Bab 36
Perjalanan Ke Barat
Ilustrasi | Narasi |
---|---|
Ke Zhen’E menggerakkan tombaknya untuk menyerang tangan yang datang itu. Ouyang Feng mengangkat lengannya sedikit dan lengan Ke Zhen’E mati rasa, ia merasakan tekanan di dadanya. Tombaknya terbang ke atas, membuat lubang di langit-langit dan mendarat di atap kuil itu. |
Huang Rong berkata dengan tenang, “Aku menghargai pujian Paman Ouyang. Sayangnya Guo Jing mudah dibodohi, sampai-sampai sekarang ini dia tidak mau hidup di bawah langit yang sama dengan ayahku dan aku. Setelah kau menyelamatkan ayah, kalau keponakanmu ini masih hidup, aih! Masih bisakah lamaran yang lalu itu dilanjutkan lagi?”
Hati Ouyang Feng tergerak. “Apa untungnya dia mengungkit masalah ini lagi?” pikirnya. Pada saat itu Huang Rong melanjutkan, “Shagu, kakak yang baik ini sungguh baik kepadamu ya?”
“Iya,” jawab Shagu. “Dia mau membawaku pulang. Aku tidak mau lagi bermain di pulau, aku mau pulang.”
“Apa yang ingin kau lakukan di rumah?” tanya Huang Rong. “Ada orang mati di rumahmu, ada hantu di sana.”
“Ah!” seru Shagu, ia ketakutan. “Ah! Ada hantu di rumahku, hantu! Aku tidak mau pulang.”
“Siapa yang membunuh orang itu?” tanya Huang Rong.
“Aku melihatnya, itu kakak yang baik ini…” jawab Shagu, tetapi sebelum ia selesai, ‘tring! tring!’ suara benda logam terdengar, dua batang senjata rahasia jatuh ke lantai kuil.
Huang Rong tertawa. “Xiao Wangye, kau tidak ingin dia bicara ya? Boleh. Tapi jangan pakai senjata rahasia untuk mencelakainya.”
Yang Kang gusar. “Si Tolol ini ngawur, ngomong soal hantu segala.”
“Shagu,” kata Huang Rong. “Kau bisa terus ngomong. Yeye yang baik ini suka sekali mendengar ceritamu.”
“Tidak,” jawab Shagu. “Hao Gege tidak mau Shagu bicara, Shagu tidak mau bicara.”
“Betul,” kata Yang Kang. “Cepat tidur. Kalau kau buka mulut lagi sepatah kata saja, nanti kusuruh hantu datang memakanmu.”
Shagu ketakutan. “Oh, oh,” katanya. Lalu Ke zhen’E mendengar suara ‘srekk, srekk’. Itu suara dari pakaian Shagu, ia berbaring dan tidur.
“Shagu,” kata Huang Rong. “Kalau kau tidak mau bicara denganku, akan kupanggil Yeye untuk membawamu kembali ke pulau.”
“Aku tidak mau pergi, aku tidak mau pergi,” jerit Shagu.
“Berarti kau harus bicara,” kata Huang Rong. “Kakak yang baik ini membunuh orang di rumahmu. Orang macam apa yang dibunuhnya?” Semua orang merasa heran, kenapa tiba-tiba ia ingin bicara tentang Yang Kang membunuh orang.
Jantung Yang Kang berdegub kencang, ia menyiapkan tangan kanannya. Begitu Shagu membongkar rahasianya tentang membunuh orang di Desa Niu, meskipun akan membangkitkan kecurigaan Ouyang Feng, ia akan menggunakan Cakar Tengkorak Putih1 untuk membunuh Shagu. Ia bertanya-tanya dalam hati, “Waktu aku membunuh Ouyang Ke, hanya Mu Nianci, Cheng Yaojia dan Lu Guanying — tiga orang ini yang melihatnya. Apa mungkin salah satu dari mereka membocorkan rahasia itu? Hmm, kelihatannya Shagu juga ada di situ dan melihatnya, aku kurang hati-hati.”
Kuil itu hening, semua orang menunggu Shagu membuka mulut. Ke Zhen’E bisa merasakan ketegangan, tetapi ia tidak berani beegerak sedikit pun. Setelah menunggu lama Shagu tetap tidak mengatakan apa-apa, hanya suara dengkurnya yang terdengar. Tampaknya ia tertidur.
Yang Kang menghembuskan nafas lega. Telapak tangannya berkeringat dingin. “Shagu ini berbahaya bagiku,” pikirnya. “Aku harus memikirkan cara untuk menyingkirkannya.” Ia melirik Ouyang Feng yang sedang duduk diam dengan mata terpejam. Cahaya bulan menerangi sisi wajahnya. Ia tampak acuh tak acuh, tampaknya ia tidak berminat terhadap segala yang terjadi di sekitarnya.
Semua orang mengira Huang Rong hanya omong kosong. Shagu tertidur. Tampaknya kasus itu sudah tertutup. Mereka mulai berbaring atau duduk bersandar di dinding, nberusaha untuk tidur.
Ketika bulan naik lebih tinggi mereka mendengar suara Shagu terkejut. Ia melompat dan berseru, “Jangan sakiti aku! Aw, itu sakit!”
Dengan suara dibuat-buat Huang Rong menangis, “Hantu! Hantu! Itu hantu tanpa kaki! Shagu, kau membunuh Gongzi yang tidak punya kaki, dia datang untuk menangkapmu!”
Di keheningan malam suara Huang Rong membuat bulu roma semua orang meremang.
“Tidak!” jerit Shagu. “Bukan aku! Itu kakak yang baik ini…” ia belum selesa bicara ketika tiba-tiba ‘Ah!’ ‘Buk!’ ‘Aiyo!’ terdengar berturut-turut. Yang Kang mendadak bangkit, lengannya terulur, jari-jarinya membentuk cakar menuju ke arah batok kepala Shagu, tetapi Huang Rong menguunakan Tongkat Penggebuk Anjing untuk menjegal kakinya.
Kuil itu kacau. Sha Tongtian dan yang lain segera mengepung Huang Rong. Huang Rong, di lain pihak, tampak seolah tidak tahu tentang segal hal itu, telunjuk kirinya menuding ke arah pintu kuil, ia menjerit, “Gongzi yang tidak punya kaki, ayo sini, Shagu di sini!”
Shagu melihat ke arah pintu kuil. Saat itu gelap, maka yang bisa dilihatnya hanya kegelapan, tetapi ia selalu takut pada hantu sejak masih kecil. Cepat-cepat ia menarik lengan jubah Huang Rong dan menangis panik, “Jangan ambil nyawaku, itu kakak yang baik yang membunuhmu dengan mata tombak. Aku sedang di dapur melihat melalui pintu… hantu yang tidak punya kaki, jangan mencariku!”
Dalam mimpi pun Ouyang Feng tidak menduga bahwa keponakannya dibunuh oleh Yang Kang. Dan ia selalu mengira Yang Kang tidak bisa berbohong. Sudah jelas Shagu tidak bisa berbohong.
Sedih dan marah, ia tertawa seperti orang gila, melirik tajam ke arah Yang Kang. “Xiao Wangye, keponakanku pantas mati. Bagus juga kalau kau membunuhnya, bagus!” katanya. Tawanya mengirim hawa dingin ke tulang belakang semua orang, suaranya meratap sangat menyayat hati, membuat telinga seolah tertusuk jarum tak terhingga banyaknya. Semua orang gemetar, gigi mereka gemeretak. Ada ribuan burung gagak berkepala putih malam itu di atas pagoda. Tawa Ouyang Feng mengejutkan mereka semua. Mereka memekik bersahut-sahutan dengan berisik, lalu terbang menjauh dengan mengepakkan sayap kuat-kuat.
Yang Kang merasa ia tidak akan hidup untuk melihat esok hari, kedua matanya melirik ke kiri-kanan dengan liar, berusaha mencari jalan untuk melarikan diri.
Wanyan Honglie juga diam-diam ketakutan. Setelah suara berisik burung gagak reda ia berkata, “Perempuan ini gila, Ouyang Xiansheng, masa kau percaya apa yang dikatakannya? Keponakanmu yang terhormat datang memenuhi undangan Xiao Wangye karena Xiao Wang sangat mengandalkan bantuannya. Bagaimana mungkin Xiao Wangye mencelakainya tanpa alasan?”
Seolah tanpa usaha Ouyang Feng bangkit berdiri, tubuhnya bergerak dan membungkuk dengan menekuk lututnya sedikit, ia mendarat di samping Shagu. Tangan kirinya memegang lengan Shagu. “Kenapa dia membunuh keponakanku? Ayo bicara!” bentaknya.
Shagu ketakutan setengah mati. “Aku tidak membunuhnya, jangan sakiti aku! Jangan sakiti aku!” jeritnya. Ia meronta keras, tetapi cekalan Ouyang Feng mirip belenggu baja, mana mungkin Shagi melepaskan diri. Makin keras ia meronta, makin erat cekalan itu. Shagu menjerit ngeri, “Ibu!”
Ouyang Feng mengulangi pertanyaannya beberapa kali. Shagu jadi begitu takut, dari menangis ia tidak berani menangis lagi. Ia hanya menatap muka Ouyang Feng dengan tatapan kosong.
“Shagu,” kata Huang Rong dengan nada menghibur. “Jangan takut, Yeye yang baik ini akan memberimu kue.”
Kata-kataya mengingatkan Ouyang Feng. Ia menyadari bahwa jika ia menggunakan kekerasan, Shagu tidak akan berani bicara. Karena itu ia merogoh sakunya dan mengeluarkan bakpao kering dan sudah dingin, dan menyodorkannya ke tangan Shagu. “Betul! Ini, kau boleh makan kue ini.”
Shagu mengambil bakpao, rasa takutnya hilang. “Yeye, kau memegang tanganku, itu sakit, kau jangan memegangku lagi.”
“Shagu baik, kau anak penurut,” kata Ouyang Feng dengan hangat. “Yeye tidak akan memegang tanganmu lagi.”
Huang Rong berkata, “Hari itu Gongzi yang tidak punya kaki memeluk seorang wanita. Coba katakan, dia cantik apa tidak?”
Shagu mengangguk. “Sangat cantik. Entah ke mana dia.”
Huang Rong bertanya lagi, “Kau tahu siapa dia? Kau tahu, kan?”
Muka Shagu bersinar cerah, ia bangga pada dirinya sendiri. Ia bertepuk tangan dan berkata, “Aku tahu, aku tahu! Dia istri kakak yang baik ini!”
Mendegar ini, semua keraguan Ouyang Feng lenyap. Ia tahu sifat cabul keponakannya. Pasti karena Mu Nianci keponakannya kehilangan nyawa. Tapi kungfu Ouyang Ke lebih tinggi dari Yang Kang, meskipun kakinya cedera Yang Kang tetap bukan tandingannya. Ia tidak bisa menebak bagaimana Yang Kang bisa membunuhnya. Ia berpaling kepada Yang Kang dan berkata, “Keponakanku tidak tahu apa yang baik, dia berani menyinggung Selir Xiao Wangye, dia pantas mati sepuluh ribu kali.”
“Tidak… tidak…” Yang Kang tergagap. “Itu bukan aku…”
“Lalu siapa?” tanya Ouyang Feng dengan nada tajam.
Yang Kang begitu takutnya sampai lututnya berubah menjadi karet, keringat dingin membahasi dahinya. Kelicikannya yang biasa lenyap, ia tidak mampu mengatakan apa-apa.
Huang Rong menghela nafas. “Paman Ouyang, kau tidak bisa menyalahkan Xiao Wangye karena tidak punya hati, dan kau juga tidak bisa menyalahkan sifat cabul keponakanmu juga, kau hanya bisa menyalahkan kungfumu yang hebat.”
“Kenapa bisa begitu?” kata Ouyang Feng bingung.
Huang Rong menjawab, “Aku tidak tahu kenapa, tapi di kedai itu, di Desa Niu, aku mendengar sepasang pria dan wanita bicara. Aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan.”
Mendengarkan ucapan samar-samar itu, yang mengandung begitu banyak ‘tidak tahu’, Ouyang Feng makin bingung. “Mereka bilang apa?” tanyanya.
Huang Rong menjawab, “Akan kuulangi apa pun juga yang mereka bicarakan, kata per kata, aku tidak akan menambah atau mengurangi satu kata pun. Tolong Paman dengarkan baik-baik. Aku tidak melihat wajah mereka, aku tidak tahu siapa pria itu, aku juga tidak tahu siapa wanita itu. Yang kudengar adalah, pria itu berkata, ‘Kalau fakta bahwa aku membunuh Ouyang Ke sampai bocor, apa itu bukan malapetaka?’ Wanita itu menjawab, ‘Pria sejati tidak takut bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Kalau kau takut, seharusnya kau tidak membunuhnya kemarin. Meskipun pamannya sangat kejam, kita bisa melarikan diri ke tempat terpencil, dia tidak akan bisa menemukan kita.‘”
Mendengarkan Huang Rong, Ouyang feng berkata, “Wanita itu benar. Apa yang dikatakan pria itu?”
Sementara mereka berdua bertanya jawab, Yang Kang merasa lebih takut dari sebelumnya. Cahaya bulan menerobos pintu kuil, menciptakan segaris sinar miring yang menerangi wajah patung di kuil itu. Yang Kang perlahan bergerak menjauh dari sumber cahaya, diam-diam berjalan menuju ke punggung Huang Rong. Ia mendengar Huang Rong menjawab pertanyaan Ouyang Feng.
“Pria itu berkata, ‘Meizi, aku punya pikiran lain. Kungfu pamannya tak bisa ditandingi siapapun, aku ingin mengangkatnya menjadi guruku, aku sudah punya pikiran ini sebelumnya, tapi mereka punya aturan ketat. Mereka hanya menerima satu murid dalam satu generasi. Sekarang orang ini sudah mati, pamannya mungkin akan mengangkatku menjadi muridnya!‘”
Huang Rong tidak menyinggung nama siapa pun, tetapi ia punya kemampuan yang luar biasa untuk menirukan logat Yang Kang. Yang Kang dibesarkan di daerah Utara, tetapi Bai Xirou, ibunya, adalah penduduk asli Lin’an, di Selatan. Karena itu logat Yang Kang adalah campuran antara orang Utara dan Selatan. Begitu Huang Rong mengatakan semua itu, semua orang tahu bahwa ia sedang menirukan Yang Kang.
Ouyang Feng tertawa dingin, ia memalingkan kepalanya untuk menatap Yang Kang.
Tiba-tiba mereka mendengar suara ‘duk!’, lalu ‘Aiyo!‘. Semua orang menjerit kaget. Mereka melihat Yang Kang sedang berdiri di bawah cahaya bulan dengan darah menetes dari tangan kanannya, mukanya sepucat mayat.
Ternyata ketika Yang Kang mendengar Huang Rong sedang membingkar rahasianya, ia tak dapat lagi menahan diri, ia melompat dengan ganas, cakarnya mengincar kepala Huang Rong. Ketika sedang menirukan logat Yang Kang, Huang Rong sepenuhnya sadar bahwa Yang Kang akan menyerangnya. Karena itu ia telah mewaspadai serangan itu sejak awal. Kungfunya lebih tinggi dari Yang Kang. Begitu ia mendengar hembusan angin, ia memiringkan kepalanya ke samping untuk menghindar, maka cakar itu jatuh di bahunya.
Yang Kang melancarkan Cakar Tengkorak Putih1 dengan segenap tenaganya, kelima jarinya mendarat di Rompi Kulit Landak yang dipakai Huang Rong. Rasa sakit menjalar dari jari-jarinya ke otak, ia hampir pingsan.
Semua orang lain tidak punya gambaran, entahkah Yang Kang menyerang secara diam-diam, ataukah Huang Rong atau Ouyang Feng yang menyerangnya. Mereka semua takut kepada Ouyang Feng, tak seorang pun berani bicara.
Wanyan Honglie bergegas maju, berusaha membantu. “Kang’er, kau kenapa? Di mana yang sakit?” tanyanya. Dengan santai ia mengambil belati di ikat pinggangnya dan menaruhnya di tangan Yang Kang. Ia sadar, Ouyang Feng tidak akan punya niat baik. Ia berharap dalam keadaan kacau, mereka berdua, ayah dan anak, bisa melarikan diri dari situ.
Menahan rasa sakit Yang Kang berkata, “Aku tidak apa-apa.” Ia megulurkan tangan hendak mengambil belati itu, tetapi tangannya mati rasa. ‘trang!’ belati itu jatuh ke lantai. Buru-buru ia membungkuk untuk memungutnya, tetapi anehnya lengannya kaku, lengan itu tidak lagi mau mengikuti keinginannya. Ia sangat terkejut. Ia berusaha mencubit lengan kanannya dengan tangan kiri, tetapi ia tidak merasakan apa-apa. Ia menatap Huang Rong dan menjerit ngeri, “Racun! Racun! Kau menggunakan racun untuk mencelakaiku!”
Peng Lianhu dan yang lain tahu bahwa mereka akan menyinggung Ouyang Feng, tap Wanyan Honglie adalah Pangeran yang berpengaruh dari Kekaisaran Jin. Sudah pasti urusan Ouyang Ke ini akan bisa didiskusikan dengan damai nantinya. Melihat ekspresi ngeri Yang Kang, mereka bergegas maju untuk mengucapkan simpati dan berseru kepada Huang Rong, “Cepat berikan penawarnya kepada Xiao Wangye!” Tapi semuanya menjaga jarak sejauh mungkin dari Ouyang Feng.
Huang Rong acuh tak acuh. “Jangan bikin bingung, rompi kulit landakku tidak beracun. Ada orang di sini yang ingin membunuh dia, aku tidak perlu mengangkat jariku untuk melukai dia.”
Tapi tiba-tiba Yang Kang berteriak, “Aku… aku… aku tidak bisa bergerak!” Lututnya tertekuk, tubuhnya pelan-pelan merosot ke bawah, mulutnya menggeram seperti binatang buas.
Huang Rong merasa heran, ia berpaling kepada Ouyang Feng, tapi Ouyang Feng juga tampak bingung. Ia berpaling kepada Yang Kang, ia melihat Yang Kang tampak gembira tidak wajar, sebuah senyuman tersungging di bibirnya. Di bawah sinar bulan yang keperakan ia tampak pucat mengerikan seperti mayat. Tiba-tiba sebuah pikiran melintas di benaknya, ia berkata, “Itu Paman Ouyang yang meracunimu.”
Ouyang Feng bingung. “Dari penampilannya, itu memeang benar racun ularku yang luar biasa. Aku sungguh ingin supaya dia mencicipinya, Nona sudah melakukannya untukku. Luar biasa! Luar biasa! Tapi ular-ular itu, hanya aku satu-satunya orang di dunia ini yang punya, dari mana Nona mendapatkannya?”
“Dari mana aku bisa mendapatkan ular sejenis ini?” tanya Huang Rong. “Ini racunmu sendiri, kau sendiri yang tanpa sadar meracuninya.”
“Omonganmu aneh,” kata Ouyang Feng.
“Paman Ouyang,” kata Huang Rong. “Aku ingat kau bertaruh melawan Lao Wantong. Kau mengambil racun dari ularmu dan mencekoki seekor hiu. Waktu hiu itu mati keracunan, hiu kedua makan dagingnya dan mati gara-gara racun yang sama. Dengan cara ini racun itu tersebar tanpa batas. Betul tidak?”
Ouyang feng tertawa. “Kalau racunku tidak luar biasa, berarti julukanku ‘Racun Barat’ akan sia-sia.”
“Betul,” kata Huang Rong. “Nan Xiren adalah hiu yang pertama.”
Pada saat itu Yang Kang suda berguling-gulingan di lantai seperti orang gila. Liang Ziweng ingin menghiburnya, tapi bagaimana ia bisa menghentikannya.
Ouyang Feng tidak menghiraukan semua itu. Ia mengerutkan keningnya berusaha memahami apa yang dikatakan Huang Rong, tapi hal itu masih gelap baginya. “Tolong jelaskan,” katanya.
“Hmm, kau menggunakan ularmu untuk menggigit Nan Xiren. Saat itu aku ketemu dia di Pulau Bunga Persik dan dia memukulku. Tinjunya mendarat di bahu kiriku. Jarum tajam di rompiku menusuk tangannya, jadi darahnya yang beracun menular ke rompiku, yang menjadi hiu kedua. Ketika Xiao Wangye menyerangku, Jaring Surga diperketat, cakarnya memegang bahuku. Racun dari darah Nan Xiren menular sekali lagi. Hehe… hehe.. dia adalah hiu ketiga.”
Mendengarkan keterangan Huang Rong, semua orang menyadari betapa mematikan racun milik Ouyang Feng. Mereka juga teringat rencana jahat Yang kang untuk membunuh Lima Orang Aneh, akhirnya ternyata darah Nan Xiren yang membunuhnya. Itu betul-betul pembalasan yang setimpal. Hawa dingin menjalar ke punggung semua orang.
Eanyan Honglie berjalan ke arah Ouyang Feng, berlutut di hadapannya dan memohon, “Ouyang Xiansheng, tolong selamatkan nyawa anakku. Xiao Wang akan terus mengingat kemurahan hatimu.”
Ouyang Feng tertawa sinis. “Nyawa anakmu memang sungguh nyawa, dan nyawa keponakanku bukan nyawa!” Pandangannya menyapu muka Peng Lianhu dan yang lain dan ia berkata dengan dingin, “Pendekar mana yang tidak setuju dengan kata-kataku, silakan bicara!” Semua orang segera mundur. Siapa yang berani membuka mulut?
Yang Kang tba-tiba melompat, ‘buk!’ ia menubruk Liang Ziweng, mengirimnya jungkir balik di udara dan pingsan. Wanyan Honglie bangkit berdiri. “Cepat! Bawa Xiao Wangye kembali ke Lin’an! Kita akan mencari tabib terbaik untuk menyembuhkan cederanya.”
Ouyang Feng tertawa. “Siapa di dunia ini yang bisa menawarkan racun ular Lao Du? Tabib mana yang sudah bosan hidup, dan mau mengacaukan pekerjaanku?”
Wanyan Honglie mengabaikannya, ia berteriak ke arah para pesilatnya, “Apa lagi yang kalian tunggu? Cepat bawa Xiao Wangye pergi!”
Tiba-tiba Yang Kang melompat tinggi-tinggi, hingga kepalanya nyaris membentur palang. Ia menuding Wanyan Honglie dan berteriak, “Kau bukan ayahku! Kau membunuh ibuku, dan sekarang kau membunuhku!”
Wanyan Honglie mundur dan terhuyung jatuh. Sha Tongtian berkata, “Xiao Wangye, harap tenang.” Ia melangkah maju untuk memegang lengan Yang Kang. Tak terduga Yang Kang membalikkan tangannya dan mendorong tangan Sha Tongtian, dan dengan cepat mencekal lengannya. Tangan kiri Yang Kang membentuk cakar dan menggaruk lengan Sha Tongtian.
Sa Tongtian menjerit kesakitan, buru-buru ia bergulingan untuk meloloskan diri, tapi detik berikutnya ia merasa lengannya gatal. Ia dilanda teror!
“Nah, ini hiu keempat,” kata Huang Rong dengan nada dingin.
Peng Lianhu adalah teman dekat Sha Tongtian, lebih jauh lagi, Peng Lianhu juga adalah pengguna racun, ia tahu Sha Tongtian keracunan dan nyawanya dalam bahaya. Dalam saat kritis, nyaris tanpa berpikir, ia mengambil golok dari pinggangnya dan dengan cepat memotong lengan Sha Tongtian setengahnya.
Hou Tonghai tidak mengerti niat baik Peng Lianhu. “Peng Lianhu, kau berani menyakiti kakak seperguruanku?” Ia menyerang Peng Lianhu dengan mengabaikan keselamatannya sendiri.
Sha Tongtian menahan rasa sakit dan berteriak, “Tolol, cepat mundur! Peng Xiong menyelamatkan nyawaku!”
Pada saat itu pikiran Yang kang gelap, ia menerjang dan memukul kesana-kemari, menendang dan menggigit tanpa arah dan tujuan. Semua orang melihat apa yang terjadi dengan Sha Tongtian, tak seorang pun berani mendekatinya. Sambil berteriak-teriak mereka keluar dari kuil itu.
Itu situasi yang sangat kacau. Burung-burung gagak di atas pagoda terkejut, mereka beterbangan dalam kebingungan di bawah sinar bulan mengelilingi halaman belakang kuil. Pekikan mereka tumpang-tindih dengan suara Yang Kang.
Sambil menuju ke pintu kuil, Wanyan Honglie memalingkan kepala sekali lagi dan memanggil, “Kang’er! Kang’er!”
Mata Yang Kang berlinang air mata, ia berseru, “Fu Wang! Fu Wang!” Ia berjalan ke arah Wanyan Honglie.
Wanyan Honglie senang sekali, ia merentangkan tangannya untuk memeluk Yang Kang erat-erat, “Nak, kau merasa lebih baik?”
Di bawah sinar bulan muka Yang Kang tiba-tiba berubah. Ia membuka mulutnya, memamerkan dua baris gigi putih, siap menggigit. Wanyan Honglie terperanjat. Tangan kirinya mendorong, melepaskan pelukan. Yang Kang kehabisan tenaga, ia jatuh terjengkang. Ia berusaha keras untuk merangkak bangkit, tapi sia-sia.
Wanyan Honglie tidak berani tinggal lebih lama lagi, tanpa menengok lagi ia buru-buru keluar dari kuil, naik ke atas kudanya dan berpacu secepat mungkin. Yang lain mengikutinya dengan ketat, dalam waktu singkat kuil itu menjadi kembali sunyi.
Ouyang Feng dan Huang Rong melihat Yang Kang bergulingan di lantai, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing, tak seorang pun mengatakan apa-apa. Sesaat kemudia tubuh Yang Kang meringkuk dan berhenti bergerak sama sekali.
“Cukuplah keributan untuk sehari,” kata Ouyang Feng dengan dingin. “Ini sudah menjelang fajar, ayo kita pergi mencari ayahmu.”
“Saat ini ayahku ada di Pulau Bunga Persik,” kata Huang Rong. “Kenapa kau ingin mencarinya?”
Ouyang Feng terkejut. “Jadi Nona berbohong sejak tadi,” ia mencibir.
“Beberapa kalimat pertama memang untuk menipumu,” kata Huang Rong mengaku. “kau kira ayahku orang macam apa? Masa dia membiarkan dirinya dikepung sekelompok pendeta busuk Quanzhen? Kalau aku tidak menyinggung tentang Jiu Yin Zhen Jing kau juga pasti tidak akan mengijinkanku menginterogasi Shagu.”
Pada saat itu Ke Zhen’E sudah sepenuhnya mengagumi Huang Rong, tapi ia merasa sedih dan sekaligus penuh penyesalan. Ia hanya berharap Huang Rong akan segera menemukan trik pintar untuk meloloskan diri. Ia mendengar Ouyang Feng berkata, “Ada tiga bagian kebenaran dalam kebohonganmu, kalau tidak, Racun Tua tidak akan semudah itu tertipu. Baiklah kalau begitu, kau hafalkan terjemahan ayahmu utnukku dari mula sampai akhir, jangan ada yang dilompati setengah kata pun.”
“Bagaimana kalau aku tidak ingat?” tanya Huang Rong.
“Sebaiknya kau ingat, kalau tidak maka wajah cantik dari anak perempuan pintar ini akan digigit ularku. Nah, itu sama sekali tidak lucu, kan?” ancam Ouyang Feng.
Ketika Huang Rong melompat keluar dari belakang patung itu ia sudah siap mati, tetapi ketika melihat kematian Yang Kang yang mengenaskan, ia mau tak mau jadi ngeri. Ia berpikir, “Kalaupun kuberikan hasil terjemahan Yideng Dashi, dia pasti tetap tidak akan membebaskanku. Masa sesulit itu lolos dari genggamannya?”
Ia mondar-mandir beberapa saat, tapi tetap tidak menemukan cara untuk melarikan diri, jadi ia memutuskan untuk mengulur waktu dan berpikir lai kemudian. “Kalau aku membaca dari teks aslinya, mungkin aku bisa ingat terjemahannya. Bagaimana kalau kau menghafalnya untukku, biar aku yang menerangkan artinya untukmu,” katanya.
“Siapa yang bisa menghafal kalimat-kalimat ngaco itu?” kata Ouyang Feng. “Kau tidak usah membuatku bingung.”
Ketika mendengar Ouyang feng tidak bisa mengutipnya dari ingatan, Huang Rong tiba-tiba terinspirasi. Setelah memikirkannya bolak-balik akhirnya ia tiba pada sebuah kesimpulan, “Ia tidak hafal, jadi ia pasti menganggap kitab itu sama berharganya seperti nyawanya sendiri.” Ia cepat-cepat berkata, “Baiklah kalau begitu, keluarkan buku itu dan bacakan untukku.”
Ouyang Feng telah bertekad untuk mendengarkan penjelasan, dengan segera ia mengambil bungkusan kain berminyak dari dalam sakunya. setelah membuka tiga lapis kain ia mengeluarkan kitab yang sudah diubah Guo Jing dari dalamnya. Huang Rong merasa geli. “Jine Gege menulis segerobak penuh sampah, tapi Racun Tua memperlakukannya sebagai benda yang paling berharga di dunia.”
Ouyang Feng menyalakan api dan menemukan lilin yang tinggal separuh dari meja sembahyang, diterangi cahaya lilin itu ia pun mulai membaca, “Hu bu er, ken xing duo de, si gen liu bu.”
“Itu artinya ‘bedakan dengan baik lalu bagikan menjadi dua belas jalan udara’,” kata Huang Rong.
Ouyang Feng kegirangan. “Ji er wen hua si, ha hu,” kutipnya lagi.
“Mampu menyembuhkan berbagai penyakit, berangsur-angsur memasuki kesempurnaan ilahi.” kata Huang Rong.
Ouyang Feng membaca lagi, “Qu da bie si tu, en ni qu.”
Huang Rong ragu-ragu sejenak, menggelengkan kepalanya, ia berkata, “Tidak benar, kau salah membacanya.”
“Tidak, aku membacanya dengan benar,” kata Ouyang Feng. “Itu yang tertulis di sini.”
“Itu aneh,” kata Huang Rong. “Kenapa tidak ada artinya?” Ia meletakkan tangan kirinya di kepala, pura-pura berpikir keras.
Ouyang Feng gelisah. Ia menatap Huang Rong, berharap ia akan menemukan jawaban secepatnya. Sesaat kemudian Huang Rong berseru, “Ah, aku tahu! Ini pasti anak bodoh itu, Guo Jing, salah tulis. Coba kulihat.”
Ouyang Feng tidak takut Huang Rong akan mencuri buku itu, ia menyerahkannya. Huang Rong menerimanya, sementara tangan kirinya memegang lilin, pura-pura mengamati kitab itu dari jarak dekat. Tiba-tiba kakinya menendang ke sekeliling, ia melompat ke belakang lebih dari satu zhang. Ia memegang kitab itu dalam jarak satu chi dari lilin dan berseru, “Paman Ouyang, kitab ini palsu, sebaiknya kubakar saja.”
Ouyang Feng terkesiap, buru-buru ia berkata, “Hei, hei, apa yang kau lakukan? Cepat kembalikan buku itu!”
Huang Rong tersenyum. “Kau ingin kitab atau nyawaku?”
“Untuk apa aku menginginkan nyawamu? Cepat kembalikan padaku.” kata Ouyang Feng. Suaranya mendesak. dengan kecemasan luar biasa. Tubuhnya condong ke depan, seolah siap menerkam kapan saja.
Huang Rong memegang kitab itu dua inci mendekat ke arah lilin. “Berhenti! Aku akan membakar kitab ini begitu kau maju selangkah lagi, kau akan menyesal seumur hidupmu.”
Ouyang Feng diam-diam setuju. “Hm, kau menang,” katanya. “Letakkan buku itu, dan pergilah sebelum aku berubah pikiran!”
“Kau seorang guru besar dari sebuah perguruan, kau tidak boleh menarik kembali kata-katamu,” kata Huang Rong.
Ouyang Feng berkata dengan tenang, “Kubilang pokoknya letakkan saja kitab itu dan kau boleh pergi.”
Huang Rong tahu bahwa ia adalah seorang yang bangga akan dirinya sendiri, meskipun ia jahat dan kejam, tetapi ia tidak pernah melanggar janjinya kepada siapa pun, jadi ia meletakkan kitab itu berikut lilin di lantai, lalu tersenyum, “Paman Ouyang, mohon maafkan aku.” Sambil membawa Tongkat Penggebuk Anjing ia berpaling dan berjalan pergi.
Bukan seperti yang diharapkannya, Ouyang Feng sama sekali tidak melihatnya. Ia melompat ke belakang dan dengan suara ‘brakk!’ ia menghantam patung Wang Yanzhang dengan punggung tangannya, patung itu terbelah menjadi dua. “Si Buta Ke, cepat menggelinding keluar!”
Huang Rong terkejut, ia memalingkan kepalanya dan melihat Ke Zhen’E melompat keluar dari balik patung, mengacungkan tombak besi di depan tubuhnya. Huang Rong segera menyadari kekeliruannya, “Dengan ilmu Racun Tua masa dia tidak tahu Ke Daxia bersembunyi di belakang patung itu? Pasti dia sudah mendengar suara nafasnya sejak tadi, ia hanya menunggu kesempatan dengan sabar untuk membongkar persembunyiannya.” Ia bergegas maju, berdiri di hadapan Ke Zhen’E dengan tongkat bambu di depan tubuhnya.
“Paman Ouyang, aku tidak pergi, biarkan dia pergi,” kata Huang Rong.
“Jangan, Rong’Er, kau pergilah,” kata Ke Zhen’E. “Temukan Jing’er, suruh dia membalas kematian kami berenam.”
Huang Rong menjawab dengan sedih, “Kalau dia memang mau percaya kata-kataku, maka dia pasti sudah percaya. Ke Daxia, kalau kau tidak pergi, ayah dan aku akan sangat sulit untuk membuktikan bahwa kami tidak bersalah. Katakan pada Guo Jing bahwa aku tidak menyalahkannya, supaya dia tidak merasa bersalah.” Tapi bagaimana Ke Zhen’E tega membiarkankannya menghadapi bahaya untuk menyelamatkan nyawanya sendiri? Keduanya saling mendorong tanpa henti.
Ouyang feng menjadi hilang kesabaran. “Nona kecil, aku membebaskanmu, kau tidak mau pergi. Kau tunggu apa lagi?”
“Aku ingin tetap tinggal,” kata Huang Rong. “Paman Ouyang, bawa orang buta ini keluar, aku akan menemanimu mengobrol, asal jangan melukainya.”
Ouyang Feng berpikir, “Kau mau tinggal, itu yang kuinginkan. Orang buta ini hidup atau mati, itu bukan urusanku.” Dengan langkah lebar ia maju, mencengkeram baju Ke Zhen’E di bagian dada.
Ke Zhen’E menggerakkan tombaknya untuk menyerang tangan yang datang. Ouyang feng mengangkat tangannya sedikit dan lengan Ke Zhen’E mati rasa, ia merasakan ttekanan di dadanya. ‘Trang!’ tombaknya terbang ke atas dan membuat lubang di langit-langit, lalu mendarat di atap kuil.
Ke Zhen’E buru-buru melompat mundur, tetapi sebelum kakinya mendarat di lantai, ia merasa kerah bajunya ditarik, tubuhnya tergantung di depan Ouyang Feng. Pengalaman bertarungnya banyak, dalam situasi berbahaya ituia tidak menjadi gugup. Tangan kirinya bergerak sedikit dan dua butir Du Ling terbang ke arah muka lawan.
Ouyang Feng tidak menduga bahwa dalam situasi berbahaya Ke Zhen’E masih bisa menyerang. Mereka dalam jarak sangat dekat, serangan yang datang sangat kuat, sulit ditangkis. Ouyang Feng menekuk tubuhnya ke belakang tetapi tangannya tidak melepaskan Ke Zhen’E. Ke Zhen’E dilemparkan melewati bagian atas kepalanya.
Ketika melompat dari balik patung, Ke Zhen’E menghadap ke pintu kuil, jadi lemparan Ouyang Feng membuatnya terbang keluar pintu. Karena tenaga Ouyang Feng begitu kuatnya, tubuh Ke Zhen’E melayang lebih cepat daripada Du Ling-nya. Du Ling itu luput dari kepala Ouyang Feng dan terbang langsung ke arah tubuh Ke Zhen’E.
“Aiyo!” jerit Huang Rong. Tetapi ia melihat bahwa sementara di udara Ke Zhen’E mampu memutar tubuhnya sedikit, mengulurkan tangan kanannya dan menangkap kedua butir kacang besinya sendiri dengan tangkas. Kemampuannya endengar dan membedakan sambaran angin senjata rahasia telah dilatih hingga mendekati kesempurnaan. Telinganya mampu mendengar sejelas orang lain melihat.
“Kau hebat!” seru Ouyang feng. “Orang Buta Ke, aku membebaskanmu.”
Ke Zhen’E mendarat di atas kedua kakinya, ia merasa berat untuk pergi. Huang Rong tertawa. “Ke Daxia, Ouyang Feng ingin menjadi muridku. Dia ingin belajar Jiu Yin Zhen Jing dari aku. Kau masih ingin tinggal, kau juga ingin jadi muridku ya?”
Ke Zhen’E tahu, meskipun Huang Rong bercanda tetapi situasi sebenarnya sangat berbahaya. Ia berdiri di halaman kuil, tapi masih merasa berat untuk pergi.
Ouyang Feng memandang langit dan berkata, “Ini sudah pagi. Ayo pergi!” Ia menarik tangan Huang Rong. Mereka berjalan keluar dari kuil itu.
“Ke Daxia, ingat baik-baik apa yang kutulis di tanganmu,” seru Huang Rong. Mereka bergerak sangat cepat, kalimat terakhir Huang Rong terdengar dari jarak beberapa zhang dari situ.
Ke Zhen’E berdiri terpaku sampai lama. Ia mendengar sekelompok demi sekelompok burung gagak mendekati kuil dan berpesta menyantap mayat, maka ia melompat ke atas atap untuk mencari tombak besinya. Bersandar ke tiang bekas tombak itu di atap, ia diam tak bergerak beberapa saat, berpikir bahwa langit dan bumi ini begitu luas, tempat macam apa yang bisa disebut ‘rumah’ oleh orang buta seperti dia. Kemudian ia mendengar pekikan ngeri burung-burung gagak, dan mereka berjatuhan ke tanah. Ternyata burung-burung gagak itu berpesta memakan jenazah Yang Kang dan mereka semuanya keracunan. Ke Zhen’E mau tak mau menarik nafas panjang. Ia melompat turun, sambil memegang tombak ia berjalan ke Utara.
Pada hari ketiga tiba-tiba ia mendengar pekikan elang tinggi di udara. Ia berpikir bahwa jika elang-elang itu ada di dekat sini, pastilah Guo Jing juga tidak jauh dari sini. Karena itu ia menghimpun tenaga dan berteriak di tengah alam liar, “Jing’er, Jing’er!”
Tak lama kemudian ia mendengar derap kaki kuda, sungguh Guo Jing muncul sambil menunggangi kuda merah kecilnya. Ia terpisah dari Ke Zhen’E di tengah kekacauan sebelumnya. Kali ini ia melihat gurunya dalam keadaan sehat, kegirangannya tak terkira. Ia bahkan tidak menunggu sampai kudanya berhenti. Ia melompat turun dan bergegas memeluk gurunya, memanggilnya dengan suara nyaring, “Da Shifu!”
Tak terduga Ke Zhen’E menamparnya dari kiri-kanan sampai telinganya merah. Guo Jing terkesiap, tetapi ia tidak berani mengelak. Ia membiarkan gurunya melepaskan pelukannya. Ke Zhen’E terus menampar Guo Jing dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya menampar mukanya sendiri sampai telinganya merah.
Guo Jing bingung. “Da Shifu, kau kenapa?”
Ke Zhen’E dengan galak memaki, “Kau ini bocah tolol, dan aku si tua tolol!”
Setelah puluhan tamparan ia mulai tenang dan berhenti. Muka keduanya merah dan bengkak. Ke Zhen’E terus memaki Guo Jing dan dirinya sendiri sampai lama, sebelum akhirnya ia menceritakan semua yang terjadi di kuil itu.
Guo Jing sangat terkejut tapi gembira, sedih tapi malu, “Jadi itu yang terjadi sebenarnya. Aku salah menuduh Rong’er,” pikirnya.
“Coba bilang, apa kita tidak pantas mati?” teriak Ke Zhen’E. Guo Jing setuju, ia juga berkata, “Dizi pantas mati. Mata Da Shifu tidak sempurna, Da Shifu tidak bisa disalahkan.”
Ke Zhen’E sangat marah. “Keparat! Mataku buta, dan hatiku juga buta?”
Guo Jing berusaha mengalihkan perhatian. “Kita harus cepat-cepat memikirkan cara untuk menyelamatkan Rong’er.’
“Bagaimana dengan ayahnya?” tanya Ke Zhen’E.
“Huang Daozhu membawa Hong Enshi untuk memulihkan diri di Pulau Bunga Persik,” jawab Guo Jing. “Da Shifu, menurutmu ke mana Ouyang feng membawa Rong’er?”
Ke Zhen’E berpikir sejenak, lalu berkata, “Rong’er ada di tangannya, kalau pun tidak mati, aku tidak tahu siksaan macam apa yang akan dialaminya. Jing;er, kau cepat selamatkan dia, aku akan bunuh diri untuk berterima kasih kepadanya.”
“Jangan!” seru Guo Jing terkejut. “Jangan berpikir seperti itu!” Tetapi ia kenal betul watak gurunya yang keras kepala, ia tidak akan mendengarkan nasihat siapapun. Sekali bilang mau mati, maka ia pasti tidak akan mundur. Karena itu Guo Jing cepat-cepat berkata, “Da Shifu, kau sebaiknya pergi ke Pulau Bunga Persik untuk memohon bantuan kepada Huang Daozhu. Sejujurnya saja, aku bukan tandingan Ouyang Feng.”
Ke Zhen’E merasa itu bukan ide yang buruk, jadi ia mengambil tombaknya dan pergi. Guo Jing merasa berat berpisah dengan gurunya, ia mengikutinya dari belakang. Ke Zhen’E tahu ia sedang diikuti, ia mengayunkan tombaknya ke belakang dan memaki, “Kau masih tidak mau pergi? Kalau kau tidak menyelamatkan kesayanganku Rong’er, aku akan mencabut nyawamu yang kecil ini.”
Guo Jing tidak punya pilihan selain berhenti, pandangannya mengikuti langkah gurunya sampai ia menghilang di balik semak-semak pohon mulberi di timur. Ia tidak punya bayangan dari mana ia harus mulai mencari Huang Rong. Setelah berpikir keras sejenak ia mengambil kudanya dan sepasang elang, lalu berjalan ke arah Kuil Tombak Besi.
Di sekitar kuil ia melihat bangkai burung-burung gagak yang tak terhitung banyaknya. Di halaman ia melihat tumpukan mayat manusia. Guo Jing membenci Yang kang yang membunuh guru-gurunya, tapi berpikir bahwa Yang Kang toh sudah meninggal, jadi ia bersedia menghapus hutang itu. Lebih jauh lagi, ia adalah saudara angkatnya. Guo Jing mengangkat sisa-sisa jenazahnya dan menguburkan Yang Kang d pelataran kuil. Ia membungkuk hormat di depan makam dan berkata, “Yang Xiandi, kalau kau tahu bagaimana aku menguburkanmu hari ini, kau harus memberkati aku supaya bisa menemukan Rong’er. Dengan cara itu kau bisa menebus segala dosamu waktu masih hidup.” Setelah itu Guo Jing mulai bertanya ke segala tempat, berusaha melacak jejak Huang Rong.
Setengah tahun berlalu, musim gugur telah berganti menjadi musim dingin, lalu musim dingin berganti menjadi musim semi. Guo Jing ditemani sepasang elang dan kuda merahnya mencari kemana-mana. Ia bertanya kepada para anggota Kai Pang, pergi ke Perguruan Quanzhen, dan bertanya ke semua orang di dunia persilatan yang dikenalnya, tapi tak seorang pun mendengar berita kecil sekalipun mengenai Huang Rong. Ia merasa sdih. Ia membayangkan betapa beratnya kesengsaraan yang dialami Huang Rong setengah tahun ini, hantinya seperti ditikam pisau. Ia bertekad untuk menemukannya, sampai ke ujung dunia sekalipun.
Ia tiba di Yanjing, dua kali ia berusaha menemukan Wanyan Honglie di Bianliang, tapi Wanyan Honglie juga menghilang tanpa jejak. Para anggota Kai Pang di segenap negeri beruaha menemukan ketua mereka, tapi tetap saja tak terdengar kabar apapun mengenai Huang Rong. Guo Jing juga mampir ke Rumah Awan, tapi ternyata perkampungan itu sudah terbakar habis. Ia tidak tahu bencana macam apa yang dialami Lu Chengfeng dan Lu Guanying.
Suatu hari ia tiba di areal perbatasan Shandong. Sembilan dari sepuluh rumah yang dilihatnya di sepanjang jalan telah ditinggalkan. Ia jarang melihat orang lain berjalan di sekitar situ. Ia mendengar bahwa para tentara Mongolia dan Jin sedang bertempur di wilayah itu. Para prajurit Jin kalah, dan sementara bergerak mundur mereka tidak segan-segan melakukan segala kejahatan, memperkosa dan merampok rakyat di sepanjang jalan.
Guo Jing berjalan tiga hari lagi ke arah Utara. Makin jauh ia berjalan, makin banyak kesengsaraan yang dilihatnya. Hatinya pahit keika menyaksikan penderitaan rakyat sebagai akibat dari perang.
Hari itu ia tiba di sebuah perkampungan kecil di tepi sungai, di sebuah lembah. Ia hendak berhenti untuk membeli makanan dan air untuk dirinya sendiri dan kudanya, ketika tiba-tiba ia mendengar keributan tepat di hadapannya. Orag-orang menjerit dan kuda-kuda meringkik dalam kepanikan, puluhan prajurit Jin memasuki desa. Mereka membakar desa itu, memaksa penduduk untuk keluar rumah. Kalau ada seorang perempuan muda di rumah itu, para prajurit itu akan menangkapnya dan mengikat mereka dengan tali. Para penduduk yang lain, tua dan muda, dibunuh di tempat saat itu juga.
Amarah Guo Jing meluap, ia menerjang bersama kudanya ke arah pemimpin kelompok itu, merebut tombaknya. Punggung tangan Guo Jing menghantam titik akupuntur Tai Yang. Pada saat itu ilmu silat Guo Jing telah mencapai tingkat tinggi, tenaganya sangat besar. Dalam sekali pukul mata prajurit itu terlepas dari tempatnya dan ia tewas seketika.
Sisa-sisa prajurit berteriak-teriak, golok dan tombak menyerang berturut-turut. Kuda merah kecil itu tidak takut menghadapi perang, ia menerjang maju membawa Guo Jing di punggungnya. Guo Jing merebut sebuah golok dengan tangan kirinya, dan menggunakan Shuang Shou Hubo ajaran Zhou Botong ia menikam dengan tombak di tangan kanannya dan menebas dengan golok di tangan kiri, menyerang para prajurit itu dari kiri dan kanan.
Begitu para prajurit Jin melihat keganasan orang ini, mereka kehilangan minat untuk bertempur, mereka berbalik dan melarikan diri dari perkampungan itu. Tetapi tiba-tiba sebuah umbul-umbul besar muncul di tengah kepulan asap, sekelompok prajurit Mongolia datang. Para prajurit Jin yang telah dikalahkan sebelumnya tidak berani berhadapan langsung melawan pasukan Mongolia, mereka berbalik kembali ke perkampungan penduduk, berharap untuk bisa melewati Guo Jing mengandalkan jumlah mereka yang banyak.
Guo Jing membenci para prajurit Jin karena kekejaman mereka terhadap rakyat, ia memacu kudanya ke arah pintu masuk desa dan sendirian mempertahankannya melawan para pengganggu itu. Sekitar selusin prajurit dengan berani maju menyerangnya. Guo Jing membunuh mereka semua. Sisanya tidak berani menyerang lagi, tetapi mereka juga tidak bisa kembali. Mereka berlarian dengan bingung, berteriak-teriak ketakutan.
Para prajurit Mongolia melihat ada orang yang membantu mereka di depan. Mereka mengejar sisa prajurit Jin dan membunuh semuanya. Si Pemimpin Seratus Orang2 hendak menanyakan asal-usul Guo Jing ketika tiba-tiba salah seorang prajurit Mongolia mengenalinya. Prajurit itu berseru, “Jin Dao Fu Ma3!” dan segera berlutut di tanah.
Pemimpin pasukan itu mendengar bahwa Guo Jing adalah menantu Genhis Khan, ia tidak berani bersikap tidak sopan. Buru-buru ia turun dari kudanya dan berlutut di tanah sambil mengutus seorang kurir untuk mengabarkan hal ini kepada koordinator mereka.
Para penduduk desa, tua dan muda, keluar dai tempat persembunyian mereka untuk berterima kasih kepada Guo Jing ketika tiba-tiba dari luar desa datang suara menggelegar dari derap kaki kuda sebuah kavaleri. Para penduduk ketakutan, mereka saling berpandangan dengan cemas.
Seekor kuda dengan surai hitam datang dengan cepat, seorang jendral muda berseru, “Mana Guo Jing Anda4?”
Guo Jing melihat bahwa itu adalah Tolui, ia sangat kegirangan. “Tolui Anda,” sahutnya. Mereka bergegas maju dan saling berpelukan. Sepasang elang itu mengenali Tolui, mereka menukik turun dan mengusap-usapkan leher mereka ke tubuhnya.
Tolui memerintahkan Pemimpin Unit Seribu orang untuk mengejar para prajurit Jin, sementara sisa pasukan mendirikan tenda di situ, di sisi bukit. Kemudian ia menceritakan kepada Guo Jing segala sesuatu yang terjadi sejak terakhir kali mereka berpisah.
Tolui menceritakan tentang peperangan antar negara di Utara. Baru saat itu Guo Jing tahu bahwa dalam beberapa tahun belakangan ini Genghis Khan telah menyerang sampai ke Timur dan mengirim ekspedisi ke Barat, mengembangkan wilayah teritorialnya. Jochi, Chagatai, Ogedei dan Tolui, ditambah dengan Mukhali, Borchu dan Tchilaun — Empat Kartu As Genghis Khan, tangan kanannya — semuanya telah membangun prestasi yang menonjol. Para tentara Jin melarikan diri ke kota berbenteng di Tongguan, tidak berani keluar ke Shandong untuk bertempur.
Guo Jing tinggal bersama pasukan Tolui selama beberapa hari. Suatu hari sebuah pesan kilat datang. Genghis Khan memerintahkan semua pangeran dan jendral untuk kembali ke Utara menghadiri rapat umum. Tolui dan Mukhali tidak berani tinggal lebih lama, mereka mendelegasikan kepemimpinan kepada wakil mereka dan pada malam yang sama mereka segera berpacu ke Utara. Guo Jing merindukan ibunya, maka ia ikut bersama Tolui ke Utara.
Dalam wantu kurang dari sehari mereka telah tiba di tepian Sungai Onon. Sejauh mata memandang, padang rumput yang luas dipenuhi kemah, puluhan ribu kuda perang berlarian dan meringkik, puluhan ribu mata tombak berkilau terang di bawah sinar matahari. Di tengah tenda abu-abu yang tak terhitung jumlahnya, sebuah tenda kuning dari sutra menjulang tinggi. Pernak-perniknya terbuat dari emas, di atasnya berkibar sembilan panji-panji besar.
Kuda Guo Jing berdiri di tepi sungai sementara ia mengawasi segala perlengkapan militer yang menakjubkan ini. Ia berpikir tentang bagaimana kekuatan besar di dalam Tenda Emas ini telah mengguncangkan padanf rumput, menyapu semua penguasa lain di wilayah itu. Ia membayangkan bagaimana Genghis Khan mengeluarkan perintahnya dari dalam Tenda Emas, keemudian kuda-kuda cepat akan dilepas untuk mengirimkan perintah ke puluhan ribu prajurit di bawah komando para pangeran dan jendral. Terompet akan berbunyi, dan lentera di tengah padang rumput akan dinyalakan, apinya mencapai langit. Anak-anak panah akan memenuhi langit seperti kawanan belalang, tombak dan golok akan berkelebat, kuda-kuda dan para prajurit akan berarak di tenang debu yang maik ke langit.
Guo Jing berpikir, “Khan Agung ingin mengumpulkan tanah sebanyak ini, entah apa yang ingin dilakukannya dengan semua itu?” Tiba-tiba ia melihat debu mengepul dan sekelompok kavaleri datang menyambut mereka. Tolui, Mukhali dan Guo Jing memasuki Tenda Emas untuk menghadap Khan Agung. Yang mengejutkannya adalah, semua pangeran dan jendral telah duduk di semua sisi tenda itu.
Genghis Khan kegirangan ketika melihat mereka bertiga. Tolui dan Mukhali segera melaporkan situsi militer. Guo Jing melangkah maju dan berlutut, ia berkata, “Khan Agung memberiku tugas untuk memenggal kepala Pangeran Jin, Wanyan Honglie. Aku telah bertemu dia beberapa kali, tapi setiap kali dia bisa melarikan diri. Hambamu siap menerima hukuman dari Khan Agung.”
Genghis Khan tertawa, ia berkata, “Ketika elang muda sedang tumbuh, akan tiba suatu hari ia akan menangkap rubah. Kenapa aku harus menghukummu? Kau tiba tepat waktu. Aku seringkali memikirkanmu.”
Rapat besar itu kemudia berlanjut untuk membicarakan rencana militer untuk menghancurkan Jin. Mukhali mengusulkan bahwa karena Jin menguasai kota berbenteng dari Tongguan, akan sulit untuk menyerang. Rencana terbaik adalah membentuk aliansi dengan Song Selatan dan melancarkan serangan serempak.
“bagus! Kalau begitu kita laksanakan saja,” kata Genghis Khan. Segera ia menyuruh juru tulisnya untuk menulis surat dan mengirim seorang utusan untuk pergi ke Selatan. rapat besar itu berlanjut hingga malam hari itu.
Guo Jing meninggalkan Tenda Emas, di bawah langit gelap ia berjalan ke kemah ibunya. Tiba-tiba sepasang tangan muncul dari belakang, hendak menutup matanya. Dengan kungfunya yang sekarang, mana mungkin ia membiarkan orang melancarkan serangan mendadak? Ia mengelak ke samping dan hendak mendorong orang itu menjauh ketika tiba-tiba lubang hidungnya mencium bau parfum, lalu ia melihat orang itu ternyata perempuan. Segera ia menarik kembali tangannya dan memanggil, “Huazheng Meizi!” Ternyata itu memang sungguh Putri Huazheng, berdiri dalam gelap dengan senyum cerah di wajahnya.
Mereka telah berpisah beberapa tahun. Kali ini mereka bertemu lagi, Guo Jing melihat ia telah tumbuh lebih tinggi. Ia berdiri di tengah rerumputan tinggi, kulitnya seputih pualam, ia nampak cantik tetapi sekaligus gagah. Guo Jing memanggilnya lagi, “Meizi5!”
Huazheng begitu gembira sampai-sampai air mata menetes membasahi pipinya, “Kau sungguh-sungguh pulang!”
Guo Jing tersentuh oleh ketulusan ekpresi dari perasaannya. Ribuan kata menari-nari di benaknya, tetapi ia tidak tahu dari mana harus mulai.
Setelah diam beberapa saat Huazheng berkata, “Cepat temui ibumu. Kau pulang hidu-hidup, coba tebak siapa yang lebih bahagia, ibumu atau aku?”
“Ibuku akan sangat bahagia, aku tahu pasti,” kata Guo Jing.
Huazheng cemberut. “Jadi menurutmu aku tidak bahagia?”
Orang-orang Mongolia lebih terbuka, mereka akan mengatakan apapun yang mereka pikirkan. Guo Jing tinggal bersama orang-orang Selatan selama beberapa waktu, tanpa sadar ia terpengaruh cara berbicara mereka. Sekarang ia kembali ke rumahnya di masa kanak-kanak dan mendengar Huazheng bicara dengan begitu bersahabat, perasaan hangat menjalari hatinya. Mereka berdua bergandengan tangan menuju ke tenda Li Ping. Ibu dan anak itu bertemu kembali, air mata bahagia membanjiri tenda itu.
Beberapa hari kemudian Genghis Khan memanggil Guo Jing. “Aku sudah mendengar segala sepak-terjangmu dari Tolui. Kau menepati janjimu dan punya hati yang lurus, aku sangat menyukainya. Tunggu beberapa hari lagi, aku akan menikahkan putriku denganmu.”
Guo Jing terkejut, ia berpikir, “Sekarang ini aku bahkan tidak tahu apakah Rong’er masih hidup. Bagaimana mungkin aku menikahi orang lain?” Melihat penampilan Genghis Khan yang berwibawa, meskipun ia ingin membantah, tetapi ia tergagap dan tak ada sesuatu yang bisa dimengerti keluar dari mulutnya. Genghis Khan salah memahami tingkahnya, ia mengira Guo Jing begitu bahagianya sampai menjadi bodoh. Dengan segera Genghis Khan menyiapkan mas kawin untuk Guo Jing. Seribu orang pelayan perempuan, seratus kati emas, lima ratus ekor sapi, dua ribu ekor domba, dan sebagai tambahan ia juga disuruh mempersiapkan upacara perkawinannya sendiri, dan mengambil semua keperluannya dari perbendaharaan Genghis Khan.
Huazheng adalah putri tunggal Genghis Khan dari istrinya yang pertama. Ia adalah anak kesayangan ayahnya sejak kecil. Pada saat itu kekuatan Genghis Khan telah tersebar luas ke seluruh pelosok padang rumput Mongolia, ia telah menaklukkan banyak Khan lain, yang ketika mendengar bahwa Khan Agung mereka akan menikahkan putrinya, dengan segera mengirimkan sejumlah besar hadiah. Tak terlalu lama kemudian, lebih dari sepuluh tenda besar diperlukan untuk menyimpan semua hadiah itu.
Putri Huazheng sangat bahagia sampai tak bisa menghapus senyum dari wajahnya. Guo Jing, di lan pihak, tampak lesu, pikirannya dipenuhi kecemasan. Ia seringkali terlihat melamun dan menatap ke kejauhan dengan wajah murung.
Li Ping memperhatikan air muka anaknya tampak tidak biasa, suatu sore ia menanyai Guo Jing di dalam tenda mereka. Guo Jing menceritakan segala sesuatu mengenai Huang Rong, mulai dari saat mereka bertemu sampai berpisah beberapa bulan yang lalu. Li Ping mendengarkan dengan penuh perhatian, ia terdiam lama.
“Ma,” kata Guo Jing. “Anakmu sedang dalam kesulitan, aku tidak tahu bagaimana mengatur semua ini.”
“Khan Agung sudah menunjukkan kebaikannya yang besar kepada kita, bagaimana kita bisa melupakannya?” jawab Li Ping. “Tapi Si Rong’er itu, Rong’er itu, aih! Meskipun aku belum pernah ketemu dia, aku yakin dia manis sekali.”
“Ma,” kata Guo Jing tiba-tiba. “Kalau ayah dalam situasi seperti ini, dia akan bagaimana?”
Pertanyaan itu di luar dugaan Li Ping, ia terdiam lama, mengingat-ingat kepribadian almarhum suaminya, dan kemudian dengan suara mantap ia berkata, “Ayahmu akan lebih memilih menderita daripada menyinggung orang lain.”
Guo Jing berdiri, dengan suara gemetar ia berkata, “Meskipun anakmu ini tidak pernah bertemu ayahnya, tapi aku harus mengikuti jejak ayahku. Kalau Rong;er selamat, anakmu akan menghormati janji untuk menikah dengan Putri Huazheng. Tapi kalau Rong;er celaka, anakmu tidak akan menikah seumur hidup.”
Li Ping berpikir, “Itu memang tindakan yang pantas, tapi bagaimana mungkin aku membiarkanmu menjadi keturunan terakhir dari keluarga Guo? Tapi bagaimanapun juga, anak ini sama seperti ayahnya, keduanya keras kepala. Keduanya keras kepala. sekali mereka memutuskan, apa yang dikatakan orang lain akan sia-sia.” Karena itu ia berkata, “Bagaimana kau akan melapor kepada Khan Agung?”
“Aku akan mengatakan yang sebenarnya kepada Khan Agung,” jawab Guo Jing.
Li Ping bersedia mendukung niat anaknya. “Bagus,” katanya. “Kita tidak bisa menunggu lama. Cepat katakan terima kasih kepada Khan Agung, kita berdua akan berangkat ke Selatan hari ini juga.” Guo Jing mengiyakan.
Malam itu juga ibu dan anak itu menyiapkan perbekalan mereka. Selain beberapa pasang pakaian dan perak, mereka meninggalkan semua pemberian Khan Agung di tenda.
Setelah selesai Guo Jing berkata, “Aku akan berpamitan kepada Putri.”
Li Ping ragu-ragu. “Bagaimana kau bisa mengatakannya? Sebaiknya kita pergi diam-diam, supaya dia tidak sakit hati,” katanya.
“Tidak,” kata Guo Jing. “Aku akan bilang sendiri.” Meninggalkan kemahnya, ia pergi ke kemah Huazheng.
Huazheng dan ibunya tinggal di kemah besar. Mereka sibuk mendiskusikan persiapan perkawinan. Tiba-tiba Huazheng mendengar suara Guo Jing memanggilnya dari luar tenda. Ia tersipu, “Ma!” katanya.
Ibunya tersenyum. “Kalian akan menikah dalam beberapa hari ini, masa kalian tidak tahan berpisah sehari saja? Baiklah, kau boleh pergi.”
Huazheng tersenyum dan berjalan keluar tenda. “Guo Jing Gege,” panggilnya.
“Meizi, ada sesuatu yang perlu kukatakan kepadamu,” kata Guo Jing. Ia mengajak Huazheng berjalan ke arah barat. Keduanya berjalan beberapa li ke padang rumput, jauh dari kemah besar, duduk berdampingan di atas rumput.
Huazheng bersandar ke tubuh Guo Jing. Menundukkan kepalanya ia berkata, “Jing Gege, aku juga ingin mengatakan sesuatu.”
Guo Jing agak terkejut. “Ah! Jadi kau sudah tahu?” katanya. Ia merasa lebih baik kalau ia sudah tahu, karena ia sendiri tidak tahu harus mulai dari mana.
“Tahu apa?” kata Huazheng bingung. “Aku ingin bilang bahwa aku bukan putri Khan Agung.”
“Apa?” kata Guo Jing terkejut.
Huazheng mendongak memandang bulan sabit di cakrawala, ia berkata perlahan-lahan, “Setelah menikah denganmu, aku akan melupakan kalau aku ini putri Khan Agung, aku hanya istri Guo Jing. Kalau kau ingin memukulku atau mengomeli aku, lakukan saja. Jangan kira karena ayahku adalah Khan Agung, lalu kau harus tunduk kepadaku.”
Guo Jing merasakan campuran antara manis-pahit, hangat dan kusut di dalam hatinya, ia berkata, “Meizi, kau memperlakukan aku dengan sangat baik. Sayangnya aku ini tidak layak untuk mendapatkanmu.”
“Apa maksudmu kau tidak layak mendapatkan aku?” balas Huazheng. “Kau ini orang paling baik di dunia, kecuali ayahku, tidak ada orang yang lebih baik darimu. Bahkan empat kakakku pun tidak layak memegang lilin kalau dibandingkan denganmu.”
Guo Jing terdiam lama, ia akan meninggalkan Mongolia untuk pergi ke Selatan besok pagi-pagi sekali, tapi ia tidak tahu bagaimana cara mengatakannya kepada Huazheng.
Huazhen melanjutkan, “Beberapa hari belakangan ini aku sangat bahagia. Aku ingat waktu mendengar kau tewas, aku ingin mati bersamamu. Untungnya kakak Tolui merebut pisau dari tanganku, kalau tidak mana bisa aku menikah denganmu sekarang? Guo Jing Gege, aku lebih baik mati kalau tidak bisa jadi istrimu.”
Guo Jing diam-diam berpikir, “Rong’er tidak akan bicara seperti ini kepadaku, tapi mereka berdua sangat baik kepadaku.” Memikirkan Huang Rong ia tanpa sadar menghela nafas panjang.
“Uh, kenapa kau menarik nafas seperti itu?” tanya Huazheng heran.
“Bukan apa-apa,” kata Guo Jing ogah-ogahan.
Huazheng berkata, “Hmm, kakakku yang pertama dan yang kedua tidak menyukaimu, tapi kakakku yang ketiga dan keempat sangat menyayangimu. Aku bilang terang-terangan kepada ayahku bahwa kakakku yang pertama dan kedua itu tidak baik, kakak ketiga dan keempat baik, jadi kau tidak usah kuatir.”
“Kenapa aku musti kuatir?” tanya Guo Jing heran.
Huazheng sangat bangga pada dirinya sendiri. “Kudengar ibu bilang karena ayahku sudah mulai tua, dia ingin mengangkat Putra Mahkota. Coba tebak siapa yang terpilih?”
“Sewajarnya kakakmu yang pertama, Jochi. Bukan hanya dia yang tertua, tapi dia juga punya banyak prestasi.”
Huazheng menggelengkan kepalanya. “Dugaanku bukan kakak pertama, kemungkinan besar kakak ketiga, atau malah kakak keempat.”
Guo Jing tahu putra tertua Genghis Khan, Jochi, pintar dan sangat kompeten. Putra kedua, Chagatai, pemberani dan ahli strategi. Kedua orang itu saling tidak cocok, persaingan mereka sengit. Putra ketiganya, Ogedei, suka minum dan berburu. Salah satu ciri khasnya adalah murah hati. Ia menyadari bahwa setelah ayah mereka meninggal, penerusnya entah kakak yang pertama atau kedua. Tapi di antara keempat pangeran dari Khan, sebenarnya Tolui adalah anak kesayangan ayahnya. Ia menyadari bahwa ia tak punya peluang untuk menjadi Khan berikutnya. Karena itu ia tidak pernah ribut tentang posisi putra mahkota. Hubungannya dengan ketiga saudaranya sangat baik.
Guo Jing tidak yakin dengan penjelasan Huazheng. “Masa Khan AAgung memilih Putra Mahkota berdasarkan apa yang kau katakan?” tanyanya.
“Aku juga tidak yakin tentang hal itu,” kata Huazheng. “Itu hanya dugaan kasarku. Tapi meskipun kakak pertama atau kedua menjadi Khan berikutnya, kau tetap tidak usah luatir. Kalau mereka mempersulit dirimu, aku akan melawan mereka sampai mati.” Huazheng adalah putri kesayangan Genghis Khan. Sekitar tiga puluh persen dari semua urusan yang menyangkut Huazheng, keempat kakak laki-lakinya akan mengalah kepadanya.
Guo Jing tahu ia pasti akan melakukan seperti yang dikatakannya itu. Ia tersenyum tipis dan berkata, “Kau tidak perlu melakukan hal seperti itu.”
“kenapa tidak?” kata Huazheng. “Kalau kakak-kakakku tidak memperlakukan kita dengan baik, kita bisa pergi ke Selatan.”
“Itulah yang ingin kukatakan,” kata Guo Jing, menumpahkan isi pikirannya. “Aku harus kembali ke Selatan.”
Huazheng terdiam beberapa saat. “Takutnya ibu dan ayahku tidak akan mengijinkan aku pergi,” katanya.
“Hanya aku…” kata Guo Jing, tapi Huazheng memotong kalimatnya. “Hmm, aku akan selalu mendengarkanmu. Kalau kau bilang kita ke Selatan, aku akan ikut bersamamu. Kalau ayah dan ibu tidak mengijinkan, kita lari.”
Guo Jing tidak bisa menahan diri lebih lama lagi, ia melompat dan berdiri. “Hanya dua orang, aku dan ibuku yang akan pergi ke Selatan,” katanya. Mengatakan hal ini, yang seorang duduk, yang lain berdiri, keempat mata mereka saling menatap, keduanya diam seperti patung.
Muka Huazheng tampak bingung dan putus asa, ia tidak mengerti apa yang dikatakan Guo Jing. “Meizi,” kata Guo Jing memecah keheningan. “Maafkan aku! Aku tidak bisa menikahimu.”
“Kenapa? Apa salahku? Kau menyalahkan aku karena tidak bunuh diri ya?” kata Huazheng bingung.
Guo Jing hampir berteriak. ”Bukan! Bukan! Ini bukan salahmu. Aku tidak tahu ini salah siapa. Aku sudah memikirkannya kesana-kemari, dan kalau aku harus menyalahkan seseorang, maka itu seharusnya salahku.”
Dari situ ia mulai memberitahu Huazheng segala sesuatu tentang Huang Rong. Ketika sampai di bagian bagaimana Huang Rong saat ini ditangkap Ouyang Feng, dan bahwa ia telah mencari kesana-kemari selama setengah tahun tanpa menemukan jejaknya, Huazheng bisa merasakan semangat di dalam suaranya, ia tidak bisa menahan air matanya.
Akhirnya Guo Jing berkata, “Meizi, maafkan aku, aku harus pergi dan mencarinya.”
“Setelah kau menemukan dia, apakah kau akan pulang untuk menemui aku?” tanya Huazheng.
“Kalau dia aman dan baik-baik saja, aku pasti akan pulang ke Utara,” kata Guo Jing berjanji. “Pada saat itu, kalau kau tidak menutup pintu untukku dan masih menginginkan aku, aku akan menikahimu. Aku pasti tidak akan menyesalinya.”
Huazheng pelan-pelan berkata, “Kau tidak usah mengatakan hal itu. Kau tahu aku akan selalu ingin kau menikahiku. Pergi dan temukan dia, entah itu sepuluh tahun, dua puluh tahun, selama aku masih hidup, aku akan menunggumu di padang rumput ini.”
Guo Jing bersemangat. “Ya,” serunya. “Sepuluh tahun, dua puluh tahun, aku akan mencarinya. Sepuluh tahun, dua puluh tahun, aku juga akan ingat kau menungguku dipadang rumput ini.”
Huazheng bangkit dan melemparkan dirinya ke dada Guo Jing, meratap tak terkendali. Guo Jing memeluknya dengan lembut, matanya memerah. Keduanya saling berpelukan tanpa bicara. Semuanya sudah sejauh ini, mereka tahu jika mereka mengatakan sesuatu lagi, maka mereka hanya akan saling melukai.
Setelah lama, mereka melihat empat orang berkuda datang buru-buru dari arah barat. Mereka lewat di samping Guo Jing dan Huazheng, langsung menuju ke Tenda Emas. Mereka masih sekitar puluhan zhang dari Tenda Emas ketika salah satu kuda terjatuh dan tidak mampu bangkit lagi. Jelas sekali kuda itu kelelahan, ia terjungkal dan mati seketika. Penunggang kuda itu bangkit dan tanpa melirik sedikit pun ke arah kudanya yang mati, ia bergegas masuk dengan liar ke Tenda Emas.
Tak lama kemudian sepuluh orang dengan terompet di tangan bergegas keluar dari Tenda Emas. Mereka menghadap ke empat penjuru dan meniup terompet keras-keras.
Guo Jing tahu itu panggilan darurat dari Genghis Khan, entah anaknya sendiri atau salah satu jendral kesayangannya, kalau ada yang tidak muncul pada saat Khan Agung menekuk sepuluh jarinya, ia akan segera dipenggal, tanpa ditanya lagi.
“Khan Agung memanggil!” seru Guo Jing. Tanpa mengatakan apa-apa kepada Huazheng ia menggunakan ilmu meringankan tubuhnya untuk terbang ke arah Tenda Emas. Ia mendengar derap kaki kuda datang buru-buru dari semua arah.
Ketika Guo Jing tiba di tenda, Genghis Khan baru menekuk tiga jari, dan ketika ia menekuk delapan jari semua pangeran dan jendral senior telah berkumpul. Suara Genghis Khan menderu, “Apakah raja anjing Muhammad itu punya pangeran yang lebih cepat? Apa dia punya jendral yang lebih gagah?”
“Tidak!” sidang itu menjawab dalam satu suara.
Genghis Khan memukul dadanya dan berseru, “Lihat! Ini utusan khususku ke Khwarezmia6, coba lihat bagaimana raja anjing itu, Muhammad, memperlakukan anak buahku yang setia?” Setiap pasang mata mengikuti jari Genghis Khan. Mereka melihat beberapa orang Mongolia dengan muka lebam biru dan hitam, jenggot mereka terbakar habis. Kumis, jenggot dan cambang adalah simbol martabat seorang pejuang Mongolia. Akan dianggap sebagai penghinaan besar hanya dengan menyengggolnya, dapat dibayangkan seberapa besar penghinaan itu kalau sampai terbakar habis? Begitu para anggota majelis melihatnya, mereka pun meledak dalam teriakan murka.
Genghis Khan berkata, “Khwarezmia adalah negara besar dengan pasukan yang kuat, tapi apakah kita takut kepada mereka? Karena kita sedang berkonsentrasi memerangi Jin, maka kita terus bersabar terhadap mereka. Jochi, anakku, coba katakan kepada semua orang bagaimana seharusnya kita menghadapi raja anjing Muhammad itu.”
Jochi melangkah maju dan berkata dengan lantang, “Tahun itu ayah mengirim anakmu ini untuk menyerang orang-orang Merkit yang pantas mati. Anakmu pulang membawa kemenangan. Raja anjing Muhammad itu juga mengirim pasukan besar untuk menyerang Merkit. Dua pasukan bertemu. Anakmu mengirim utusan dengan niat baik, menyatakan bahwa ayah dengan tulus berharap untuk bersahabat dengan Khwarezmia. Raja anjing berjenggot merah itu sungguh berkata, ‘Genghis Khan tidak menyuruhmu untuk menyerangku, tetapi Allah mengirimku untuk menyerangmu.’ Sebagai akibatnya kami terlibat pertempurang sengit. Kami sudah unggul, tetapi karena musuh jumlahnya sepuluh kali lipat jumlah kami, maka kami menarik mundur pasukan secara diam-diam di tengah malam.”
Boroul tiba-tiba berkata, “Untuk semua itu, Khan Agung masih menunjukkan rasa hormat kepada raja anjing ini. Kami mengirim khafilah dagang, tetapi muatannya dirampok oleh raja anjing itu, sementara para pedagang kami dibunuh. Kali ini kami mengirim duta dengan niat baik, tapi raja anjing itu mendengarkan hasutan pangeran anjing Jin, Wanyan Honglie, dan membunuh setengah dari para kurir Khan Agung, sementara setengahnya lagi dibakar jenggotnya dan dikirim pulang.”
Mendengar nama Wanyan Honglie, hati Guo Jing berubah menjadi dingin. “Apa Wanyan Honglie ada di Khwarezmia?” tanyanya.
Salah satu kurir itu menjawab, “Aku mengenalinya. Dia duduk di sebelah raja anjing itu, terus-terusan bicara dengan raja anjing itu.”
Genghis Khan berseru, “Anjing Jin bekerja sama dengan Khwarezmia, mereka ingin menekan kita dari dua sisi, apakah kita takut?”
Majelis itu menjawab dengan satu suara, “Khan Agung kita tak tertandingi di dunia. Kau menyuruh kami menyerang Khwarezmia, kami akan menghancurkan kota-kotanya, membakar habis gedung-gedungnya, membunuh semua laki-laki, menangkap para wanita dan ternak-ternaknya!”
Genghis Khan berseru, “Kita harus menangkap Muhammad! Kita harus menangkap Wanyan Honglie!” Majelis itu menjawab teriakannya dengan gemuruh sorak-sorai, hingga lilin-lilin di dalam tenda bergoyang. Genghis Khan menghunus goloknya dan mengayunkannya di hadapannya. Ia bergegas keluar tenda, melompat ke atas kudanya. Majelis itu mengikutinya keluar dan menaiki kuda mereka.
Genghis Khan menunggang kuda beberapa li memasuki padang rumput hingga ia tiba di sebuah bukit kecil. Majelis itu tahu ia ingin ditinggalkan sendirian untuk berpikir, maka mereka tidak mengikutinya naik ke atas bukit, tapi membentuk lingkaran mengelilingi bukit itu. Genghis Khan melihat Guo Jing sedang berdiri tidak jauh dari tempatnya, ia memanggil, “Nak, kemarilah.” Guo Jing melarikan kudanya menaiki bukit.
Genghis Khan menyapukan pandangannya ke padang rumput, di mana cahaya dari kemah pasukannya berkedip seperti bintang-bintang di langit, tersebar di seluruh padang rumput nan luas. Ia mengangkat cambuknya dan berkata, “Nak, hari itu ketika kita dikepung oleh Senggum dan Jamukha di pegunungan, aku mengatakan sesuatu kepadamu. Kau masih ingat apa yang kukatakan?”
“Aku ingat,” jawab Guo Jing. “Khan Agung bilang kita orang-orang Mongolia punya banyak orang gagah. Selama kita tidak saling berperang dan bekerja sama, kita akan bisa menyebut dunia adalah peternakan kita.”
‘Tar!’ Genghis Khan melecut cambuk kudanya ke udara, ia berseru, “Benar! Sekarang orang-orang Mongolia sudah bekerja sama, mari kita pergi dan menangkap Wanyan Honglie.”
Guo Jing telah memutuskan untuk kembali ke Selatan bersama ibunya besok, tiba-tiba urusan ini mencuat, bagaimana ia bisa melupakan balas dendam bagi ayahnya? Terlebih lagi, ia dan ibunya telah menerima kemurahan hati Khan. Sekarang kesempatan untuk membalas hutang budi itu ternyata mendatangi dirinya, maka ia pun berseru, “Kali ini kita pasti akan menangkap bajingan Wanyan Honglie itu.”
“Ada desas-desus bahwa pasukan Khwarezmia berjumlah satu juta orang, tapi aku memperkirakan jumlah mereka hanya mendekati enam-tujuh ratus ribu orang,” kata Genghis Khan. “Jumlah kita dua ratus ribu orang, tapi kita harus menyisihkan beberapa ribu orang untuk melawan anjing-anjing Jin. Seratus lima puluh ribu orang melawan tujur ratus ribu orang, menurutmu bagaimana? Kita akan menang?”
Guo Jing sama sekali tidak mengerti strategi perang, tetapi ia bukan seorang pengecut. Mendengar pertanyaan Khan Agung ia dengan berani menjawab, “Kita akan menang!”
“Tentu saja kita akan menang,” kata Genghis Khan. “Hari itu aku bilang akan memperlakukanmu sebagai putraku sendiri. Sekali Temujin mengatakan sesuatu, dia tidak akan melupakannya. Kau ikut denganku dalam ekspedisi ke Barat, begitu kita berhasil menangkap Muhammad dan Wanyan Honglie, kita akan pulang dan melaksanakan perkawinanmu dengan putriku.” Ini tepat seperti apa yang diharapkannya, maka Guo Jing segera setuju.
Genghis Khan menaiki kudanya menuruni bukit. “Panggil para prajurit!” Ia memberikan perintahnya. Dengan segera para pengawal pribadinya membunyikan terompet sementara Genghis Khan dengan kecepatan tinggi kembali ke kemahnya.
Sepanjang jalan terlihat orang-orang bergerak seperti bayangan, dan kuda-kuda hilir-mudik kian kemari tetapi tak terdengar mereka bersuara, sebuah pertanda pasukan yang sangat disiplin. Bahkan sebelum Khan tiba di Tenda Emas, tiga puluh ribu prajuritnya telah berbaris rapi di padang rumput. Terang bulan menyinari deretan tombak dan golok, membuat padang rumput itu gemerlap dengan kilau keperakan.
Genghis Khan memasuki Tenda Emas dan memanggil juru tulisnya, memberinya tugas menulis sebuah deklarasi perang. Sekretaris itu segera menyusun sebuah sura panjang di atas selembar kertas, lalu ia berlutut di hadapan Khan Agung untuk membacakan suratnya: “Surga telah menunjukku sebagai Khan Agung bagi banyak negara, meluaskan wilayahku sejauh puluhan ribu li, membantuku menaklukkan negara-negara yang tak terhitung banyaknya. Sejak jaman kuno tak ada orang yang bisa disebut sebagai tandinganku. Sekali petirku menyambar, bagaimana caramu bertahan? Keberadaan negaramu sampai hari ini tergantung tiga hal. Kecuali kau mengirim upeti, pasukan Mongolia akan…”
Makin lama Genghis Khan mendengar, ia makin marah. Ia menendang sekretaris berjenggot putih itu sampai jungkir balik dan memakinya, “Kau menulis kepada siapa? Kenapa Genghis Khan harus memakai kata-kata semanis itu untuk seorang raja anjing?” Mengangkat cambuk kudanya, ia melecut muka sekretaris itu beberapa kali, dan kemudian berkata, “Dengarkan aku, tulis apa yang kukatakan.”
Sekretaris itu merangkak bangkit, ia mengambil lembaran baru dan berlutut di lantai, menatap dengan penuh perhatian ke bibir Genghis Khan.
Genghis Khan berjalan ke pintu masuk tenda dan membuka tirai, memandang ke arah tiga puluh ribu kavalerinya yang tangguh. Dngan suara rendah dan tenang ia berkata, “Tulis seperti ini, hanya enam karakter.” Ia berhenti sejenak, lalu berseru, “Kau ingin perang, maka jadilah perang!”7
Sekretaris itu terkejut, berpikir bahwa surat resmi seperti ini adalah skandal yang sangat tidak biasa, tapi mukanya masih serasa terbakar oleh cambuk, bagaimana ia berani menyatakan keberatan? Ia segera menulis keenam karakter itu dengan huruf besar.
“Bubuhkan stempel emasku di atasnya dan kirimkan segera dengan kuda tercepat,” perintah Genghis Khan. Muqali membubuhkan stempel pada surat itu dan mengutus seorang Pemimpin Seribu Prajurit dengan pasukannya untuk mengirimkan surat itu.
Semua anggota majelis diberitahu tentang isi surat Khan Agung, yang hanya berisi enam karakter, semangat mereka bangkit. Mereka mendengar derap kaki kuda para kurir secara berangsur-angsur menghilang ke dalam padang rumput, tiba-tiba seolah dengan kesepakatan sebelumnya mereka berteriak dalam satu suara, “Kau ingin perang, maka jadilah perang!” Sementara di luar, tiga pulluh ribu prajurit bersorak, “He hu! He hu!” Itu pekikan perang kavaleri Mongolia. Ketika kuda-kuda mereka mendengar majikan mereka berteriak, mereka meringkik keras sambil mengangkat kaki depan. Suara di padang rumput malam itu memekakkan telinga, seolah mereka berada di medan perang yang sebenarnya.
Genghis Khan membubarkan pasukannya, lalu ia duduk sendirian di dalam Tenda Emas, larut dalam pikiran. Kursi yang didudukinya adalah rampasan dari bangsa Jin. Seekor naga merebut sebutir mutiara raksasa terukir di bagian punggungnya, sementara sepasang kepala harimau ganas terukir di kedua sandaran tangannya. Itu adalah singgasana milik Kaisar Jin.
Genghis Khan mengenang masa mudanya, yang penuh dengan sengsara dan masa-masa sulit. Ia teringat ibunya, istrinya, keempat putranya dan seorang putri kesayangannya. Ia juga teringat para selirnya, pasukannya yang jaya, wilayah kekuasaannya yang luas dan tak terbatas. Akhirnya ia berpikir tentang peperangan yang akan datang melawan lawan tangguh.
Meskipun ia mulai tua tetapi pendengarannya masih setajam ketika ia masih muda. Ia mendengar ringkikan kuda perang di kejauhan, kemudian ringkikan itu berhenti mendadak. Ia mengerti bahwa itu adalah kuda tua yang menderita sakit ttak tersembuhkan. Majikannya tidak tahan melihatnya menderita, maka tampaknya ia telah membunuh kudanya. Tiba-tiba ia teringat, “Aku juga semakin tua, kali ini aku akan berperang, apakah aku akan pulang dalam keadaan hidup? Kalau aku kehilangan nyawaku di medan perang, keempat putraku akan berperang memperebutkan posisi Khan Agung. Itu sudah pasti akan jadi peperangan sengit. Aih, aku sungguh berharap bisa hidup selamanya dan tidak usah menghadapi kematian.”
Meskipun seseorang adalah pejuang tak terkalahkan, tak kenal takut, sekali kekuatannya berangsur-angsur menghilang, otaknya tanpa sadar akan memikirkan tentang ‘maut’. Ia mau tak mau merasa sedih, hatinya gemetar oleh rasa takut.
“Kudengar di Selatan ada sekelompok orang yang disebut ‘Pendeta Tao’, yang bisa mengajar orang bagaimana menjadi dewa, yang tak akan pernah tua dan tak akan melihat maut. Entah hal ini benar atau tidak?” pikirnya. Menepuk tangannya dua kali ia memanggil seorang pengawal supaya memanggil Guo Jing ke dalam tenda.
Segera setelah Guo Jing datang, Genghis Khan menanyakan urusan itu. “Aku tidak tahu tentang menjadi dewa, tapi memang sungguh ada orang yang bisa mengajarmu untuk bermeditasi, melatih pernafasan, mengedarkan tenaga ke seluruh tubuh, dan akahirnya hal itu akan memperpanjang usia.” jawab Guo Jing.
Genghis Khan senang sekali. “Kau kenal orang seperti itu? Cepat pergi dan panggil dia menemuiku,” katanya.
“Orang-orang semacam ini tidak akan datang dengan undangan biasa,” jawab Guo Jing.
“Betul,” kata Genghis Khan. “Aku akan mengirim pejabat penting untuk mengundangnya ke Utara. Coba katakan, siapa yang harus kuundang?”
Guo Jing berpikir, “Di antara aliran Tao ortodoks, Quanzhen adalah yang terbaik. Di antara Enam Pendekar Quanzhen, kungfu Qiu Daozhang adalah yang paling tinggi, dia juga yang paling bersahabat, mungkin dia bersedia datang.” Karena itu ia menyebutkan nama Changchun Zi, Qiu Chuji.
Genghis Khan kegirangan, ia segera memanggil sekretarisnya, memberitahukan niatnya dan menyuruhnya menulis sebuah surat resmi.
Sekretaris itu punya pengalaman pahit sebelumnya hari itu, ia berpikir lama, lalu akhirnya menulis, “Aku ingin membicarakan sesuatu, harap segera datang.”[^surat-2] Ia mengikuti gaya penulisan surat Khan Agung sebelumnya, juga hanya memakai enam karakter. Ia merasa pasti kali ini Khan Agung akan senang membaca hasil karyanya. Di luar dugaan begitu mendengar isi surat itu, ia marah, dan sekali lagi ia melecut muka sekretaris itu.
“Aku bilang begitu kepada si raja anjing, tapi mana bisa aku memperlakukan seorang Pendeta Tao yang terhormat dengan cara yang sama?” omel Genghis Khan. “Kau harus menulis surat yang panjang, yang bernada rendah hati dan hormat.”
Si sekretaris berlutut di lantai dan mulai menyusun surat resmi itu:
Surga membenci kesombongan di Zhong Yuan, aku memerintah di padang gurun Utara tetapi
aku juga punya perasaan yang sama. Aku mengharapkan karakter yang sederhana dan murni,
menghindari pemborosan dan merangkul kesederhanaan. Setiap pakaian setiap makanan,
bersama ternak-ternak di kandang menikmati pemeliharaan Surga. Menyapa rakyat seperti
bayi yang baru lahir, membesarkan para prajurit seperti saudara, mencari keharmonisan
dengan unsur-unsur yang ada di bumi dan makhluk hidup.
Melatih puluhan ribu tentara, mengirim ekspedisi militer dengan aku memimpin di depan,
dalam tujuh tahun aku menyelesaikan pekerjaan besar, menyatukan enam unsur dalam
harmoni. Bukan dengan kebajikanku sendiri, tetapi akibat kurangnya kesabaran pemerintahan
bangsa Jin dan Surga telah menganugerahkan restunya dan memberiku kehormatan.
Di Selatan aku bersekutu dengan keluarga Zhao dari Dinasti Song, di Utara membasmi
Huo Ge, di Timur Xia dan di Barat Yi. Semuanya mengakui kedaulatan Genghis Khan,
tak tertandingi sejak berdirinya Mongolia Agung selama ribuan tahun dan ratusan
generasi. Tetapi tanggung jawabku berat, aku kekurangan sesuatu untuk memelihara perdamaian.
Seperti menandai sisi perahu tempat pedang jatuh ke danau, berpikir bahwa airnya tidak akan
mengalir. Aku membutuhkan seorang yang layak untuk membantuku mencapai kedamaian di bawah langit.
Aku naik tahta dengan pikiran yang giat untuk membangun bangsa yang lebih baik, namun tiga dari
sembilan posisi tidak terisi dengan baik.
Aku mencari Guru Qiu untuk mencari bimbingan, mengatur alam, merawat pikiran yang lelah.
Menerapkan kebajikan Tao yang kuat, menghargai perilaku orang-orang terhormat di masa lalu,
merangkul perbuatan anggun orang-orang bijak, hidup di atas tebing dan lembah untuk menjalani
kehidupan yang tak terlihat. Para leluhur yang tercerahkan telah meninggalkan sebuah pesan:
Mengabdi di jalan para pejuang.
Pepatah kuno menunjukkan jalan menuju hidup abadi, masig-masing layak dipuji. Bahkan setelah
mengangkat senjata, aku menyadari bahwa Guru masih memiliki rahasia jalan kuno yang kuhargai
sebagai milikku sendiri.
Sekretaris itu menulis sampai di sini, ia mengangkat kepalanya dan bertanya, “Sudah cukup panjang?”
Genghis Khan tersenyum dan berkata, “Sungguh surat yang baik. Cukup. Tulis bahwa aku mengirim seorang Han berpangkat tinggi, Liu Zhonglu dengan salamku untuk mengundangnya datang.”
Sekretaris itu melanjutkan:
Jika bukan karena pertempuran, bagaimana seseorang bisa menyadari bahwa dia membutuhkan bantuan
seorang ahli yang hidup menyepi, bahwa dia mengunjungi gubuk jerami tiga kali? Gunung dan sungai
sangat luas, namun tidak memberikan sambutan yang terhormat.
Sudah waktunya bagiku untuk meninggalkan posisiku. Aku berpuasa dan membersihkan tubuhku,
dan aku mengirim petugasku Liu Zhonglu, mengendarai kereta biasa, menanggung perjalanan seribu li,
demi mengundang Guru supaya dengan hormat sudi meluangkan waktu sejenak dari perjalananmu menapaki
jalan abadi, untuk menantang gurun yang sunyi di tanah yang jauh, untuk mengurus urusan rakyat jelata,
dan mungkin untuk memberi kelegaan kepada yang lelah.
Aku rindu untuk pergi ke tempat yang abadi dan berharap agar Guru tidak meludahi keinginanku.
Aku akan senang mendengar dengan jelas satu kata pendukung, sangat berharap Guru sudi mengambil
jalan yang lebih tinggi untuk berteman denganku dan tidak mengecewakan harapan semua makhluk hidup.
Dengan ini surat kekaisaran berakhir. Untuk dibaca oleh penerima yang tepat.
Cerita tentang Liu bei yang mengunjungi Zhuge Liang sampai tiga kali sebelum akhirnya Zhuge Liang sepakat untuk membantunya telah memberikan inspirasi bagi sekretaris itu untuk menulis.
Genghis Khan berkata, “Bagus, biarkan seperti itu.” Ia memberi hadiah lima liang emas bagi sekretaris itu. Ia juga meminta Guo Jing untuk menulis sebuah surat undangan pribadi, untuk dengan sungguh-sungguh meminta Qiu Chuji datang. Pada hari yang sama ia mengirim Liu Zhonglu bersama dengan surat kekaisarannya ke Selatan.8
Hari berikutnya Genghis Khan menggelar Sidang Umum Majelis yang terdiri dari para pejabat tingginya untuk membicarakan ekspedisi ke Barat, menganugerahkan pangkat Noyon kepada Guo Jing, menempatkannya dalam komando bagi sepuluh ribu prajurit. Noyon adalah pangkat tertinggi dalam jajaran pejabat Mongolia, sewajarnya hanya diberikan kepada para kerabat dekat Khan Agung sendiri atau seorang jendral senior. Pada saat itu kungfu Guo Jing telah berkembang sangat pesat, tetapi pengetahuannya tentang strategi militer mendekati nol. Ia tak punya jalan lain kecuali datang kepada Jebe, Subutai dan para jendral senior lainnya, meminta nasihat. Tetapi ia lamban dan taktik militer punya variasi yang tak terhingga, mana mungkin ia mempelajarinya dalam waktu sesingkat itu?
Ia melihat para jendral lain sedang sibuk mempersiapkan pasukan mereka, mengumpulkan perbekalan dan memilih kuda dan persenjataan. Semua orang sangat sibuk. Seratus lima puluh ribu kavaleri berangkat dalam sebuah ekspedisi ke Barat, melewati padang gurun yang dingin dan tandus, persiapan itu sudah pasti bukan masalah kecil. Ia tak punya petunjuk mengenai apa yang harus dilakukannya, karena itu ia hanya menugaskan sepuluh orang Pemimpin Seribu Orang di bawah komandonya untuk secara terpisah menangani persiapan itu. Jebe dan Tolui seringkali memberinya nasihat untuk membantunya.
SEkitar sebulan kemudian ia masih merasa persiapannya tidak cukup. Ia menyadari adalah di luar kemampuannya untuk memimpin pasukan. Untuk menyerang pasukan tangguh yang terdiri dari satu juta orang menggunakan Delapan Belas Jurus Penakluk Naga atau bahkan kungfu dari Jiu Yin Zhen Jing tentu saja tidak mungkin. Kalau ia sampai memberikan perintah yang salah, meskipun hanya sekali, maka ia akan dikalahkan musuh. Tak hanya reputasi Genghis Khan akan rusak, tetapi juga nyawa sepuluh ribu orang akan dipertaruhkan.
Hari itu ia dengan serius berpikir untuk menemui Khan Agung dan mengundurkan diri dari posisinya. Ia bersedia menjadi prajurit berpangkat rendah di bawah komando orang lain, menghadapi musuh sebagai seorang individu, ketika tiba-tiba wakil komandannya datang untuk melaporkan bahwa lebih dari seribu orang Han sedang menunggunya di luar, mereka ingin bertatap muka.
Guo Jing kegirangan, ia berpikir, “Qiu Daozhang tiba secepat ini?” Buru-buru ia keluar tenda untuk menyambut tamu. Tapi yang mengejutkannya adalah, ia melihat di padang rumput itu berdiri sekelompok orang berdandan sebagai pengemis. Tiga orang bergegas maju dan membungkuk untuk menyapanya. Ternyata mereka adalah para penatua Kai Pang, Lu Youjiao, Jian dan Liang Zhanglao.
“Kalian sudah mendengar sesuatu mengenai Nona Huang?” tanya Guo Jing dengan cemas.
“Xiao Ren menunggu kabar dengan cemas, tapi keberadaan Bangzhu masih tidak diketahui. Kami mendengar Gongzi sedang memimpin tentara dalam ekspedisi ke Barat. Kami datang untuk menawarkan bantuan.” jawab Lu Youjiao.
Guo Jing sangat terkejut. “bagaimana kalian bisa tahu?”
“Khan Agung mengirim seorang utusa untuk mengundang Qiu Chuji, Pendeta Qiu. kami mendengar semuanya dari orang-orang Quanzhen,” jawan Lu Youjiao.
Guo Jing terdiam lama, menatap kosong ke arah awan di cakrawala Selatan, ia berpikir, “Kai Pang punya mata dan telinga di seluruh dunia, tapi mereka tidak tahu di mana Rong’er berada. Aku kuatir, dia lebih mungkin sedang dalam bahaya, dan bukan baik-baik saja.” Memikirkan Huang Rong matanya tanpa sadar memerah. Ia menugaskan wakil komandannya untuk membantu para pendatang baru itu untuk beristirahat, sementara ia sendiri pergi untuk melapor kepada Khan Agung.
“Bagus,” kata genghis Khan. “Tempatkan mereka dalam komandomu.”
Ketika Guo Jing mengutarakan maksudnya untuk mengundurkan diri, Genghis Khan marah, Siapa yang bisa berperang sejak mereka dilahirkan? Tidak ada. Setelah terlibat pertempuran beberapa kali kau akan belajar. Kau tumbuh bersamaku, kau takut apa? Bagaimana mungkin menantu Genghis Khan tidak pergi berperang?”
Guo Jing tidak berani mengatakan apa-apa lagi. Ia kembali ke tendanya dengan muka cemas. Lu Youjiao menanyakan masalah yang membebaninya, dan kemudian berusaha untuk menghibur. ketika menjelang senja Lu Youjiao datang ke tendanya dan berkata, “Kalau tahu akan seperti ini, Xiaoren akan membawa Kitab Seni Perang Sun Tzu, atau Kumpulan Strategi Militer Tai Gong dari Selatan, dan semuanya akan beres.”
Tiba-tiba Guo Jing teringat bahwa ia masih punya buku warisan Wumu. Itu adalah buku strategi militer, kenapa ia bisa melupakan hal ini? Dengan segera ia mengambil buku itu dari perbekalannya, dan kemudian membacanya di bawah lentera sepanjang malam hingga keesokan harinya, ia berhenti hanya karena merasa lelah.
Buku ini berisi segala macam strategi militer, mulai dari teknik pengintaian, merencanakan serangan, strategi pertahanan, latihan militer, mengelola pejabat, penempatan pasukan, operasi lapangan, berikut ikhtisar situasi aan dan berbahaya dan teknik untuk melarikan diri. Semuanya dijjabarkan dengan gamblang.
Hari itu Guo Jing telah menelusuri semuanya di atas perahu di Yuanjiang, tetapi ia tidak memberikan terlalu banyak perhatian. Kali ini ia embutuhkan panduan militer, jadi ia membaca sampai ia mendapatkan pemahaman yang baik mengenai apa yang ditulis di situ. Ketika ia tidak memahami salah satu bagian dari buku itu, ia akan mengundang Lu Youjiao untuk bertanya. Lu Youjiao akan menjawab, “Saat ini Xiaoren tidak memahaminya, biar kupikirkan dulu.” Ia akan meninggalkan tenda Guo Jing hanya beberapa saat, lalu kembali dengan penjelasan terperinci. Guo Jing senang sekali, dan akan menanyakan beberapa pertanyaan lagi. Anehnya, Lu Youjiao akan selalu tidak bisa segera menjawab, ia selalu meminta waktu untuk berpikir, tapi kemudian akan selalu muncul dengan jawaban tak peduli sesulit apapun masalahnya. Awalnya Guo Jing tidak memperhatikan, tapi setelah beberapa kali terjadi pengulangan proses tanya-jawab itu, mau tak mau ia jadi curiga.
Suatu sore Guo Jing memilih salah satu karakter dalam buku, dan menanyakan apa maknanya. Lu Youjiao berkata bahwa ia merasa tidak pasti mengenai karakter itu, maka ia perlu waktu untuk memikirkannya, lalu ia keluar tenda. Guo Jing berpikir, “Buku ini memang sulit, boleh saja kalau kau perlu waktu untuk berpikir. Tapi ini hanya satu karakter, mana mungkin kau tidak tahu apa maknanya?”
Meskipun memegang posisi jendral, tetapi Guo Jing masih sangat muda dan ia masih punya sifat kekanak-kanakan. Begitu Lu Youjiao keluar dari tendanya, ia segera membuntutinya. Ia menyembunyikan diri di antara rerumputan yang tinggi karena ingin tahu rahasia Lu Youjiao. Ia melihat Lu Youjiao memasuki tenda kecil, dalam waktu sangat singkat ia keluar lagi. Guo Jing buru-buru kembali ke tendanya. lu Youjiao masuk dan berkata, “Xiaoren sudah memikirkannya.” lalu ia menjelaskan cara menyebutkan karakter itu dengan benar beserta maknanya.
Guo Jing tersenyum. “Lu Zhanglao, kau punya seorang guru yang ahli. Kenapa kau tidak mengundangnya menemui aku?”
Lu Youjiao terkejut. “Aku tidak punya,” katanya.
Guo Jing mencekal tangannya dan tersenyum. “Kita akan keluar dan menemuinya.” Ia menarik tangannya dan keluar tenda, berjalan ke arah tenda kecil yang tadi dilihatnya.
Di luar tenda kecil itu dua orang pengemis sedang bertugas menjaga tenda. Begitu melihat Guo Jing mereka batuk-batuk ringan. Guo Jing memperhatikan batuk itu, ia melepaskan tangan Lu Youjiao dan bergegas masuk ke dalam tenda. Segera setelah ia membuka penutup tenda, ia melihat bagian belakang tenda berkibar sedikit. Sudah jelas seseorang baru saja keluar dari situ. Guo Jing bergegas keluar dan mengangkat tenda, tapi ia hanya melihat rerumputan tinggi, tak satu bayangan manusia pun terlihat. Ia bingung, diam sejenak.
Guo Jing berbalik dan menatap Lu Youjiao, tapi Lu Youjiao mengatakan bahwa tenda itu miliknya, tak ada orang lain tinggal di situ.
Guo Jing tidak menyerah, ia terus menghiujani Lu Youjiao dengan sejumlah pertanyaan sulit dari buku Warisan Wumu, tetapi mulai saat itu Lu Youjiao akan menunggu sampai hari berikutnya sebelum bisa menjawab pertanyaannya.
Guo Jing tahu orang di dalam tenda itu tidak punya niat buruk, hanya tidak ingin menemuinya. Guo Jing menyimpulkan bahwa orang itu pastilah seorang ahli di Jianghu, dan akan sulit berurusan dengan orang semacam itu, jadi untuk sementara ia meletakkan persoalan ini.
Ia mempelajari buku itu di malam hari, lalu melatih para prajuritnya sepanjang hari sesuai dengan metode yang dipelajarinya dari buku. Kavaleri Mongolia sudah terbiasa bertarung dalam perang terbuka, sekarang mereka harus latihan formasi perang. Mereka mengalami saat-saat sulit. Tapi perintah adalah perintah, mereka tidak berani membantah, jadi mereka tak punya pilihan selain berlatih keras.
Sebulan berlalu. Pasukan Genghis Khan dan logistiknya telah siap. Guo Jing berhasil melatih sepuluh ribu tentaranya dalam delapan formasi perang: Tian Fu, Di Zai, Feng Yang, Yun Chui, Long Fei, Hu Yi, Niao Xiang, dan She Pan9, yang mereka kuasai sepenuhnya.
Delapan formasi ini aslinya adalah hasil karya Zhuge Liang berdasarkan metode kuno. Ketika sampai di tangan Yue Fei, ia menambahkan beberapa perubahan dan variasi. Ketika Yue Fei masih muda, ia pergi berperang di bawah komando Zong Ze, yang berkata, “Keberanian, kebijaksanaan dan keterampilanmu melebihi mereka-mereka dari jaman kuno. Tetapi dalam perang yang sesungguhnya kita tidak bisa menduga apapun.” Ia merujuk pada metode penempatan pasukan. Yue Fei menjawab, “Dalam perang yang sesungguhnya, seni perang tidak berubah. Siapapun yang berhasil menggunakan keajaibannya akan menyelamatkan hati dan pikiran mereka sendiri.” Zong Ze mau tak mau menyetujui apa yang dikatakannya. Di kemudian hari Yue Fei memimpin pergerakan lebih banyak pasukan lain. Ia sadar bahwa ia tidak bisa selalu mengikuti metode tertentu, meskipun demikian ia masih tetap melatih para pejabat dan prajuritnya sesuai dengan metode-metode itu. Hanya dalam pertempuran yang sesungguhnya ia mengeksekusi rencana secara dinamis, dengan cara itu ia mengalahkan sejumlah besar musuh. Proses tersebut juga dicatat dalam buku Warisan Wumu.
Suatu hari cuaca cerah dan udaranya begitu segar, langit terentang sejauh sepuluh ribu mil, sebiru pakaian yang baru keluar dari tempat pencucian. Seratus lima puluh ribu kavaleri Mongolia teratur dalam barisan di padang rumput. Genghis Khan mempersembahkan kurban kepada langit dan bumi, mengucapkan ikrar sebelum berangkat berperang. Kepada para jendralnya ia berkata, “Batu tak punya kulit, tapi hidup manusia ada batasnya. Rambut dan jenggotku semuanya telah memutih. Kali ini aku berangkat berperang, tidak tahu apakah aku akan pulang dalam keadaan hidup. Selirku telah mengingatkanku semalam, dan kukira dia benar. Aku harus menetapkan salah seorang putraku hari ini, untuk mengangkat tinggi panji-panjiku setelah aku pergi.”
Para jendral telah mengalami ratusan peperangan, mengikuti Genghis Khan menyerang ke segala penjuru angin. Rambutnya telah memutih. Tiba-tiba mendengar Khan Agung hendak menunjuk ahli warisnya, mereka semua terkejut dan sekaligus gembira. Semua mata memandang wajahnya, menunggunya mengatakan siapa nama penerusnya.
Genghis Khan berkata, “Jochi, kau adalah putra tertuaku, coba katakan, siapa yang harus kutunjuk?” Jantung Jochi berdegub kencang. Ia sangat layak, ia juga telah menyumbangkan paling banyak jasa, selain itu, ia adalah putra tertua. Ia selalu berpikir bahwa ketika ayahnya meninggal, sewajarnya posisi itu akan jatuh ke tangannya. Sekarang Khan Agung tiba-tiba bertanya, ia tidak tahu bagaimana harus menjawab.
Putra kedua Genghis Khan, Chagatai, tanpak seperti api yang mengamuk. Ia tidak dalam hubungan yang harmonis dengan kakaknya. Mendengar ayahnya bertanya kepada kakaknya, ia membuka mulut, “Dia ingin supaya Jochi bicara, perintah apa yang akan diterimanya? Mana mungkin kita membiarkan anak haram Merkit ini memimpin kita?”
Sebenarnya ketika Genghis Khan masih muda, pasukannya lemah. Sebagai akibatnya istrinya tertangkap oleh musuh, yaitu suku Merkit. Setelah beberapa tahun ditawan, istrinya dibawa pulang, tapi pada saat itu ia telah melahirkan Jochi. Genghis Khan menerima kenyataan tersebut dengan lapang dada, ia menganggap Jochi sebagai putranya sendiri.
Mendengar penghinaan adiknya sendiri, Jochi tidak bisa menahan kesabarannya lagi, ia menerjang maju, mencekal dada Chagatai sambil berteriak, “Ayah tidak pernah menganggapku orang luar, berani amat kau menghinaku? Keterampilan macam apa yang kau miliki, dam tidak kumiliki? Kau tidak lebih dari orang sombong emosional yang menyebalkan. Mari kita keluar dan berduel. Kalau aku sampai kalah dalam memanah, aku akan mematahkan ibu jariku sendiri. Kalau aku sampai kalah dalam seni bela diri, aku akan membanting diriku ke tanah dan tidak akan bangun lagi!” Sambil berpaling kepada Genghis Khan ia berkata, “Ayah, mohon berikan perintah.” Kedua bersaudara itu saling mencengkeram dada saudaranya, siap untuk berduel saat itu dan di situ juga.
Para jendral yang lain maju untuk memisahkan mereka. Borchu menarik tangan Jochi, sementara Muqali memegang tangan Chagatai.
Genghis Khan diam. Ia teringat aib yang dialaminya di masa muda ketika ia bahkan tidak mampu mempertahankan kehormatan istrinya sendiri, yang mengakibatkan keributan pada hari ini. Semua jendral menyalahkan Chagatai karena mengungkit masa lalu dan menyakiti hati kedua orang tuanya.
“Kalian berdua, hentikan!” kata Genghis Khan akhirnya. “Jochi adalah anak sulungku, aku akan selalu mencintainya apapun juga yang terjadi. Aku melarang semua orang untuk membicarakan hal-hal buruk tentang dia.”
Chagatai melepaskan Jochi, ia berkata, “Jochi punya kemampuan, semua orang tahu itu. Tapi kalau bicara soal kemurahan hati dan kebijaksanaan, dia kalah dari adik ketiga, Ogedei. Aku pilih Ogedei.”
“Jochi, bagaimana menurutmu?” tanya Genghis Khan.
Jochi bisa melihat situasi yang kurang menguntungkan. Ia tahu harapannya untuk menjadi Khan Agung telah hancur. Ia selalu punya hubungan baik dengan adik ketiganya. Ia tahu bahwa adik ketiganya baik hati, sudah pasti tidak akan mencelakainya di masa depan. Karena itu ia berkata, “Bagus sekali, aku juga mendukung Ogedei.”
Pangeran keempat, Tolui, tidak menantang nominasi tersebut, Ogedei bermaksud menolak, tetapi Genghis Khan berkata, “Kau tidak perlu menolak. Kemampuanmu di medan tempur kalau dibandingkan kedua kakakmu, tapi kau memperlakukan orang dengan baik. Ketika kau menjadi Khan Agung nanti, para pangeran dan jendral tidak akan saling berperang. Kita orang Mongolia tidak punya musuh selama kita tidak saling berperang sendiri. Apa yang kita cemaskan kalau begitu?”
Hari itu Genghis Khan menggelar pesta besar untuk merayakan Putra Mahkota yang baru ditunjuk. Semua pasukan, dari jendral sampai prajurit, minum-minum hingga larut malam.
Guo Jing pulang ke kemahnya dalam keadaan agak mabuk. Ia baru hendak melepaskan pakaiannya untuk tidur, ketika tiba-tiba salah seorang pejabatnya buru-buru masuk, memberinya laporan, “Fu Ma Ye, celaka! Pangeran pertama dan kedua mabuk. Masing-masing membawa pasukan mereka untuk saling membunuh.”
Guo Jing terperanjat, ia buru-buru berkata, “Beritahu Khan Agung!”
“Khan Agung juga mabuk, kami tidak bisa membangunkannya,” jawab pejabat itu.
Guo Jing tahu Jochi dan Chagatai masing-masing punya pegikut setia, pasukan di bawah komando mereka sangat bengis. Jika mereka saling melukai, maka pasukan Mongolia akan terluka parah. Mereka ribut-ribut di hadapan Genghis Khan sebelumnya, tapi kali ini mereka mabuk. Ia ingin membantu, tapi bagaimana ia bisa melerai? Ia kehilangan akal bagaimana harus bertindak, mobdar-mandir di dalam tenda sambil mengetuk-ngetuk dahinya sendiri, dan berpikir, “Seandainya saja Rong’er ada di sini, dia pasti tahu apa yang seharusnya dilakukan.” Ia mendengar pekikan perang di kejauhan, tampaknya kedua pasukan itu sudah siap saling membunuh.
Guo Jing semakin cemas, tapi tiba-tiba Lu Youjiao masuk dan memberikan sehelai kertas dengan sebuah pesan, “Gunakan She Pan untuk memutuskan kedua pasukan, lalu gunakan Hu Yi untuk menangkap semua yang tidak mau menyerah.” Pada saat itu Guo Jing telah menguasai buku warisan Wumu dari awal hingga akhir. Begitu melihat kedua baris kalimat itu pikirannya tercerahkan. Ia berseru, “Kenapa aku begitu bodoh? Apa gunanya membaca buku strategi militer?” Dengan segera ia memerintahkan pasukannya sendiri untuk bergerak.
Kedisiplinan di dalam pasukan Mongolia sangat ketat, meskipun para pejabat dan prajurit itu dalam keadaan mabuk, tetapi begitu perintah diturunkan, mereka segera mengambil senjata dan naik ke punggung kuda. Dalam waktu singkat mereka telah membentuk barisan perang yang rapi.
Genderang berbunyi tiga kali, terompet ditiup, pasukan di bawah komando Guo Jing mulai bergerak ke arah timur laut. Bberapa li kemudian pengintainya kembali dengan laporan bahwa pasukan pangeran pertama dan kedua telah mulai berperag sendiri. Suara ‘He hu! He hu!’ mereka terdengar dari kejauhan.
Guo Jing gelisah. “Rasanya aku terlambat selangkah, dan tidak bisa mencegah bencana besar ini.” Buru-buru ia melambaikan tangan untuk memberikan perintah. Sepuluh ribu prajuritnya membagi diri. Bagian kanan tiga sumbu Hou Tian melangkah maju, bagian kanan tiga sumbu Hou Di bergerak ke arah ekor. Kanan Hou Tian dan Hou Di maju, bergerak masing-masing ke arah timur laut dan barat laut mereka menduduki posisi kanan. Tim sebelah kiri yang berkaitan melakukan hal yang sama di posisi kiri, sementara panji-panji besar Guo Jing bergerak di tengah, diikuti oleh barisan She Pan yang menerobos ke garis depan.
Jochi dan Chagatai masing-masing membawa dua puluh ribu prajurit mereka, bertempur dengan golok panjang di tangan. Pasukan She Pan di bawah komando Guo Jing tiba-tiba menerjang masuk di antara kedua pasukan itu, masih mempertahankan barisan rapi mereka. Pasukan yang tengah bertempur itu terkejut, mereka berserakan dengan agak kacau.
Suara lantang Chagatai terdengar, “Siapa itu? Siapa itu? Kau datang membantuku atau membantu anak haram Jochi ini?”
Guo Jing mengabaikannya, bendera komandonya berkibar, pasukannya bergerak melingkar, barisan She Pan segera berubah menjadi Hu Yi, empat kelompok yang lebih kecil, bagian kiri dan kanan Qian Tian menduduki garis depan, sisa kelompok itu membungkus pasukan Chagatai dari kedua sisi, di bagian kiri kelompok berkaitan mengepung pasukan Jochi dari sisi lain.
Pada saat itu Chagatai bisa melihat bendera Guo Jing dengan jelas. Dengan marah ia menyumpah-nyumpah, “Aku tahu sejak awal orang barbar dari Selatan bukan orang baik.” Ia memerintahkan pasukannya untuk membunuh pasukan Guo Jing. Tetapi bagian sayap dari Hu Yi itu mengandung variasi samar, masing-masing sangat kuat. Itu adalah formasi yang digunakan Han Xin untuk menghancurkan Xiang Yu di Gai Xia. Barisan itu disebut ‘Sepuluh Prinsip Untuk Mengepung Lawan’ dalam buku strategi militer. Digambarkan bahwa barisan itu memiliki kekuatan untuk mengepung lawan yang sepuluh kali lebih kuat, prinsip untuk menggunakan jumlah yang lebih kecil mengepung yang lebih banyak dengan memakai pergerakan yang selalu berubah.
Pasukan Chagatai melihat kelompok kecil Guo Jing datang dan bergerak terus-menerus, mereka tidak tahu berapa tepatnya jumlah mereka dan hati mereka tergetar. Dalam waktu singkat dua puluh ribu pasukan Chagatai telah berhasil dipisahkan, masing-masing kelompok tidak bisa membantu kelompok lainnya.
Pertempuran melawan pasukan Jochi agak berbeda karena semangat juang mereka telah bangkit. Pertama-tama, mereka adalah sesama oorang Mongolia. Kedua, mereka takut kepada Genghis Khan. Segera setelah kelompok kecil Guo Jing mengepung mereka, pasukan itu kehilangan semangat untuk bertempur.
Di antara pergerakan pasukan itu suara lantang Guo Jing bisa terdengar, “Kita orang-orang Mongilia adalah saudara, tidak pernuh saling membunuh. Cepat letakkan tombak, golok, busur dan anak panah untuk menghindari hukuman mati dari Khan Agung.” Hampir semua pejabat dan prajurit mendengar permohonannya, dengan segera mereka turun dari kuda dan melemparkan senjata ke tanah.
Chagatai bersama sekitar seribu orang pengikut setianya menerjang dengan beringas ke arah pasukan Guo Jing, tetapi tiga bunyi genderang terdengar, delapan kelompok berkuda datang mengepung mereka dari semua penjuru. Mereka membawa tali laso. Satu per satu seribu prajurit itu terjatuh dari kuda mereka. Dari delapan kelompok itu, empat-lima prajurit mengepung seorang pengikut setia Chagatai. Mereka dipaksa duduk di tanah dengan tangan terikat di belakang punggung.
Jochi melihat bagaimana pasukan Guo Jing melabrak Chagatai, ia mau tak mau merasa takut tetapi gembira. Ia baru saja ingin maju untuk bicara dengan Guo Jing ketika tiba-tiba suara terompet terdengar lagi, tim Guo Jing di garis depan bergerak ke belakang dan tim garis belakang bergerak ke depan, dengan segera Jochi terkepung dari segala penjuru.
Pengalaman Jochi di medan tempur sangat banyak, tetapi ia tidak pernah melihat sesuatu seperti ini. Ia segera memerintahkan orang-orangnya untuk menyerang, tetapi sepuluh ribu prajurit Guo Jing membagi diri menjadi dua belas kelompok kecil, tidak maju menyerang, sebaliknya malah bergerak ke belakang. Jochi terkagum-kagum, ia tidak tahu bahwa dua belas kelompok itu adalah: Da Hei Zi, Po Di Chou, Zuo Tu Yin, Qing She Mao, Cui Xiong Chen, Qian Chong Si, Da Chi Wu, Xian Feng Wei, You Ji Shen, Bai Yun You, Jue Sheng Xu dan Hou Wei Hai10. Semuanya itu diatur menurut aturan dua belas jam dalam sehari, dengan variasi aneh, bergerak cepat dari belakang ke depan dan sebaliknya.
Kedua belas kelompok itu bergerak kesana-kemari, kelompok di sebelah kanan menerjang ke kiri, kelompok kiri menyerang ke kanan. Pasukan Jochi bingung. Dalam waktu kurang dari yang diperlukan untuk makan semangkuk nasi, Jochi dan pasukannya telah dikepung dan ditangkap.
Jochi teringat ketika mereka masih anak-anak ia telah mencambuk Guo Jing setengah mati. Chagatai juga teringat ketika ia melepas anjingnya dan menggigit Guo Jing. Keduanya takut Guo Jing akan membalas dendam, mereka segera tersadar. Mereka juga takut kalau-kalau ayah mereka akan menjatuhkan hukuman berat.
Setelah menangkap kedua orang itu Guo Jing berpikir bahwa sebagai orang luar ia telah mencampuri urusan persaingan antar saudara. Ia tidak yakin tindakannya ini akan membawa bencana atau keberuntungan. Ia berpikir untuk membicarakan hal ini dengan Ogedei dan Tolui ketika tiba-tiba terdengar suara terompet keras. Di tengah-tengah obor yang berkedip sembilan bendera Genghis Khan datang menderu dengan cepatnya.
Genghis Khan telah tersadar dari mabuknya, ia menerima laporan bahwa kedua putranya sedang saling membunuh. Ia terkejut dan melompat dari tempat tidur dengan marah. Tanpa memakai baju perang, dengan rambut acak-acakan, ia melompat ke atas kudanya dan berpacu ke padang rumput.
Ketika mendekat, ia melihat kedua putranya duduk di tanah, dengan pasukan Guo Jing berdiri di sekeliling, mengawal mereka. Kedua putranya, meskipun masih duduk di atas kudanya, tetapi masing-masing dikepung oleh delapan prajurit Guo Jing dengan golok terhunus di tangan. Ia sangat terkejut.
Guo Jing melangkah maju dan berlutut di tanah, melaporkan semuanya. Menyadari bahwa bencana besar secara tak terduga telah berhasil diredam, kegembiraan Genghis Khan sungguh tak terkatakan. Ia datang dengan pikiran bahwa kedua pasukan Mongolia itu sedang saling berperang, kerugian yang timbul pasti sangat serius, kedua putranya mungkin telah tewas.
Tak terduga kedua putranya masih hidup dan baik-baik saja, ketiga pasukan itu masih lengkap. Tentu saja ia kegirangan.
Dengan segera ia menggelar rapat umum bagi para pangeran dan jendral. Ia memaki-maki Jochi dan Chagatai, dan menganugerahkan hadiah besar bagi Guo Jing dan pasukannya. Ia berkata kepada Guo Jing, “Kau masih mengatakan bahwa kau tidak mampu memimpin pasukan untuk maju berperang? Jasamu dalam urusan ini sendiri dengan mudah bisa mengecilkan arti peperangan melawan Negara Jin. Kalau kita tidak mampu menjebol tembok musuh hari ini, kita masih bisa kembali besok dan berusaha lagi. Tapi kalau putra-putraku tewas, bagaimana kita bisa membuat mereka bangkit kembali?”
Guo Jing menerima anugerah tersebut, tetapi membagikan emas, perak dan kewan-hewan ternak kepada para prajuritnya. Sorak-sorai terdengar di antara pasukannya hari itu. Semua jendral datang untuk memberi selamat untuk jasa besarnya.
Setelah mengantar tamu pulang, Guo Jing mengambil catatan yang diberikan Lu Youjiao. Ia mengamatinya dengan teliti, tulisan tangan itu kasar, kemungkinan besar tulisan Lu Youjiao, tetapi ia curiga. “Meskipun aku sudah melatih pasukanku dalam barisan She Pan dan Hu Yi, tapi aku tidak pernah menyebut-nyebut nama ini di depan Lu Zhanglao. Semua bagian sulit yang pernah kutanyakan sebelumnya juga tidak ada kaitannya dengan barisan perang ini. Dari mana dia tahu? Apa dia membaca buku strategi militer tanpa seijinku?”
Dengan segera ia mengundang Lu Youjiao ke tendanya. “Lu Zhanglao, kalau kau suka membaca buku militer ini, dengan senag hati aku akan meminjamkannya.”
Lu Youjiao tersenyum. “Pengemis miskin sepertiku tidak akan pernah menjadi jendral di sepanjang umurku, memimpin segelintir pengemis kecil juga tidak memerlukan seni perang. Apa gunanya buku strategi militer itu bagiku?”
Guo Jing menunjuk catatan itu dengan jarinya. “Lalu bagaimana kau tahu tentang barisan She Pan dan Hu Yi?”
“Gongzi yang memberitahu Xiaoren, masa Gongzi lupa?” kata Lu Youjiao. Guo Jing tahu ia sedang berbohong. Makin dipikir ia makin bingung, tetapi ia tidak yakin apa yang disembunyikan Lu Youjiao.
Hari berikutnya Genghis Khan menggelar rapat umum lagi. Pasukan garis depan berada di bawah komando Chagatai dan Ogedei. Sayap kiri di bawah komando Jochi, sementara sayap kanan di bawah komando Guo Jing. Masing-masing garis depan, bagian kiri dan kanan, terdiri dari tiga puluh ribu orang. Genghis Khan dan Tolui memimpin lebih dari enam puluh ribu prajurit sebagai pasukan inti. Setiap prajurit menunggangi satu dari sepasang kuda, mereka di setiap waktu akan menunggangi seekor dari kedua kuda itu untuk menghemat tenaga kuda mereka. Para pejabat membawa lebih banyak kuda. Dengan seratus lima puluh ribu orang, mereka membawa hampir satu juta ekor kuda.
terompet dibunyikan, genderang dipukul, suaranya memekakkan telinga. Tiga puluh ribu tentara garis depan mulai bergerak dengan anggun menuju ke Barat. Pasukan raksasa itu bergerak makin jauh ke Barat, memasuki wilayah teritorial Khwarezmia dengan kekuatan tak tertahankan. Pasukan Muhammad lebih besar, tetapi mereka bukan tandingan pasukan Mongolia. Guo Jing memimpin kelompoknya menghancurkan kota-kota dan membunuh lawan, ia telah mencatat prestasi yang tidak kecil.
Footnotes
-
Jiu Yin Baigu Zhua (九陰白骨爪), atau kita terjemahkan menjadi ‘Cakar Tengkorak Putih’. Ini adalah pecahan dari ilmu yang terdapat di dalam Jiu Yin Zhen Jing, dan dikembangkan menurut jalurnya sendiri oleh kedua murid Huang Yaoshi, yaitu Chen Xuanfeng dan Mei Chaofeng. Istilah Cakar Tengkorak Putih digunakan bergantian dengan Jiu Yin Baigu Zhua supaya kita lebih mudah terbiasa dengan keduanya. ↩ ↩2
-
Bai Fu Zhang adalah istilah bahasa mandarin untuk seorang pemimpin pasukan Mongolia yang per unitnya beranggotakan 100 orang. ↩
-
Jin Dao Fu Ma (金刀驸马) secara literal berarti ‘Menantu Dengan Golok Emas’. ↩
-
Anda adalah sebutan bagi seorang saudara angkat dalam bahasa Mongolia. ↩
-
Meizi (妹子), sama sperti Mei Mei (妹妹), adalah panggilan untuk adik perempuan, tetapi dalam arti lebih intim. ↩
-
Khwarezmia dalam bahasa mandarin kuno adalah Hu Shi Mi (呼似密), sedangkan dalam bahasa yang lebih modern adalah Hua La Zi Mo (花剌子模). Khwarezmia adalah sebuah Dinasti Islam Sunni, dan terkait erat dengan Persia, dan pada saat itu adalah sebuah negara merdeka. ↩
-
Dalam bahasa mandarin, kalimat itu hanya 6 karakter, ‘Ni yao zhan, bian zou zhan’. ↩
-
Undangan Genghis Khan untuk Qiu Chuji adalah berdasarkan teks asli sesuai apa yang tertulis dalam dokumen sejarah. ↩
-
Baca selengkapnya mengenai nama-nama ini di halaman terpisah. ↩
-
Masing-masing kelompok itu mendapat nama yang sesuai dengan kedua belas jam terkait, yang sebenarnya sama dengan nama-nama zodiak dalam tradisi masyarakat Tionghoa. Misalnya kelompok Da Hei Zi, yang secara literal berarti ‘Kegelapan Besar’ menduduki posisi jam pertama, yang dalam hal ini adalah antara jam 11 malam dan jam 1 dini hari, karenanya dinamakan ‘Kegelapan Besar’, alias gelap total. Baca lebih lanjut. ↩
All Posts
- Daftar Titik Akupuntur
- Matematika Tiongkok Kuno
- Insiden Di Tengah Badai Salju
- Bab 10
- Bab 11
- Bab 12
- Bab 13
- Bab 14
- Bab 15
- Bab 16
- Bab 17
- Bab 18
- Bab 19
- Tujuh Orang Aneh Dari Jiangnan
- Bab 20
- Bab 20
- Bab 22
- Bab 23
- Bab 24
- Bab 25
- Bab 26
- Bab 27
- Bab 28
- Bab 29
- Kehidupan Di Padang Rumput
- Bab 30
- Bab 31
- Bab 32
- Bab 33
- Bab 34
- Bab 35
- Bab 37
- Bab 38
- Bab 39
- Bab 4
- Bab 40
- Bab 5
- Bab 6
- Bab 7
- Bab 8
- Bab 9
- Daftar Istilah
- Dao De Jing
- Memanah Rajawali - Prolog
- Daftar Tokoh Memanah Rajawali
- Daftar Panggilan Bahasa Mandarin
- Referensi Karakter Bahasa Mandarin
- Referensi Unit
- Kutipan Kitab Perubahan