Bab 3

Para biksu menangisi kematian Biksu Jiaomu, tetapi beberapa orang dari mereka masih sempat merawat orang-orang yang terluka dengan membalut luka mereka dan membawa mereka ke kamar tamu. Tiba-tiba terdengar suara gedoran yang tak henti-hentinya dari tong di bawah lonceng besar itu. Tidak tahu monster macam apa yang hadir, para biarawan saling memandang dengan wajah kosong. Tidak tahu apa yang harus dilakukan mulai melantunkan Gao Wang Jing. Tapi gedoran berlanjut mengikuti semua nyanyian ‘Bantu Para Penderita’ dan ‘Amitoufo’. Akhirnya, sekitar selusin biksu yang lebih berani menarik lonceng besar itu kembali dengan tali besar yang tebal. Segera setelah mereka mengangkat tong, segumpal besar daging keluar dari bawahnya. Takut melampaui kata-kata, para biarawan berpencar. Bakso daging raksasa itu tiba-tiba berdiri, ternyata adalah Han Baoju. Dikurung selama paruh terakhir pertarungan, ia tidak tahu apa yang telah terjadi. Melihat sekeliling, ia melihat Biksu Jiaomu meninggal dan semua saudara angkatnya terluka parah dan panik. Ia berjalan ke arah Qiu Chuji dan hendak memukul kepalanya dengan ‘Cambuk Naga Emas’.

San Ge, jangan!” teriak Quan Jinfa.

“Kenapa?” tanya Han Baoju, heran.

“Pokoknya jangan,” kata Quan Jinfa, hanya itu yang bisa keluar dari multunya, karena perutnya sakit.

Meski kedua kakinya terluka, pikiran Ke Zhen’E masih bekerja dengan baik. Ia mengeluarkan penawar racunnya dan menginstruksikan para biksu untuk memberikan dosis yang tepat untuk Qiu Chuji dan Han Xiaoying, sambil menjelaskan apa yang terjadi kepada Han Baoju. Marah, Han Baoju hendak mengejar Duan Tiande, tapi Ke Zhen’E berteriak, “Kita akan menemukan bajingan itu cepat atau lambat. Pertama-tama bantu saudara-saudaramu yang menderita luka dalam.”

Baik Zhu Cong dan Nan Xiren menderita luka dalam yang parah dan tendangan ke perut Quan Jinfa itu juga pukulan yang cukup keras. Tulang leher Zhang Ahsheng patah dan dadanya juga dipukul, membuatnya pingsan untuk sementara. Begitu bangun, ternyata ia tidak dalam bahaya besar. Ia segera mulai membantu orang lain di kuil.

Para biksu dari Biara Fahua mengirim beberapa utusan untuk melaporkan kejadian tersebut kepada Kepala Biara Kumu di Biara Yunlou dan juga mulai mengatur pemakaman untuk Biksu Jiaomu.

Setelah beberapa hari, racun di tubuh Qiu Chuji dan Han Xiaoying ternetralisir. Sebagai ahli pengobatan, Qiu Chuji segera mencampur beberapa jenis herbal dan merawat Zhu Cong dan lainnya serta memijat dan memperbaiki letak tulang dan sendi kembali ke tempatnya. Untungnya, dasar kungfu mereka semua cukup kuat sehingga luka dalam maupun luar tidak terlalu serius. Setelah beberapa hari lagi, semua orang bisa duduk lagi. Suatu hari, mereka semua berkumpul di salah satu kamar biksu dan merenungkan bagaimana mereka diadu domba, mengakibatkan kematian Biksu Jiaomu dan melukai semua pihak. Semuanya terdiam, tidak tahu harus bilang apa.

Setelah beberapa saat, akhirnya Han Xiaoying memecahkan keheningan, “Semua orang tahu tentang nama besar dan kecerdasan Qiu Dao Zhang, dan kami bertujuh juga bukan baru kemarin mengenal dunia. Tapi ternyata kita semua dimanipulasi oleh seorang bajingan kecil. Kalau cerita ini sampai didengar orang luar, semua orang di dunia persilatan akan menertawakan kita. Dao Zhang, punya ide bagaimana cara membereskan kekacauan ini?”

Qiu Chuji menyalahkan dirinya sendiri selama beberapa hari terakhir, berpikir bahwa jika saja ia duduk dan berbicara dengan tenang dengan Biksu Jiaomu maka semua ini dapat dihindari. Jadi, dengan rasa hormat, ia menoleh ke Ke Zhen’E, “Ke Xiong, bagaimana menurutmu?”

Temperamen Ke Zhen’E dari awal memang buruk. Setelah matanya dibutakan, jadi lebih buruk. Fakta bahwa Qiu Chuji sendirian menjatuhkan gabungan dari mereka bertujuh, pada kenyataannya adalah sesuatu yang dianggapnya sebagai salah satu hal yang paling memalukan dalam hidupnya. Ditambah dengan fakta bahwa rasa sakit di kakinya akibat luka pedang masih berdenyut, ia hampir tidak bisa menahan amarahnya. Ia mencibir dan menjawab, “Qiu Dao Zhang menggunakan ilmu pedangnya untuk menjatuhkan siapa pun yang menghalangi jalannya dan tidak pernah menghormati siapa pun. Kenapa konsultasi dengan kami tentang masalah ini?”

Qiu Chuji terkejut sesaat, tetapi segera menyadari bahwa ia masih marah tentang masalah itu. Ia berdiri, merangkapkan kedua tangannya, dan membungkuk pada Tujuh Orang Aneh. “Aku salah. Aku terlalu kasar dan keras kepala. Seluruh masalah ini sepenuhnya salahku dan aku minta maaf kepada kalian semua.”

Zhu Cong dan lainnya membalas sikap itu. Ke Zhen’E pura-pura tidak memperhatikan dan dengan dingin menjawab, “Aku katakan kami bertujuh telah kehilangan semua hak kami untuk ikut campur dalam urusan dunia persilatan. Kita harus menetap di sini, memancing, memotong kayu, atau apapun. Selama Qiu Dao Zhang tidak datang lagi, setidaknya kita bisa menghabiskan sisa hidup kita dengan damai.”

Qiu Chuji agak tersipu mendengar kalimat tajam itu. Setelah diam sejenak, ia tiba-tiba berdiri dan berkata, “Karena aku salah kali ini, aku tidak akan pernah berani melangkah ke daerah ini lagi. Soal membalas kematian Biksu Jiaomu, semuanya akan jatuh di pundakku dan aku akan membunuh bajingan itu dengan tanganku sendiri dan membalaskan dendamnya. Setelah mengatakan semua yang perlu kukatakan, sekarang saatnya aku pergi.” Ia membungkuk ke arah semua orang lagi dan berjalan keluar.

“Tunggu.” kata Ke Zhen’E.

Qiu Chuji berbalik dan berkata, “Ke Da Ge masih ingin bicara?”

“Kau sudah melukai kami semua,” kata Ke Zhen’E. “dan sekarang kau berharap bisa cuci tangan hanya dengan beberapa patah kata?”

“Lalu Ke Da Ge maunya bagaimana, selama masih dalam batas yang bisa kukerjakan, aku pasti akan berusaha melakukannya.”

“Pokoknya ini tidak bisa dibiarkan begitu saja,” kata Ke Zhen’E lagi. “alangkah baiknya kalau Dao Zhang bisa memberikan yang lebih baik.”

Meskipun Tujuh Orang Aneh semuanya adalah individu yang sangat saleh dan bermoral, tapi mereka juga sangat bangga dan bertingkah sangat eksentrik, membuat mereka layak mendapatkan gelar “Tujuh Orang Aneh”. Masing-masing adalah ahli kungfu dan mereka selalu bekerja sama, jadi mereka tidak pernah kalah dalam pergulatan dengan orang lain di dunia persilatan. Beberapa tahun yang lalu mereka bertengkar dengan Kelompok Huaiyang. Tujuh dari mereka membunuh lebih dari seratus atau lebih anggota Kelompok Huaiyang di tepi Sungai Yangtze. Saat itu Han Xiaoying masih anak-anak, tapi dia masih berhasil membunuh dua musuh. Nama ‘Tujuh Orang Aneh Dari Selatan’ menjadi terkenal di seluruh dunia persilatan. Kekalahan di tangan Qiu Chuji tidak berakibat baik bagi satu pun dari mereka. Tambahkan fakta bahwa Biksu Jiaomu, teman baik Orang Aneh, meninggal, orang bisa berdebat bahwa itu terjadi akibat kecerobohan Qiu Chuji. Tapi masih ada fakta bahwa seorang wanita memang disembunyikan di dalam kuil dan dia adalah janda Guo Xiaotian, seperti yang diklaim oleh Qiu Chuji. Hal ini membuat sebagian Orang Aneh merasa bersalah. Kendatipun begitu, pada saat ini, para Orang Aneh telah melupakannya.

“Aku terluka oleh senjatamu.” kata Qiu Chuji. “Dan kalau bukan karena pemunah racun dari Ke Da Ge, maka aku pasti sudah lama mati. Jadi dalam pertarungan ini, dengan setulus hati aku mengaku kalah.”

“Kalau begitu,” kata Ke Zhen’E. “tinggalkan pedangmu, dan kau boleh pergi.” Dia tahu jelas bahwa jika kedua belah pihak bertarung lagi saat ini hanya Han bersaudara yang bisa melawan, dan kemenangan bagi pihaknya tidak mungkin terjadi. Tapi semua Orang Aneh lebih baik mati daripada membiarkan masalah ini berlalu begitu saja.

Ini membuat Qiu Chuji sangat marah. “Aku sudah sangat memberi muka kepada kalian, dan seharusnya sudah cukup. Aku juga sudah mengaku kalah, kalian mau apa lagi? Pedang ini untuk melindungi diri,” ia melanjutkan, “seperti tongkat yang selalu dibawa Ke Da Ge kemana-mana.”

“Kau menertawakan aku buta ya?” Ke Zhen’E balas berseru, gusar.

Bu gan (不敢, tidak berani)!”

“Saat ini kami semua terluka,” lanjut Ke Zhen’E. “sangat berat kalau mau bertarung. Jadi aku mengundang Qiu Dao Zhang untuk duel satu tahun dari saat ini, di Paviliun Dewa Mabuk.”

Qiu Chuji mengerutkan keningnya mendengar ucapan itu. Dia berpikir, “Karena Tujuh Orang Aneh bukan orang jahat, tidak ada gunanya menyimpan dendam ini di antara kita. Sehari setelah Biksu Jiaomu meninggal, Han Baoju bisa saja membunuhku dengan mudah begitu dia keluar dari kurungan lonceng itu. Selain itu, semua masalah ini kurang lebih disebabkan oleh kecerobohanku sendiri. Pria sejati tahu apa yang benar dan salah. Jika dia salah maka dia harus mengakuinya. Menyelesaikan semua ini dengan Orang-orang Aneh rasanya tidak akan mudah.” Setelah berpikir sejenak dalam hati, tiba-tiba sebuah ide muncul di benaknya, “Kalau kau benar-benar ingin menentukan siapa yang lebih baik di antara kita, maka kita bisa melakukannya,” katanya. “Tapi hanya menurut aturan yang aku tentukan. Kalau tidak, aku sudah kalah dari Zhu Daxia di Paviliun Dewa Mabuk, dan aku kalah lagi bertarung di sini di kuil. Aku sudah kalah dua kali dan pasti akan kalah untuk ketiga kalinya juga, tidak ada gunanya melangkah lebih jauh.”

Han Baoju, Han Xiaoying, dan Zhang Ahsheng segera berdiri, empat lainnya tidak dapat berdiri tetapi semuanya sebisa mungkin duduk. Mereka menjawab serempak, “Kalau Tujuh Orang Aneh dari Jiangnan (江南, Selatan Sungai Yangtze) berduel, kami selalu membiarkan lawan yang memilih waktu, tempat, dan metode.”

Melihat betapa kompetitifnya mereka semua, Qiu Chuji tersenyum, “Berarti bagaimanapun juga, aku yang menentukan metodenya, gitu kan?”

Mengira bahwa tipuan licik macam apapun yang ada di benak Qiu Chuji, bukan berarti mereka pasti akan kalah, Zhu Cong dan Quan Jinfa menjawab serempak, “Betul!”

“Omongan seorang pria…” jawab Qiu Chuji.

”… tidak bisa ditarik kembali oleh kuda liar1!” lanjut Han Xiaoying, tapi Ke Zhen’E diam saja.

“Kalau kalian merasa caraku tidak adil,” lanjut Qiu Chuji, “maka aku akan mengaku kalah sekarang juga.” Ia jelas sedang menarik keuntungan dengan sedikit mengalah di depan, karena ia tahu bahwa Ketujuh Orang Aneh itu tidak akan membiarkannya mengaku kalah begitu saja, mereka punya semangat bersaing yang sangat tinggi.

“Kau tidak perlu main kata-kata seperti ini di depan kami,” kata Ke Zhen’E, seperti sudah diduga. “katakan saja apa usulmu.”

Qiu Chuji duduk dan mulai menjelaskan, “Metode yang ada di kepalaku mungkin agak bertele-tele, dan rentan terhadap kecelakaan tertentu atau kondisi. Tapi sebenarnya yang mau diukur adalah kemauan dan keterampilan. Semua orang yang tahu seni bela diri pasti bisa bertarung memakai tinju atau pisau. Kita semua punya nama di Jiang Hu, tentunya kita tidak mau turun ke tingkat rendahan.”

“Gimana mau berkelahi kalau bukan pakai tinju atau pisau, apa mau lomba minum lagi?” Tujuh Orang Aneh heran mendengar komentar itu.

“Pertandingan besar di antara kita ini,” lanjut Qiu Chuji. “bukan hanya mengukur kemampuan kungfu kita, tetapi juga kemauan keras, tekad, dan kecerdasan kita. Dengan pertandingan ini akan kita lihat, siapa yang terbaik di antara kita, sekali dan untuk selamanya.”

Seluruh percakapan ini membuat Ketujuh Orang Aneh gemetar dalam antisipasi dan kegembiraan. “Jangan mengulur-ulur waktu, cepat katakan!” Han Xiaoying menuntut. “Makin sulit makin baik!”

“Kalau mau lomba meditasi, bikin obat, meramal, atau mengusir setan, ya kami semua pasti bukan tandingan Qiu Dao Zhang.” kata Zhu Cong sambil tersenyum.

“Dan aku juga tidak mau berlomba mencuri ayam atau kambing dengan Zhu Xiong.” kata Qiu Chuji, juga sambil tersenyum.

Ini membuat Han Xiaoying tertawa, tapi ia segera kembali mendesak Qiu Chuji, “Ayo, cepat katakan!”

“Pada dasarnya semua kesalahpahaman kita ini disebabkan oleh usaha untuk menyelamatkan dua orang baik. Jalan terbaik adalah mengembalikannya ke situ.” Qiu Chuji melanjutkan dengan cerita tentang bagaimana ia berkenalan dengan Guo Xiaotian dan Yang Tiexin, lalu bagaimana ia mengejar Duan Tiande sampai ke kuil ini. Sambil mendengarkan seluruh penjelasannya, Ketujuh Orang Aneh itu tak henti-hentinya mengutuk bangsa Jin dan pemerintahan Song atas korupsi yang mereka lakukan.

Setelah menyelesaikan ceritanya, Qiu Chuji menambahkan, “Wanita yang dibawa lari oleh Duan Tiande itu adalah janda dari Guo Xiaotian. Kecuali Ke Da Ge dan Han bersaudara, aku yakin kalian berempat yang lain pasti melihat mereka.”

“Aku ingat suaranya,” sela Ke Zhen’E. “aku tidak akan pernah melupakan suaranya.”

“Bagus sekali!” lanjut Qiu Chuji. “Mengenai janda Yang Tiexin, Bao Fu Ren2, tidak ada petunjuk sekarang dia ada di mana. Aku pernah melihatnya, tapi kalian belum. Jadi aku mengusulkan supaya kita…”

”… kita bertujuh menyelamatkan Li Fu Ren, dan kau sendiri menyelamatkan Bao Fu Ren, siapa yang sukses, itulah pemenangnya. Begitukah?” Han Xiaoying menyela dengan penuh semangat.

Tapi Qiu Chuji tersenyum dan menjawab, “Menyelamatkan orang, meskipun jelas tidak mudah, tidak dapat digunakan untuk menentukan siapa pendekar dan siapa yang bukan. Yang ada di pikiranku jauh lebih sulit dan lebih berat dilakukan.”

“Jadi usulmu bagaimana?” Ke Zhen’E mendesak.

“Kedua wanita itu sedang hamil,” Qiu Chuji menjelaskan. “Setelah kita menyelamatkan mereka, kita harus memastikan mereka menetap dengan baik dan biarkan mereka melahirkan. Setelah itu aku akan mengajar anak keluarga Yang, sedangkan kalian bertujuh mengajar anak keluarga Guo…”

Ketujuh Orang Aneh semakin kagum mendengar setiap kata yang diucapkannya. Mereka praktis terpesona ketika Han Baoju memotong, “Lalu apa?”

“Setelah delapan belas tahun, ketika anak-anak itu berusia delapan belas tahun, kita semua, dan teman-teman yang diundang dari seluruh Jiang Hu, akan berkumpul di Paviliun Dewa Mabuk sekali lagi untuk pesta besar. Kemudian, ketika kita semua cukup kenyang dan gembira, biarkan kedua anak itu berduel untuk melihat apakah muridku yang lebih baik atau murid dari Tujuh Pendekar benar-benar yang terbaik.” Tujuh Orang Aneh saling menatap, sama sekali tidak mampu bicara apa-apa.

Qiu Chuji melanjutkan, “Jika Tujuh Pendekar melawanku sekali lagi dan mengalahkan aku, maka itu bisa jadi karena jumlahmu lebih banyak, apanya yang istimewa. Tetapi jika aku memberikan semua kungfuku kepada satu orang dan kalian semua memberikan semua kungfu kepada satu orang, maka siapa pun yang menang harus berarti guru mereka lebih baik.”

Dengan penuh kebanggaan, Ke Zhen’E menghantam lantai dengan tongkat besinya, “Bagus! Itulah yang akan kita kerjakan!”

“Gimana kalau si bangsat Duan Tiande itu sudah terlanjur membunuh Li Fu Ren? Terus gimana?” tanya Quan Jinfa.

“Wah, itu berarti keberuntungan,” jawab Qiu Chuji. “Berarti Surga maunya aku menang, mau bilang apa lagi.”

“Baik!” Han Baoju mengajukan pendapatnya. “Menyelamatkan janda dan anak yatim adalah berbuat baik dan benar. Kalaupun bukan sedang berlomba, kami juga tetap akan melakukannya.”

Qiu Chuji mengacungkan jempolnya. “Han Xiong tepat sekali! Kalau kalian Tujuh Pendekar sudi merawat anak keluarga Guo sampai dewasa, maka atas nama almarhum Guo Xiong, aku sangat berterima kasih.” Ia membungkuk kepada mereka semua.

“Gagasanmu ini agak licik,” kata Zhu Cong. “Dengan beberapa kalimatm itu, kami tujuh bersaudara harus menyerahkan delapan belas tahun hidup kami?” Wajah Qiu Chuji agak berubah warna, ia tiba-tiba tertawa terbahak-bahak.

“Apanya yang lucu?” Han Xiaoying mendesak.

“Aku sudah lama mendengar dan mengagumi nama Tujuh Orang Aneh dari Selatan,” jawab Qiu Chuji. “Semua orang bilang bahwa Tujuh Pendekar itu pahlawan sejati, yang selalu menyediakan diri untuk orang yang membutuhkan bantuannya. Tapi hari ini, kulihat isu itu agak dibesar-besarkan.”

Ini membuat semua Orang Aneh itu marah. Han Baoju menghantam bangku yang didudukinya dan hendak mengatakan sesuatu ketika Qiu Chuji memotongnya, “Sejak jaman kuno, untuk pendekar dan pria sejati, berteman artinya adalah berbagi dalam segala hal, dan mengorbankan nyawa untuk teman pasti bukan masalah besar, kalau memang ada panggilan soal kesetiaan dan persahabatan. Tidak ada yang pernah dengar kalau Jing Ke dan Nie Zheng3 bernegosiasi soal hal kecil. Keluarga Yang dan Guo sedang membutuhkan bantuan sekarang, bagaimana mungkin ada orang yang bernegosiasi kalau ingin menolong mereka?”

Setelah pidato kecil itu, wajah Zhu Cong memerah karena malu. Dia menjentikkan kipasnya dan menjawab, “Dao Zhang benar, aku baru sadar kalau aku salah sekarang. Kami bertujuh pasti akan menangani masalah ini!”

Qiu Chuji berdiri dan berkata, “Hari ini adalah tanggal dua puluh empat bulan ketiga, delapan belas tahun dari hari ini pada siang hari, kita akan bertemu lagi di lantai atas Paviliun Dewa Mabuk. Di sana, di depan seluruh dunia persilatan, kita akan melihat siapa pahlawan yang sebenarnya!” Ia mengibaskan lengan bajunya, dan berjalan keluar dari pintu.

Han Baoju berteriak, “Aku akan mencari Duan Tiande itu sekarang, kalau dia sampai masuk ke cangkang kura-kura dan menghilang, kita harus membuang banyak energi.”

Dia satu-satunya di antara Tujuh Orang Aneh yang tidak terluka, jadi dia keluar dari pintu, menaiki ‘Pengejar Angin’, kuda kuningnya, dan mulai mengejar Duan Tiande dan Li Ping.

“San Di… San Di!” Teriak Zhu Cong. “Kau tidak tahu tampang mereka seperti apa!” Tapi Han Baoju bukan tipe orang yang sabar, dan karena ‘Pengejar Angin’ yang memang pantas menyandang nama itu, ia sudah lama pergi.


Begitu keluar dari kuil, Duan Tiande berlari secepat yang bisa dilakukan kakinya, sambil menyeret Li Ping. Setelah yakin tidak ada yang mengejarnya, barulah akhirnya ia berhenti dan menarik napas. Kemudian ia berlari ke tepi sungai terdekat dan melompat ke perahu pertama yang dilihatnya. Mengambil pedangnya dan meletakkannya di leher nelayan, ia memerintahkan pria itu untuk mulai menggerakkan perahu. Sungai dan kanal di Jiangnan padat seperti jaring laba-laba dan perahu adalah alat transportasi sehari-hari. Transportasi umum seperti kuda dan kereta ada di Utara. Karenanya ada pepatah: ‘Orang Utara menunggang kuda, orang Selatan naik perahu.’ Duan Tiande memasang lagak segalak mungkin, dan berpakaian seperti pejabat, bagaimana mungkin nelayan itu berani tidak patuh? Ia segera membuka dok dan mengarahkan perahu ke luar kota.

“Kacau balau!” pikir Duan Tiande. “Kalau sekarang aku kembali ke Lin’an, kalau tidak ada pilihan lain, pamanku akan langsung membunuhku! Jalan terbaik barangkali pergi ke Utara dulu, Kuharap si Taois bangsat dan Tujuh Orang Aneh itu semuanya mampus gara-gara cedera mereka, terus pamanku juga marah besar sampai akhirnya mampus! Baru aku bisa pulang, dan kembali lagi ke jabatanku.”

Begitu mengambil keputusan, ia menginstruksikan nelayan untuk mulai menuju ke Utara. Meskipun kuda Han Baoju lebih cepat, ia tetaplah masih harus mencari-cari di darat, dan dengan demikian Duan Tiande lolos.

Duan Tiande juga ganti perahu beberapa kali dan mengganti pakaiannya, dan memaksa Li Ping untuk mengganti pakaiannya. Setelah kira-kira sepuluh hari, ia tiba di Yangzhou dan memutuskan untuk menginap di sebuah penginapan. Ia berharap bisa menetap di kota sebentar dan menunggu badai reda. Secara sangat kebetulan, ia mendengar seseorang menanyakan keberadaannya. Terkejut, ia mengintip melalui celah kecil di pintu dan melihat seorang pria yang sangat jelek, pendek, dan gemuk dengan seorang gadis muda yang cantik. Keduanya memiliki aksen Jiaxing. Menebak bahwa mereka adalah salah satu dari Tujuh Orang Aneh, dia segera meraih Li Ping dan berlari keluar dari pintu belakang. Untungnya, penduduk asli Yangzhou di meja depan tidak begitu mengerti dialek mereka dan tidak mengerti apa yang mereka tanyakan. Ini memungkinkan Duan Tiande pergi dan menyewa perahu lain. Tidak berani berhenti sedetik pun, ia berjalan ke Utara, menyusuri Kanal Besar, sampai ke pantai Pos Liguo di tepi Danau Gunung Wei di perbatasan propinsi Shandong.

Li Ping, yang berpenampilan sederhana dan sekarang perutnya membuncit, menghabiskan hari-harinya untuk mengutuk dan menangis. Jadi meskipun Duan Tiande bukan tipe seorang pria terhormat, ia juga tidak pernah punya niat macam-macam terhadapnya. Yang mereka lakukan bersama-sama selalu adalah bertengkar dan saling memaki, tidak pernah ada kedamaian di antara mereka.

Beberapa hari kemudian, si kontet jelek dan gadis cantik itu muncul lagi. Duan Tiande berharap untuk bisa bersembunyi di belakang penginapan mereka. Li Ping, setelah tahu bahwa penyelamatnya sudah dekat, berteriak sekuat tenaga. Duan Tiande segera memasukkan segumpal kapas ke mulutnya dan memukulinya. Li Ping meronta dan berteriak sekuat tenaga. Meskipun ia tidak berhasil dalam usahanya untuk mendapatkan perhatian mereka, itu sudah keterlaluan bagi Duan Tiande.

Pada awalnya, Duan Tiande membawa Li Ping karena berharap untuk menggunakannya sebagai sandera, kalau-kalau rencananya macet. Tetapi situasinya sekarang berubah. Mengira bahwa akan jauh lebih mudah jika ia sendirian dan bahwa wanita penuh semangat ini seperti bom waktu yang bisa meledak kapan saja, ia memutuskan bahwa yang terbaik adalah membunuhnya. Begitu Han bersaudara pergi, dia mengeluarkan goloknya.

Li Ping selalu mencari kesempatan untuk membalas kematian suaminya. Tapi ia diikat setiap malam, jadi tidak mungkin. Sekarang, setelah melihat tatapan membunuh di mata Duan Tiande, ia berdoa, “Xiao Ge4, tolong lindungi aku dan ijinkan aku membunuh monster ini. Lalu aku akan bergabung denganmu.” Dia merogoh bajunya dan meletakkan tangannya di belati yang diberikan Qiu Chuji padanya. Ia telah menyembunyikan belati itu dengan sangat baik dan mampu meloloskannya dari pengawasan Duan Tiande.

Sambil terkekeh, Duan Tiande mengangkat pedangnya dan mengayunkannya ke arah Li Ping. Bersiap untuk mati, Li Ping mengumpulkan semua kekuatannya, mengarahkan belati ke Duan Tiande, dan menyerang. Merasakan semburan angin dingin yang mematikan di wajahnya, Duan Tiande membalikkan pedangnya dalam upaya untuk menjatuhkan belati dari tangan Li Ping. Tanpa diduga, belati itu sangat tajam sehingga, dengan bunyi yang keras, belati itu memotong pedang menjadi dua. Pedang itu jatuh ke lantai saat ujung belati menyentuh dada Duan Tiande. Terkejut, Duan Tiande secara naluriah melompat mundur. Namun demikian, bagian depan bajunya yang disayat terbuka lebar. Dengan sangat terkejut dan panik, ia mengambil kursi di sampingnya dan berteriak, “Letakkan pisau itu sekarang juga atau aku akan membunuhmu!”

Li Ping kelelahan dan bayi di dalam perutnya menendang-nendang tanpa henti. Tidak bisa melawan lagi, ia jatuh ke lantai dan mencoba mengatur napas. Tapi ia masih mencengkeram belati itu erat-erat.

Duan Tiande takut Han Baoju akan datang lagi. Jika kabur sendirian, ia takut Li Ping akan mengungkapkan kemana ia pergi. Jadi ia segera memaksanya naik perahu lain dan pergi lebih jauh ke Utara, ke Kanal Besar, melewati Linqing, Dezhou, dan tiba di propinsi Hebei.

Setiap kali ia mendirikan kemah, tidak peduli seberapa jauh lokasinya, tak lama kemudian akan ada beberapa orang yang datang untuk mencarinya. Akhirnya, si kontet jelek dan gadis itu bergabung dengan seorang pria buta yang memegang tongkat. Untungnya, tak ada seorangpun dari mereka yang mengenalinya, jadi ia bisa melarikan diri setiap saat.

Tak lama kemudian, kerepotan lain terjadi. Li Ping tiba-tiba mulai bertingkah aneh. Setiap kali mereka berhenti di suatu tempat, ia secara berkala berteriak dan mengoceh omong kosong. Kadang-kadang, ia bahkan merobek-robek pakaiannya dan membuat segala macam ekspresi dan tingkah yang aneh. Awalnya Duan Tiande mengira ia benar-benar sudah gila, tetapi setelah beberapa hari ia tiba-tiba tahu. Ternyata, ia takut para pengejarnya telah kehilangan jejak dan sengaja meninggalkan jejak untuk mereka ikuti. Inilah yang membuatnya semakin sulit untuk menghilangkan jejak. Sekarang akhir musim panas telah berlalu dan angin sejuk mulai bertiup. Untuk menghindari penangkapan, Duan Tiande pergi jauh ke Negara Utara. Uang dibawanya hampir habis, namun Orang-orang Aneh itu masih mengejarnya.

“Waktu di Hangzhou, aku orang penting. Daging, arak, uang, perempuan, semuanya aku punya, tapi aku kemudian jadi serakah, dan pergi ke Desa Niu untuk membunuh suami lonte ini, dan akhirnya jadi kacau.” Ia mulai mengutuk diri sendiri.

Beberapa kali, ia hampir meninggalkan Li Ping dan kabur sendiri. Tapi setiap kali, ia tidak bisa mengumpulkan cukup keberanian untuk melakukannya. Setiap upaya untuk membunuhnya juga gagal. Apa yang seharusnya jadi perlindungan entah bagaimana berubah menjadi kutukan yang tidak bisa disingkirkan. Di atas segalanya, ia harus selalu waspada terhadap usahanya untuk membalas dendam suaminya. Ia frustrasi, ketakutan, dan marah, tapi merasa tidak bisa melakukan apa-apa.

Sebelum sadar, ia telah sampai di ibukota Kekaisaran Jin, Yanjing. Duan Tiande berpikir sejenak dan memutuskan untuk mencoba dan menemukan tempat yang sepi di luar jalan dan menghabisi Li Ping. Di kota yang begitu besar dan ramai, tidak mungkin mereka yang mengejarnya akan bisa menemukannya.

Senang bahwa akhirnya semua akan beres, ia berjalan menuju kota. Tanpa diduga, saat ia tiba di depan gerbang kota, tim tentara Jin keluar dari dalam. Bahkan tidak repot-repot bertanya, mereka menangkap dia dan Li Ping, menyerahkan kepada mereka masing-masing sebuah pikulan, dan memerintahkan mereka untuk membawa barang untuk mereka. Karena Li Ping pendek dan seorang wanita, bebannya cukup ringan. Tapi Duan Tiande diberi dua muatan seberat 50 kilogram, ini sama saja memaksanya untuk berlutut.

Sekelompok tentara ini mengikuti seorang pejabat saat mereka menuju ke utara. Ternyata, pejabat itu adalah seorang utusan yang dikirim untuk memberikan Jaminan Negara dari Kaisar Jin kepada warga keturunan Mongol di Kekaisaran Jin. Tentara Jin yang menemaninya menangkap sembarang orang Han yang mereka temui, kemudian memaksa untuk membawa beban berat dan persediaan makanan mereka, karena mereka tidak mau mengerjakannya sendiri. Duan Tiande membantah beberapa kali dan langsung dijawab dengan beberapa cambukan di kepalanya. Situasi ini telah dilihatnya berkali-kali sebelumnya, jadi semuanya cukup familiar baginya, tetapi sebelumnya, dialah yang melakukan pencambukan, bukan menerimanya. “Ta ma de (他妈的, sialan)!” umpatnya, dalam hati.

Sekarang, perut Li Ping sudah besar dan melakukan semua pekerjaan berat ini hampir membunuhnya. Namun, ia bertekad untuk membalas dendam, karena itu ia mencoba yang terbaik untuk tidak membiarkan tentara Jin mengetahui tentang kondisinya. Untungnya, ia sudah bekerja di lahan pertanian sejak ia bisa berjalan, dan ini membuatnya kuat dan terbiasa dengan pekerjaan menggiling seperti ini. Setelah pada dasarnya pasrah sampai mati, ia hampir tidak bisa mengatur belasan hari yang mereka habiskan untuk berjalan melalui padang rumput yang membeku dan menyedihkan.

Meskipun baru bulan Oktober, karena berada jauh di Utara, suatu hari badai salju melanda, yang tidak hanya membawa salju, tetapi juga badai pasir. Karena tidak punya tempat untuk bersembunyi dari pasir dan salju, seluruh kelompok, ketiga ratus atau lebih dari mereka, berbaris dalam satu barisan dan terus berjalan melewati padang rumput yang tak berujung. Tiba-tiba, teriakan samar terdengar mendekat dari utara. Melalui udara yang dipenuhi pasir, sepasukan penunggang kuda yang tak terhitung jumlahnya datang menyerang mereka.

Sebelum salah satu dari mereka menyadari apa yang sedang terjadi, tentara telah tiba. Ternyata mereka adalah pasukan dari suku tak dikenal dari utara yang baru saja kalah dalam pertempuran. Kekacauan menimpa kelompok itu saat semua orang membuang senjata mereka dan mulai berlari menyelamatkan diri. Beberapa orang dari mereka yang tidak memiliki kuda dengan cepat diinjak-injak oleh mereka yang memilikinya.

Para prajurit Jin, melihat kekalahan tak terhindarkan, segera berpencar. Li Ping awalnya berada di sisi Duan Tiande, tetapi kehilangan dia selama kekacauan serangan itu. Ia membuang beban yang jadi bagiannya dan berlari secepat mungkin ke arah yang tampaknya paling sedikit orangnya. Untungnya, semua orang sangat peduli dengan kelangsungan hidup mereka sendiri sehingga tidak ada yang menyakitinya.

Setelah beberapa kali berlari, perutnya mulai terasa sangat sakit. Tidak bisa melangkah lebih jauh karena rasa sakit, ia berbaring di belakang gundukan pasir dan pingsan. Setelah sangat lama, terasa seperti selamanya, ia mulai perlahan-lahan sadar. Di benaknya, sepertinya ada suara tangisan bayi. Tidak sepenuhnya koheren, ia masih tidak yakin apakah ia hidup atau mati. Namun tangisan itu lama kelamaan semakin keras. Ia mengejang dan tiba-tiba menyadari bahwa sepertinya ada benda hangat di antara kedua kakinya. Saat ini sudah lewat tengah malam, salju baru saja berhenti dan bulan akhirnya muncul dari balik awan yang terbelah. Ia tersentak bangun dan mulai menangis. Dalam situasi yang tidak mungkin ini, bayi dalam kandungannya lahir.

Ia segera duduk dan mengambil bayi di tangannya. Anak laki-laki. Sangat gembira dan menangis, ia menggunakan giginya untuk menggigit tali pusar dan memeluk bayi itu sekencang mungkin. Di bawah sinar bulan, ia melihat bahwa mata bayi itu besar dan cerah, dan sangat mirip dengan almarhum suaminya dan tangisannya sangat keras. Dalam keadaan normal, seharusnya tidak mungkin ia bertahan hidup setelah melahirkan dalam kondisi yang begitu keras. Tetapi setelah melihat anaknya, ia tiba-tiba menemukan kekuatan yang bahkan ia sendiri pun tidak tahu bahwa ia memilikinya, dan ia perlahan berlutut dan dengan satu tangan, merangkak ke selokan kecil di dekatnya untuk melarikan diri dari hawa dingin. Melihat bayi itu dan memikirkan suaminya, kenangan pahit dan emosi membuatnya kewalahan.

Mereka berdua bermalam di selokan itu. Keesokan paginya, tidak mendengar apa-apa di sekitarnya, ia mengumpulkan cukup keberanian untuk keluar dari situ. Di antara salju putih dan pasir kuning, tanah ditutupi dengan senjata dan mayat yang dibuang. Tidak ada orang hidup yang terlihat.

Ia memungut makanan yang diawetkan dari salah satu tentara yang tewas, serta batu dan pisau pembuat api. Setelah memotong daging kuda dan memasaknya, ia mencari-cari pakaian yang lebih tebal. Ia membungkus bayinya dengan beberapa potong kain tebal dan memakai beberapa potong untuk dirinya sendiri. Untungnya, cuaca sangat dingin sepanjang tahun ini sehingga tidak ada yang busuk, jadi daging kuda itu bisa bertahan selama beberapa hari, jadi ia bisa memulihkan kekuatannya. Kemudian, menggendong bayinya, ia mulai berjalan dengan percaya diri ke arah Timur. Meskipun ia telah kehilangan Duan Tiande yang dibencinya, semua kebencian di hatinya tenggelam dan berubah menjadi cinta dan kelembutan. Yang ia inginkan hanyalah melindungi wajah bayinya dari angin padang rumput yang keras.

Beberapa hari kemudian, ia menyadari bahwa kehidupan tanaman di sekitarnya semakin padat. Senja khusus ini, ia tiba-tiba melihat dua ekor kuda berlari ke arahnya. Para penunggangnya memperhatikannya dan berhenti untuk menanyakan apa yang terjadi. Membuat gerakan liar dengan tangannya, ia menggambarkan pengalamannya bertemu dengan tentara yang kalah dan melahirkan di salju. Kedua orang ini adalah orang Mongol. Meskipun mereka tidak dapat memahaminya sama sekali, mereka, sebagai orang Mongol yang ramah dan bersahabat, merasa kasihan padanya dan mengundangnya untuk menghabiskan malam bersama mereka di kemah mereka. Orang Mongol adalah kelompok orang nomaden, bermigrasi bersama ternak dan musim mereka. Mereka tinggal di tempat penampungan besar yang disebut gers yang mudah dipasang dan diturunkan. Keesokan paginya kelompok pengembara ini pergi, tetapi mereka memutuskan untuk meninggalkan empat domba kecilnya untuk membantunya bertahan hidup.

Setelah melalui banyak penderitaan dan kerja keras, Li Ping menetap di padang rumput. Ia mendirikan gubuk kecil menggunakan cabang pohon dan alang-alang dan memperoleh makanan melalui barter menggunakan baju hangat yang dirajutnya dari wol bulu domba.

Waktu berlalu, dan bocah laki-laki itu akan segera berusia enam tahun. Mengikuti keinginan mantan suaminya, Li Ping memberinya nama Guo Jing. Bocah itu agak lambat dan baru mulai berbicara pada usia empat tahun. Untungnya, dia adalah anak laki-laki yang sangat kuat dan mampu menggembalakan ternak sendirian. Keduanya, ibu dan anak, saling mengandalkan satu sama lain, bertahan hidup hanya dari kebutuhan yang paling sederhana dan menjalani kehidupan yang sangat sederhana dan bahagia. Keduanya telah belajar bahasa Mongolia, dan hanya ketika mereka sendirian satu sama lain barulah mereka berbicara dalam dialek Lin’an dari bahasa Han. Melihat wajah jantan putranya dan mendengar dia berbicara segala sesuatu dalam dialek Linan dari kampung halamannya, sering membuatnya merasakan kesedihan yang pahit, “Ayahmu adalah seorang lelaki di antara laki-laki di Shandong, kamu harus berbicara dengan dialek Shandong juga. Tapi kami tidak cukup lama bersama, dan aku tidak bisa mempelajari dialek itu dari dia, jadi aku tidak bisa mengajarimu.”

Saat itu bulan Oktober dan cuaca perlahan menjadi semakin dingin. Guo Jing menaiki kuda poni kecilnya sendiri dan berangkat, dengan seekor anjing gembala, untuk menggembalakan domba. Sekitar tengah hari, seekor elang hitam besar tiba-tiba muncul di langit dan menukik ke arah kawanan dombanya. Seekor domba muda ketakutan dan mulai lari menyelamatkan diri ke arah Timur. Guo Jing meneriakinya beberapa kali agar domba-domba itu berhenti, tetapi domba itu tetap terus kesitu.

Guo Jing segera menaiki kudanya dan mengejarnya. Setelah 4 atau 5 li atau lebih, ia akhirnya berhasil menangkap domba kecil itu. Tepat ketika dia akan kembali, ia tiba-tiba mendengar suara gemuruh yang sangat keras dan konstan. Terkejut, ia tidak tahu apa gemuruh itu, meskipun ia curiga itu mungkin guntur. Gemuruh itu semakin keras hingga, setelah beberapa saat, ia bisa mendeteksi suara kuda yang meringkik dan manusia yang berteriak di dalam gemuruh itu. Karena belum pernah mendengar hal seperti itu sebelumnya, ia ketakutan dan buru-buru membawa kuda poni kecilnya dan domba-dombanya ke rumpun semak di atas puncak bukit terdekat. Baru pada saat itulah ia berani menjulurkan kepalanya untuk melihat apa yang sedang terjadi.

Apa yang dia lihat adalah debu yang menutupi langit saat kereta yang tak terhitung jumlahnya melaju kencang. Beberapa pemimpin meneriakkan perintah saat tentara berbaris. Satu ke Timur sementara yang lain ke Barat dan keduanya berisi lebih banyak orang daripada yang diperkirakan Guo Jing pernah ada di seluruh dunia. Semua orang mengenakan bandana berwarna putih di kepala mereka. Beberapa bahkan menempelkan bulu berwarna-warni di dalamnya. Saat ini Guo Jing sudah tidak ketakutan lagi. Ia terlalu penasaran dan bersemangat.

Setelah jeda lagi, dari kiri tiba-tiba terdengar suara terompet dan beberapa barisan tentara menyerbu. Mereka dipimpin oleh seorang pria muda bertubuh tinggi dan kurus yang mengenakan jubah merah darah. Ia memegang pedangnya di atas kepalanya, siap menyerang siapa pun yang ditemuinya. Kedua pasukan bentrok dan pertempuran mengerikan pun terjadi. Sisi penyerang kalah jumlah dan perlahan kewalahan dan mulai mundur. Tapi cadangan segera datang mendukung dan pertempuran meningkat ke tingkat yang memekakkan telinga sekali lagi.

Tampaknya pasukan penyerang akan runtuh sekali lagi ketika sepuluh tanduk yang menandakan dimulainya pertempuran tiba-tiba hidup kembali, membuat tingkat kebisingan lebih memekakkan telinga daripada sebelumnya. Tentara penyerang berteriak, “Temujin datang! Khan Temujin Agung datang!” Meskipun kedua pasukan masih bertarung tanpa henti, kepala semua orang secara berkala mengarah ke Timur, tempat tanduk itu berada.

Mengikuti pandangan mereka, Guo Jing juga melihat ke arah Timur. Melalui semua pasir dan debu yang memenuhi langit, ia melihat sekelompok pengendara berlari kencang. Di dalam kelompok itu ada sebuah tiang besar, di mana ada beberapa bulu putih. Sorak sorai semakin keras saat para pengendara semakin dekat dan para penyerang tampak bertarung semakin sengit. Formasi pasukan pertahanan terkoyak seketika. Tiang besar itu perlahan bergerak menuju bukit tempat Guo Jing bersembunyi. Ia mundur lebih dalam ke semak-semak, tapi masih mengintip dengan sepasang matanya yang besar dan cerah. Ia memperhatikan seorang pria paruh baya yang sangat besar dan tinggi di tengah-tengah pengendara yang naik ke atas bukit. Ia mengenakan helm besi di kepalanya dan memiliki janggut coklat di dagunya. Matanya berseri-seri dengan energi dan kekuatan. Yang tidak diketahui Guo Jing adalah bahwa dia adalah pemimpin suku Mongolia, Temujin. Tetapi bahkan jika dia tahu, dia tidak akan tahu apa itu “khan”.

Di atas kudanya, Temujin ditemani beberapa penunggang kuda dengan tenang mengamati pertempuran yang terjadi di kaki bukit. Setelah beberapa saat, pemuda berjubah merah naik ke atas bukit. “Ayah, mereka terlalu banyak, haruskah kita mundur sedikit?” Dia berteriak begitu berhasil mendaki bukit.

Saat ini Temujin sudah selesai mengamati medan pertempuran. Dengan suara rendah, ia memerintahkan, “Bawa timmu dan mundur ke Timur.”

“Muqali, pergilah dengan Pangeran kedua dan mundurlah ke barat. Bogurchi, kau dan Tchila’un mundur ke utara. Kubilai, kau dan Subutai bawa pasukanmu dan menuju ke selatan.” Temujin melanjutkan, tidak pernah mengalihkan pandangan dari medan perang. “Ketika kau melihat spandukku terangkat tinggi, itu adalah sinyalku. Segera bunyikan terompet, berbalik dan serang balik!” Semua petugas pergi dengan perintah mereka. Dalam hitungan detik, pasukan Mongol mulai mundur di semua lini.

Secara serempak tentara musuh mengeluarkan pekikan perang yang memkakkan telinga, dan saat melihat Panji Berbulu Putih Temujin dikibarkan tinggi di puncak bukit, berteriak serempak, “Tangkap Temujin… Tangkap Temujin!” Seperti semut, pasukan lawan mulai menyerbu ke atas bukit, sama sekali mengabaikan pasukan Mongol yang mundur. Sekumpulan kuda dan manusia menerjang tanpa mempedulikan segala rintangan. Kabut kuning dari debu tanah tempat mereka berpijak menyelimuti bukit itu.

Temujin berdiri di puncak bukit, tidak bergerak dan tegas. Puluhan prajurit mengangkat perisai mereka, dan melindunginya dari panah yang terbang dari segala arah. Saudara angkat Temujin, Kutuku, dan jendral Jelme yang menonjol, bersama dengan tiga ribu pasukan elit, mempertahankan dasar bukit dengan segala yang dapat mereka kumpulkan, bertekad untuk bertempur hingga titik darah terakhir.

Di tengah kilatan pedang dan tombak, teriakan perang mengguncang bumi. Menyaksikan semua ini, Guo Jing pada saat yang sama merasa senang dan takut.

Setelah satu jam atau lebih pertempuran sengit, dan di bawah serangan tanpa henti dari puluhan ribu pasukan musuh, tiga ribu pengawal elit Temujin telah menderita sekitar empat ratus korban, pada saat yang sama menebas lebih dari sepuluh ribu musuh. Melihat ke luar, Temujin melihat bahwa meskipun medan perang dipenuhi oleh mayat musuh dan kuda tanpa penunggang berlari tanpa tujuan, jumlah anak panah musuh yang terbang masuk masih banyak. Di ujung timur laut pertempuran, serangan musuh sangat sengit dan pertahanan terlihat semakin dekat untuk runtuh. “Ayah,” Ogedai, putra ketiga Temujin, bertanya dengan cemas, “apakah sudah waktunya untuk mengibarkan panji?”

“Pasukan mereka belum lelah!” Temujin menjawab dengan muram, tidak mengalihkan pandangannya dari pertempuran, bahkan untuk sesaat.

Saat itu ada tiga spanduk hitam di ujung timur laut pertempuran, menandakan bahwa musuh telah mengumpulkan tiga jenderal terkemuka di sana untuk memimpin pasukan. Pertahanan Mongol terus mundur. Di atas bukit datang Jelme, berteriak sekuat tenaga, “Khan, kami tidak bisa menahan mereka lagi!”

“Tidak bisa menahan mereka?” Temujin balas berteriak dengan marah. “Pria macam apa kau ini?”

Ekspresi Jelme berubah dan ia mengambil pedang dari salah satu prajurit infanteri. Dengan teriakan, ia menyerang formasi musuh. Bertarung dengan nekad, ia mengukir jalur darah ke panji-panji hitam. Para komandan musuh, melihat keganasannya, segera menarik kendali mereka dan mundur. Jelme, dengan tiga ayunan pedangnya, menebas tiga orang yang membawa panji-panji itu. Melemparkan pedangnya, dia melingkarkan tangannya di sekitar tiga spanduk, membawanya kembali ke puncak bukit, dan menancapkannya ke tanah secara terbalik. Melihat pameran yang luar biasa ini, moral musuh terguncang. Pasukan Mongol menanggapi dengan amarah dan lubang pertahanan di ujung timur laut dengan cepat ditutup.

Setelah gebrakan berikutnya, seorang jenderal musuh dengan jubah hitam tiba-tiba muncul di sudut barat daya. Tanpa menyia-nyiakan waktu, ia dengan cepat menjatuhkan sekitar selusin tentara Mongol dengan busur dan anak panahnya. Dua perwira Mongol berbalik dan menyerangnya dengan tombak mereka. Hanya dengan menggunakan dua anak panah, ia dengan mudah menembak kedua petugas itu dari kudanya.

“Luar biasa!” Bahkan Temujin pun harus memujinya setelah melihat itu. Saat ini, jendral berjubah hitam telah bertempur di dekat kaki bukit. Dengan dentingan lemah dari busur yang dilepaskan, sebuah anak panah mengenai leher Temujin. Panah lain dengan cepat mengikuti, langsung menuju perut Temujin. Menyadari bahwa ia telah terkena dan panah lain datang, Temujin segera menarik tali kekangnya, membuat kudanya berdiri dengan kaki belakangnya. Anak panah itu membenamkan dirinya ke dada kuda sampai ke bulu, menjatuhkan kuda itu ke tanah. Melihat pemimpinnya tertabrak dan jatuh, pasukan Mongol terkejut. Berteriak sekuat tenaga, dan menerkam kesempatan, musuh menyerang ke depan seperti air bah.

Ogedai baru saja selesai membantu ayahnya mencabut anak panah di lehernya dan sedang merobek bajunya untuk membalut lukanya ketika Temujin berteriak, “Lupakan aku, pertahankan bukit!” Mengangguk cepat, Ogedai berbalik dan langsung menembak jatuh dua perwira musuh.

Kutuku sedang memimpin pasukannya menjaga sisi barat bukit, tetapi karena mereka kehabisan panah dan tombak, ia harus mundur. Mata Jelme memerah saat melihatnya, “Kutuku, apa kau mau lari seperti kelinci ketakutan?”

“Siapa yang lari?” Kutuku balas tersenyum. “Aku kehabisan panah.”

Temujin, yang masih tergeletak di tanah, mengambil segenggam anak panah dan melemparkannya kepada Kutuku. Kutuku dengan cepat meletakkan anak panah ke busurnya dan menembak jendral berpanji hitam terdekat dari kudanya. Dengan cepat menyerbu menuruni bukit, Kutuku meraih kuda jendral itu dan kembali.

“Saudaraku, kau betul-betul hebat!” puji Temujin.

Berlumuran darah dari ujung kepala sampai ujung kaki, Kutuku diam-diam bertanya, “Bisakah kita mengibarkan panji dan membunyikan terompet?”

“Musuh masih belum lelah, tinggal sedikit lagi.” Kata Temujin, darah mengalir di telapak tangannya yang menekan keras luka di lehernya, berusaha menghentikan pendarahan.

Setelah mendengar itu, Kutuku berlutut dan memohon, “Kami berutang nyawa padamu dan tidak ragu untuk mati di sini. Tapi Khan, tolong, kau harus menjaga dirimu sendiri.”

Temujin dengan gemetar berdiri, mengambil kendali kuda dari Kutuku, dan berjuang sekuat tenaga sebelum akhirnya berhasil menunggangi kudanya. Mengayunkan pedangnya dan berteriak, “Pertahankan bukit!” dengan lantang. Ia menebas tiga tentara musuh yang menyerbu ke atas bukit. Melihat Temujin muncul kembali, semangat pasukan lawan kembali terguncang, dan momentum bergeser, dan mereka mulai mundur menuruni bukit.

“Angkat spanduk! Bunyikan terompet!” Temujin memerintah, memanfaatkan peluang tatkala moral musuh mereka sedang rendah.

Tentara Mongol menyerukan pekikan perang secara serempak ketika seorang perwira naik ke atas kuda, berdiri, dan mengangkat panji berbulu putih setinggi mungkin. Terompet terdengar dari segala penjuru. Pekikan manusia menenggelamkan suara terompet saat deretan tentara Mongolia tiba-tiba muncul dari jauh dan mendekat dengan kecepatan kilat.

Musuh melampaui jumlah orang Mongol, tetapi mereka berkumpul di sekitar bukit. Begitu para prajurit di tepi luar mulai mundur, bagian tengah formasi mereka menjadi kacau. Jenderal berbaju hitam, menyadari bahwa air pasang sedang berbalik, segera mulai memberi perintah dengan harapan dapat mengumpulkan pasukannya. Namun formasi tersebut telah runtuh dan para prajurit tidak memiliki keinginan untuk berperang lebih lama lagi. Dalam satu jam, tentara telah hancur berkeping-keping. Mereka yang tidak terbunuh lari menyelamatkan diri. Jendral berbaju hitam, menunggang kuda hitamnya, berbalik dan bergabung dengan mereka.

“Lima puluh tail emas untuk orang yang menangkap bajingan itu!” teriak Temujin. Kata-kata ini dengan segera mengirim beberapa elit Mongolia mengejarnya.

Jenderal berbaju hitam, tidak menunda waktu sedetik pun, berbalik dan menembak jatuh sekitar selusin pengejar satu demi satu. Pengejar lainnya tidak berani terlalu dekat dan, pada akhirnya, membiarkannya pergi. Melihat semua ini dari dalam semak-semak, Guo Jing kagum dengan keberanian dan keterampilan sang jenderal.

Pertempuran itu merupakan kemenangan telak bagi Temujin, menghancurkan lebih dari separuh musuh bebuyutannya, Tatar. Menyurvei medan perang, ingatan Temujin tentang masa lalunya berkelebat di depan matanya lagi, keracunan ayahnya, ditangkap oleh para Taijiut, dan semua siksaan dan rasa malu yang dialaminya di tangan mereka. Meski luka mentalnya masih belum sembuh, hatinya yang gembira dipenuhi rasa manis balas dendam. Tidak dapat menahannya lebih lama lagi, ia bersandar dan tertawa penuh kemenangan. Setiap prajurit bergabung dengan sorak sorai, yang mengguncang bumi saat mereka mulai membentuk formasi dan meninggalkan medan perang.

Guo Jing menunggu sampai para penggali kubur pergi karena sudah gelap, sebelum merangkak keluar dari semak-semak. Saat tengah malam ia sampai di rumah, dan ibunya yang nyaris gila menunggunya kembali, sangat gembira melihatnya. Guo Jing menceritakan apa yang terjadi kepada ibunya dengan sebaik mungkin. Li Ping, melihat wajahnya berseri-seri dengan kegembiraan dan keheranan, dan tanpa rasa takut, berpikir dalam hati, bahwa meskipun dia masih kecil dan sedikit bodoh, dia masih sangat mirip dengan ayahnya dalam hal yang satu ini. Kenangan pahit memenuhi hatinya.

Dua hari kemudian, pagi-pagi sekali Li Ping pergi ke pasar sejauh 30 li membawa dua selimut wol buatan tangannya. Guo Jing sedang menjaga domba di depan rumahnya sambil memikirkan kembali ke apa yang dilihatnya dua hari yang lalu. Memutuskan untuk bersenang-senang, ia mengangkat cambuk penggembala dan mulai melambai-lambaikannya. Mengendarai kuda kecilnya, berteriak sekuat tenaga, dan menggerakkan kawanannya, ia merasa seperti seorang jendral yang memimpin pasukannya sendiri ke medan perang. Tepat ketika ia benar-benar masuk ke dalamnya, tiba-tiba ia mendengar suara tapal kuda dari timur. Seekor kuda sendirian perlahan mendekat dengan seseorang berbaring telentang. Kuda itu mendekat dan berhenti, menyebabkan pria di belakang kuda itu mengangkat kepalanya dan melihat ke atas. Melihat pria itu membuat Guo Jing menjerit ketakutan.

Wajah pria itu berlumuran lumpur, kotoran, dan darah. Itu adalah jendral berbaju hitam yang dilihatnya kemarin lusa. Di tangan kirinya ada bagian bawah dari apa yang dulunya adalah pedang, yang berlumuran darah berwarna merah keunguan. Busur dan anak panah yang telah dipakainya untuk melawan begitu banyak musuh telah hilang. Sepertinya ia bertemu lagi dengan musuhnya setelah melarikan diri dua hari lalu. Pipi kirinya robek dan mengeluarkan banyak darah. Kudanya juga terluka. Tubuhnya gemetar saat matanya yang berlumuran darah menatap Guo Jing, bergumam dengan suara serak dan kelelahan, “Air, air… minta sedikit air?”

Guo Jing segera berlari ke dalam rumah dan mengeluarkan semangkuk air dari bak. Pria itu mengambilnya dari tangan Guo Jing dan meminum semuanya dalam sekali teguk. “Lagi!” mintanya.

Guo Jing mengambil semangkuk air lagi untuknya. Ia minum setengah sebelum darah yang menetes dari wajahnya mengubah air menjadi merah. Pria itu tertawa keras, lalu tiba-tiba, wajahnya berkedut dan ia jatuh dari kudanya dan pingsan.

Guo Jing panik, ia tidak tahu harus berbuat apa. Untungnya, beberapa saat kemudian pria itu tersadar. “Beri kudaku air juga,” katanya, “apa kamu punya sesuatu untuk dimakan?”

Guo Jing mengeluarkan beberapa potong daging domba panggang untuknya dan mengambil seember air untuk kudanya. Setelah menelan makanan yang lezat, pria itu benar-benar segar dan bangkit dari tanah.

“Terima kasih, Saudara Cilik.” Ia berkata sambil melepas gelang emas yang ada di pergelangan tangannya dan mengulurkannya pada Guo Jing. “Ini, ambillah.”

Guo Jing menggelengkan kepalanya, “Ibu berkata bahwa kita harus mengurus tamu dan tidak meminta atau mengambil imbalan apa pun.”

Pria itu menertawakan jawaban lugu ini, dan berkomentar, “Kamu adalah anak yang baik!” Ia meletakkan kembali gelang itu di pergelangan tangannya, merobek setengah dari lengan bajunya, dan mulai merawat lukanya dan kudanya. Tiba-tiba, dari timur datang gemuruh samar derap kaki kuda yang berlari kencang. Wajah pria itu menunduk, “Huh, sepertinya mereka tidak akan membiarkanku pergi!”

Mereka berdua berlari keluar pintu dan melihat tanah di kejauhan tertutup debu yang ditendang oleh kuda yang tak terhitung jumlahnya menuju ke situ.

“Nak, apakah kamu punya busur dan anak panah di rumah?” Pria itu bertanya.

“Yah, tentu saja,” jawab Guo Jing sesaat sebelum melesat kembali ke dalam rumah. Mendengar itu, pria itu tampak agak lega, tetapi itu segera berubah ketika ia melihat bahwa Guo Jing baru saja mengeluarkan busur dan anak panah mainan kecilnya sendiri. Ia tertawa kecil, lalu mengerutkan kening, “Aku butuh yang bisa dipakai untuk perang, yang besar.” Guo Jing hanya menggelengkan kepalanya.

Para pengejar semakin dekat, panji-panji mereka terlihat samar-samar melambai di kejauhan. Pria itu mengira, dengan kudanya yang terluka, ia tidak akan bisa melarikan diri. Meskipun bersembunyi pasti berbahaya, ia tidak punya pilihan lain. “Aku tidak bisa mengalahkan mereka sendirian, jadi aku harus bersembunyi.” katanya, menoleh ke Guo Jing. Ia melihat sekeliling dan menyadari bahwa tidak ada tempat untuk bersembunyi di dalam atau di sekitar gubuk. Dalam keputusasaan, ia duduk di atas setumpuk besar rumput di luar.

“Aku akan bersembunyi di sini. Bisakah kamu menggiring kudaku sejauh mungkin? Pastikan untuk menemukan tempat yang bagus untuk bersembunyi juga dan jangan biarkan mereka menangkapmu.” Ia menginstruksikan sambil mengubur dirinya sendiri ke dalam tumpukan rumput. Secara tradisional, segera setelah musim panas yang terik berlalu, orang Mongolia akan segera menebang semua rumput tinggi yang tersedia dan menumpuknya. Selama musim dingin yang keras, orang Mongolia mengandalkan tumpukan rumput ini untuk memberi makan hewan dan juga api untuk menghangatkan tubuh. Seringkali tumpukan rumput ini lebih besar dari ger mereka. Pria itu benar-benar tersembunyi dengan baik di dalam tumpukan rumput dan mungkin tidak akan ditemukan tanpa pemeriksaan yang cermat.

Guo Jing berbalik dan melecut kuda hitam itu beberapa kali, menyebabkan kuda itu berlari kencang. Ketika sampai hampir sepenuhnya tak terlihat, akhirnya kuda itu berhenti dan mulai merumput. Guo Jing melompat ke atas kuda kecilnya dan pergi ke Barat.

Para pengejar, memberi tahu bahwa ada seseorang di sana, mengirim dua pengintai maju untuk mengejar. Kuda poni Guo Jing tidak cepat dan kedua pengintai itu segera menyusul. “Nak, apakah kamu melihat seorang pria menunggang kuda hitam di sekitar sini?” tanya salah satu dari mereka, agak mendesak.

Guo Jing tidak mengerti bagaimana cara berbohong, jadi dia tidak bisa menemukan kata-kata untuk menjawab pertanyaan itu. Kedua pengintai itu bertanya beberapa kali lagi, tetapi tetap tidak ada jawaban. “Ayo bawa dia ke Pangeran Pertama!”, salah satu dari mereka akhirnya menyarankan, melihat wajah kosong pada anak itu, kedua pengintai memegang kendali Guo Jing dan membawanya kembali ke gubuk.

“Pokoknya aku tidak akan bilang,” Guo Jing mengambil keputusan dalam perjalanan pulang.

Sejumlah tentara Mongolia mengelilingi seorang pemuda jangkung dan kurus. Guo Jing mengenali wajahnya, ia sudah pernah melihatnya di atas bukit dua hari sebelumnya. Menyadari bahwa semua tentara mematuhi perintahnya, Guo Jing menyimpulkan bahwa dia adalah musuh dari jenderal berjubah hitam itu. ”Apa yang dikatakan anak kecil itu?” Si Pangeran Pertama itu berteriak.

“Anak ini kaku ketakutan, dia belum ngomong apa-apa.”

Pangeran Pertama melihat sekeliling dan tiba-tiba melihat kuda hitam merumput di kejauhan. “Apakah itu kudanya? Pergi dan bawa ke sini,” perintahnya dengan tenang. Sepuluh orang Mongol dibagi menjadi lima kelompok dan diam-diam mengepung kuda itu. Pada saat kuda itu melihat dan mencoba melarikan diri, ia sudah kehabisan tempat untuk lari.

“Ini kuda Jebe, kan?” tanya Si Pangeran Pertama dengan nada arogan, tapi seolah-olah ia sudah menyimpulkan begitu. Para prajuritnya menjawab dengan suara bulat, “Betul, Pak!”

Si Pangeran Pertama, menggunakan cambuk tunggangannya, melecut sisi kepala Guo Jing dan berteriak, “Di mana dia bersembunyi? Cepat katakan! Kamu pikir kamu bisa membodohi aku ya?”

Bersembunyi di dalam tumpukan rumput kering, Jebe memegang pedangnya yang patah dengan erat. Melihat Guo Jing dipukul, dan bilur besar segera mulai berkembang di kepalanya, jantungnya berdetak kencang. Ia tahu bahwa ini adalah putra sulung Temujin, Jochi, yang kebegisan dan kebiadabannya terkenal di seluruh padang rumput. Ia berpikir bahwa anak itu pasti akan ketakutan, dan mengatakan di mana ia bersembunyi, dan kemudian ia harus melompat keluar untuk bertarung mati-matian.

Guo Jing ingin menangis, tapi berusaha sekuat tenaga menahan air matanya. Sambil mengangkat kepalanya tinggi-tinggi, ia bertanya, “Mengapa kau memukulku? Aku tidak melakukan kesalahan apapun!” Yang dia tahu, anak-anak hanya dipukuli ketika mereka melakukan kesalahan.

“Berlagak tangguh ya?” Jochi berteriak dengan marah sebelum mencambuk Guo Jing lagi, membuat Guo Jing menangis tersedu-sedu.

Saat ini tentara lain telah menggeledah rumah Guo Jing secara menyeluruh. Dua tentara bahkan menyodok tumpukan rumput dengan tombak mereka. Untungnya tumpukan rumput itu sangat besar dan tidak mengenai Jebe. “Kuda itu masih di sini, dia tidak mungkin pergi terlalu jauh. Nak, kamu mau memberi tahu atau tidak?” Jochi melanjutkan sambil memukul kepala Guo Jing tiga kali lagi. Guo Jing mengulurkan tangan dan mencoba memegang cambuk itu, tapi mana dia bisa?

Tiba-tiba, mereka mendengar suara terompet terdengar dari jauh. “Khan datang!” Semua prajurit berteriak, Jochi berhenti dan berbalik untuk menyapa ayahnya. “Ayah!” sapanya saat pasukan bersama dengan Temujin tiba.

Luka yang dihadiahkan Jebe kepada Temujin ternyata cukup parah. Selama pertempuran Temujin mampu melawannya, tetapi setelah pertempuran selesai ia benar-benar pingsan beberapa kali karena kesakitan. Jendral kepercayaannya Jelme dan putra ketiganya Ogedai bergiliran menghisap gumpalan darah kotor keluar dari lukanya. Para petugas dan putra-putranya menunggu di samping tempat tidurnya sepanjang malam sampai ia tidak lagi berada dalam bahaya besar. Keesokan paginya, bersumpah untuk menangkap Jebe dan membunuhnya untuk membalas luka ini pada Khan, tentara Mongol menyebar ke segala arah. Menjelang senja di hari kedua, tim pengintai kecil akhirnya bertemu dengan Jebe, tetapi dibinasakan oleh dia. Namun begitu, Jebe juga terluka dalam pertempuran itu. Mendengar kabar tersebut, Temujin segera mengutus putra tertuanya Jochi untuk mengejarnya, lalu membawa putra-putranya yang lain bersamanya untuk mendukung dari belakang.

“Ayah, kami sudah menemukan kuda bangsat itu!” kata Jochi sambil menuding ke arah kuda hitam milik Jebe.

“Aku tidak ingin kuda, aku ingin orangnya,” kata Temujin.

“Ya ayah, kami akan menemukannya.” jawab Jochi, sebelum kembali ke sisi Guo Jing. Mencabut pedangnya, ia mengayunkannya ke udara beberapa kali dan berteriak, “Mau kasih tahu apa tidak?”

Wajahnya berlumuran darah dari pemukulan sebelumnya, Guo Jing sebenarnya malah jadi lebih bersemangat dan balas berteriak, “Tidak bakalan bilang! Tidak bakalan bilang!”

Dari tanggapan itu, Temujin bisa melihat betapa lugunya anak itu, menjawab dengan “Tidak bakalan bilang” dan bukan “Aku tidak tahu”, memberikan fakta bahwa dia tahu di mana Jebe bersembunyi. Jadi ia menoleh ke Ogedai dan berbisik, “Coba kau akali dia.”

Sambil tersenyum, Ogedai berjalan ke arah Guo Jing, melepas dua bulu merak bertabur emas dari helmnya dan berkata, “Kalau kamu kasih tahu, ini milikmu.”

Guo Jing tetap bersikeras, “Tidak bakalan bilang!”

“Lepaskan anjing!” Chagatai, putra kedua Temujin memerintahkan para prajurit segera membawa enam anjing pemburu besar.

Orang Mongolia suka berburu dan semua bangsawan atau orang kaya memiliki anjing pemburu dan elang. Chagatai sangat menyukai anjing, dan pencarian Jebe ini adalah latihan yang sempurna untuk anjingnya. Jadi dia memerintahkan anjing-anjing itu dibawa mengelilingi kuda hitam itu beberapa kali sebelum melepaskan mereka untuk menemukan tempat persembunyian Jebe. Anjing-anjing menggonggong dengan liar saat mereka berlari masuk dan keluar dari gubuk berulang kali.

Guo Jing belum pernah bertemu Jebe sebelumnya, tapi dua hari yang lalu ia sangat mengagumi keberanian dan keahliannya di medan perang. Dicambuk beberapa kali oleh Jochi telah membangkitkan sifat keras kepala dan sifat agresif Guo Jing. Ia memanggil anjing gembalanya. Saat ini anjing pemburu Chagatai sudah sangat dekat dengan tumpukan rumput, jadi, atas perintah Guo Jing, anjing gembala memposisikan dirinya di antara tumpukan rumput dan anjing pemburu, tidak membiarkan satupun dari mereka mendekat. Chagatai berteriak keras dan keenam anjing pemburu besar melompat ke depan, dan udara dengan cepat dipenuhi dengan hiruk-pikuk gonggongan anjing saat ketujuh anjing itu berkelahi. Anjing gembala, yang memang lebih kecil, dan bertarung satu lawan enam, dengan cepat dipenuhi oleh bekas gigitan tetapi masih melawan dengan ganas, tidak mundur sedikit pun. Guo Jing memberi semangat anjing gembalanya dengan keras di sela-sela isak tangisnya. Melihat hal tersebut, Temujin, Ogedai, dan semua orang yang hadir tahu pasti bahwa Jebe pasti bersembunyi di tumpukan rumput, sehingga mereka hanya tersenyum dan menikmati pertunjukan adu anjing tersebut.

Karena marah, Jochi mulai memukul Guo Jing dengan cambuk tunggangannya lagi, menyebabkan Guo Jing berguling-guling kesakitan. Ia berguling di sebelah kaki Jochi sebelum tiba-tiba melompat dan meraih kaki kanannya. Jochi mencoba menghempaskannya dengan sebuah tendangan, tetapi cengkeraman bocah itu sangat kuat, dan ia tidak bisa melepaskan kakinya. Anak laki-laki lainnya, melihat kakak laki-laki mereka dalam keadaan canggung dan memalukan, mulai tertawa terbahak-bahak. Bahkan Temujin mulai tertawa kecil. Wajahnya memerah darah, Jochi menghunus pedangnya dan mengarahkannya ke kepala Guo Jing. Begitu kelihatannya anak itu akan kena, pedang patah tiba-tiba menyerang dari dalam tumpukan rumput. “Traangg!” Kedua pedang itu bertemu dan Jochi, yang merasakan tangannya mati rasa, hampir menjatuhkan pedangnya. Para prajurit terkesiap saat Jebe melompat keluar dari tumpukan.

Menarik Guo Jing ke belakangnya dengan tangan kirinya, Jebe mencibir, “Menindas anak kecil, apa kau tidak malu?”

Para prajurit segera menyiapkan tombak mereka dan mengepung Jebe. Melihat ia tidak punya tempat untuk lari, Jebe membuang pedang yang patah itu. Jochi menyerangnya dan mendaratkan pukulan di dadanya dengan Jebe bahkan tidak berusaha melindungi dirinya sendiri.

“Bunuh aku sekarang!” Ia berteriak, tetapi kemudian ia menambahkan dengan suara pelan dan berat, “Sayangnya aku tidak bisa mati di tangan pahlawan sejati!”

“Apa kau bilang?” sela Temujin.

“Mati di medan perang, di tangan pahlawan yang mengalahkan aku, itu mati tanpa penyesalan. Tapi hari ini seekor elang jatuh ke tanah dan digigit semut sampai mati!” Jebe menjawab dengan amarah di matanya, dan mengeluarkan suara lolongan dahsyat. Anjing-anjing pemburu Chagatai, yang secara kolektif menjepit anjing gembala Guo Jing ke tanah dan menggigitnya tanpa henti, melompat mendengar lolongan itu dan lari sambil merintih ke belakang pelatih mereka.

“Khan, jangan biarkan bajingan kecil ini membanggakan diri seperti itu.” Seseorang melangkah keluar dari samping Temujin dan berteriak. “Biarkan aku berduel melawan dia!”

“Baiklah, lawan dia.” jawab Temujin dengan gembira, setelah tahu bahwa pria itu adalah Bogurchi. “Kita tidak punya banyak hal lain, tapi kita punya pahlawan.”

“Aku sendiri yang akan membunuhmu, jadi kau bisa mati tanpa penyesalan.” Bogurchi maju beberapa langkah dan berteriak pada Jebe.

“Kau siapa?” Jebe balas berteriak, memperhatikan bahwa penantang itu bertubuh sangat kekar dan memiliki suara yang sangat dalam dan nyaring.

“Aku Bogurchi.” jawab Bogurchi. “Pernah dengar soal aku?”

Perasaan dingin menembus hati Jebe, “Jadi ini dia. Desas-desus mengatakan bahwa Bogurchi adalah pahlawannya para pahlawan di antara bangsa Mongol.” Tidak ingin menjawab, ia hanya melihat ke samping dan mendengus, “Hmph!”

“Kau membual tentang keahlianmu dengan busur dan anak panah, dan orang lain bahkan memanggilmu Jebe. Gimana kalau kau dan temanku ini bikin kontes kecil-kecilan?” kata Temujin. Dalam bahasa Mongolia, “Jebe” berarti “panah” atau bisa jadi “pemanah ilahi”. Jebe memiliki nama lain, tetapi karena keahliannya yang luar biasa dengan busur dan anak panah, semua orang memanggilnya Jebe dan nama aslinya sudah lama dilupakan.5

“Jadi kau adalah temannya?” Jebe berteriak pada Bogurchi. “Kalau begitu kurasa aku akan membunuhmu dulu.” Pernyataan ini menyebabkan semua tentara Mongol tertawa terbahak-bahak, karena semua orang tahu bahwa Bogurchi tidak terkalahkan sebagai pejuang dan terkenal di seluruh padang rumput. Meskipun mereka melihat betapa hebatnya Jebe dengan busur, mengklaim mampu membunuh Bogurchi terlalu berlebihan untuk mereka terima.

Dulu ketika Temujin masih kecil, dia pernah ditangkap oleh Taijiuts, yang membelenggunya dengan sebuah belenggu kayu di lehernya. Banyak suku Taijiut berkumpul di Sungai Onon untuk merayakannya sambil minum dan mencambuknya pada saat yang bersamaan. Setelah para kawanan itu cukup mabuk, Temujin membuat penjaganya pingsan dengan belenggunya dan melarikan diri ke hutan terdekat.

Taijiuts melakukan pencarian besar-besaran untuk menemukannya. Saat itulah ia bertemu dengan seorang pemuda bernama Tchila’un, yang mengambil resiko yang sangat besar, membawanya ke rumahnya. Tchila’un-lah yang menghancurkan belenggunya dan melemparkannya ke dalam api, dan Tchila’un juga yang menyembunyikannya di gerobak bulu domba. Ketika pengintai Taijiut datang dan menggeledah rumah Tchila’un, mereka menemukan gerobak bulu domba dan mulai memeriksa isi gerobak itu lapis demi lapis.

Tepat saat kaki Temujin bakal kelihatan, ayah Tchila’un tiba-tiba menyela, “Hari ini panas sekali, mana ada orang yang bersembunyi di tumpukan bulu domba? Jika melakukannya, dia mungkin sudah mati hangus.”

Itu tepat di tengah musim panas dan semua orang berkeringat deras. Para pengintai menganggap apa yang dikatakannya masuk akal dan tidak melihat lebih jauh. Hidup Temujin dipenuhi dengan bahaya dan ketegangan, tapi pengalaman itulah yang paling menegangkan dan sekaligus berbahaya dari semuanya.

Setelah dia melarikan diri, Temujin hidup dalam penderitaan bersama ibu dan saudara laki-lakinya dan mereka terpaksa bergantung pada tupai padang rumput dan marmut untuk bertahan hidup. Suatu hari, delapan kuda putih yang dimiliki Temujin dicuri oleh sekelompok kecil pencuri dari suku Taijiut. Saat Temujin mengejar mereka sendirian, ia berpapasan dengan pemuda lain yang sedang memerah susu kudanya. Ketika Temujin berhenti untuk menanyakan tentang para pencuri, akhirnya mereka jadi teman baik, nama pemuda itu adalah Bogurchi.

“Hidup kita sama-sama penuh penderitaan,” kata Borguchi. “Ayo kita berteman.”

Keduanya melaju di atas pelana kuda bersama. Pelu waktu tiga hari sebelum mereka akhirnya berhasil menangkap suku pencuri. Keduanya, sendirian, menghadapi beberapa ratus musuh dan merebut kembali delapan kuda itu. Temujin menawarkan untuk berbagi kuda dengannya dan menanyakan berapa banyak yang dia inginkan.

“Aku melakukan ini sebagai teman, jadi aku tidak akan mengambil satu pun.” jawab Bogurchi. Sejak hari itu, keduanya bekerja sama. Persahabatan mereka adalah persahabatan sejati yang ditempa dalam saat-saat sulit.

Bogurchi dan Tchila’un, bersama dengan Muqali dan Boroqul adalah empat jendral utama pendiri Kekaisaran Mongolia.

Mengetahui betapa hebatnya Bogurchi dengan busur itu, Temujin menyerahkan busurnya sendiri kepada Bogurchi dan melompat turun dari kuda putihnya. “Naik kudaku, gunakan busur dan anak panahku, jadi seolah-olah aku sendiri yang membunuhnya.”

“Ya, Pak!” Bogurchi melompat ke atas kuda kesayangan Temujin dengan busur dan anak panah di tangan. Beralih ke Ogedai, ia berkata: “Biarkan Jebe menggunakan kudamu.”

“Yah, beruntung sekali dia.” Ogedai berkomentar sebelum melompat turun dan memerintahkan seorang penjaga untuk mengantarkan kudanya kepada Jebe.

“Aku sudah dikepung,” Jebe menoleh kepada Temujin setelah duduk di pelana, “jika kau ingin membunuhku, akan lebih mudah daripada membunuh seekor domba. Karena kau sudah berbelas kasihan dengan membiarkan aku berduel dengan busur, aku tidak berani meminta apa-apa lagi. Oleh karena itu aku hanya meminta sebuah busur dan tidak perlu anak panah.”

“Tanpa anak panah?” Borguchi berteriak, merasa dipermalukan.

“Betul, aku bisa membunuhmu hanya dengan busur!”

Kali ini tawa para prajurit Mongolia lebih keras lagi. “Benar-benar pembual!” Teriak salah satu dari mereka saat Temujin memerintahkannya untuk menyerahkan busur terbaiknya kepada Jebe.

Bogurchi sudah melihat aksi Jebe beraksi selama pertempuran dan tahu betul betapa hebatnya dia sebagai penembak jitu dan tidak berani menganggapnya enteng. Namun, tanpa panah, memangnya Jebe bisa berbuat apa? Bogurchi, tahu bahwa Jebe pasti berencana untuk menggunakan panah yang dia tembakkan, ia memacu kudanya dengan kuat dengan kakinya, mendesaknya untuk berlari kencang. Kuda jantan ini tidak hanya cepat, tetapi juga telah melalui banyak pertempuran dan sangat tanggap terhadap keinginan penunggangnya. Karena itu, Temujin sangat menyukainya.

Menanggapi kecepatan lawan, Jebe menarik tali kekang, membuat kudanya perlahan mundur. Bogurchi memasang anak panah ke busurnya, dan mengarah langsung ke wajah Jebe, lalu melepaskannya. Jebe memiringkan tubuhnya, dan dengan koordinasi mata-tangan yang luar biasa mengangkap anak panah itu di tengah udara.

“Oh itu bagus.” Bogurchi bergumam pelan dan menembakkan panah lain.

Mendengar bulu anak panah membelah udara, Jebe tahu bahwa ia tidak akan bisa menangkap yang satu ini. Dia mencondongkan tubuh ke depan, menempelkan tubuhnya rata di leher kuda. Panah terbang di atas kepalanya, nyaris tidak meleset menyerempetnya. Segera ia membuat kudanya berlari kencang ke depan dengan sedikit tendangan dan duduk kembali. Tetapi yang tidak dia ketahui adalah bahwa Bogurchi adalah ahli dalam menembakkan panah satu demi satu dan dua anak panah lagi mengarah padanya. Tidak mengharapkan keterampilan seperti itu dari musuhnya, Jebe terpaksa segera turun dari pelana, dan mengaitkan kaki kanannya di pedal, bergantung di sisi kuda nyaris menyentuh tanah. Kuda itu masih berpacu dengan kecepatan penuh, seolah-olah ada burung penari di sisinya. Jebe memutar tubuhnya. Ia telah memasukkan anak panah yang baru saja ditangkapnya ke busur pada saat ia baru setengah jalan kembali ke pelana, sekarang ia melepaskannya mengarah ke perut Bogurchi. Kemudian ia segera duduk kembali ke atas pelana.

“Bagus sekali!” Teriak Bogurchi sambil membidik panah yang datang dan melepaskannya. Kedua anak panah itu bertemu hampir berhadapan dan melesat ke arah yang berbeda sebelum kedua anak panah, yang masih membawa kekuatan besar, menancap ke tanah dengan bulu mereka terangkat. Pertukaran itu menyebabkan Temujin dan semua penonton lainnya bersorak meriah.

Bogurchi pura-pura menembak ke kiri, menunggu sampai Jebe bereaksi ke kanan sebelum tiba-tiba melepaskan tembakan ke arah kanan. Jebe menjentikkan busurnya dengan tangan kiri dan menjatuhkan anak panah itu ke tanah. Bogurchi menyusul dengan tiga tembakan lagi, yang semuanya berhasil dielakkan oleh Jebe. Jebe, mempercepat kudanya, tiba-tiba turun dari pelana, mengulurkan tangan, mengambil tiga anak panah dari tanah, duduk kembali, dan menembak salah satu dari mereka semua dalam satu gerakan.

Ingin memamerkan sedikit keahliannya, Bogurchi melompat ke pelananya. Menjaga keseimbangannya dengan kaki kirinya, ia menendang panah dengan kaki kanannya. Kemudian, masih berdiri, ia menggunakan keunggulan tinggi badan dan melepaskan tembakan yang sangat ganas. Jebe menarik kudanya ke samping untuk menghindari tembakan dan membalas dengan tembakan lain, yang, dengan “krekkk!”, membelah anak panah yang ditembakkan Bogurchi, menjadi dua di sepanjang batangnya.

“Dia bahkan tidak punya anak panah, tapi sampai sekarang masih seimbang. Bagaimana aku bisa membalas dendam untuk Khan?” Bogurchi berpikir sendiri. Menjadi tidak sabar, Bogurchi mulai menembakkan panah satu per satu tanpa henti, sedemikian rupa sehingga semuanya menjadi kabur bagi para penonton. Karena tidak punya cukup waktu untuk mengambil anak panah, Jebe terpaksa menghindarinya. Namun anak panah terus beterbangan masuk, dan semakin cepat, dan lebih banyak, sampai akhirnya ia terkena di bahu kirinya. Melihat ini semua orang yang hadir bersorak serempak.

Sangat gembira, Bogurchi baru saja akan menembakkan beberapa anak panah lagi dan mengakhiri hidup Jebe, ketika ia merogoh tas panahnya dan ternyata sudah kosong. Ia benar-benar telah menggunakan semua anak panahnya saat menghujani Jebe dengan gencar. Ia selalu membawa sejumlah besar anak panah ketika memasuki medan tempur, dua tempat anak panah di sisinya dan enam anak panah lagi di atas kuda dengan total delapan kantong anak panah yang diisi penuh. Namun kali ini ia menggunakan pasokan panah Khan sendiri, dan di tengah pertempuran, ia lupa bahwa ada batasan panah, dan menggunakan cara yang sudah biasa digunakannya. Terkejut mengetahui bahwa ia telah menggunakan semua anak panahnya, ia segera membalikkan kudanya dan mengulurkan tangan untuk mengambil beberapa anak panah dari tanah.

Jelas melihat semua ini, Jebe menerkam kesempatan emas itu. Sebelum suara panah yang menembus udara memudar dari telinga semua orang, panah itu telah mengenai punggung Bogurchi, tepat di tempat jantungnya berada. Para penonton tersentak kaget. Tapi anehnya, meskipun panah ini ditembakkan dengan kekuatan besar dan menyebabkan gelombang rasa sakit menembus punggung Bogurchi, itu tidak menembus pakaiannya dan jatuh ke tanah. Bogurchi mengulurkan tangan, mengambil anak panah itu, dan memeriksanya. Ternyata Jebe benar-benar melepas mata anak panah, sebagai tanda ia berbelas kasihan. Ia berbalik kembali ke pelana dan berteriak, “Aku membalas dendam untuk Khan. Aku tidak membutuhkan belas kasihanmu!”

“Aku, Jebe, tidak pernah menunjukkan belas kasihan kepada musuhku! Panah terakhir itu adalah untuk menukar satu nyawa dengan yang lain!”

Saat melihat Bogurchi kena, Temujin sangat terpukul. Namun sekarang ia menyadari bahwa Bogurchi tidak sedang tewas, ia sangat gembira. Pada saat ini ia benar-benar bersedia menukar semua domba, lembu, dan kuda milik sukunya dengan imbalan nyawa Bogurchi tanpa ragu sedikit pun. Mendengar ucapan Jebe, ia langsung menjawab, “Baiklah, tidak perlu melangkah lebih jauh. Kau membiarkan dia hidup, jadi aku juga membiarkan kau hidup. Nyawanya ditukar hidupmu.”

“Aku bukan minta tukar nyawaku dengan nyawanya.” kata Jebe.

“Lalu apa?” tanya Temujin heran.

“Aku minta tukar nyawanya!” kata Jebe lagi, sambil menunjuk Guo Jing, yang saat itu sedang berdiri di dekat pintu gubuknya. “Aku minta supaya Khan tidak mengganggu anak ini lagi.”

“Sedangkan aku…” Ia melanjutkan, mengangkat salah satu alisnya lebih tinggi. “Aku melukai Khan, dan pantas mendapatkan hukuman apa pun yang diberikan kepadaku. Bogurchi, ayo” Ketika selesai bicara, dia menarik anak panah dari bahunya, dan dengan darah masih menetes, memasangnya ke busurnya. Saat ini anak buah Bogurchi telah memberinya enam anak panah lagi. “Baiklah, mari kita coba ini lagi!” jawab Bogurchi sambil menghujani Jebe dengan panah. Panah-panah itu datang begitu cepat sehingga tampak hampir terhubung, menciptakan rantai panah di udara.

Melihat situasi itu, Jebe mengangkat dirinya dengan mengaitkan kakinya pada pedal, membalikkan diri di bawah perut kudanya. Bersandar ke samping agar tidak membentur tanah, ia membidik dan melepaskan tembakan ke perut Bogurchi. Kuda putih tidak menunggu tuannya menarik tali kekang, secara naluriah mengelak ke kiri. Sayangnya, tembakan dari Jebe jauh lebih cepat daripada tembakan normal mana pun dan kuda jantan itu tidak dapat menyingkir tepat waktu. Dengan bunyi gedebuk, anak panah itu mengenai kepala kuda itu, dan langsung menjatuhkannya.

Berbaring di tanah, Bogurchi tidak berani mengambil risiko Jebe melakukan tembakan lanjutan, ia segera berputar dan melepaskan tembakan lagi, mematahkan busur di tangan Jebe. Kehilangan senjatanya, Jebe mengutuk fakta bahwa ia tidak dapat melawan lebih lama lagi, dan ia harus melakukan zig-zag untuk menghindari tembakan Bogurchi. Para prajurit Mongolia yang hadir semuanya mulai berteriak dan bersorak untuk Bogurchi saat ia memasukkan anak panah lagi ke haluan. “Dia benar-benar pahlawan!” Bogurchi berpikir sambil membidik punggung Jebe dan melepaskan tembakannya.

Penembak jitu yang hebat tidak pernah melewatkan saat penting, dan panah ini mengenai Jebe di belakang kepalanya. Tubuh Jebe bergetar dan ia jatuh dari kudanya, anak panah jatuh di sampingnya. Bogurchi tidak mampu memaksa dirinya untuk membunuh pahlawan seperti itu, juga melepaskan mata panah dari panahnya. Bogurchi memasukkan anak panah ke busurnya dan membidik Jebe sebelum berbalik ke arah Temujin, “Khan Yang Agung, aku mohon tunjukkan belas kasihan dan melepaskan dia!”

Saat itu Temujin sudah semakin mengagumi keberanian dan kemampuan Jebe. Ia berseru, “Kau masih tidak mau menyerah?”

Ketika melihat Temujin duduk di sana dengan segala keagungan dan kemegahannya, Jebe tiba-tiba terpesona. Ia berlari secepat yang dia bisa, dan dengan kepala tertunduk, berlutut di depan Temujin.

Temujin tertawa terbahak-bahak: “Luar biasa! Luar biasa! Mulai sekarang kau bersamaku!”

Orang Mongolia sering menyanyi untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran mereka. Saat ini, masih berlutut di tanah, Jebe mulai menyanyi, “Oh, Khan Agung, kau menunjukkan belas kasihanmu dan membiarkan aku hidup. Di masa depan, apakah itu melompat ke air mendidih atau berjalan di atas api, aku akan melakukannya. Aku akan menyeberangi lautan hitam dan menghancurkan pegunungan untuk melindungi Khan Agung. Menaklukkan musuh, mengorek jantung mereka! Berikan saja perintahmu dan aku akan melakukannya. Untuk Khan, aku akan memimpin perang, lari sejauh satu juta li sehari!”

Temujin begitu gembira melihat akhir peristiwa itu, ia mengeluarkan dua batangan emas dan memberikannya masing-masing kepada Bogurchi dan Jebe. Jebe berterima kasih padanya dan bertanya, “Khan yang agung, bolehkah aku memberikan emas ini kepada anak itu?”

“Emasku bisa kuberikan kepada siapapun yang aku mau,” jawab Temujin sambil tersenyum. “emasmu bisa kau berikan kepada siapapun yang kau mau!”

Jebe berjalan ke arah Guo Jing dan mengulurkan batangan emas itu. Tapi Guo Jing hanya menggelengkan kepalanya, “Ibu berkata bahwa membantu tamu adalah hal yang benar untuk dilakukan, dan mengambil apa pun dari tamu adalah salah.”

Temujin sudah menyukai Guo Jing karena sikap pantang menyerah yang ditunjukkan bocah itu sebelumnya. Mendengar kata-kata itu, sekarang ia semakin menyukai Guo Jing.

“Bawa anak ini ke dalam suku kita juga.” Ia menginstruksikan Jebe sebelum memimpin tentara pulang. Beberapa tentara tetap tinggal untuk meletakkan mayat kuda putih di punggung dua kuda sebelum pergi juga. Mampu menyelamatkan nyawanya sendiri dan menemukan seorang Khan pada saat yang sama, Jebe sangat gembira dan lelah. Ia berbaring di tanah, beristirahat sampai Li Ping kembali dari pasar, dan menjelaskan kepadanya apa yang telah terjadi.

“Wah, anak yang baik,” kata Li Ping kepada Guo Jing setelah mendengar betapa berani dan setianya dia, meskipun ia sangat sedih melihat semua luka di wajah anaknya. “Begitulah seharusnya seorang pria bertindak dan berperilaku.” Ia berpikir bahwa bergabung dengan tentara dan menjalani pelatihan keras akan jauh lebih baik bagi Guo Jing daripada menggembala, terutama jika Guo Jing ingin membalaskan dendam ayahnya. Jadi ibu dan anak itu mengikuti Jebe masuk ke suku Temujin.

Temujin mengangkat Jebe menjadi Pemimpin Pasukan di bawah komando putra ketiganya, Ogedai (orang Han menyebutnya 窩闊台, Wo Kuo Tai). Setelah bertemu dengan Pangeran Ketiga, Jebe bertemu dengan Bogurchi. Didorong oleh rasa saling menghormati, keduanya dengan cepat menjadi teman. Merasa berhutang budi pada Guo Jing, Jebe sangat berhati-hati dalam menjaga ibu dan anak itu. Ia memutuskan bahwa ia akan mulai mengajari Guo Jing memanah segera setelah Guo Jing bertambah dewasa.

Pada suatu hari, Guo Jing sedang bermain lempar-lemparan batu dengan beberapa anak Mongolia lainnya, ketika mereka melihat dua orang Mongol berkuda memasuki perkemahan, jelas sekali mereka sedang membawa berita untuk Khan. Tidak lama setelah kedua orang itu memasuki ger Temujin, terompet mulai berbunyi, menyebabkan para prajurit keluar dari ger mereka. Temujin memakai tangan besi dalam hal melatih dan mendisiplinkan pasukannya. Sepuluh tentara diorganisir menjadi satu regu, yang dipimpin oleh seorang Pemimpin Regu. Pasukan diperintahkan menjadi peleton yang terdiri dari sepuluh regu yang dipimpin oleh Komandan Seratus Orang, sepuluh kelompok Seratus Orang dipimpin oleh Komandan Seribu Orang, yang kemudian diorganisir di bawah salah satu dari beberapa Komandan Sepuluh Ribu Orang. Ketika Temujin memberi perintah, seolah-olah ia hanya menggerakkan jarinya saja dan tidak ada perintah yang dilanggar atau tidak dilaksanakan.

Saat Guo Jing dan anak-anak lainnya melihat, dan di akhir tiupan terompet pertama, semua prajurit telah mengambil senjata mereka dan menaiki kuda mereka. Ketika terompet berbunyi untuk kedua kalinya, dunia berguncang karena suara manusia dan hewan bergerak. Pada saat bunyi terompet ketiga berhenti, dataran tepat di luar gerbang utama perkemahan ditutupi oleh sekitar lima puluh ribu pria dan prajurit berkuda berbaris rapi. Selain dengusan kuda, tidak ada suara lain, baik suara celoteh percakapan maupun suara senjata yang bertabrakan.

Temujin, dikawal ketat dari belakang oleh ketiga putra sulungnya, berjalan keluar dari gerbang utama. “Kita telah mengalahkan banyak musuh dan berita tentang prestasi kita telah sampai ke Kerajaan Jin Agung.” Ia berkata dengan suara lantang. “Pada saat ini, Kaisar Agung Jin telah mengirim Pangeran Ketiga dan Pangeran Keenam ke sini untuk secara resmi mengurapi Khan Anda sebagai perwira Jin!”

Para prajurit, serempak, mengangkat pedang mereka dan berteriak kegirangan. Saat itu Jin menguasai Song Utara dengan pasukan yang garang dan kuat. Kekaisaran mereka terkenal dan kuat. Di sisi lain, bangsa Mongol hanyalah suku kecil di antara banyak suku di tengah padang rumput. Itulah alasan mengapa Temujin merasa terhormat menjadi pejabat Kekaisaran Jin. Temujin memerintahkan putra sulungnya, Jochi, untuk membawa sepuluh ribu orang bersamanya untuk menyambut dan mengawal para tamu sementara empat puluh ribu pria lainnya berbaris dalam formasi, menunggu.

Kenyataannya adalah, Kaisar Jurchen pada saat itu, Wanyan Jing, yang bergelar Zhang Zong, kuatir akan bangkitnya kekuatan beberapa suku di padang rumput, seperti suku Temujin, suku Toghril, Ong Khan, Kerait. Kuatir tetangga utaranya akan menjadi sumber masalah baru, ia mengirim Pangeran Rong, putra ketiganya Wanyan Hongxi, dan Pangeran Zhao, putra keenamnya Wanyan Honglie untuk mengurapi para pemimpin sebagai perwira Jin. Tapi selain mempererat ikatan suku-suku ini dengan Jin dan meningkatkan upeti, para pangeran punya misi lain: memata-matai suku-suku itu, dan mencatat kelemahan mereka masing-masing, supaya mereka menang jika terjadi konflik di masa depan. Pangeran Zhao, Wanyan Honglie, adalah orang yang sama yang melakukan perjalanan ke Lin’an, yang dilukai oleh Qiu Chuji di Desa Niu, dan bertemu dengan Tujuh Orang Aneh di Jiaxing.

Guo Jing dan teman-temannya berdiri di kejauhan, mencoba melihat sekilas kejadian ini. Setelah menunggu lama, hamparan debu muncul di cakrawala saat Jochi bertemu dengan Wanyan Hongxi dan Wanyan Honglie. Wanyan bersaudara membawa serta sepuluh ribu tentara elit, masing-masing mengenakan jubah sutra, baju besi dan membawa tombak di tangan kiri dan pentungan serigala di tangan kanan sambil menunggang kuda mereka. Dentang baju zirah bisa terdengar sampai radius sekian li dari situ. Saat tentara semakin dekat, sutra bersinar dan baju zirah semakin bersinar di bawah sinar matahari yang cerah, menciptakan pemandangan yang spektakuler. Kedua bersaudara itu saling bahu membahu, sementara Temujin, putra-putranya dan para jendralnya menunggu di pinggir jalan untuk menyambut mereka. Melihat Guo Jing dan semua anak lainnya berdiri di sana menatapnya, Wanyan Hongxi tertawa terbahak-bahak. Dia merogoh bajunya dan mengeluarkan segenggam koin emas dan melemparkannya ke kerumunan anak-anak. “Hadiah untuk kalian anak-anak!” Ia berteriak sambil tertawa, membayangkan bahwa anak-anak pasti akan bersorak dan berebut di tanah untuk mendapatkan uang yang akan memamerkan kemurahan hati dan kekayaannya sendiri.

Namun ternyata, etika dan kehormatan antara tuan rumah dan tamu adalah yang paling penting bagi orang Mongolia. Tindakannya tidak hanya tidak pantas untuk acara itu, tetapi juga sangat tidak sopan. Para jendral dan prajurit Mongol terkejut atas tindakannya. Semua anak-amak itu adalah putra atau putri tentara dan jendral Mongolia. Meskipun mereka masih kecil, masing-masing dari mereka memiliki harga diri. Akibatnya, tak satu pun dari mereka mengambil koin tersebut. Kegembiraannya berkurang, Wanyan Hongxi melemparkan segenggam koin emas lagi dan berteriak, “Ayo! Berebutlah kalian, Setan-setan Kecil!”

Aksi ini menimbulkan kegemparan yang lebih besar lagi di antara orang-orang Mongol. Meskipun orang Mongol tidak memiliki bahasa tertulis pada saat itu dan hanya punya kebudayaan sederhana, mereka sangat mementingkan kesopanan dan kehormatan, terutama mengenai tamu. Orang Mongolia, secara tradisional, tidak pernah mengutuk, bahkan ketika menghadapi musuh bebuyutan seumur hidup atau hanya bercanda. Ketika seseorang memasuki ger mereka, tidak peduli apakah orang itu adalah teman atau bukan, orang itu akan diperlakukan dengan sangat hormat dan terhormat. Dengan cara yang sama, tamu juga tidak boleh tidak menghormati tuan rumahnya, karena itu dianggap sebagai penghinaan terbesar. Meskipun apa yang diteriakkan Wanyan Hongxi adalah dalam bahasa Jurchen, dan tidak ada orang Mongol yang memahaminya, semua orang tahu bahwa ia sedang memaki anak-anak dari bahasa tubuh dan nada suaranya.

Terus-menerus diberitahu bagaimana bangsa Jin memperkosa, menjarah, dan mencuri milik orang-orang Han, tentang bagaimana bangsa Jin merusak pejabat dan membunuh Yue Fei, darah muda Guo Jing telah lama bergolak, hatinya dipenuhi dengan kebencian terhadap bangsa Jin. Sekarang melihat betapa kasarnya Pangeran Jin ini, ia mengambil beberapa koin emas dari tanah, dan berlari sedikit, melemparkannya ke arah Wanyan Hongxi dengan sekuat tenaga. “Siapa yang menginginkan uangmu?” Dia berteriak. Wanyan Hongxi memiringkan kepalanya ke samping untuk menghindari koin. Kendatipun demikian, salah satu dari coin itu mengenai mukanya tepat di tulang pipi. Meskipun Guo Jing tidak kuat dan tidak benar-benar tepat sasaran, ia tetap dibuat terlihat buruk di depan puluhan ribu orang. Setiap orang Mongolia dari Temujin ke bawah bersorak dalam hati.

Wanyan Hongxi sangat marah. Ketika berada di wilayah Song, telah berkali-kali ia membunuh orang karena ketidaksenangannya. Belum pernah ia dipermalukan seperti ini. Saat amarahnya berkobar, ia mengambil tombak dari penjaga yang berada di sisinya dan melemparkannya ke dada Guo Jing dengan sekuat tenaga dan berteriak, “Kamu ingin mati ya, bajingan kecil?”

“San Ge… jangan!” teriak Wanyan Honglie, ia tahu tindakan ini sangat buruk. Tapi ia terlambat, tombak sudah dalam perjalanan. Persis pada saat Guo Jing akan mati tertikam tombak, sebuah anak panah tiba-tiba melesat dari barisan pasukan Mongolia di sebelah kiri. Seperti meteor yang ditembakkan di sekitar bulan, anak panah itu menghantam kepala tombak dengan suara “triinggg!” Dikemas dengan kekuatan yang luar biasa, anak panah itu mampu membelokkan tombak meski berkali-kali lipat lebih ringan. Guo Jing segera bergegas pergi. Semua tentara Mongolia bersorak serempak, gegap-gempita mengguncang areal padang rumput. Orang yang menembakkan panah itu tidak lain adalah Jebe.

“San Ge, jangan ganggu dia lagi!” Wanyan Honglie berbisik kepada kakaknya. Melihat dan mendengar kekuatan tentara Mongolia, Wanyan Hongxi sedikit terguncang, jadi ia hanya menatap tajam ke arah Guo Jing dan mengutuk pelan, “Bajingan kecil!” Sejauh ini baik Wanyan Honglie maupun kakaknya sama sekali tidak punya bayangan bahwa Guo Jing sebenarnya adalah seorang anak keturunan Han, karena baik penampilan maupun sikapnya, dan cara bicaranya boleh dikatakan tidak ada tanda-tanda ke arah itu, tambahan lagi, ia berada di antara anak-anak Mongolia. Dan tentu saja, sedikit pun Wanyan Honglie tidak menduga, bahwa anak itu adalah anak kandung dari Guo Xiaotian.

Pada titik ini, Temujin dan para pengikutnya telah tampil untuk secara resmi untuk menyambut kedua Pangeran Jin dan membawa mereka ke ger utama. Di sana mereka menyajikan koumiss (minuman beralkohol khas Mongolia yang terbuat dari fermentasi susu kuda) dan daging sapi dan domba dalam jumlah besar. Ada penerjemah di kedua pihak, menerjemahkan bahasa Jurchen dan Mongolia. Wanyan Hongxi membacakan keputusan kerajaan dengan lantang, memberikan gelar ‘Duta Besar Kekaisaran Jin Utara’ kepada Temujin. Temujin, yang berlutut di lantai selama pembacaan, dengan rendah hati menerima dokumen resmi dan Sabuk Emas, yang menandakan kesetiaannya kepada Kaisar Jin. Malam itu orang-orang Mongolia merayakannya dengan pesta besar untuk menghibur para utusan yang dihormati.

“Besok, adikku dan aku akan menganugerahkan jabatan pada Ong Khan.6” Wanyan Hongxi, agak di bawah pengaruh koumiss, berkata kepada Temujin. “Akankah Duta Besar bergabung dengan kami?”

Temujin sangat gembira mendengar berita itu dan langsung setuju untuk ikut. Ong Khan, atau Toghrul, adalah seorang Keraites, adalah pemimpin di antara suku-suku di padang rumput. Sukunya adalah yang terkaya dan terkuat. Selain itu, ia adalah pria yang baik, selalu memperlakukan orang lain dengan setara. Tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa ia dihormati dan disukai oleh setiap suku. Ong Khan pernah menjadi saudara angkat ayah Temujin. Setelah ayah Temujin diracuni oleh musuhnya dan Temujin tidak punya tempat tujuan, Ong Khan-lah yang mengambilnya sebagai anak tiri. Tidak lama setelah Temujin menikah, istrinya dibawa pergi oleh orang Merkit. Hanya berkat bantuan Ong Khan dan Jamuka, saudara angkat Temujin, bergabung dengannya, ia berhasil mengalahkan Merkit dan menyelamatkan istrinya. Itulah alasan Temujin sangat gembira mendengar bahwa Ong Khan akan diberikan gelar juga. “Apakah Kekaisaran Jin Agung akan memberikan gelar kepada orang lain?” Ia bertanya.

“Tidak, itu saja.” Wanyan Hongxi menjawab. “Tapi itu sepenuhnya karena, di Utara sini, hanya ada dua pahlawan besar: Ong Khan dan Khan Agung sendiri.”

Wanyan Honglie buru-buru menambahkan pernyataan kakaknya. “Tidak ada orang lain yang layak.”

“Ada orang lain di sekitar sini yang mungkin Yang Mulia belum pernah mendengarnya.” jawab Temujin.

“Betulkah? Siapa?” tanya Wanyan Honglie.

“Dia kebetulan adalah saudara angkat dari hambamu yang hina ini, Jamuka. Dia orang benar, yang sangat ahli memimpin pasukan. Saya dengan rendah hati meminta Pangeran Ketiga dan Pangeran Keenam mempertimbangkan untuk memberinya gelar juga.”


Sisipan

Dua fakta historis penting dalam jalinan cerita ini adalah Temujin punya hubungan pribadi yang cukup kompleks dengan Ong Khan dan Jamuka. Khususnya mengenai Jamuka, ia juga punya tujuan untuk menjadi pemimpin teratas suku Mongol, yang menjadi sumber konflik utama dengan Temujin.

Satu tahun setelah Temujin terpilih menjadi Khan bagi suku Mongol (bukan sebagai Genghis Khan), yaitu tepatnya pada tahun 1187, Jamuka menyerang Temujin untuk pertama kalinya, dengan mengerahkan pasukan sejumlah kurang lebih 30 ribu orang. Dalam peperangan tersebut Jamuka berhasil mengalahkan Temujin. Fakta ini tercatat dalam sejarah. Dalam peperangan tersebut juga terdapat catatan bahwa Jamuka merebus 70 orang tawanan pria hidup-hidup di dalam sebuah wadah raksasa. Sedangkan Ong Khan berakhir dengan dibuang ke Qara Khitai. Kehidupan Temujin dalam rentang waktu sepuluh tahun, mulai dari kekalahan tersebut, adalah tidak jelas (antara tahun 1187 - 1197), karena kebanyakan catatan sejarah tidak menceritakan periode tersebut.

Sejauh ini masih cukup konsisten, karena Jamuka ditawan pada tahun 1205 (secara otomatis itu berarti bahwa Temujin telah mengalahkan dia di medan tempur).

Mengingat obrolan santai antara Guo Xiaotian, Yang Tiexin, dan Zhang Shiwu di kedai minum milik Qu San, yang mana menggambarkan bahwa tahun itu Kaisar Ning Zong sudah 5 tahun naik tahta sebagai Kaisar Song Selatan, berarti tahun itu adalah 1199, karena Ning Zong naik tahta pada tahun 1194. Dengan demikian kita tahu bahwa dalam imajinasi Jin Yong, Guo Jing dilahirkan pada akhir tahun itu juga, karena saat itu adalah musim salju (Guo Jing dilahirkan di tengah badai salju). Karena terdapat sedikit perbedaan, maka berarti 1-2 bulan berikutnya barulah Bao Xiruo melahirkan anaknya. Berpatokan pada tahun 1199, maka kita tahu bahwa dalam imajinasi Jin Yong, peristiwa yang mempertemukan Guo Jing kecil dengan Jebe, dan akhirnya juga dengan Temujin, terjadi pada tahun 1205 atau awal tahun 1206, karena pada saat itu diceritakan bahwa Guo Jing berusia 6 tahun. Ini juga masih masuk akal.

Hanya saja, agak aneh bahwa kedua wanita itu, Li Ping dan Bao Xiruo, hamil sepanjang tahun, mulai dari musim salju ke musim salju berikutnya. (Perhatikan bahwa serangan awal yang dipimpin oleh Wanyan Honglie sendiri terhadap Qiu Chuji itu terjadi di musim salju, dan pada saat itu Yang Tiexin baru mengetahui bahwa istrinya hamil). Sedangkan Guo Jing diceritakan lahir juga di musim salju, bahkan di tengah badai salju. Ini berarti masa kehamilan mereka adalah 12 bulan. Tentu saja, satu musim berlangsung selama kurang lebih 3 bulan, dengan demikian terdapat ruang debat bahwa awal kehamilan tersebut berada di menjelang akhir musim salju, sedangkan Guo Jing dilahirkan di awal musim salju berikutnya.


Temujin dan Jamuka adalah teman masa kecil yang tumbuh besar bersama-sama, dan pada saat itulah mereka berdua saling mengangkat saudara. Pada saat orang-orang Mongolia saling bersumpah menjadi saudara, mereka akan saling menyapa dengan panggilan ‘anda’ (baca: an-ta), yang maknanya, kurang-lebih setara dengan ‘saudara angkat’, dalam bahasa Mongolia. Dalam tradisi Mongolia, ketika bersumpah anda, kedua pihak harus saling bertukar tanda mata. Pada saat itu Jamuka memberikan sebuah batu granit yang bentuknya menyerupai tulang paha seekor rusa, sedangkan Temujin memberikan sebuah batu granit yang kelihatannya seperti terbuat dari kuningan. Orang-orang Mongolia memakai batu granit kecil untuk berburu kelinci, tetapi anak-anak kecil di Mongolia seringkali memakai batu granit untuk bermain. Mereka saling berlomba untuk melempar batu itu sejauh mungkin. Setelah Temujin dan Jamuka menjadi anda, mereka pergi untuk melempar batu ke Sungai Onon yang beku.

Musim semi berikutnya, ketika mereka berdua keluar untuk memanah dengan busur kayu kecil mereka sendiri, Jamuka memberi Temujin mata panah berisik7 hasil buatannya sendiri menggunakan dua tanduk kerbau kecil, Temujin membalas hadiah itu dengan mata panah berujung cemara, lalu keduanya bersumpah untuk menjadi anda sekali lagi.

Setelah dewasa, keduanya tinggal bersama suku Ong Khan dan masih sangat dekat. Setiap hari mereka berlomba untuk melihat siapa yang bangun lebih awal. Siapa pun yang bangun lebih awal akan minum satu cangkir koumiss dari cangkir batu giok Ong Khan sendiri. Kemudian, setelah istri Temujin diculik dan diselamatkan dengan bantuan gabungan dari Jamuka dan Ong Khan, Temujin dan Jamuka bertukar emas dan kuda dan bersumpah satu sama lain untuk ketiga kalinya. Keduanya minum dari cangkir yang sama di siang hari dan tidur di ger yang sama di malam hari. Namun, karena harus bermigrasi dengan perubahan cuaca dan hujan, mereka dan sukunya berpisah. Saat ketenaran dan kekuasaan suku Temujin melambung tinggi, suku Jamuka juga tumbuh. Persahabatan mereka masih sekuat sebelumnya dan lebih dalam dari saudara sedarah. Itu sebabnya ketika Temujin menyadari bahwa saudaranya tidak dihargai, meminta supaya mereka menghargainya juga.


“Orang Mongol begitu banyak,” kata Wanyan Hongxi, setengah mabuk, dan menjawab tanpa berpikir panjang. “Kalau semuanya kita beri gelar, kemana kita harus cari gelar? Kau kira kami punya berapa banyak gelar?”

Wanyan Honglie memberikan tatapan penuh arti beberapa kali kepada kakaknya, berusaha menghentikan ucapannya, tetapi semuanya diabaikan.

Merasa diremehkan karena ucapan itu, Temujin menawarkan, “Bersediakah kiranya Yang Mulia mempertimbangkan untuk memberikan gelar hambamu yang rendah ini kepadanya?”

“Jadi kau meremehkan gelar Kekaisaran Jin?” Wanyan Hongxi menepuk kakinya dan berteriak. Temujin menggebrak meja dan berdiri dengan marah. Akhirnya, nyaris tidak bisa menahan amarahnya, ia tidak mengucapkan sepatah kata pun dan mengambil cangkirnya, lalu menenggak isinya dalam satu tegukan. Wanyan Honglie segera menceritakan sebuah lelucon dan mengganti topik pembicaraan.

Keesokan paginya, Temujin dan keempat putranya mengatur lima ribu pasukan untuk mengawal Wanyan Hongxi dan Wanyan Honglie ke tempat kediaman Ong Khan. Pada saat matahari hampir mengintip dari cakrawala yang jauh, Temujin sudah menunggangi kudanya dan lima ribu prajurit sudah berbaris dalam formasi sempurna. Namun, para prajurit dan jendral Jurchen masih tertidur lelap.

Awalnya, Temujin terkesan dengan kemegahan dan pengaturan tentara Jurchen. Tapi setelah melihat betapa tidak disiplinnya mereka, dan sepertinya mereka hanya suka bersenang-senang, ia membungkuk dan menoleh ke Muqali, “Bagaimana pendapatmu tentang pasukan Jin?”

“Seribu orang pasukan kita bisa mengalahkan lima ribu orang pasukan mereka.” kata Muqali sambil mengamati.

“Kukira juga begitu,” kata Temujin. “Tapi katanya Kekaisaran Jin punya pasukan sebanyak satu juta orang. Kita hanya punya lima puluh ribu.”

“Satu juta pasukan tidak bisa bertempur sekaligus,” jawab Muqali. “Bagi dan taklukkan, kita bisa mengalahkan sepuluh ribu hari ini dan menyapu sepuluh ribu lagi besok.”

“Dalam urusan strategi militer, pendapat kita selalu sama.” Temujin tersenyum dan menepuk pundaknya. “Seorang pria seberat 50 kilogram bisa makan sepuluh ekor sapi yang beratnya lebih dari sepuluh ribu kilogram. Dia tidak akan melakukannya dalam satu hari.” Kedua pria itu tertawa terbahak-bahak.

Temujin duduk kembali di pelananya dan tiba-tiba melihat bahwa kuda Tolui tidak ada penunggangnya. “Tolui mana?” Ia berteriak marah.

Tolui baru berusia sembilan tahun, tetapi Temujin punya disiplin yang keras baik saat melatih pasukan maupun membesarkan anak, ia tidak pernah menunjukkan belas kasihan kepada siapa pun yang melanggar aturannya. Mendengarnya berteriak begitu keras dalam kemarahan, semua jendral dan pasukan segera merasakan firasat buruk di perut mereka. Jendral Boroqul, mentor Tolui, hampir panik dan menawarkan, “Anak itu tidak pernah ketiduran sebelumnya, biar saya periksa.”

Tepat di saat ia membalikkan kudanya untuk berpacu mencari Tolui, ia melihat dua orang anak lari bergandengan tangan. Salah satunya dengan ikat kepala sutra di kepalanya adalah Tolui, sedangkan yang lainnya adalah Guo Jing. Tolui langsung berlari ke arah ayahnya dan berseru menyapa, “Ayah!”

“Kamu dari mana saja?” desak Temujin dengan nada keras.

“Guo Jing dan aku baru jadi anda di tepi sungai. Lihat, ini yang dia berikan padaku.” jawab Tolui sambil melambaikan saputangan merah dengan sulaman bunga di udara. Itu hasil karya tangan Li Ping untuk Guo Jing.

Teringat saat dia dan Jamuka menjadi anda ketika masih kecil, wajah Temujin langsung jadi kalem. “Kamu kasih dia apa?” Ia bertanya kepada dua anak lucu dan lugu yang berdiri di hadapannya.

“Ini!” jawab Guo Jing sambil menunjuk ke atas kepalanya, di mana Temujin melihat kalung emas yang sering dipakai putra bungsunya.

“Untuk selanjutnya kalian berdua harus saling membantu dan saling menjaga, mengerti?” kata Temujin sambil tersenyum. Kedua anak itu mengangguk.

“Sekarang naik kudamu,” perintah Temujin, “Guo Jing juga bisa ikut.” Dengan gembira, Guo Jing dan Tolui menaiki kuda mereka.

Setelah beberapa saat menunggu, Wanyan bersaudara akhirnya selesai berpakaian dan keluar dari gers mereka. Wanyan Honglie melihat tentara Mongolia sudah dalam formasi lengkap, ia segera memerintahkan tentaranya untuk turun. Tapi Wanyan Hongxi yang bertekad untuk menempatkan orang-orang Mongolia di posisi mereka, minum beberapa cawan arak dengan santai, dan sarapan sedikit, sebelum akhirnya menaiki kudanya. Setelah satu jam dalam kekacauan, formasi yang terdiri dari sepuluh ribu pasukan Jin akhirnya terbentuk.

Tentara berbaris ke utara selama enam hari sebelum bertemu dengan panitia penyambutan Ong Khan, yang terdiri dari putra Ong Khan, Senggum, dan putra angkatnya, Jamuka. Ketika mendengar Jamuka hadir, Temujin segera menemuinya. Kedua pria itu melompat dari kuda mereka dan saling berpelukan. Anak-anak Temujin juga ke sana untuk menyapa paman angkat mereka.

Ketika Wanyan Honglie pertama kali melihat Jamuka, ia melihat seorang pria jangkung kurus dengan beberapa helai emas di kumisnya dan sepasang mata yang penuh energi dan semangat. Ia tampak kuat dan bersemangat. Senggum, di sisi lain, gemuk dan pucat, mungkin karena bergelimang kemewahan di sepanjang hidupnya, dan sama sekali tidak terlihat seperti seseorang yang dibesarkan di padang rumput. Tidak hanya itu, ia punya ekspresi arogan, dan tampaknya mengabaikan Temujin seenak perutnya, sangat kontras dengan kehangatan Jamuka.

Setelah berkuda satu hari lagi, mereka sudah sangat dekat dengan areal perkemahan Ong Khan ketika dua pengintai khusus Temujin tiba-tiba kembali dengan membawa berita. “Ada orang-orang Naiman menghalangi jalan di depan. Sekitar tiga puluh ribu orang,” lapor mereka.

“Apa yang mereka inginkan?” tanya Wanyan Hongxi, sedikit panik setelah mendengar berita itu melalui penerjemahnya.

“Kelihatannya mereka mau perang,” lapor pengintai.

“Mereka… mereka sungguh punya… mereka betul-betul tiga puluh ribu?” Wanyan Hongxi tergagap. “Itu… itu melebihi… itu melebihi jumlah kita… Ini… ini…”

“Pergi dan cari tahu apa yang terjadi,” perintah Temujin kepada Muqali, tanpa menunggu Wanyan Hongxi menyelesaikan kalimatnya.

Muqali berangkat dengan sepuluh pengawal sementara yang lainnya berhenti dan menunggu. Muqali kembali tidak lama kemudian. “Orang-orang Naiman mengatakan bahwa karena para Pangeran Jin Yang Agung memberikan gelar kepada Khan kami, mereka ingin diberi gelar juga,” lapornya. “Jika tidak, maka mereka mengatakan akan mengambil Para Pangeran Yang Mulia sebagai sandera, sampai mereka juga diberikan gelar dari Kekaisaran Jin Agung. Mereka juga mengatakan bahwa mereka menginginkan gelar yang lebih tinggi dari Khan Temujin kita.”

“Menuntut gelar dengan paksa? Itu… itu pemberontakan! Apa yang kita lakukan?” Wajah Wanyan Hongxi memucat mendengar berita ini. Wanyan Honglie mulai mengatur pasukan ke posisi tempur, berjaga-jaga seandainya terjadi eskalasi yang tak terduga.

“Saudaraku, orang-orang Naiman itu sering mencuri ternak kami dan membuat masalah bagi kami. Apakah kita benar-benar akan membiarkan mereka lolos begitu saja?” kata Jamuka kepada Temujin. “Aku tidak tahu para Pangeran dari Jin ini ingin kita melakukan apa?”

Saat itu Temujin sudah meneliti alam sekitarnya dengan teliti, dan yakin akan menang. “Ayo tunjukkan kepada para Pangeran ini bagaimana cara kita berdua melakukan sesuatu di sekitar sini!” Ia menjawab Jamuka, lalu melolong, seraya mengayunkan cambuknya ke udara dua kali, menyebabkan lima ribu tentara Mongolia melolong secara bersamaan sebagai tanggapan dan mengejutkan Wanyan bersaudara yang tidak siap.

Kabut debu berhamburan di depan saat musuh perlahan mendekat, memaksa para pengintai khusus untuk kembali melapor. “Liu Di, perintahkan anak buah kita untuk menyerang sekarang!” kata Wanyan Hongxi. “Orang-orang Mongol ini tidak berguna sekarang.”

“Biarkan mereka perang dulu,” bisik Wanyan Honglie.

Segera memahami maksud adiknya, Wanyan Hongxi hanya mengangguk dan duduk kembali. Tentara Mongolia melolong keras lagi, tetapi tidak bergerak. “Apa yang dilakukan orang-orang Mongol ini, melolong-lolong seperti anjing gila?” Wanyan Hongxi mengerutkan kening. “Mau sekeras apapun lolongannya, musuh juga tidak bakalan lari.”

Boroqul ada di sisi kiri barisan. “Ikuti aku dan jangan ketinggalan. Lihat bagaimana kita mengalahkan musuh,” katanya, memberikan instruksi kepada Tolui, yang sedang bersama dengan Guo Jing, melolong sekuat tenaga menirukan yang lain.

Dalam sekejap pasukan yang mendekat menyeruak keluar dari kabut debu, yang hanya berjarak beberapa langkah dari mereka. Namun orang-orang Mongolia tetap tidak melakukan apa-apa selain berteriak. Kali ini Wanyan Honglie yang jadi gugup melihat betapa bersemangatnya orang-orang Naiman itu. Kuatir formasinya akan rusak jika terus menganggur, ia memerintahkan, “Tembak!”

Tentara Jin melepaskan anak panah melengkung ke atas beberapa kali, tetapi karena jarak antara kedua pasukan, sebagian besar anak panah jatuh ke tanah sebelum mencapai target. Takut melihat keganasan di wajah musuh saat mereka mengertakkan gigi dan menyerang dengan kecepatan penuh, Wanyan Hongxi mulai panik. “Mengapa tidak kita turuti saja kemauan mereka, beri mereka gelar kosong, dan selesai sudah semua ini? Ia berbalik dan menyarankan pada Wanyan Honglie. “Memangnya kenapa kalau gelar itu agak terlalu besar? Toh kita tidak akan kehilangan apapun.”

Tiba-tiba Temujin mengayunkan cambuknya beberapa kali ke udara. Tentara Mongolia segera berhenti berteriak dan berpencar menjadi dua kelompok. Temujin dan Jamuka masing-masing memimpin satu sayap langsung menuju dataran tinggi di kedua sisi. Keduanya membungkuk ke kuda mereka dan berpacu kencang bersama pasukan mereka, meneriakkan perintah pada saat mereka menunggang kuda. Pasukan Mongolia terpecah menjadi kelompok-kelompok yang semakin kecil, hingga dalam waktu yang sangat singkat mereka menduduki dataran tinggi di segala arah. Dalam posisi unggul oleh ketinggian, orang-orang Mongol memasukkan anak panah ke busur mereka dan membidik pasukan lawan, tetapi tidak menembak.

Pemimpin suku Naiman, yang merasa berada dalam posisi yang tidak menguntungkan, memerintahkan pasukannya untuk langsung menuju ke dataran tinggi. Pasukan Mongolia mendirikan tembok lunak yang terbuat dari beberapa lapis bulu domba untuk melindungi diri dari panah. Para pemanah menembak dari balik tembok itu saat pasukan yang ditempatkan di dataran tinggi terdekat juga menembakkan panah untuk mendukung. Dengan musuh di kedua sisi mereka, kebingungan menimpa para Naiman saat mereka mencoba menyerang kedua sisi.

“Jelme, serang dari belakang!” teriak Temujin, melihat pasukan lawan menjadi kacau dari posisinya di sebelah kiri.

Dengan golok besar di tangan, Jelme memimpin satu kelompok seribu tentara untuk menyerang dan menutup jalan mundur musuh. Jebe, bertekad untuk membunuh jendral musuh untuk menunjukkan rasa terima kasihnya kepada Temujin yang telah mengampuni nyawanya, berada di barisan depan dengan tombaknya mencuat di depan semua orang. Dihantam langsung oleh serangan seperti ini, bagian belakang Naiman kalang kabut, dan unit depan mereka juga terguncang. Jenderal Naiman bingung apa yang harus dilakukan selanjutnya, ketika Jamuka dan Senggum mulai turun dari posisi mereka juga. Diserang dari kedua sisi, pasukan Naiman benar-benar runtuh tak lama kemudian. Jendral terdepan berbalik, dan mencoba melarikan diri diikuti oleh beberapa pengikut, mereka kembali ke arah asal mereka. Jelme tidak memerintahkan pengejaran dan membiarkan sebagian besar pasukan lawan berlalu. Baru ketika tinggal sekitar dua ribu musuh tersisa, ia memerintahkan pasukannya untuk menyerang dan menghalangi mundurnya mereka. Tidak punya jalan keluar, para prajurit Naiman pemberani yang tersisa bertempur sampai mati atau meletakkan senjata mereka dan menyerah. Dalam pertempuran singkat ini, orang-orang Mongol membunuh lebih dari seribu musuh dan menangkap lebih dari dua ribu, sementara hanya menderita sekitar seratus lebih korban.

Temujin memerintahkan agar semua tawanan dilucuti dari baju zirah mereka dan dibagi menjadi empat kelompok yang seimbang, satu untuk Wanyan bersaudara, satu untuk ayah angkatnya Ong Khan, satu untuk saudara angkatnya Jamuka, dan satu untuk dirinya sendiri. Semua keluarga Mongolia yang memiliki kerabat meninggal dalam pertempuran menerima lima kuda dan lima tawanan sebagai budak sebagai kompensasi. Baru sekarang Wanyan Hongxi akhirnya tenang dari ketakutannya. “Mereka menginginkan gelar? Liu Di, mengapa kita tidak memberi mereka gelar ‘Duta Pecundang?’ Haha…!” Ia tidak bisa berhenti bicara tentang pertempuran yang baru saja terjadi.

Kemenangan Mongolia, meski kalah jumlah, membuat Wanyan Honglie semakin gugup dibandingkan sebelum pertempuran. “Saat ini, satu-satunya alasan perbatasan utara kita aman adalah karena suku-suku utara berperang di antara mereka sendiri. Jika Temujin atau Jamuka akhirnya membawa semua suku di padang rumput ini bersatu di bawah bendera mereka, Kekaisaran Jin Agung kita tidak akan lagi memiliki kedamaian.” pikirnya.

Ada beberapa hal lain yang juga membuatnya terganggu. Meskipun sepuluh ribu pasukannya sendiri tidak ikut berperang, formasi mereka mulai goyah ketika Naiman mulai menyerang, dan ada ketakutan di wajah mereka. Pertempuran belum dimulai, tetapi hasilnya sudah ditentukan. Keberanian dan efisiensi yang ditunjukkan oleh orang-orang Mongolia merupakan ancaman besar di masa depan. Ia masih merenungkan berbagai hal di benaknya ketika kepulan kabut debu muncul di depan saat pasukan lain mendekat.


Gao Wan Jing
Sutra Raja Agung
San Ge (三哥)
Kakak Laki-laki Ketiga
Dao Zhang (道长)
Pendeta Tao
Xiong (兄)
Panggilan untuk saudara laki-laki atau orang lain yang dianggap saudara. Ke Xiong berarti "Saudara Ke", Yang Xiong berarti "Saudara Yang", dst.

Footnotes

  1. Kata-kata Qiu Chuji yang disambung oleh Han Xiaoying di atas adalah sebuah peribahasa dalam masyarakat Tionghoa, yang artinya kurang lebih adalah ‘Janji tidak boleh dibatalkan’, kalau seseorang mengucapkan kalimat ini, artinya adalah ia akan memenuhi janjinya.

  2. Fu Ren (夫人), artinya sama dengan “Nyonya” atau “Ibu”, panggilan untuk seorang wanita yang sudah menikah. Bao Furen berarti Ny. Bao, Li Furen = Ny. Li atau Ibu Li, dst.

  3. Dalam legenda populer Tiongkok dan juga banyak versi sejarahnya, Jing Ke dan Nie Zheng adalah sahabat karib yang membantu Pemerintah Negeri Qi di awal Periode Musim Semi dan Musim Gugur, cerita mengenai mereka melegenda, dan akhirnya dijadikan tolok ukur dalam pandangan orang Tionghoa pada umumnya mengenai makna sebuah persahabatan.

  4. Xiao Ge adalah panggilan kesayangan yang digunakan oleh Li Ping untuk memanggil Guo Xiaotian.

  5. Menurut catatan sejarah Mongol, ketika pertama kali bergabung dengan suku Temujin, Jebe memperkenalkan namanya sebagai Jirgadei.

  6. Perlu dicatat di sini, dalam catatan sejarah yang saya baca, Ong Khan adalah seorang Khan dari suku Keraite, dan tidak ada teks yang mengatakan bahwa ia datang dari suku ‘Toghril’, seperti yang bisa kita baca dalam terjemahan bahasa Inggris novel ini. Sebaliknya, ia memiliki panggilan lain, yaitu Toghrul, yang lebih mirip dengan ‘Toghril’, yang dipakai sebagai nama suku dalam novel terjemahan tersebut. Karena itu saya menyimpulkan bahwa ini adalah kesalahan penerjemah. Supaya lebih sesuai dengan referensi sejarah yang sebenarnya, saya untuk selanjutnya akan memakai fakta tersebut, dan mengabaikan teks yang ada di dalam novel Jin Yong (yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris), yang berkaitan dengan hal ini.

  7. Mata panah yang berisik adalah mata panah yang diukir dengan celah di dalamnya sehingga menimbulkan suara melengking yang sangat keras setelah ditembakkan. Panah ini sering digunakan untuk menyampaikan pesan dan perintah dalam pertempuran.