untuk mempersulit kami, kalau tidak kami akan tiba jauh lebih awal, dan Duan Shibo masih dalam meditasi, dan kunjungan kami akan sia-sia.”
Biksu itu terkekeh dan berkata, “Mereka takut aku bertemu terlalu banyak orang luar. Tapi sebenarnya bagaimana kami bisa menganggapmu sebagai orang luar? Lidah tajam Xiao Guniang pasti berasal dari keluargamu. Kaisar Duan sejak awal memang sudah meninggalkan dunia fana ini. Pinseng sekarang dipanggil Biksu Yideng.13 Shifu kalian hadir saat aku mengikuti tiga harta karun14, tapi aku kuatir ayahmu tidak tahu.”
Baru pada saat itulah Guo Jing akhirnya mengerti, “Ternyata Kaisar Duan mencukur rambutnya dan menjadi biksu. Dia meninggalkan kehidupan orang biasa, itu sebabnya murid-muridnya mengatakan Kaisar Duan telah meninggalkan dunia fana ini. Shifu menyaksikannya saat dia menjadi biksu, kalau dia yang menyuruh kami datang ke sini, tentu saja dia tidak akan menyuruh kami untuk mencari Kaisar Duan, tetapi untuk menemui Biksu Yideng. Rong’er sangat pintar, hanya dengan melihatnya dia mengerti semuanya.”
Ia mendengar Huang Rong berkata, “Ayahku tidak tahu apa-apa tentang itu, Shifu juga tidak memberitahu kami.”
Yideng tersenyum, “Tentu saja. Ada lebih banyak hal yang masuk ke mulut Shifu kalian daripada hal-hal yang keluar dari mulutnya. Dia makan banyak, tapi berbicara sedikit. Dia tidak akan membicarakan urusan Laona15 dengan orang lain. Kalian sudah melewati banyak rintangan. Kalian sudah makan? Ah!” Berbicara sampai di titik ini ia tiba-tiba terkejut. Ia menarik tangan Huang Rong dan membawanya ke pintu untuk melihat wajahnya di bawah sinar matahari yang cerah. Ia dengan hati-hati memeriksanya dengan ekspresi bingung di wajahnya sendiri.
Meskipun Guo Jing lamban, ia sadar bahwa Biksu Yideng telah melihat bahwa Huang Rong terluka. Hatinya hancur, tiba-tiba ia menekuk lututnya dan bersujud beberapa kali. Yideng Dashi mengulurkan tangannya di bawah lengan Guo Jing untuk mengangkatnya. Guo Jing merasakan aliran tenaga mengangkat tubuhnya. Ia tidak berani menggunakan kekuatannya untuk melawan, mengikuti aliran tenaga itu ia perlahan berdiri dan berkata, “Dizi mohon Dashi sudi menyelamatkan hidupnya!”
Ketika Yideng Dashi mengangkat Guo Jing, ia tidak hanya meminta Guo Jing untuk tidak melakukan terlalu banyak ritual, tetapi juga menguji kekuatan Guo Jing. Yideng Dashi hanya menggunakan setengah dari kekuatannya, jika ia merasa bahwa Guo Jing tidak mampu melawan, ia akan menarik kembali kekuatannya. Ia tidak punya niat untuk menggunakan kekerasan terhadap Guo Jing, jika Guo Jing tetap diam, ia tidak akan menambah kekuatan lagi. Namun dalam satu pertemuan ini ia menemukan kungfu Guo Jing sangat dalam. Ia tidak menyangka Guo Jing bisa memakai tenaganya dan berdiri, secara otomatis menyalurkan tenaga dalamnya. Hal ini lebih mengejutkan Yideng daripada jika Guo Jing hanya melawan dengan tidak bergerak di tanah. Yideng diam-diam berpikir, “Qi Xiong benar-benar telah menerima seorang murid yang sangat baik, tidak heran murid-muridku sendiri dengan jujur mengakui kekalahan mereka.”
Pada saat itulah Guo Jing berkata, “Dizi mohon kepada Dashi untuk menyelamatkan nyawanya!” Ia baru saja selesai berbicara ketika tiba-tiba ia merasakan kakinya goyah, tubuhnya tanpa sadar bergerak maju satu langkah. Dengan cepat ia mengerahkan kekuatannya untuk melawan tetapi tubuhnya menolak untuk menuruti pikirannya, mukanya jadi merah semua. Ia terkejut. “Aliran tenaga Biksu Yideng bisa bertahan begitu lama!” pikirnya. “Aku sudah mencoba membubarkannya, tapi tiba-tiba tenaga itu mengangkatku. Tenaga yang masuk sudah dinetralkan, tapi sesaat kemudian tenaga lawan secara tak terkendali mendorong diriku ke depan. Kalau ini pertarungan nyata, rasanya nyawaku akan melayang. Sesat Timur, Racun Barat, Kaisar Selatan, dan Pengemis Utara benar-benar pantas mendapatkan nama besar mereka.” Kali ini ia membungkuk dan bersujud dengan lebih kagum, apa yang dirasakannya di dalam hati terlihat di wajahnya.
Yideng melihat air muka Guo Jing dipenuhi rasa takut dan kagum, ia mengulurkan tangannya untuk menepuk bahu Guo Jing dengan lembut dan berkata sambil tersenyum, “Kau sudah melatih diri sampai ke tingkat ini, itu benar-benar tidak mudah.” Sementara itu ia belum melepaskan tangan Huang Rong, ia menoleh dan tersenyum, “Nak, jangan takut, tenangkan hatimu,” katanya dengan suara lembut. Kemudian ia membantunya duduk di atas tikar meditasi.
Sepanjang hidupnya Huang Rong tidak pernah merasakan kasih sayang seperti itu. Ayahnya sangat mencintainya, tetapi sikapnya sedikit eksentrik. Biasanya ayahnya akan memperlakukannya sebagai teman, tanpa mengungkapkan cinta mendalam seorang ayah untuk putrinya. Kali ini mendengarkan kata-kata hangat Yideng tiba-tiba Huang Rong seolah-olah merasakan cinta kasih ibunya yang lembut, cinta yang belum pernah dirasakannya. Semua rasa sakit dan penderitaan yang dialaminya selama beberapa waktu sejak ia terluka tiba-tiba meledak tak terkendali. “Wah!” ia menangis.
Biksu Yideng berkata dengan suara menghibur, “Anak baik, jangan menangis, jangan menangis! Paman pasti akan mencoba sekuat tenaga untuk menyembuhkan sakitmu.” Tak disangka semakin lembut dan menghibur kata-katanya, Huang Rong malah menangis semakin keras. Tidak lama kemudian tangisannya mereda dan tersisa hanya isak tangis. Ia mencoba menenangkan diri.
Mendengar janjinya, Guo Jing sangat gembira, tetapi setelah menoleh ke belakang, ia melihat air muka si sastrawan dan petani itu berubah, alis mereka kaku dan mata mereka melotot, mereka menatapnya dengan tatapan marah. Guo Jing merasa tidak enak sambil berpikir, “Kami bisa mencapai tempat ini sepenuhnya karena kelicikan Rong’er, tidak heran mereka marah. Biksi Yideng begitu welas asih, tapi murid-muridnya selalu bertekad menghalangi kami. Kenapa ya?”
Ia mendengar Pendeta Yideng berkata, “Nak, bagaimana kau bisa terluka? Bagaimana kalian bisa sampai ke tempat ini? Kenapa kalian tidak menceritakan semuanya pada pamanmu ini?” Maka Huang Rong menyeka air matanya dan memberitahunya bagaimana ia salah mengira Qiu Qianren sebagai Qiu Qianzhang, bagaimana ia menerima serangan telapak tangannya dan semua yang terjadi.
Ketika Yideng mendengar nama Telapak Besi Qiu Qianren, ia mengernyitkan dahinya sedikit, tapi segera kembali mendengarkan Huang Rong dengan penuh perhatian. Saat berbicara, Huang Rong tetap membuka matanya untuk melihat wajah Yideng, meskipun cemberutnya sangat tipis, hal itu tidak luput dari pandangan Huang Rong. Ketika sampai pada titik di mana mereka bertemu Ying Gu di hutan Rawa Hitam, dan bagaimana ia memberi mereka petunjuk untuk menemukan tempat ini, wajah Biksu Yideng sekali lagi berubah sesaat, sepertinya ia mengenang peristiwa masa lalu sambil menundukkan kepala sambil berpikir dalam, dan berduka karenanya.
Sesaat setelah Huang Rong menutup mulutnya, Biksu Yideng menghela nafas dan bertanya, “Lalu apa yang terjadi?”
Huang Rong melanjutkan dengan menceritakan bagaimana si nelayan, penebang kayu, petani, dan sastrawan telah menggunakan segala cara yang mungkin untuk mempersulit mereka. Penebang kayu dengan mudah membiarkan mereka naik gunung, oleh karena itu, ia mengucapkan beberapa kata pujian atas namanya, tetapi kepada mereka yang lain ia menambahkan beberapa bumbu untuk membuat pelanggaran mereka tampak lebih buruk dari apa yang sebenarnya. Dengan sengaja ia membuat si sastrawan dan petani itu marah.
Beberapa kali Guo Jing memotongnya dan berkata, “Rong’er, jangan bicara omong kosong. Paman ini tidak seburuk itu!” Tapi Huang Rong terus berbicara seperti anak manja di depan Biksu Yideng, memberitahunya segala macam hal, membuat wajah kedua murid yang berdiri di belakang Yideng menjadi merah dan biru. Mereka tidak berani membuka mulut di hadapan Sang Guru.
Biksu Yideng berulang kali menganggukkan kepalanya, “Huh, bagaimana kalian bisa memperlakukan tamu yang datang dari jauh seperti itu? Anak-anak ini sangat kasar kepada teman. Aku akan memberitahu mereka untuk meminta maaf kepada kalian berdua nanti.”
Huang Rong menatap sastrawan dan petani itu dengan ekspresi sombong, sementara mulutnya tidak berhenti, ia menceritakan semuanya sampai bagaimana mereka berakhir di gerbang kuil. “Setelah itu Wanbei memberikan gambar itu untuk Paman lihat, dan Paman meminta Wanbei masuk, kemudian mereka tidak berani menghalangi kami lagi,” katanya.
“Gambar apa?” Yideng terkejut.
“Ini tentang elang, merpati, dan seseorang memotong dagingnya sendiri,” jawab Huang Rong.
“Kepada siapa kamu memberikannya?” tanya Yideng.
Sebelum Huang Rong dapat menjawab, si sastrawan mengambil gambar dari sakunya dan menyerahkannya dengan kedua tangan. “Ada di tangan Dizi,” katanya, “Shifu tadi belum selesai meditasi, Dizi belum memberikannya kepada Shifu.”
Yideng mengulurkan tangannya untuk mengambil gambar itu, ia tersenyum kepada Huang Rong dan berkata, “Kau tahu, kalau kau tidak menyebutkannya, aku tidak akan tahu apa-apa.” Perlahan ia membuka gambar itu dan melihatnya, dia tahu apa arti gambar itu. Ia tersenyum dan berkata, “Ternyata orang itu takut Pinseng tidak akan membantumu, dan mengirimkan gambar ini untuk mengusik Pinseng. Apa menurut kalian mereka tidak terlalu meremehkan Biksu Tua ini?”
Huang Rong menoleh untuk melihat kecemasan dan keprihatinan mendalam pada wajah sastrawan dan petani itu, ia merasa aneh. “Mengapa ketika mereka mendengar janji Shifu mereka untuk merawatku, mereka terlihat seperti kehilangan nyawa? Apakah obatnya begitu berharga sampai-sampai mereka benci terpaksa menyerahkannya?” Ia menoleh ke belakang untuk melihat Yideng dengan hati-hati memeriksa gambar itu. Ia membawanya di bawah sinar matahari untuk melihat kualitas kertasnya, ia menjentikkannya beberapa kali, wajahnya tampak curiga.
“Apakah Ying Gu yang menggambar gambar ini?” tanyanya kepada Huang Rong.
“Ya,” jawab Huang Rong.
Yideng terdiam setengah harian, lalu bertanya lagi, “Apa kau melihatnya dengan mata kepala sendiri ketika dia melakukannya?”
Huang Rong tahu ada yang tidak beres, dia mencoba mengingat apa yang terjadi saat itu dan berkata, “Waktu Ying Gu menulis, punggungnya menghadap kita. Wanbei melihat penanya bergerak, tetapi Wanbei tidak melihat dengan mata kepala sendiri apakah dia sedang menulis atau menggambar.”
“Kamu bilang dia memberimu dua kantong lagi, biar kulihat apa isi kantong lainnya,” kata Yideng.
Guo Jing mengambil kantong dari sakunya dan Yideng memeriksanya, wajahnya sedikit berubah. “Memang begitu,” gumamnya pelan. Ia memberikan tiga lembar kertas itu kepada Huang Rong dan berkata, “Yao Xiong adalah seorang ahli kaligrafi dan lukisan, latar belakang pendidikanmu berasal dari keluargamu, kau tentu mengerti soal selera. Mengapa kau tidak melihat ketiga lembar ini dan memberitahu aku pendapatmu.”
Huang Rong mengambil kertas untuk melihatnya dan segera berkata, “Kedua lembar ini adalah Yu Ban Zhi16 biasa, tetapi gambarnya dibuat di atas Jiu Jian Zhi17, jenis kertas yang agak langka.”
Yideng menganggukkan kepalanya, “Hmm, dalam kaligrafi dan lukisan aku orang awam, bagaimana menurutmu tentang gambar ini?”
Huang Rong memeriksa gambar itu dengan cermat, ia tersenyum dan berkata, “Paman hanya pura-pura jadi orang awam! Paman sudah tahu sejak awal bahwa bukan Ying Gu yang menggambar lukisan ini.”
Raut wajah Yideng sedikit berubah, “Jadi benar itu bukan lukisannya? Aku hanya menebak berdasarkan logika, aku benar-benar tidak melihat gambarnya.”
Huang Rong menarik lengannya, berkata, “Paman, lihat, tulisan pada dua lembar kertas ini sangat halus dan elegan sementara coretan pada gambar ini sangat kaku. Hmm, gambar ini dibuat oleh seorang pria. Ya, aku yakin itu adalah goresan pena pria. Pria ini tidak tahu apa-apa tentang kaligrafi atau lukisan, tetapi sapuan penanya sangat kuat, bahkan menembus kertas sampai ke baliknya… Tinta ini terlihat sangat tua, kukira bahkan lebih tua dari usiaku sendiri.”
Biksu Yideng menghela napas berat, ia mengarahkan jarinya ke sebuah buku di atas meja bambu, memberi isyarat kepada si sastrawan untuk mengambilnya. Sastrawan itu berjalan mendekat dan mengambilnya, dan menyerahkannya kepada gurunya. Huang Rong melihat di halaman yang menguning dari sampul dua baris tulisan yang bertuliskan, ‘Kitab Buddhis Agung oleh Maming Bodhisattva. Diterjemahkan oleh San Cang Jiu Mo Luo Shen18 dari Guizi di Wilayah Barat.’ Ia berpikir, “Aku tidak akan mengerti apa-apa kalau dia mulai berkhotbah.”
Yideng dengan santai membuka sampul buku itu, meletakkan gambar di sebelahnya dan berkata, “Coba lihat.”
“Ah!” Huang Rong dengan lembut berseru, “Kualitas kertas yang sama.” Yideng mengangguk.
Guo Jing tidak mengerti, ia berbisik, “Kualitas kertas apa yang sama?”
Huang Rong berkata, “Perhatikan baik-baik, bukankah kualitas kertas buku ini sama dengan gambar itu?”
Guo Jing melihat dengan hati-hati; kertas buku itu kasar dan tebal, bercampur dengan untaian benang sutera kuning, persis sama dengan kertas gambar. “Memang sama,” katanya, “Jadi apa?”
Huang Rong tidak menjawab, ia menatap Biksu Yideng, menunggu penjelasan.
Biksu Yideng berkata, “Buku ini dibawa oleh saudara seperguruanku dari wilayah barat.”
Selama Guo Jing dan Huang Rong berbicara dengan Yideng, mereka sama sekali tidak memperhatikan biksu India itu, baru sekarang mereka mengalihkan pandangan mereka kepadanya. Ia sedang duduk bersila di atas tikar meditasi, seolah-olah tidak menyadari pembicaraan orang-orang ini.
“Buku ini berasal dari wilayah barat, gambar ini juga berasal dari wilayah barat,” Yideng melanjutkan, “Pernahkah kalian mendengar tentang Gunung Onta Putih19 di wilayah barat?”
Huang Rong terkejut, “Xi Du20 Ouyang Feng?” tanyanya.
Yideng perlahan mengangguk, “Benar,” katanya. “Gambar ini digambar oleh Ouyang Feng.” Mendengar ini Guo Jing dan Huang Rong kaget dan tidak bisa berkata apa-apa untuk sementara waktu.
Yideng tersenyum dan berkata, “Orang bermarga Ouyang ini sudah merencanakan hal ini sejak lama, dia benar-benar mengantisipasi jauh ke depan.”
“Paman,” kata Huang Rong. “Wanbei tidak tahu gambar ini berasal dari Lao Du, orang ini selalu memendam niat jahat.”
Yideng tersenyum dan berkata, “Demi Jiu Yin Zhen Jing, orang bisa melakukan hal-hal besar.”
“Gambar ini ada hubungannya dengan Jiu Yin Zhen Jing,” kata Huang Rong.
Tetapi Yideng berkata, “Kita akan membicarakan soal ini nanti. Saat ini ada hal lain yang jauh lebih penting, aku harus segera menyembuhkan lukamu.” Ia melihat Huang Rong tampak terkejut setelah mendengar soal gambar itu, dan juga terlihat bersemangat. Ia mencoba menahan rasa sakitnya dan berhasil menguasai diri karena tenaga dalamnya yang cukup kuat. Karena itu sambil mengulurkan tangan muntuk menopang lengan kanannya, Yideng mengembalikan fokus mereka untuk mengobati lukanya.
Yideng membantunya bangkit berdiri, lalu berjalan ke bangunan sebelah. Ketika tiba di depan pintu, si sastrawan dan petani bertukar pandang, lalu mereka buru-buru maju ke pintu seraya berlutut dan berkata, “Shifu, biarkan kami mencoba mengobati luka nona ini.”
Yideng menggelengkan kepala dan berkata, “Kalian pikir kungfu kalian cukup memadai? Kalian sanggup menangani sampai dia betul-betul sembuh?”
Si sastrawan dan petani berkata, “Kami akan berusaha sebaik-baiknya.”
Air muka Yideng berubah menjadi sangat serius. “Nyawa manusia adalah hal yang sangat penting, bagaimana kalian bisa sekedar berusaha?”
Si sastrawan berkata, “Kedua orang ini datang atas saran orang jahat. Meskipun belas kasihan Shifu sungguh tak terbatas, tapi tidak boleh termakan rencana licik orang-orang jahat.”
Yideng menghela nafas dan berkata, “Apa yang kuajarkan dengan susah-payah kepada kalian setiap hari? Coba kalian pelajari baik-baik apa makna gambar ini.” Sambil bicara ia menyodorkan gambar di tangannya. Si petani membenturkan dahinya di lantai dan berkata, “Gambar ini dibuat oleh Ouyang Feng. Shifu, ini rencana jahat Ouyang Feng.” Sambil mengatakan hal ini, kecemasannya tampak makin nyata, air mata mulai turun membasahi pipinya.
Guo Jing dan Huang Rong agak heran. “Apa kaitannya rencana jahat itu dengan mengobati luka?” pikir mereka.
Biksu Yideng berkata dengan lembut, “Ayo bangun, bangun. Jangan buat tamu kita merasa tidak enak.” Suaranya halus, tetapi sangat berwibawa. Mereka berdua tahu bahwa tidak ada gunanya lagi berdebat dengan guru mereka. Mereka pun bangkit berdiri sambil menundukkan kepala dalam-dalam.
Biksu Yideng membawa Huang Rong ke dalam ruangan itu. Kepada Guo Jing ia berkata, “Kau juga ikut masuk.” Guo Jing dengan patuh ikut masuk.
Yideng menurunkan tirai bambu yang berada di atas pintu masuk. Ia lalu membakar sebatang dupa dan menancapkannya di perangkat yang sesuai, yang terletak di atas sebuah meja bambu.
Keempat dinding ruangan itu tampak membosankan, selain meja bambu kecil di mana Yideng baru saja menancapkan dupanya hanya ada tiga alas meditasi. Yideng menyuruh Huang Rong duduk di alas meditasi yang di tengah, sementara ia sendiri duduk bersila di sebelahnya. Ia berpaling ke arah tirai bambu di pintu masuk dan berkata kepada Guo Jing, “Kau diam dan berjaga di pintu, jangan biarkan seorang pun masuk, termasuk murid-muridku sendiri.” Guo Jing menurut.
Yideng memejamkan matanya, tetapi tiba-tiba ia membuka matanya kembali dan menambahkan. “Kalau mereka mencoba masuk dengan paksa kau harus melawan. Nyawa adik seperguruanmu sangat tergantung pada hal ini. Ingat baik-baik, ini sangat penting.”
“Ya,” kata Guo Jing, tetapi sebenarnya ia bingung. “Murid-muridnya sangat menghormati dia, masa mereka akan melanggar perintah dan memaksa masuk?” pikirnya.
Yideng berpaling kepada Huang Rong dan berkata, “Lemaskan sekujur tubuhmu, tak peduli seberapa sakit atau gatal nantinya, kau tidak boleh melawan.”
Huang Rong tersenyum. “Aku menganggap diriku sudah mati.”
Yideng juga tersenyum. “Kau ini betul-betul anak pintar.” Ia segera memejamkan matanya, alis matanya turun, ia menghimpun tenaga. Ketika dupa terbakar kira-kira satu inci, tiba-tiba ia melompat, tangan kiri di depan dadanya, jari telunjuk kanan terulur, perlahan ia mengarahkan telunjuknya ke titik darah Bai Hui di kepala Huang Rong. Tubuh Huang Rong terangkat sedikit, ia merasakan aliran hawa panas turun dari atas kepalanya.
Biksu Yideng segera menarik jarinya, tanpa menggerakkan tubuhnya jari keduanya menotok titik darah Hou Ding yang terletak sekitar satu cun lima fen di belakang titik Bai Hui. Secara berturut-turut ia menotok Qiang Jian, Nao Hu, Feng Yu, DaZhui, Tao Dao, Shen Zhu, Shen Dao, sampai ke titik Ling Tai di paling bawah, dan ketika dupa yang dipasang terbakar setengahnya, ia telah menotok berturut-turut tiga puluh titik akupuntur utama yang termasuk dalam golongan Du Mai Xue21 di tubuh Huang Rong.
Pada saat itu baik ilmu bela diri maupun pengalaman Guo Jing sudah tidak bisa dibandingkan lagi dengan apa yang dimilikinya di Mongolia. Ia berdiri di samping sambil mengawasi jari Yideng Dashi bergerak perlahan, lengannya mengambang di udara. Ia menotok tiga puluh titik akupuntur itu dengan teknik-teknik yang berbeda. Setiap teknik yang dipakainya sungguh-sungguh membuka wawasan. Harus diakui bahwa baik Enam Orang Aneh dari Jiangnan maupun isi Kitab Jiu Yin Zhen Jing sama-sama tidak mengajarkan teknik-teknik tersebut. Ia belum pernah menyaksikan maupun mendengar hal seperti ini sebelumnya. Ia merasa pandangannya kabur hanya dengan menyaksikannya, lidahnya kelu. Ia hanya tahu bahwa Biksu Yideng tengah mendemonstrasikan ilmu tingkat tinggi, sama sekali tak pernah terbayang oleh Guo Jing bahwa Yideng sedang menggunakan tenaga dalam yang telah dilatihnya seumur hidup untuk membuka enam jalan darah utama Huang Rong.
Setelah menyelesaikan kelompok Du Mai Xue, Yideng duduk untuk beristirahat sebentar. Setelah Guo Jing menyalakan dupa berikutnya, ia kembali melompat untuk menotok kelompok titim akupuntur Ren Mai Xue22, yang terdiri dari dua puluh lima titik. Kali ini gerakan tangannya sangat cepat, tangannya bergetar, seperti capung melayang di atas air. Dalam satu tarikan nafas ia telah menyelesaikan dua puluh lima totokan di kelompok Ren Mai tersebut. Semuanya dilakukan secepat kilat, tetapi tidak ada yang meleset selebar helaian rambut pun.
Guo Jing merasa ngeri sekaligus kagum melihat aksi tersebut, ia berpikir sambil mendesah, “Ternyata di dunia ini sungguh ada ilmu semacam ini!”
Sementara itu Yideng telah mulai dengan kelompok Yin Wei Mai23 yang terdiri dari empat belas titik akupuntur. Sekali lagi ia menggunakan teknik yang berbeda. Kali ini ia gerakannya kuat bertenaga seperti naga terbang atau barisan harimau. Meskipun Yideng memakai kassaya24, tetapi di mata Guo Jing ia tidak nampak seperti seorang Biksu, dan malah lebih mirip seorang kaisar, yang memerintah puluhan ribu manusia.
Setelah menyelesaikan kelompok titik akupuntur Yin Wei Mai, Biksu Yideng langsung melanjutkan dengan Yang Wei Mai25 tanpa beristirahat. Kali ini ia melakukannya dari jarak jauh, ia melangkah sekitar satu zhang dari Huang Rong, lalu mendadak menusuk ke depan dan menotok titik akupuntur Feng Chi di leher Huang Rong, diikuti dengan lompatan mundur. Kelompok titik akupuntur Yang Wei Mai ini terdiri dari tiga puluh dua titik, ia melakukannya secara berturut-turut tanpa istirahat.
Guo Jing berpikir, “Pertempuran jarak dekat dengan seorang ahli sangat berbahaya, memakai teknik ini aku bukan hanya bisa mengatasi lawan, tapi sekaligus juga membangun benteng pertahanan yang kuat. Ini teknik yang luar biasa.” Dengan penuh perhatian ia mengamati Yideng bergerak ke depan dan belakang. Pergerakannya sungguh luar biasa. Sangat sulit menyerang dan mundur secepat itu, dengan kegesitan seekor ikan yang bergerak di air atau kelinci yang melarikan diri dari kejaran pemburu. Mendadak sebuah pikiran melintas di benaknya, “Waktu aku melawan Ying Gu, tubuhnya sangat licin. Bagian ketiga dari teknik yang dipakainya nampak agak mirip dengan gerakan Yideng pada saat melakukan totokan, sepertinya ia terinspirasi oleh Biksu ini, tapi kemampuannya terlalu jauh di bawah Yideng Dashi.”
Dua batang dupa berikutnya, Yideng Dashi telah menyelesaikan semua totokannya pada kelompok Yin Wei maupun Yang Wei Mai. Ketika ia mulai dengan titik akupuntur Ju Gu di leher Huang Rong, Guo Jing tiba-tiba terusik, “Ah! Sepertinya Jiu Yin Zhen Jing punya yang satu ini. Aku sungguh bodoh tidak bisa memahaminya sebelum ini.” Dalam hati ia mulai menghafalkan isi kitab itu sambil mengamati Biksu Yideng dan membandingkan tekniknya dengan isi kitab tersebut. Ia menemukan kenyataan bahwa variasi teknik totokan Yideng Dashi tak terbatas. Guo Jing belum belajar terlalu jauh, dan ia tidak berani mempelajari ilmu Totokan Satu Jari Yideng Dashi, tetapi dengan pengetahuannya tentang Jiu Yin Zhen Jing, ia punya dasar yang cukup kuat untuk memahami ilmu yang unik ini.
Akhirnya kelompok jalan darah Dai Mai berhasil dibuka. Darah mengalir tanpa rintangan melalui ketujuh kelompok titik akupuntur yang dirangkum dalam kitab Jiu Yin Zhen Jing. Dai Mai adalah kelompok titik akupuntur yang melingkari pinggang seperti sebuah sabuk. Saat itu Yideng Dashi sedang berada di belakang Huang Rong, berjalan mundur dengan jari-jarinya terarah ke belakang secara perlahan menotok titik akupuntur Zhang Men.
Dai Mai terdiri dari delapan titik akupuntur. Yideng perlahan-lahan merentangkan tangannya, seolah-olah hal ini dilakukannya dengan kesulitan besar, mulutnya terbuka untuk menghirup udara segar, tubuhnya terayun, seolah tak kuasa menahan berat badannya sendiri.
Guo Jing terkesiap, ia melihat butiran keringat menitik di dahi Yideng, keringat menetes seperti hujan dari ujung alisnya yang panjang. Guo Jing ingin maju dan membantu, tetapi ia takut mengacaukan semuanya. Ia berpaling dan melihat kondisi Huang Rong dan melihat bajunya basah kuyup oleh keringat. Ia mengernyitkan alisnya dan menggigit bibirnya sendiri, seolah sedang menahan rasa sakit yang tak terperikan sekuat tenaga.
Tiba-tiba Guo Jing mendengar suara, tirai bambu di belakangnya dibuka dan seseorang berseru dengan lantang, “Shifu!” dan orang itu bergegas masuk melalui pintu.
Nyaris tanpa berpikir Guo Jing melancarkan Sang Naga Mengibaskan Ekor, telapak tangan kanannya terayun ke belakang dan mengenai bahu orang itu. Guo Jing berpaling dan melihat seseorang terhuyung mundur dua langkah, ternyata si nelayan.
Karena dayung besinya dicuri, ia tidak bisa mendayung ke atas melalui air, ia harus mengambil jalan berputar sejauh lebih dari dua puluh li dari belakang gunung. Ketika tiba di situ, ia mendengar gurunya sudah mulai mengobati luka dalam si nona cilik, ia sangat cemas dan menerjang maju ke arah ruangan dengan maksud mencegah gurunya melakukan hal itu. Tak disangka ia terdorong mundur oleh serangan Guo Jing. Ia bangkit untuk mulai mencoba lagi. Sementara itu si penebang kayu, petani, dan sastrawan telah tiba di luar pintu masuk.
“Ini sudah selesai, apa lagi yang bisa kita lakukan?” kata si sastrawan dengan marah.
Guo Jing berpaling untuk melihat Biksu Yideng duduk bersila di atas tikar meditasinya, mukanya pucat seperti mayat, jubah biksu yang dikenakannya basah kuyup oleh keringat. Huang Rong berbaring di lantai, tidak bergerak. Tidak jelas apakah ia masih hidup atau sudah mati. Guo Jing sangat terkejut, ia bergegas maju untuk mengangkatnya. Hal pertama yang diperhatikannya adalah bau amis yang keluar dari lubang hidung Huang Rong. Ia melihat mukanya dan mendapati kenyataan bahwa muka itu seolah sama sekali tidak mengandung darah dan pucat membiru seperti mayat, tetapi bayangan semu hitam di mukanya telah menghilang. Ia memeriksa pernafasannya dan merasa sangat lega setelah merasakan denyut yang stabil meskipun sangat lemah.
Si nelayan, penebang kayum petani dan sastrawan duduk di sekeliling guru mereka dalam diam, dengan muka penuh perhatian. Guo Jing terus mengamati Huang Rong. Ia melihat mukanya secara berangsur-angsur berubah menjadi kemerahan, ia sangat girang. Tapi di luar dugaan warna kemerahan itu kemudian berubah menjadi merah padam dan dengan segera pipinya menjadi sangat panas. Dalam waktu singkat butiran keringat mulai menitik di dahinya sementara mukanya berangsur-angsur kembali berubah sepucat kertas. Siklus ini terjadi tiga kali, setiap kali ia selalu basah kuyup oleh keringat.
“Mmm,” Huang Rong mendesah pelan, lalu membuka matanya. “Jing Gege, mana kompornya, uh, mana esnya?” tanyanya.
Mendengar suaranya hati Guo Jing girang tak terkira, dengan suara gemetar ia berkata, “Kompor apa? Es apa?”
Huang Rong memandang ke sekelilingnya, menggelengkan kepalanya dan tersenyum. “Ah, aku cuma mimpi buruk,” katanya. “Aku tadi melihat Ouyang Feng, Ouyang Ke dan Qiu Qianren. Mereka memasukkan aku ke tungku untuk dipanggang, dan sewaktu aku panas, mereka menaruh es untuk mendinginkan aku. Setelah aku dingin mereka mengembalikan aku ke tungku.” Ia mendesah. “Betul-betul mengerikan. Uh, iya, bagaimana dengan Paman?”
Yideng pelan-pelan membuka mata dan tersenyum. “Lukamu sudah sembuh, yang kau butuhkan adalah satu-dua hari istirahat total, jangan bergerak tanpa perlu, dan kau akan baik-baik saja.”
“Aku tidak punya kekuatan lagi sama sekali,” kata Huang rong. “Aku bahkan tidak sanggup menggerakkan jari.” Si petani menatapnya dengan marah. Huang Rong mengabaikannya, ia berpaling kepada Yideng dan berkata, “Paman, kau menghabiskan begitu banyak tenaga untuk menyembuhkan aku, kau pasti sangat lelah. Aku punya Pil Embun Sembilan Bunga Giok, dibuat berdasarkan resep dari ayah. Bagaimana kalau Paman minum pil itu?”
Yideng berkata dengan gembira, “Bagus, aku tidak menyangka kau juga membawa pil ajaib penambah tenaga itu. Pada saat kami mengadakan pertemuan di Hua Shan itu, kami semua sungguh-sungguh sudah kehabisan tenaga setelah berkompetisi, ayahmu memberi kami beberapa butir pil itu, manfaatnya sungguh-sungguh luar biasa.”
Guo Jing segera mengambil kantong kecil yang berisi pil dari bungkusan yang dibawa Huang Rong, lalu memberikannya kepada Yideng Dashi. Si penebang kayu pergi ke dapur untuk mengambilkan semangkuk air minum, sementara si sastrawan menuangkan pil-pil itu di telapak tangannya dan memberikannya kepada gurunya. Yideng tertawa. “Kenapa sebanyak itu? Pil-pil ini tidak mudah dibuat, kita hanya akan mengambil setengahnya.”
Si sastrawan menjawab dengan cemas, “Shifu, semua pil ajaib di dunia ini tidak akan cukup.”
Yideng menurut karena ia merasa sangat kelelahan, ia mengambil beberapa lusin pil itu dari tangan muridnya dan langsung menelan semuanya sekaligus, dan kemudian ia minum air untuk membantunya menelan. Ia berpalig kepada Guo Jing dan berkata, “Bawa Shimei-mu untuk beristirahat beberapa hari dan kemudian kalian berdua bisa turun gunung. Kalian tidak perlu datang untuk menemuiku lagi. Hmm, tapi kalian harus berjanji satu hal.”
Guo Jing bersujud di lantai dan membenturkan dahinya berkali-kali ke lantai itu. Huang Rong biasanya sangat suka bercanda dan selalu bersikap santai ke semua orang. Bahkan di hadapan ayah dan gurunya ia juga tidak mengikuti aturan umum tentang anak dan orang tua dengan patuh. Tetapi saat itu ia sungguh-sungguh ikut bersujud dengan serius dan berkata dengan suara rendah, “Paman telah menyelamatkan nyawaku, aku tidak berani melupakannya bahkan hanya untuk sesaat.”
Yideng tersenyum dan berkata, “Lebih baik kau melupakan semua itu, jangan biarkan hal ini terus ada di benakmu.” Berpaling kepada Guo Jing ia berkata, “Jangan katakan kepada siapa pun bahwa kalian sudah naik ke gunung ini, jangan sekali pun mengatakannya, bahkan juga kepada gurumu.”
Guo Jing baru saja berpikir untuk membawa Hong Qigong naik ke gunung ini dan memohon Yideng Dashi untuk menyembuhkannya, ketika mendengar hal itu, ia agak terkejut dan tidak tahu apa yang harus dikatakannya.
Yideng tersenyum dan melanjutkan, “Setelah ini juga jangan repot-repot berpikir untuk kembali ke sini, karena kami akan segera pindah dari sini.”
“Ke mana Dashi akan pergi?” tanya Guo Jing buru-buru. Yideng tersenyum tanpa mengatakan apa-apa.
Huang Rong berkata dalam hati, “Sha Gege, karena keberadaan mereka sudah kita bongkar maka mereka harus segera pindah, mana mungkin kau diberitahu?” Ia berpikir tentang bagaimana Biksu Yideng dan murid-muridnya dengan susah-payah membangun tempat ini, dan sekarang hanya karena dia mereka semua harus segera meninggalkannya. Ia merasa bersalah dan berpikir bahwa akan sangat sulit baginya membalas kebaikan mereka. Tak heran betapa kerasnya usaha si petani, nelayan, penebang kayu maupun sastrawan untuk mencegah mereka naik. Berpikir sampai di sini ia memalingkan pandangannya ke arah keempat murid Biksu Yideng itu, ingin mengucapkan sesuatu untuk mengungkapkan penyesalan dan rasa terima kasihnya, tetapi ia tidak menemukan sepatah kata pun yang cukup layak untuk diucapkan.
Tiba-tiba muka Biksu Yideng berubah, tubuhnya goyah dan ia jatuh ke lantai. Keempat muridnya, bersama dengan Guo Jing dan Huang Rong sangat terkejut. Mereka bergegas maju untuk menolongnya. Mereka melihat mukanya berkedut beberapa kali seolah ia sedang menahan rasa sakit yang tak terperikan. Mereka berenam sangat cemas, mereka berdiri mengelilingi Biksu Yideng dengan kedua tangan terkulai, tak seorang pun berani bersuara.
Sekitar waktu yang diperlukan untuk minum secangkir teh, muka Yideng memperlihatkan senyum samar, ia berkata kepada Huang Rong, “Nak, apakah ayahmu sendiri yang membuat Pil Embun Sembilan Bunga Giok ini?”
“Bukan,” jawab Huang Rong. “Kakak seperguruanku Lu Chengfeng yang membuatnya sesuai resep dari ayah.”
“Apa kau pernah mendengar ayahmu bilang bahwa pil ini akan menjadi berbahaya kalau diminum secara berlebihan?” tanya Yideng lebih lanjut.
Huang Rong terpana, ia berpikir, “Apa ada sesuatu yang salah dengan pil-pil ini?” Ia buru-buru berkata, “Kata ayah makin banyak makin baik. Hanya saja karena pil-pil ini tidak mudah dibuat, dia juga tidak ingin minum terlalu banyak.”
Yideng menundukkan kepala dan mengerutkan keningnya agak lama. Akhirnya ia menggelengkan kepalanya dan berkata, “Ayahmu boleh dibilang seorang jenius, tetapi tindakannya sangat tidak terduga, mana mungkin aku bisa menebak niatnya? Apa mungkin dia mencoba menekan kakak seperguruanmu dengan cara memberinya resep palsu? Ataukah kakak seperguruanmu yang menyimpan dendam kepadamu, dan mencampur sejenis racun ke dalam pil-pil ini?”
Ketika mendengar kata ‘racun’ semua orang berseru penuh kekuatiran, “Shifu, kau diracuni?” tanya si sastrawan.
Yideng tersenyum dan berkata, “Sungguh beruntung Paman gurumu ada di sini, jadi racun paling mematikan pun tidak akan bisa membunuh siapa pun.”
Keempat muridnya tidak llagi bisa menahan amarah, mereka mengutuk Huang Rong, “Guru kami sudah berbaik hati menyelamatkan nyawamu, tapi kau sungguh punya nyali untuk mencelakai orang dengan racun?” Mereka mengepung Guo Jing dan Huang Rong dalam lingkaran, siap untuk menyerang.
Perubahan situasi ini terjadi begitu mendadak sehingga Guo Jing terkesima, ia tidak tahu harus berbuat apa. Sejak Yideng menanyakan pertanyaan pertama, Huang Rong sudah menebak dengan tepat bahwa pil-pil itu telah menimbulkan masalah besar. Otaknya dengan segera berputar untuk mengingat urutan peristiwa yang terjadi sejak mereka menerimanya di Gui Yun Zhuang26. Ketika mereka tiba di Rawa Hitam ia teringat bagaimana Ying Gu membawa pil-pil itu ke dalam ruangan lain dan menelitinya agak lama sebelum akhirnya muncul lagi. Mendadak sebuah pikiran melintas di benaknya seperti cahaya terang. “Paman, aku tahu!” serunya. “Ini ulah Ying Gu!”
“Ulah Ying Gu?” tanya Yideng.
Dengan segera Huang Rong menceritakan semua yang terjadi di dalam gubuk di tengah Rawa Hitam. Ia lebih lanjut berkata, “Dia berkali-kali memperingatkan aku supaya tidak minum pil ini, rupanya itu karena dia sudah mencampur racun ke dalam pil-pil ini.”
“Hmm,” dengus si petani dengan marah. “Dia sangat baik kepadamu. Dia takut kau akan mati.”
Sejak mengetahui bahwa Yideng diracuni, hati Huang Rong dipenuhi penyesalan, ia tidak tertarik untuk berdebat. Ia menundukkan kepalanya dan berkata, “Dia tidak takut membunuhku. Dia cuma takut setelah aku minum pil ini, maka Paman tidak bisa diracuni.”
Yideng hanya bisa mendesah. “Karma, karma,” katanya. Mukanya berubah lembut. Ia menoleh kepada Guo Jing dan Huang Rong dan berkata, “Inilah akibat dari dosaku sendiri, tidak ada kaitannya dengan kalian berdua. Ini perbuatan Ying Gu, dan aku sedang memetik hasil dari benih yang kutanam. Kalian boleh beristirahat, lalu turun gunung, tak perlu kuatir tentang aku. Meskipun aku diracuni, tetapi adik seperguruanku ada di sini dan dia ahli dalam mengobati semua jenis keracunan.” Ia selesai bicara, dan memejamkan matanya. Ia tidak mengatakan sepatah katapun lainnya.
Guo Jing dan Huang Rong membungkuk hormat. Mereka melihat muka Yideng yang tersenyum, ia melambaikan tangannya dengan ringan. Keduanya tidak berani tetap tinggal lebih lama, mereka pelan-pelan berbalik dan berjalan keluar. Si biksu muda sedang menunggu di luar ruangan, ia mengantar keduanya untuk beristirahat di sebuah bangunan kecil di belakang halaman. Bangunan kecil itu juga kosong kecuali beberapa dipan bambu dan sebuah meja kecil tidak ada perabot lain di situ. Tak lama kemudian kedua biksu yang lebih tua datang untuk mengantarkan beberapa jenis hidangan vegetarian. “Silakan makan,” kata mereka.
Huang Rong masih menguatirkan keadaan Yideng. “Apakah Dashi baik-baik saja?” tanyanya.
“Xiao Seng tidak tahu,” jawab si biksu tua dengan suara agak melengking tajam. Ia membungkuk dan berjalan keluar.
“Mendengar suaranya kupikir mereka perempuan,” kata Guo Jing.
“Mereka kasim istana,” kata Huang Rong. “Mereka pastilah mantan pelayan pribadi Kaisar Duan.”
“Oh,” gumam Guo Jing. Pikiran mereka dipenuhi kekuatiran, mana mungkin mereka berselera makan.
Halaman itu terpencil dan sangat tenang, dengan angin sepoi-sepoi kadang-kadang berhembus menggoyangkan dedaunan bambu. Setelah agak lama Guo Jing memecahkan keheningan, “Rong’er, kungfu Yideng Dashi sangat tinggi.”
“Hmm,” gumam Huang Rong. Guo Jing melanjutkan, “Guru kita, ayahmu, Zhou Dage, Ouyang Feng dan Qiu Qianren, kungfu mereka berlima juga tinggi, tapi mereka belum tentu lebih hebat dibandingkan Yideng Dashi.”
“Menurut pendapatmu, siapa di antara keenam orang itu yang adalah ‘Nomor Satu Di Dunia’?” tanya Huang Rong.
Guo Jing ragu-ragu agak lama sebelum menjawab, “Kupikir masing-masing dari mereka punya kelebihan dan kekurangan sendiri, sangat sulit untuk menilai siapa yang terbaik. Yang satu lebih kuat dari yang lain, tapi satunya lebih cerdik dari yang lain.”
“Bagaimana dengan Wen Wu Quan Cai3? Siapa yang terbaik?” tanya Huang Rong.
“Tak diragukan lagi, ayahmulah yang terbaik,” jawab Gua Jing.
Huang Rong sangat bangga, ia tersenyum menampakkan lesung pipitnya, secantik bunga. Tetapi kemudian ia mendadak mendesah dan berkata, “Itulah sebabnya hal ini sangat aneh.”
“Apa maksudmu ‘aneh’?” tanya Guo Jing buru-buru.
“Coba kau pikir baik-baik,” jawab Huang Rong. “Biksu Yideng yang punya kungfu setinggi itu, si petani, nelayan, penebang kayu dan juga sastrawan itu juga bukan orang sembarangan. Mengapa mereka harus menyembunyikan diri dengan ketakutan di pegunungan terpencil ini? Mengapa setiap kali mendengar ada orang datang mereka selalu gemetar ketakutan? Di antara keenam ahli kungfu itu barangkali hanya Ouyang Feng dan Qiu Qianren yang jadi musuh mereka, tapi mereka juga orang-orang yang punya nama besar. Apa mungkin mereka mengabaikan nama besar itu dan sengaja bekerja sama untuk mempersulit dia?”
“Rong’er,” kata Guo Jing. “Meskipun Ouyang Feng dan Qiu Qianren bekerja sama, kita juga tidak perlu takut.”
“Kenapa?” tanya Huang Rong agak heran. Muka Guo Jing terlihat agak malu, ia tersipu. Huang Rong tertawa. “Ah! Kenapa kau tiba-tiba malu-malu?”
Guo Jing menjawab, “Kungfu Yideng Dashi sama sekali tidak kalah dari Racun Barat. Setidaknya mereka seimbang. Menurutku teknik totokannya yang menggunakan punggung tangan adalah batu sandungan bagi Jurus Kodok.”
“Bagaimana dengan Qiu Qianren?” tanya Huang Rong. “Si nelayan, penebang kayu, petani dan sastrawan itu sudah pasti bukan tandingannya.”
“Itu memang benar,” kata Guo Jing. “Aku sempat bergebrak dengan dia di Danau Dongting, Jun Shan dan juga Puncak Telapak Besi. Kalau di bawah lima puluh jurus kurasa aku akan bisa mengimbanginya, tapi setelah seratus jurus kurasa aku tidak akan sanggup menahan serangannya. Hari ini aku melihat teknik totokan Yideng Dashi waktu dia mengobati lukamu…”
Huang Rong sangat gembira. “Kau mempelajari ilmunya? Sekarang kau bisa mengalahkan se keparat Qiu dari Telapak Besi itu?” selanya.
“Kau kan tahu aku ini lamban,” kata Guo Jing. “Teknik totokan ini sangat mendalam, mana mungkin aku bisa mempelajarinya? Lebih jauh lagi, Dashi tidak mengajarkan teorinya kepadaku, sewajarnya aku juga tidak akan bisa belajar. Tapi kalau melihat tekniknya, beberapa hal di dalam Jiu Yin Zhen Jing yang sebelumnya tidak bisa kupahami sekarang menjadi lebih jelas. Mengalahkan dia, rasanya aku tidak sanggup, tapi aku yakin bisa menahannya lebih lama lagi.”
Huang Rong mengeluh. “Sayangnya kau melupakan satu hal penting,” katanya.
“Apa itu?” tanya Guo Jing.
“Sekarang ini Dashi diracuni dan kita tidak tahu berapa lama dia akan pulih,” jawab Huang Rong.
Guo Jing terdiam. Setelah beberapa saat ia berkata dengan gusar, “Si Ying Gu itu sungguh jahat.” Mendadak ia menjerit, “Wah, celaka!”
Huang Rong terlompat kaget. “Apa?” tanyanya.
“Kau berjanji kepada Ying Gu bahwa setelah sembuh kau akan menemani dia selama setahun. Kita akan menepati janji itu atau tidak?”
“Menurutmu bagaimana?” tanya Huang Rong.
Guo Jing menjawab, “Kalau kita tidak memberikan arahan, maka mustahil bagi kita untuk menemukan Yideng Dashi. Dan sangat sulit untuk meramalkan bagaimana jadinya dengan cederamu…”
“Apanya yang sulit?” potong Huang Rong. “Katakan saja terus terang, nyawaku tidak akan bisa diselamatkan. Kau ini seorang pria sejati yang ucapannya seperti gunung, tak tergoyahkan. Kau pastilah ingin supaya aku juga menepati janjiku.” Ia berpikir betapa Guo Jing juga tidak bersedia membatalkan pertunangannya dengan Huazheng. Mau tidak mau ia menundukkan kepalanya dengan kecewa.
Guo Jing sama sekali tidak punya pikiran bahwa kekasihnya sedang mencurahkan isi hatinya. Huang Rong sebetulnya sedang menahan air matanya, tapi ia sama sekali tidak sadar. Ia berkata, “Ying Gu bilang ayahmu punya kemampuan berhitung tingkat dewa, dan akhirnya akan tetap sulit bagi dia untuk menyentuh kulit ayahmu, lalu kenapa dia masih juga ingin supaya kau menemaninya selama setahun?”
Huang Rong menutupi mukanya tanpa menjawab. Guo Jing tetap tidak mengerti dan mengulangi pertanyaannya. Huang Rong jadi marah. “Kau sungguh bodoh, sampai tidak tahu apa-apa!” omelnya.
Guo Jing sama sekali tidak mengerti kenapa ia tiba-tiba kehilangan kesabaran dan mengomelinya. Ia hanya bisa menggaruk kepala dan berkata, “Rong’er! Aku memang bodoh, justru karena itulah aku ingin supaya kau menjelaskan.”
Huang Rong sudah menyesali ucapannya begitu meluncur dari mulutnya, sekarang mendengar Guo Jing dengan polos mengakui kebodohannya ia tidak bisa menahan diri lagi. Ia melemparkan diri ke dadanya dan menangis. Guo Jing semakin bingung, ia hanya bisa dengan lembut menepuk-nepuk punggungnya untuk menghibur. Huang Rong menarik jubah Guo Jing dan menggunakannya untuk menghapus air mata. Ia tersenyum dan berkata, “Jing Gege, aku yang salah, lain kali aku pasti tidak akan mengomelimu lagi.”
“Aku bodoh, jadi apa salahnya kalau kau mengatakannya keras-keras?” kata Guo Jing.
“Ah, kau orang baik, akulah yang jahat,” kata Huang Rong. “Baiklah, sekarang kuberitahu. Si Ying Gu itu punya permusuhan dengan ayahku. Dia ingin belajar berhitung supaya bisa pergi ke Pulau Bunga Persik untuk membalas dendam. Setelah itu dia menemukan kenyataan bahwa dalam hal matematika dia kalah dari aku, jadi dia merasa tidak ada gunanya berusaha membalas dendam. Karena itulah dia mau menggunakan aku sebagai sandera dan bilang kepada ayahku supaya menyelamatkan aku. Dengan cara itu dari tamu dia malah berubah menjadi tuan rumah, dan bisa membangun rencana baru untuk mencelakai ayahku.”
Tiba-tiba Guo Jig mengerti, ia menepuk lututnya sendiri keras-keras dan berkata, “Ah, itu yang benar! Kalau begitu kau tidak usah menepati janjimu.”
“Apa maksudmu tidak menepati janji? Aku harus menepati janji,” kata Huang Rong.
“Hah?” sahut Guo Jing, heran.
Huang Rong berkata, “Si Ying Gu itu sangat licik, lihat saja bagaimana dia berhasil mencampur sejenis racun ke butiran Pil Embun Sembilan Bunga Giok untuk mencelakai Yideng Dashi. Dia bisa saja mengulangi perbuatannya. Kalau kita tidak menyingkirkan dia, maka dia akan menjadi duri dalam daging bagi ayahku di masa depan. Dia ingin kutemani, maka aku harus menemaninya. Sekarang aku tahu, maka aku bisa mewaspadai kelicikannya. Tak peduli apapun rencana jahatnya, aku yakin aku akan bisa membacanya satu persatu.”
“Ah! Tapi itu berarti kau seperti hidup bersama harimau,” kata Guo Jing.
Huang Rong baru saja hendak menjawab ketika mereka tiba-tiba mendengar suara berisik dari arah rumah di mana Yideng tinggal. Guo Jing dan Huang Rong berpandangan. Mereka memasang telinga baik-baik untuk mendengarkan, tapi sepertinya suara berisik itu berhenti.
“Aku ingin tahu bagaimana keadaan Dashi sekarang,” kata Guo Jing. Huang Rong menggelengkan kepalanya. Guo Jing melanjutkan, “Makan sesuatu, lalu kau harus beristirahat.” Huang Rong menggelengkan kepalanya lagi. Tiba-tiba ia berseru, “Ada orang datang!” Dan memang benar, mereka mendengar suara langkah kaki mendatangi tempat itu dari halaman depan.
“Gadis kecil itu sangat licik, kita harus membunuhnya dulu,” kata sebuah suara, sepertinya suara si petani.
Guo Jing dan Huang Rong sangat terkejut. Mereka mendengar si penebang kayu berkata, “Jangan buru-buru, kita harus menanyai mereka dulu supaya lebih jelas.”
“Apa lagi yang harus ditanyakan?” kata si petani. “Kedua bajingan cilik itu pasti dikirim oleh musuh Shifu. Kita bunuh satu dan biarkan yang lainnya hidup. Kalau harus bertanya, cukuplah kita tanyai bocah tolol itu.” Sambil bicara si nelayan, penebang kayu, petani dan sastrawan itu sudah tiba dan berhenti di depan pintu. Kelihatannya mereka tidak takut Guo Jing dan Huang Rong mendengar pembicaraan mereka.
Tanpa ragu-ragu Guo Jing meluncurkan Kang Long You Hui, telapak tangannya memukul tembok di belakang mereka. Dengan suara keras sebuah lubang menganga di tebok batu itu. Ia membungkuk supaya Huang Rong bisa naik ke punggungnya dan dengan cepat melompat keluar melalui lubang tembok. Sementara mereka masih di udara, si petani mengulurkan tangannya, secepat angin, berusaha untuk mencekal kaki Guo Jing.
Tangan kiri Huang Rong menyapu ringan, mengebas titik akupuntur Yang Chi di bagian belakang telapak tangan si petani. Itu ilmu totokan Lan Hua Fu Xue Shou milik keluarganya. Meskipun ia lemah karena cedera tetapi pukulannya yang ringan dan cepat melayang dengan anggun, menyerang titik akupuntur dengan cara yang aneh, sungguh tidak mudah dihindari.
Si petani itu sama sekali tidak asing dengan teknik totokan, ia melihat jarinya meluncur secepat kilat, ia terkejut dan buru-buru menarik tangannya untuk mengangkis. Titik akupunturnya selamat, tetapi serangan itu memperlambat cekalannya sehingga Guo Jing berhasil melompat keluar tembok sambil menggendong Huang Rong di punggungnya.
Guo Jing berjingkat ke depan beberapa langkah. Mendadak ia menjerit kaget, ternyata di belakang bangunan itu ada semak duri setinggi manusia, padat dan banyak, dipenuhi duri yang menutupi jalan sangat panjang, tak ada jalan bagi mereka untuk melewati semak itu. Ia terpaksa berbalik dan melihat si nelayan, penebang kayu, petani dan sastrawan itu tiba, menghalangi jalan mereka.
Guo Jing berkata dengan lantang, “Dashi sudah mengijinkan kami turun gunung. Kalian sudah mendengarnya sendiri. Kenapa kalian melanggar perintah dan menahan kami di sini?”
Si nelayan menatap mereka dan dengan suara seperti halilintar berkata, “Guruku sudah menunjukkan belas kasihan yang begitu besar, sampai bersedia mengorbankan hidupnya untuk menolong kalian, tapi kalian…”
Guo Jing dan Huang Rong terperanjat. “Apa maksudmu mengorbankan hidupnya untuk menolong kami?” tanya mereka, hampir serempak.
“Buihh!” si nelayan itu meludah. Si sastrawan mendengus dan berkata, “Guru kami mengorbankan hidupnya untuk menyelamatkan nyawa nona ini, kalian betul-betul tidak tahu?”
“Kami sungguh tidak tahu. Kami mohon penjelasan,” sahut Guo Jing dan Huang Rong terkejut.
Si sastrawan melihat ketulusan di wajah mereka, tampaknya mereka tidak berpura-pura. Ia memandang si penebang kayu, dan penebang kayu itu mengangguk. Si sastrawan berkata, “Nona menderita luka dalam yang sangat serius. Shifu harus menggunakan Yi Yang Zhi27 dan Xian Tian Gong28 untuk membuka delapan jalan darah utama dan menyembuhkan luka itu. Setelah wafatnya pendiri Quanzhen, Wang Zhenren, hanya Shifu yang menguasai kedua ilmu itu. Tapi dengan mengobati luka memakai cara ini tubuhnya sendiri akan mengalami cedera yang sangat serius, dia akan kehilangan semua kungfunya sampai lima tahun ke depan.”
“Ah!” seru Huang Rong, ia merasa sangat bersalah dan malu.
Si sastrawan melanjutkan, “Sejak saat ini sampai lima tahun ke depan Shifu harus dengan sabar dan berat menghimpun kembali tenaganya siang dan malam. Seandainya dia membuat sedikit saja kesalahan, bukan hanya tenaga dalamnya tidak akan pulih, bahkan dia setidaknya akan lumpuh, dan yang terburuk adalah dia akan kehilangan nyawa. Guruku sudah begitu baik kepada kalian, kenapa kalian sampai hati membalas kebaikan dengan kejahatan?”
Huang Rong membungkuk dalam-dalam dan berlutut di tanah, menghadap ke arah rumah di mana Biksu Yideng tinggal. Ia kowtow empat kali dan terisak. “Paman dengan begitu tulusnya menyelamatkan nyawaku, aku bahkan tidak tahu pengorbananmu sampai sedalam ini.”
Si nelayan, penebang kayu, petani dan sastrawan melihatnya membungkuk, muka mereka berubah agak lembut. Si nelayan bertanya, “Ayahmu menyuruhmu mencelakai Shifu, dan kau sungguh tidak tahu?”
Huang Rong sangat gusar. “Bagaimana mungkin ayahku menyuruhku mencelakai Paman? Ayahku, pemilik Pulau Bunga Persik, adalah orang macam apa? Masa dia melakukan hal yang begitu tercela?”
Si nelayan merangkapkan tangannya dan berkata, “Kalau nona bukan dikirim oleh ayahmu, maka kami mohon maaf atas ucapan yang terlalu lancang tadi.”
“Hmm,” dengus Huang Rong. “Kalau ayahku mendengar ucapanmu, meskipun kau adalah murid terbaik Yideng Dashi, dia tetap masih akan membuatmu sedikit menderita.”
Si nelayan tersenyum dan berkata, “Dia dikenal sebagai Si Sesat Timur, tindakannya… tindakannya… hehehe… Kami pikir apapun yang sanggup dilakukan Racun Barat, ayahmu juga pasti akan sanggup melakukannya. Sekarang kelihatannya pikiran kami itu salah.”
Huang Rong berkata, “Bagaimana kalian bisa membandingkan ayahku dengan Racun Barat? Lagipula, apa sih yang sudah dilakukan Si Keparat Tua Ouyang Feng itu?”
Si sastrawan berkata, “Baiklah, sekarang setelah semuanya jelas, mari kita kembali ke rumah dan bicara lebih lanjut.”
Dengan segera keenam orang itu kembali ke ruang meditasi dan duduk. Si nelayan, penebang kayu, petani dan sastrawan duduk sedemikian rup sehingga mereka semua menghalangi jalan keluar dan jendela. Huang Rong tahu keempat orang itu sedang menjaga kemungkinan bagi mereka berdua untuk melarikan diri, ia tersenyum sedikit tetapi tidak menunjukkan hal itu.
“Kalian tahu sesuatu tentang Jiu Yin Zhen Jing?” tanya si sastrawan.
“Kami tahu,” jawab Huang Rong. “Tapi apa hubungannya Jiu Yin Zhen Jing dengan urusan ini? Aih, buku ini sungguh berbahaya.” Ia mau tak mau jadi teringat betapa ibunya meninggal gara-gara kelelahan pada saat berusaha menulis ulang seluruh isi kitab itu dari ingatannya.
Si sastrawan berkata, “Pada saat pertemuan pertama di Hua Shan, pendiri Perguruan Quanzhen dinobatkan sebagai Pendekar Nomor Satu Di Dunia29, karenanya kitab itu jatuh ke tangannya. Tak perlu dikatakan lagi, keempat pendekar besar lainnya merasa sangat kagum kepadanya. Dalam pertandingan di Hua Shan semua orang mendemonstrasikan kebolehan masing-masing, Chongyang Zhenren sangat terkesan melihat Totokan Satu Jari27 Shifu. Tahun berikutnya dia datang ke Dali ditemani oleh adik seperguruannya untuk mengunjungi Shifu dan mendiskusikan ilmu silat.”
“Adik seperguruannya?” sela Huang Rong. “Bukankah itu Si Bocah Tua Nakal — Zhou Botong?”
“Betul,” jawab si sastrawan. “Nona masih sangat muda, tapi sudah mengenal begitu banyak orang.”
“Tidak perlu memujiku,” kata Huang Rong.
Si sastrawan melanjutkan, “Zhou Shishu orang yang sangat lucu, tapi aku tidak tahu bahwa ia dijuluki Bocah Tua Nakal. Pada saat itu guruku masih belum menjadi biksu.”
“Ah,” seru Huang Rong. “Dia masih seorang kaisar.”
“Tepat sekali,” kata si sastrawan. “Pendiri Perguruan Quanzhen dan adik seperguruannya tinggal di istana selama beberapa puluh hari, kami berempat selalu berada di dekat mereka untuk menemani. Guru kami menerangkan tentang intisari ilmu Totokan Satu Jari — Yi Yang Zhi — dan segala hal yang perlu diketahui kepada Chongyang Zhenren. Chongyang Zhenren sangat senang, setelah itu ia balas mengajarkan ilmu Xian Tian Gong kepada Shifu. Kami ada ikut hadir pada saat itu, tetapi karena keterbatasan pengalaman dan pengetahuan kami, maka kami hanya mendengar tanpa bisa memahami apapun.”
“Bagaimana dengan Lao Wan Tong?” tanya Huang Rong. “Kungfunya sama sekali tidak rendah.”
Si sastrawan menjawab, “Zhou Shishu suka berkeliling ke semua tempat dan tidak suka tinggal diam. Beberapa hari di Istana Dali ia bertualang ke sana-sini, ia bermain-main ke semua tempat sesukanya, bahkan istana Ratu dan harem juga tidak luput dari perhatiannya. Para kasim kekaisaran semuanya tahu bahwa ia adalah tamu kehormatan, jadi mereka tidak berani berbuat sesuatu untuk mencegahnya.” Huang Rong dan Guo Jing tersenyum.
Si sastrawan melanjutkan, “Tepat sebelum Chongyang Zhenren meninggalkan istana, ia berkata kepada Shifu, ‘Belakangan ini penyakit lamaku kambuh, kurasa aku tidak akan hidup terlalu lama lagi. Untungnya aku menemukan pewaris Xian Tian Gong. Itu akan memperkuat Totokan Satu Jari Kaisar. Akan ada orang di dunia ini yang mampu mengendalikan dia. Aku tidak takut lagi dia akan mengacaukan semua orang dengan tingkah-lakunya yang tak terduga lagi.’ Pada saat itulah Shifu tahu bahwa tujuan utama Chongyang Zhenren menempuh perjalanan ribuan li ke Dali adalah untuk mewariskan Xian Tian Gong kepada Shifu, supaya setelah ia sendiri wafat akan ada orang yang sanggup mengendalikan Racun Barat Ouyang Feng. Tetapi karena pada masa ini Sesat Timur, Racun Barat, Kaisar Selatan, Pengemis Utara dan Dewa Pusat punya kedudukan yang sama dalam dunia persilatan, kalau ia mengatakan bahwa maksud kedatangannya adalah untuk mewariskan ilmunya, maka itu akan sangat tidak hormat kepada Shifu, maka dari itu ia mula-mula minta supaya Shifu mengajarkan Yi Yang Zhi kepadanya, lalu sebagai balasannya ia sendiri mengajarkan Xian Tian Gong. Ketika Shifu menyadari maksudnya, dia merasa sangat berterima kasih dan langsung dengan tekun melatih ilmu itu. Chongyang Zhenren tidak hidup lama setelah mempelajari Yi Yang Zhi, ia tidak punya cukup waktu untuk belajar lebih dalam. Kudengar ia juga tidak mengajarkannya kepada para muridnya. Setelah itu terjadi sesuatu yang tidak menguntungkan bagi Kerajaan Dali, guruku sungguh patah hati. Iamencukur rambutnya dan menjadi biksu.”
Huang Rong berpikir, “Kaisar Duan tidak ingin lagi menjadi kaisar, tapi menjadi biksu. Ini pasti akibat pukulan batin yang sangat berat. Mereka semua tidak menceritakannya, dan kelihatannya sangat tidak pantas kalau kita bertanya.” Melirik ke sisinya, ia melihat Guo Jing hendak membuka mulut untuk bertanya, buru-buru ia memberi isyarat dengan matanya. “Oh!” gumam Guo Jing, lalu menutup mulutnya.
Muka si sastrawan berubah gelap, ia sedang mengenang peristiwa masa lalu itu. Setelah sesaat ia membuka mulut dan melanjutkan, “Dengan salah satu cara, berita tentang Shifu sedang melatih ilmu Xian Tian Gong bocor. Suatu hari saudara seperguruanku,” ia menunjuk ke arah si petani, “menerima perintah untuk mengumpulkan obat-obatan herbal. Dia pergi ke Da Xue Shan30 di wilayah barat perbatasan Yunnan, di mana seseorang mencederainya menggunakan Jurus Kodok.”
“Itu pasti Si Racun Tua,” kata Huang Rong.
“Siapa lagi kalau bukan dia,” kata si petani dengan marah. “Mula-mula seorang anak muda secara tidak masuk akal mengajakku berkelahi, dia bilang Da Xue Shan itu milik keluarganya. Dia tidak akan membiarkan siapa pun lewat dan mengumpulkan obat tanpa ijin. Da Xue Shan seluas ribuan li, masa semuanya milik keluarganya? Tak ragu lagi orang itu pasti sengaja ingin menantangku. Aku ingat ajaran Shifu untuk bersabar, maka aku berusaha mengalah berkali-kali. Tak kuduga anak muda ini diberi hati malah minta jantung! Dia menyuruhku kowtow tiga ratus kali di hadapannya sebelum mengijinkan aku naik gunung. Akhirnya aku tidak bisa menahan diri lagi, dan kami berkelahi. Kungfu anak muda itu sungguh tidak buruk, kami bertarung lama tanpa ada tanda-tanda siapa yang lebih unggul. Tak kuduga Si Racun Tua tiba-tiba muncul dari sebuah lembah dan tanpa mengatakan apa-apa langsung menyerangku, melukai aku dengan parah. Anak muda itu kemudian menggendong aku di punggungnya dan membawaku ke Tian Long Si — tempat Shifu tinggal.”
“Seseorang sudah membalaskan dendammu,” kata Huang Rong. “Ouyang Shaoye itu sudah tewas sekarang.”
Si petani itu sangat marah. “Ah, jadi dia mati? Siapa yang membunuhnya?”
“Hei, ada orang membalaskan dendammu, kenapa kau malah marah?” tanya Huang Rong.
“Aku ingin membalas dendam sendiri, aku mau membunuhnya dengan tanganku sendiri,” jawab di petani.
Huang Rong mendesah. “Sayangnya sekarang kau sudah tidak bisa melakukannya lagi.”
“Siapa yang membunuhnya?” tanya si petani.
“Orang jahat yang lain lagi,” jawab Huang Rong. “Kungfunya masih di bawah tingkat Ouyang Shaoye itu, tapi dia memakai cara licik untuk membunuhnya.”
“Bagus sekali,” kata si sastrawan. “Nona, kau tahu mengapa Ouyang Feng melukai saudara seperguruanku?”
“Masa hal itu sulit ditebak?” kata Huang Rong. “Berdasarkan kungfu Ouyang Feng, dia bisa saja membunuh saudara seperguruanmu dengan sekali pukul, tapi dia justru hanya melukainya dengan berat, lalu mengirimnya kepada gurumu. Tak diragukan lagi, dia ingin supaya Dashi menguras tenaga untuk menyembuhkan luka muridnya. Kau bilang kepadaku bahwa pengobatan semacam ini menguras banyak tenaga dalam, maka Dashi akan membutuhkan lima tahun untuk memulihkan tenaganya. Dengan demikian pada saat pertemuan Hua Shan yang kedua Dashi pasti tidak bisa hadir untuk ikut bertanding.”
“Nona sungguh cerdas,” desah si sastrawan. “Tapi tebakanmu hanya setengahnya benar. Niat jahat Ouyang Feng ini sungguh sulit dicari tandingannya. Setelah Shifu mengobati luka saudara seperguruanku, sebelum Shifu pulih, dia melancarkan serangan maut secara diam-diam dengan niat membunuh Shifu…”
Guo Jing menyela, “Yideng Dashi penuh kasih dan baik hati, mengapa dia bisa bermusuhan dengan Ouyang Feng?”
“Xiao Ge,” jawab si sastrawan. “Kata-katamu itu tidak benar. Pertama, orang baik yang berbelas kasihan dan pengampunan tidak hidup bersama dengan penjahat kejam yang licik. Kedua, setiap kali Ouyang Feng ingin mencelakai orang, tidak jadi soal apakah orang itu punya permusuhan dengan dia atau tidak. Hanya karena dia tahu bahwa Xian Tian Gong adalah kartu mati bagi Jurus Kodoknya, maka dia merasa harus membunuh Shifu dengan segala cara yang mungkin.”
Guo Jing menganggukkan kepalanya berkali-kali. “Apakah Dashi berhasil dilukainya?” tanyanya lagi.
Si sastrawan menjawab, “Shifu melihat rencana jahat Ouyang Feng segera setelah ia melihat luka saudara seperguruanku, malam itu juga kami pindah tempat dan Racun Barat kehilangan jejak. Kami tahu dia sudah gagal, tapi juga tidak bakalan menyerah semudah, itu. Setelah tenaga Shifu pulih, kami empat bersaudara mengusulkan untuk pergi ke Bai Tuo Shan dan membuat perhitungan dengan Ouyang Feng, tapi Shifu melarang kami untuk membalas dendam dengan cara apapun, kami tidak boleh membuat masalah. Dengan susah payah kami bisa bertahan hidup dalam damai selama ini, tak disangka dengan kelicikanmu kau bisa naik gunung. Kami hanya tahu kalian berdua murid dari Dewa Pengemis Sembilan Jari, kami tidak tahu kalian bermaksud mencelakai Shifu, karena itu kami tidak mencegah kalian dengan sekuat tenaga. Kalau tidak begitu kami patsi akan bertaruh nyawa dan tidak mungkin kalian akan kami ijinkan memasuki kuil. Tak disangka ‘Manusia tidak bermaksud mencelakai harimau, tapi si harimau ternyata mencelakai manusia’. Aih! Akhirnya Shifu tetap saja jatuh ke tangan kalian.” Sambil bicara air mukanya berubah menjadi beringas, dengan kekuatan seekor harimau ia pelan-pelan bangkit berdiri. Pedang yang tergantung di pinggangnya terhunus, berkilau dingin, menyilaukan mata.
Si nelayan, penebang kayu dan petani juga berdiri sambil menghunus senjata mereka, mengepung kedua anak muda itu dari empat arah. Huang Rong berkata, “Aku datang untuk memohon supaya Dashi mengobati lukaku, tanpa tahu bahwa hal itu perlu menghabiskan seluruh tenaga dalam Dashi sampai dia harus menderita selama lima tahun. Ada racun di dalam pil itu, aku dijebak oleh orang lain. Dashi sudah menunjukkan kasih sayang sedalam ini kepadaku, kalaupun aku ii tidak punya hati, aku tetap tidak bakalan membalas kebaikan dengan kejahatan.”
Dengan suara tegas si nelayan berkata, “Lalu kenapa kalian mengambil kesempatan pada saat tenaga dalam Shifu lenyap, dan Shifu keracunan, kalian malah memimpin musuh naik gunung?”
Guo Jing dan Huang Rong terkesiap. “Kami tidak berbuat begitu!” kata mereka dengan wajah bingung.
“Kalian masih membantah?” kata si nelayan. “Segera setelah Shifu keracunan, musuh mengirimkan gelang giok di kaki gunung. Kalau kalian tidak ikut merencanakannya, mana ada kebetulan seperti itu?”
“Gelang giok apa?” tanya Huang Rong.
Si nelayan marah. “Kau masih juga pura-pura bodoh!” Dayung besi di tangannya bergerak, dayung kiri menyapu secara horizontal, sementara yang kanan menghujam ke bawah secara vertikal, menyerang Guo Jing dan Huang Rong secara serempak.
Guo Jing sedang duduk bersebelahan dengan Huang Rong di atas tikar meditasi di lantai. Ketika ia melihat dayung datang, ia lemompat ke atas dengan tangan kanannya membentuk kait menyapu dayung itu secara horizontal, sementara tangan kirinya menangkap bagian datar dayung itu dan menyentaknya dengan keras. Sentakan itu penuh tenaga, si nelayan merasakan nyeri dan kesemutan yang memaksanya melepaskan dayung. Guo Jing mendorong dayung itu ke depan. “Trangg!” dayung itu menghantam penggaruk besi si petani, bunga api beterbangan kemana-mana. Dengan segera Guo Jing menyodorkan dayung besi itu kembali kepada si nelayan. Si nelayan mengambilnya. Mengerahkan tenaga ke tangan kanannya ia menghantam keras serempak dengan kapak di penebang kayu.
Telapak tangan Guo Jing datang silih berganti dibarengi terjangan angin tajam, mengincar dada kedua orang itu dengan cepat. Si sastrawan tahu kedahsyatan Delapan Belas Jurus Penakluk Naga, “Cepat mundur!” serunya cemas.
Si nelayan dan penebang kayu itu murid-murid dari seorang ahli silat terkenal, kungfu mereka sama sekali tidak bisa dianggap remeh. Sebelum serangan Guo Jing tiba mereka buru-buru menarik senjata masing-masing dan melompat mundur. Mendadak mereka merasakan sentakan keras membarengi langkah mundur mereka, ternyata senjata mereka tertarik ke depan oleh tenaga telapak tangan Guo Jing. Mereka tak punya pilihan selain melepaskan senjata, menyelamatkan nyawa adalah lebih penting.
Guo Jing menangkap dayung besi dan kapak baja itu, ia dengan ringan mendorong keduanya kembali dan berseru, “Tangkap!”
“Kungfu bagus!” puji si sastrawan. Pedang panjangnya mengancam sisi kanan Guo Jing.
Melihat serangan ini Guo Jing terkejut, di antara keempat murid itu si sastrawan tampaknya yang paling halus, tetapi sebenarnya kungfunya melampaui semua saudara seperguruannya, karena itu Guo Jing tidak berani meremehkannya. Telapak tangannya melayang di udara membungkus Huang Rong dan tubuhnya sendiri dengan tenaga yang luar biasa. Pertahanan ini sungguh stabil, seperti tebing yang menghalangi puncak gunung, tak terlihat satu lubang pun di situ. Telapak tangannya seperti pelangi, bergerak melingkar secara terus-menerus dengan lingkaran yang makin lama makin besar sehingga si nelayan, petani, penebang kayu dan sastrawan itu secara berangsur-angsur terdorong mundur sampai punggung mereka menempel di dinding. Jangankan membalas, sekedar untuk bertahan pun tidak mudah bagi mereka.
Pada saat itu jika Guo Jing menambah tenaga di telapak tangannya maka keempat orang itu pasti akan mengalami cedera serius. Setelah bertarung beberapa saat lagi akhirnya Guo Jing menahan tenaganya, ia menyerang dengan keras lalu mundur dengan keras juga, memukul ringan dan menarik juga dengan ringan, tampaknya seolah-olah tenaganya terkadang ada dan terkadang menghilang, di sepanjang pertarungan ia secara konsisten mempertahankan keseimbangan tenaga sedemikian rupa sehingga mereka tetap dalam posisi seimbang, tak ada yang menang atau kalah.
Teknik pedang si sastrawan mendadak berubah, pedang panjangnya bergetar, menciptakan suara desingan yang berkesinambungan. Pedangnya berubah menjadi enam pedang di atas dan enam pedang di bawah, enam di belakang, enam di kiri dan enam di kanan, secara berurutan menikam seolah-olah tiga puluh enam pedang menyerang bersamaan. Ini adalah teknik tiga puluh enam pedang Gunung Ai Lao dari Yunnan, yang diakui sebagai salah satu teknik serangan pedang terbaik di dunia.
Telapak tangan kiri Guo Jing menyambut senjata si nelayan, penebang kayu dan petani sekaligus, telapak tangan kanannya mengikuti gerakan pedang si sastrawan, naik turun. Meskipun pedang itu terus-menerus berubah gaya, Guo Jing selalu berhasil mengalihkan tikaman pedang dengan tenaga telapak tangannya. Setiap tikaman pedang lewat sangat dekat dengan bajunya, tetapi tidak pernah sekali pun berhasil melukai kulit Guo Jing.
Menahan tiga puluh enam tikaman, Guo Jing menekuk jari tengah kanannya di bawah ibu jarinya, ia menunggu sampai tikaman pedang itu kehilangan momentum sebelum tiba-tiba menyentil badan pedang. Itu ilmu Jentikan Jari Dewa[^tan-zhi-shen-tong] yang menjadi ciri khas Huang Yaoshi, yang tidak ada tandingannya di masa itu. Huang Yaoshi menggunakan ilmu ini ketika berlomba main kelereng dengan Zhou Botong, dan kemudian di Rumah Awan ketika ia memberi arahan kepada Mei Chaofeng. Guo Jing melihatnya bertarung melawan Tujuh Pendekar Quanzhen di Desa Niu dekat Lin’an menggunakan teknik ini. Setelah mempelajari sejumlah ilmu silat dari Jiu Yin Zhen Jing ia berhasil meniru teknik sentilan yang unik ini. Meskipun kalah jika dibandingkan dengan sentilan Huang Yaoshi yang halus dan elegan, namun sentilannya masih mengandung tenaga yang dahsyat.
Diiringi bunyi benturan logam pedang panjang itu tergetar hebat, lengan si sastrawan mati rasa, pedang itu nyaris jatuh dari tangannya. Si sastrawan terkesiap, ia melompat mundur dan berseru, “Tahan!”
Si nelayan, penebang kayu dan petani serempak melompat mundur. Hanya saja punggung mereka sangat dekat dengan dinding, karenanya tidak ada ruang bagi mereka untuk mundur. Si nelayan melompat keluar dari pintu, si petani melompat melalui lubang yang dibuat Guo Jing sebelumnya. Si penebang kayu menyelipkan kapaknya kembali ke pinggang. Ia tersenyum dan berkata, “Sudah kubilang mereka berdua tidak punya niat jahat, tapi kalian tidak percaya.”
Si sastrawan menyarungkan pedangnya kembali, ia merangkapkan kedua tangannya ke arah Guo Jing dan berkata, “Xiao Ge menahan telapak tangan, kami sangat berterima kasih.”
Guo Jing sibuk membungkuk untuk membalas sikap itu, tetapi hatinya dipenuhi pertanyaan, “Sejak semula kami memang tidak punya niat buruk, mengapa mereka tidak juga percaya. Kenapa setelah berkelahi mereka berubah pikiran dan malah jadi percaya?”
Huang Rong melihat akspresi mukanya yang bingung, ia tahu apa yang sedang dipikirkannya. Ia berbisik di telinga Guo Jing, “Kalau kau berniat jahat, maka kau pasti akan melukai keempat orang ini. Bahkan Biksu Yideng juga bukan tandinganmu saat ini.” Guo Jing berpikir apa yang dikatakannya benar, ia manganggukkan kepala berkali-kali.
Si petani dan nelayan kembali ke dalam ruangan. Huang Rong bertanya, “Siapa sih musuh Dashi ini? Dan apa juga gelang giok yang katanya dikirim sebelum ini?”
Si sastrawan menjawab, “Bukannya kami tidak mau memberitahu kalian, tapi terus terang saja kamu bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya ada di balik semua ini. Yang kuketahui hanyalah alasan Shifu menjadi biksu terkait erat dengan urusan ini.”
Huang Rong baru hendak bertanya lebih lanjut ketika si petani melompat dan berseru, “Waduh! Ini berbahaya!”
“Apanya?” tanya si nelayan.
Si menudingkan jarinya ke arah si sastrawan dan berkata, “Shifu kehilangan semua tenaga dalamnya, dan dia menceritakan semuanya, tidak ada yag disembunyikan lagi. Kalau kedua bocah ini berniat jahat sementara kita berempat tidak sanggup menahan mereka, masa Shifu masih bisa hidup?”
Si penebang kayu berkata, “Zhuangyuan Yang Mulia4 bisa meramal dengan ketepatan tingkat dewa. Kalau dia tidak bisa meramal hasil akhir urusan kecil ini masa dia bisa menjadi Perdana Menteri Dali? Dia sudah tahu sejak awal kedua bocah ini adalah teman dan bukan musuh, tapi dia sengaja melanjutkan pertarungan melawan mereka. Pertama, untuk menguji kungfu kedua sobat ini, dan kedua adalah untuk meyakinkan kalian berdua.”
Si sastrawan tersenyum tipis. Si petani dan nelayan saling berpandangan, mereka mengagumi si sastrawan, dan juga mengutuk kesembronoan mereka sendiri.
Saat itu mereka mendengar langkah kaki datang dari luar pintu. Seorang biksu muda masuk. Ia merangkapkan kedua tangannya dan berkata, “Shifu memerintahkan keempat Shige untuk mengantarkan tamu keluar.” Semua orang segera berdiri dengan serempak.
Guo Jing berkata, “Dashi sedang menunggu musuh, masa kami pergi begitu saja? Dengan melupakan ketidakmampuan sendiri, Xiao Di ingin bekerja sama dengan keempat Shige untuk menghadapi pengunjung itu.”
Si nelayan, penebang kayu, petani dan sastrawan saling berpandangan dengan muka senang. “Kami tanyakan dulu kepada Shifu,” kata si sastrawan.
Keempat orang itu masuk bersama-sama. Mereka cukup lama di dalam ruangan. Ketika mereka kembali, Guo Jing dan Huang Rong melihat raut muka mereka lesu dan tahu bahwa Biksu Yideng tidak mengijinkan mereka membantu. Dan ternyata memang demikian, si sastrawan berkata, “Shifu sangat berterima kasih kepada kalian berdua, tapi dia bilang ‘Orang memetik apa yang ditanamnya’, orang lain seharusnya tidak ikut campur.”
“Jing Gege,” kata Huang Rong. “Ayo kita bicara dengan Dashi.” Mereka pergi ke bangunan di mana Yideng Dashi bermeditasi. Guo Jing megetuk pintu sampai lama tetapi tak seorang pun menjawab. Ia bisa saja mendobrak pintu, tetapi ia mana berani bertingkah kasar?
Si penebang kayu berkata dengan lesu, “Shifu tidak bisa menyambut kalian berdua. Gunung sangat tinggi dan sungai sangat panjang, kita akan ketemu lagi lain kali.”
Guo Jing merasa berterima kasih sebesar-besarnya kepada Yideng Dashi, dadanya dipenuhi kehangatan, ia tak dapat menahan diri lagi, dengan lantang ia berkata, “Rong’er, Dashi mengijinkan atau tidak, ayo kita turun gunung. Kalau kita bertemu seseorang yang mengacau, langsung kita pukuli saja dia, baru kemudian bicara.”
“Wah, itu bagus sekali,” jawab Huang Rong. “Kalau musuh Dashi begitu hebatnya sampai kita harus mati di tangannya, anggap saja kita sedang membayar hutang kepada Dashi.”
Guo Jing bicara menggunakan tenaganya, Huang Rong juga dengan sengaja menaikkan suaranya, tentu saja Biksu Yideng mendengar ucapan mereka. Mereka baru hendak berpaling ketika pintu kayu tiba-tiba terbuka. Seorang biksu tua dengan suara melengking berkata, “Dashi mengundang kalian berdua masuk.”
Guo Jing terkejut dan sekaligus gembira, mengikuti Huang Rong ia berjalan masuk ke ruangan. Yideng Dashi da biksu India sedang duduk bersila di atas tikar meditasi seperti sebelumnya. Mereka berdua membungkuk hormat. Mereka mengangkat kepala dan melihat wajah Yideng kuning dan seperti orang sakit, sangat berbeda dengan ketika pertama kalinya mereka bertemu. Hati mereka berdua dipenuhi rasa terima kasih dan penyesalan, mereka tidak tahu apa yang harus dikatakan.
Yideng berpaling kepada keempat muridnya di pintu. “Semuanya masuk, aku ingin bicara.”
Si nelayan, penebang kayu, petani dan sastrawan masuk ke ruang meditasi dan memberi hormat kepada guru dan paman guru mereka. Biksu India itu menganggukkan kepalanya, lalu masuk ke ruang meditasinta sendiri, tidak mempedulikan siapa pun juga. Biksu Yideng melirik ke arah asap dupa yang naik mengepul ke udara, ia tampak seperti sedang tenggelam dalam lamunan, tangannya memainkan gelang giok berwarna putih seperti bulu domba.
Huang rOng berpikir, “Itu jelas sekali gelang wanita. Entah apa maksud musuh Dashi mengirimnya ke sini?”
Sesaat kemudian Yideng menghela nafas dan berpaling kepada Guo Jing dan Huang Rong. “Lao Na berterima kasih untuk perhatian kalian. Urusan ini berkaitan dengan sebab-akibat yang sangat rumit, kalau aku tidak bicara, aku takut akan menimbulkan kerugian bagi kedua belah pihak, dan itu sama sekali bukan maksud Lao Na. Kalian tahu dulunya aku orang semacam apa?”
“Paman adalah Kaisar dari Negeri Dali di Yunnan,” jawab Huang Rong. “Satu-satunya kaisar di kolong langit Selatan, dengan prestasi dan kekuatan yang sangat mengagumkan. Siapa di dunia ini yang tidak pernah mendengar tentang Paman?”
Yideng tersenyum samar. “Kaisar itu dangkal, Lao Na juga dangkal, prestasi dam kekuatan yang mengagumkan itu palsu. Dan kau — Xiao Guniang — juga palsu.”
Huang Rong tidak memahami ucapannya yang penuh kiasan itu, ia menatap Yideng dengan mata indahnya yang cerdas, dan sejernih kristal.
Yideng perlahan-lahan melanjutkan, “Kerajaan Dali didirikan oleh Kaisar Shen Sheng Wen Wu Tai Zu pada tahun Ding You. Itu dua puluh tiga tahun sebelum pendiri Dinasti Song, Zhao Kuangyin, Kaisar Zhou, memberontak dan merebut tahta untuk mendirikan Dinasti Song. Tujuh generasi dari Kaisar Shen Sheng Wen Wu, tahta diwariskan kepada Kaisar Bing Yi. Dia menjadi kaisar hanya untuk empat tahun, sebelum menjadi biksu, mewariskan tahta kepada keponakannya, Kaisar Sheng De. Setelah Kaisar Sheng De adalah Kaisar Xing Zong Xiao De — Kaisar Bao Ding, Kaisar Xian Zong Xuan Ren, lalu ayahku, Kaisar Jing Zong Zheng Kang, semuanya menjadi biksu. Dari Tai Zu sampai kepadaku ada delapan belas kaisar, di antaranya ada tujuh orang meninggalkan rumah dan menjadi biksu.
Si nelayan, penebang kayu, petani dan sastrawan semuanya orang Dali, secara alamiah mereka tentu tahu tentang sejarah negara mereka. Tetapi bagi Guo Jing dan Huang Rong hal itu terasa aneh, mereka berpikir, “Biksu Yideng tidak ingin menjadi kaisar tetapi malah menjadi biksu sudah sangat mengejutkan, ternyata ada beberapa leluhurnya juga mengambil langkah yang sama. Apa mungkin menjadi biksu itu lebih baik daripada menjadi kaisar?”
Yideng Dashi melanjutkan, “Atas Kehendak Ilahi keluarga Duan telah memerintah dengan kekuatan besar di wilayah kecil sejak saat itu. Setiap generasi mewujudkan pandangan dan kemampuan mereka sendiri-sendiri. Dalam kenyataannya kami semua tidak cukup mampu menanggung tanggung jawab yang begitu besar, karena itu sepanjang waktu kami semua melaksanakan tugas dengan takut dan gentar, tidak berani melangkah lebih jauh dari batasan kami. Bukankah seorang kaisar makan tanpa membajak? Memakai pakaian tanpa harus menenun? Keluar-masuk istana di dalam tandu? Apa itu semua bukan hasil dari darah dan keringat rakyat? Ketika seorang kaisar mencapai usia tua hati nurani mereka menuding atas segal pelanggaran dan hasil kerja yang mereka laukan, selalu menikmati hasil usaha rakyat sementara hanya menyumbangkan sedikit usaha, bagaimana mereka melakukan pelanggaran demi pelanggaran sewaktu melaksanakan tugas. Karena itulah, seringkali mereka memutuskan untuk mengundurkan diri dan menjadi biksu.”
Bicara sampai di sini ia mengangkat kepalanya dan memandang ke luar, senyuman tersungging di sudut bibirnya, tak seorang pun berani bersuara. Biksu Yideng mengangkat jari telunjuk kirinya berikut gelang yang meligkar di situ. Ia memutar-mutarnya beberapa kali sambil berkata, “Untuk aku, aku bukan menjadi biksu dengan alasan yang sama. Sebenarnya, ini ada kaitannya dengan pertandingan di Hua Shan, di mana kita saling bersaing memperebutkan sebuah kitab. Tahun itu pendiri Perguruan Quanzhen — Chongyang Zhenren — memenangkan kitab itu. Tahun berikutnya ia berkunjung ke Dali, mewariskan Xian Tian Gong kepadaku. Ia tinggal di istanaku selama setengah bulan. Kami dengan penuh sukacita menghabiskan waktu untuk mendiskusikan ilmu silat. Tetapi adik seperguruannya Zhou Botong sangat bosan setelah sepuluh harian tidak melakukan apa-apa, dia bertualang ke sana-sini di dalam istana, dan mengakibatkan sebuah insiden.”
Dalam hati Huang Rong berkata, “Sungguh sangat aneh kalau Bocah Tua Nakal Zhou Botong tidak membuat masalah.”
Footnotes
-
Kitab Lun Yu adalah salah satu kitab yang berisi ajaran dasar Konfusius. ↩
-
Memakai topi sastrawan menandakan murid itu dari generasi yang lebih tua. ↩
-
Wen Wu Quan Cai (文武全才) bisa diterjemahkan menjadi ‘Orang yang serba bisa’, dimana Wen (文) berarti ‘Ilmu Sastra’ dan Wu (武) berarti ‘Ilmu Silat’. Sedangkan Quan (全) berarti ‘Seluruhnya’ atau ‘Keseluruhan’, dan Cai (才) berarti ‘bakat’ atau ‘kemampuan’. ↩ ↩2
-
Zuang Yuan (状元) adalah gelar yang diberikan kepada seorang pelajar yang lulus secara gemilang dalam ujian negara. ↩ ↩2
-
Qin Se Pi Pa (琴瑟琵琶), Qin, Se, dan Pipa (琵琶) semuanya adalah alat musik petik. ↩
-
Keempat karakter Chi Mei Wang Liang (魑魅魍魉) itu masing-masing mengandung karakter Gui (鬼), alias ‘Hantu’. Karakter Chi (魑) berarti ‘Peri Gunung’, Mei (魅) bisa berarti Monster/Tukang sihir/Magic, Wang (魍) berarti Peri atau Malaikat, sedangkan Liang (魉) hampir sama dengan Wang, bisa berarti Bidadari atau makhluk dari negeri dongeng. Dalam hal ini keempat karakter Gui (鬼) ini bertindak sebagai Hantu atau Setan ‘kecil’, karena semuanya hanya sebagian dari karakter sepenuhnya, dan karakter pendamping itu semuanya berfungsi sebagai ‘perut dan usus’ dalam kalimat karangan Huang Rong. Atau lebih tepatnya karangan Huang Yaoshi. ↩
-
Mengzi (孟子) adalah seorang penganut ajaran Konfusius, Mensius, dalam bahasa mandarin. Nama ini juga dipakai untuk nama buku yang ditulisnya. Mengzi adalah murid Konfusius generasi keempat. Bukunya penuh dengan percakapan, anekdot, dan wawancara baik yang nyata maupun hanya imajiner dari Mensius. Standar mengenai moral dan etika dalam pergaulan umum serta politik banyak yang berdasarkan kitab Mensius ini. Banyak ahli sastra dan sejarah berpendapat beberapa bagian dari kitab tersebut bukan ditulis oleh Mensius sendiri, tetapi ditulis di era yang lebih kemudian oleh murid-muridnya atau penganut pandangannya. Mensius seringkali disebut sebagai Konfusius yang kedua. Seperti semua ajaran lain, akhirnya ajaran Konfusius juga berkembang menjadi lebih rumit dan banyak variasi, serta mendapat kritik pedas oleh orang-orang yang kurang menyetujuinya, tanpa sepenuhnya tahu bahwa ajaran tertentu mungkin bahkan bukan datang dari Konfusius sendiri, dan bahkan juga mungkin bukan dari Mengzi. ↩
-
Kerajaan Wei dan Qi adalah negara yang seharusnya menjadi bagian dari Dinasti Zhou, tetapi di era Konfusius dan akhirnya Mengzi, semua kerajaan seperti ini akhirnya hanya menghormati Dinasti Zhou sebagai formalitas, pada kenyataannya mereka memikirkan wilayah masing-masing, sama sekali tidak memikirkan Dinasti Zhou, sampai akhirnya semuanya, termasuk wilayah Qin, mendeklarasikan diri sebagai sebuah Kerajaan yang berdiri sendiri. Semua kerajaan ini akhirnya saling berperang, sebelum semuanya, termasuk Dinasti Zhou, ditaklukkan oleh Qin, yang akhirnya mendeklarasikan sebuah Kekaisaran, dengan Ying Zheng sebagai kaisar pertama bergelar Qin Shi Huang atau Shi Huangdi. Peristiwa itu mengawali 2 milenium lebih kekaisaran Tiongkok hingga akhir era Dinasti Qing, sebelum akhirnya digantikan oleh Republik. Kritik yang dilontarkan melalui ucapan Huang Rong mengenai Wei dan Qi itu ditujukan kepada Mengzi, yang pergi mencari jabatan di kedua negara baru itu. ↩
-
Raja Hui dari Liang (梁惠王, Liang Hui Wang), adalah gelar dari Raja Hui dari Kerajaan Wei, yang sebelum negeri tersebut mendeklarasikan diri sebagai kerajaan, ia adalah seorang Hou (侯), yaitu Kepala Daerah setingkat Adipati atau Marquess di Eropa. Jabatan tersebut adalah sama dengan yang disandang oleh ayah Ji Fa, yang akhirnya mendirikan Dinasti Zhou, yaitu Ji Chang, mengingat di era sebelum Kekaisaran Qin, tidak ada pemimpin negara yang menggunakan istilah ‘Kaisar’ atau Huangdi. ↩
-
Raja Xuan dari Qi, atau Qi Xuan Wang (齊宣王), adalah gelar Tian Bijiang (田辟疆) dari Kerajaan Qi, yang diberikan sebagai gelar kehormatan setelah ia meninggal. Kemungkinan besar ketika ia masih hidup ia hanya seorang Gong (公), yang kurang lebih punya peringkat sama seperti Kepala Daerah Qin sebelum menjadi Kerajaan. Dalam hirarki kepemimpinan menurut Mengzi, terdapat lima peringkat berdasarkan luas wilayah, yaitu Gong, Hou, Bo (伯), Zi (子) dan Nan (男). Agak anehnya, Gong dan Hou punya luas wilayah yang sama, yaitu minimal seratus li persegi, Bo memiliki minimal tujuh puluh, sedangkan Zi dan Nan sama-sama harus punya minimal lima puluh li persegi. Tidak terlalu jelas apa yang membedakan peringkat yang punya luas wilayah sama itu. ↩
-
Xiaosheng (小生) umumnya dipakai oleh para biksu muda untuk memanggil diri mereka sendiri dengan tujuan merendah. ↩
-
Shibo dan Shisu dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia sama-sama bisa diterjemahkan menjadi ‘Paman’ atau ‘Uncle’, dan dalam hal ini adalah ‘Paman Guru’. Tetapi dalam istilah bahasa mandarin keduanya agak berbeda. Shibo adalah Paman atau Bibi Guru yang punya peringkat lebih tinggi, entah dalam usia maupun senioritas, dari Guru atau Shifu dari si murid terkait, sebaliknya Shisu entah lebih muda atau lebih belakangan masuk ke perguruan dibandingkan dengan Sang Guru. Dalam bahasa mandarin kedua istilah ini tidak membedakan jenis kelamin dari orang yang dimaksud, jadi seorang Shibo atau Shisu bisa jadi adalah ‘Bibi Guru’. Dalam konteks Huang Rong dan Guo Jing juga agak berbeda jika panggilan ini dipakai untuk memanggil Kaisar Duan. Bagi Guo Jing kaitannya hanya dengan Hong Qigong, tetapi bagi Huang Rong terkait baik dengan Hong Qigong maupun Huang Yaoshi. Persoalannya menjadi agak sederhana karena baik Huang Yaoshi maupun Hong Qigong sendiri boleh dipandang punya peringkat sedikit di bawah Kaisar Duan, maka bagi mereka Kaisar Duan memang tetap adalah Shibo. ↩
-
Mantan Kaisar Duan menggunakan sebutan Yi Deng He Shang (一灯和尚) untuk dirinya sendiri. He Shang (和尚) adalah sebutan umum bagi para biksu, sedangkan istilah Dashi (大师) digunakan oleh pihak lain untuk menghormati dirinya sebagai guru besar. Panggilan Yi Deng (一灯) itu sendiri bermakna ‘Satu Lampu’. Sepanjang cerita ia lebih dikenal sebagai Yideng Dashi (一灯大师), atau dalam dialek Hokkian adalah It Teng Taysu. Istilah Biksu Yideng dan Yideng Dashi akan digunakan dalam buku versi bahasa Indonesia ini secara bergantian. ↩
-
Yang dimaksud ‘tiga harta karun’ di sini adalah San Bao (三宝), yang secara singkat bisa kita pahami sebagai Budha, Dharma, dan Sangha. Budha yang dimaksud di sini adalah Siddharta Gautama, dan jajaran orang lain yang dianggap telah menerima pencerahan dan memasuki Nirwana, sedangkan Dharma adalah doktrin dari agama Budha itu sendiri. Sangha adalah komunitas para penganut agama Budha, yang seringkali dimengerti sebagai sebuah biara. San Bao yang dimaksud adalah sebuah prosesi yang merupakan inisiasi bagi seorang murid baru ke dalam agama Budha, dan menerima ketiga ‘harta karun’ tersebut. ↩
-
Lao Na (老衲), adalah sebutan yang sudah umum digunakan para biksu tua untuk memanggil diri mereka sendiri sebagai orang ketiga tunggal ketika berbicara dengan orang lain. Karakter Na (衲) berdiri sendiri bermakna ‘jubah’, dengan begitu secara literal istilah ini berarti ‘Jubah Tua Ini’. Dalam dialek Hokkian atau buku-buku karya Kho Ping Hoo/Gan KL istilah ini adalah ‘Lolap’. ↩
-
Tidak menemukan karakter yang menggambarkan jenis kertas ini, tetapi karena mengandung YU (玉), yang berarti Giok, maka kemungkinan yang dimaksud adalah kertas putih yang sudah umum, karena Huang Rong menambahkan kata ‘biasa’. ↩
-
Jiu Jian Zhi (旧茧纸) secara literal berarti ‘Kertas Kepompong Tua’, tidak jelas kepompong apa yang dimaksud, tetapi karena Huang Rong mengatakan bahwa ini adalah jenis kertas yang tidak umum, berarti bisa kita anggap sebagai kertas yang jauh lebih mahal. ↩
-
Kumarajiva atau Jiu Mo Luo Shi (鸠摩罗什) adalah seorang penerjemah ajaran Budha yang aslinya ditulis dalam bahasa Sansekerta menjadi bahasa mandarin tradisional. Ia berasal dari Kerajaan Kucha, yang di jaman modern adalah propinsi Xinjiang, di wilayah Barat Tiongkok. ↩
-
Baca lagi soal Bai Tuo Shan, yang adalah wilayah kekuasaan Ouyang Feng. Ia dijuluki Majikan Gunung Onta Putih, atau Bai Tuo Shan Zhuangzhu. ↩
-
Xi Du (西毒) artinya adalah ‘Racun Barat’. ↩
-
Du Mai Xue (督脉穴) adalah titik-titik darah yang disebut sebagai ‘Pengatur’, atau Governing Vessel. Kalau tertarik pada akupuntur atau pijat refleksi, daftar titik-titik ini selengkapnya bisa dibaca di Wikipedia. ↩
-
Ren Mai Xue (任脉穴) adalah kelompok titik akupuntur yang berfungsi sebagai ‘Penunjuk’ atau ‘Pengarah’, atau Directing Vessel. Dalam literatur nama kelompok ini disingkat menjadi CV, alias ‘Conception Vessel’. ↩
-
Yin Wei Mai (阴维脉) adalah kelompok titik akupuntur yang termasuk dalam 8 kelompok luar biasa, yang biasanya hanya dikenal oleh para praktisi ilmu tenaga dalam, Tai Chi, atau alkimia. Dalam konteks cerita ini adalah para praktisi ilmu silat. Sesuai namanya, Yin (阴), yang adalah simbol negatif, dingin, atau feminin, maka bagi kelompok ini berhubungan erat dengan aliran ilmu Yin, seperti Jiu Yin Zhen Jing. ↩
-
Kassaya adalah jubah merah yang biasa dipakai oleh para biksu. ↩
-
Yang Wei Mai (阳维脉) seperti Yin Wei Mai, termasuk dalam 8 kelompok istimewa, tetapi punya sifat berlawanan, yaitu positif, panas, atau maskulin. Dalam cerita silat atau ilmu bela diri, kelompok ini berhubungan erat dengan aliran ilmu seperti yang dipelajari oleh Zhang Wuji dalam buku ketiga Trilogi ini, yaitu Jiu Yang Shen Gong. ↩
-
Gui Yun Zhuang (归云庄) adalah tempat kediaman Lu Chengfeng, Rumah Awan. ↩
-
Yi Yang Zhi atau dalam dialek Hokkian It Yang Chi adalah ilmu andalan keluarga Duan dari Tayli (Dali), yang diturunkan langsung dari orang tua ke anak atau keponakannya, atau generasi yang lebih muda. ↩ ↩2
-
Xian Tian Gong adalah ilmu tenaga dalam beraliran Taoisme yang menjadi ciri khas dari Wang Chongyang. Ilmu tersebut tidak sempat diturunkan ke murid-muridnya, tetapi malah diajarkannya kepada Kaisar Duan Zhixing atau Biksu Yideng untuk mencegah kemungkinan Ouyang Feng merajalela dengan segala akal bulusnya setelah Wang Chongyang sendiri meninggal. Ia memandang Kaisar Duan Zhixing sebagai orang terkuat dari keempat pendekar besar lainnya, yang lebih bisa diandalkan untuk menguasai ilmu itu dengan baik. ↩
-
Wu Gong Tian Xia Di Yi (武功天下第一), secara literal istilah ini berarti ‘Pendekar Berilmu Nomor Satu Di Bawah Langit’. Secara umum bisa kita terjemahkan sesuai konteks cerita silat menjadi ‘Pendekar Nomor Satu Di Dunia’. Kutipan karakter bahasa mandarin saya ada kemungkinan salah, bisa jadi adalah (武公天下第一). ↩
-
Da Xue Shan (大雪山) = Gunung Salju Besar. ↩
All Posts
- Daftar Titik Akupuntur
- Matematika Tiongkok Kuno
- Insiden Di Tengah Badai Salju
- Bab 10
- Bab 11
- Bab 12
- Bab 13
- Bab 14
- Bab 15
- Bab 16
- Bab 17
- Bab 18
- Bab 19
- Tujuh Orang Aneh Dari Jiangnan
- Bab 20
- Bab 20
- Bab 22
- Bab 23
- Bab 24
- Bab 25
- Bab 26
- Bab 27
- Bab 28
- Bab 29
- Kehidupan Di Padang Rumput
- Bab 31
- Bab 32
- Bab 33
- Bab 34
- Bab 35
- Bab 36
- Bab 37
- Bab 38
- Bab 39
- Bab 4
- Bab 40
- Bab 5
- Bab 6
- Bab 7
- Bab 8
- Bab 9
- Daftar Istilah
- Dao De Jing
- Memanah Rajawali - Prolog
- Daftar Tokoh Memanah Rajawali
- Daftar Panggilan Bahasa Mandarin
- Referensi Karakter Bahasa Mandarin
- Referensi Unit
- Kutipan Kitab Perubahan