Bab 7

Perlombaan Mencari Jodoh

IlustrasiNarasi
Ilustrasi Bab 7Guo Jing merampas spanduk yang bertuliskan Lomba Mencari Jodoh itu, lalu menyapu tiangnya di sepanjang lengannya. Spanduk itu terbalik di atas muka si pangeran. Si Pangeran memiringkan tubuhnya ke samping dan mengangkat tombaknya. Dengan bayangan merah melingkar dan mata tombak yang berkelap-kelip ia menusukkan tombaknya ke arah Guo Jing.

Keenam Orang Aneh dan Guo Jing mengambil arah ke Tenggara. Perjalanan itu memakan waktu sangat panjang. Mereka memerlukan waktu berhari-hari hanya untuk keluar dari padang rumput. Hari itu mereka tidak jauh dari Zhang Jia Kou (di jaman sekarang adalah Kalgan). Ini adalah untuk pertama kalinya Guo Jing menginjakkan kaki di wilayah pusat, segala sesuatu sungguh-sungguh baru baginya, dan ia dengan sangat antusias memandang ke sekelilingnya. Ia mengendorkan tali kekang, dan kudanya berlari begitu cepat sampai-sampai siulan angin mendengung-dengung di telinganya, dan pemandangan alam di hadapannya berubah dengan cepat sementara ia masih takjub. Kuda merah kecil itu berpacu tanpa rintangan sampai mereka tiba di Sungai Hitam (Sungai Amur, atau Hei Long Jiang). Guo Jing berhenti di sebuah kedai di sisi jalan untuk menunggu guru-gurunya.

Setelah perjalanan panjang itu, kudanya tampak berkeringat, dan ia mengambil saputangan untuk mengusap keringat dari tubuh kudanya. Ia terperanjat ketika melihat bekas darah di saputangan itu. Setelah mengusap-usap bagian leher kuda itu, ia lebih kaget lagi karena banyaknya darah membasahi telapak tangannya. Ia hampir menangis, dan menyalahkan diri sendiri karena tidak menjaga kudanya baik-baik, dan tidak menghentikannya pada saat berlari liar di sepanjang jalan. Ia kemudian memeluk dan mengelus-elus kuda itu ribuan kali. Tetapi tampaknya hewan itu sangat sehat, dan tidak menunjukkan tanda-tanda menderita sesuatu apapun, dan sama sekali tidak tampak kesakitan.

Sambil menunggu guru ketiganya, yang pasti akan bisa menangani kudanya dengan lebih baik, ia tak henti-hentinya menengok ke jalanan, dan berharap gurunya segera tiba. Tiba-tiba ia mendengar suara ‘klining-klining’, dan ia melihat empat ekor onta seputih salju berlari dengan kecepatan penuh di jalan. Masing-masing onta itu ditunggangi oleh orang gadis yang juga berpakaian putih. Guo Jing tumbuh besar di padang rumput, tetapi ia belum pernah melihat onta seanggun dan sebagus itu sebelumnya. Ia memandang terpesona ke arah empat onta tersebut. Keempat penunggangnya masing-masing berusia sekitar dua puluh tahun, dengan wajah yang sangat mirip satu sama lain, dan garis wajah yang halus dan sangat menarik. Daya tarik semacam ini sangat jarang terlihat di Mongolia. Dengan gesit dan anggun mereka turun dari onta dan berjalan memasuki kedai. Guo Jing tidak bisa berhenti menatap mereka.

Salah seorang dari mereka yang merasa malu karena menyadari tatapannya, tersipu-sipu sambil menundukkan kepala. Salah seorang lainnya yang lebih berani, terlihat marah. “Bocah tolol! Mau apa kau melihat kami seperti itu?”

Guo Jing tersadar, lalu memalingkan mukanya karena malu. Para pendatang baru itu lalu berbisik dan bicara dengan suara rendah, “Selamat!” kata salah seorang dari mereka. “Kau membuat si tolol itu terpesona.”

Guo Jing tahu bahwa orang yang bicara itu sedang menertawakan dia, dan ia makin malu. Mukanya memerah. Ketika ia masih bingung mau tetap di situ atau pergi, Han Baoju tiba bersama dengan kuda jantannya, Si Pengejar Angin. Pemuda itu buru-buru menceritakan nasib kudanya kepada Sang Guru.

“Mana mungkin?” kata Han Baoju heran. Ia mendekati kuda tersebut, mengelus-elusnya, lalu memeriksa telapak tangannya dengan teliti, lalu tawanya meledak. “Itu bukan darah!” katanya. “Itu keringat!”

“Keringat?” Guo Jing tergagap, nyaris gagal bicara. “Keringat merah?”

“Jing’Er, ini kuda yang berkeringat darah! Hewan langka! Sungguh tak ternilai harganya.” Guo Jing, bahagia tak terkira setelah tahu bahwa kudanya tidak terluka, bertanya, “San Shifu, bagaimana mungkin keringat bisa kelihatan seperti darah?”

“Kudengar dari almarhum guruku, bahwa di Kerajaan Ferghana (sebuah wilayah gabungan dari Uzbekistan, Kirghizstan, dan Tajikistan), di wilayah Barat, memang ada kuda yang berkeringat merah seperti darah. Kalau berlari mereka tampak seperti sedang melayang di udara, dan mereka sanggup berlari lebih seribu li sehari. Tapi itu semua hanya cerita, dan tidak ada buktinya. Tidak ada orang yang pernah melihatnya sendiri, jadi aku juga kurang mempercayai cerita itu. Tapi kuda merah ini mau kau taklukkan, dan ada cerita tentang kuda seperti itu, mau tidak mau aku jadi percaya.”

Saat itu Orang-orang Aneh lainnya juga sudah tiba. Karena tempat itu ternyata juga menyediakan kamar untuk menginap, mereka lalu memesan kamar dan juga makanan. Zhu Cong yang punya pengetahuan jauh lebih luas dibanding yang lain berkata, “Ada sebuah kisah dalam tulisan sejarah Dinasti Han. Kaisar Han Wudi yang mendengar gosip soal kuda berkeringat darah, mengirim utusan ke Kerajaan Ferghana dengan membawa sebuah patung dari emas murni yang berukuran sama dengan seekor kuda. Utusan itu bilang bahwa Kaisar ingin mendapatkan salah satu dari kuda itu, tapi permintaannya ditolak.”

“Lalu bagaimana Kaisar menganggapi penolakan itu?” tanya Han Xiaoying. “Apa dia langsung menyerah?”

Para penunggang onta putih yang duduk di meja lain melihat ke arah mereka karena tertarik mendengar cerita itu. Saat itu kembali terdengar suara keliningan yang sama seperti sebelumnya, dan empat orang yang juga berpakaian putih dan menunggang onta putih muncul, memasuki kedai, lalu duduk bergabung dengan sesama mereka.

“Tentu saja tidak,” jawab Zhu Cong. “Dia sangat marah dan kemudian menyerang Ferghana, dan memulai perang yang panjang dan sengit, dan akhirnya Kerajaan Ferghana itu hancur. Dia akhirnya berhasil menangkap seekor kuda yang diinginkannya, tapi harus membayar semahal itu!” Semua orang mengomentari kegilaan Sang Kaisar, lalu melanjutkan makan.

Kedelapan orang pemilik onta itu mendengarkan cerita mereka dengan sangat tertarik, dan sekilas melirik kuda merah Guo Jing yang ditambatkan di luar dengan tatapan agak mencurigakan, lalu saling berpandangan dan berbisik di antara mereka sendiri. Ke Zhen’E yang punya telinga sangat tajam bisa menangkap isi pembicaraan itu, meskipun meja mereka terletak agak berjauhan.

“Kalau kita ingin mengambilnya,” kata salah seorang. “harus buru-buru. Kalau sampai dia naik ke atas kudanya, kita tidak akan bisa mengejarnya lagi.”

“Terlalu banyak orang di sini,” kata yang lain. “Dan dia punya teman-teman…”

“Kalau mereka berani ikut campur,” kata yang ketiga. “kita akan terpaksa membunuh mereka.”

“Mengapa delapan orang ini bikin rencana sekejam itu?” pikir Ke Zhen’E, ia heran tapi tidak menunjukkan reaksi apa-apa, dan terus menelan makanannya dengan rakus.

“Kita akan mempersembahkan kuda mahal itu untuk Gong Zi,” kata salah seorang dari mereka lainnya. “Menunggang kuda semahal itu, kedatangannya di Yanjing pasti akan kelihatan luar biasa! Tidak bakalan ada yang lebih menarik perhatian dari dia, apalagi orang-orang payah seperti Dewa Ginseng dan ‘Kebijaksanaan Tertinggi’ Lingzhi!”

Ken Zhen’E mendengar mereka bicara soal Kebijaksanaan Tertinggi Lingzhi, yang adalah seorang tokoh dari sebuah perguruan rahasia di Tibet, yang terkenal di daerah Barat Daya sebagai ‘Jejak Tangan Besar’, tapi ia tidak tahu apa-apa mengenai Si Dewa Ginseng.

“Beberapa hari ini,” kata lainnya. “kita sering ketemu penjahat di jalan. Mereka semuanya anak buah Peng Lianhu. Mereka memanggil dia Jagal Seribu Tangan. Mungkin mereka mau menghadiri pertemuan di Yanjing. Kalau mereka sampai dapat kuda itu, pikirmu kita masih punya kesempatan?”

Ke Zhen’E agak terkejut. Ia tahu Peng Lianhu adalah salah satu bajingan besar yang menyebarkan teror di daerah Hubei dan Shanxi. Ia punya banyak kaki tangan yang bisa bertindak kejam. Ia sudah membunuh begitu banyak orang, hingga dijuluki ‘Jagal Seribu Tangan’. Lagi-lagi Ke Zhen’E heran. “Mengapa semua penjahat itu berkumpul di Yanjing? Dan juga, dari mana asalnya delapan perempuan ini?”

Para wanita itu meneruskan pembicaraan mereka dengan suara rendah, dan akhirnya memutuskan untuk membuat jebakan di tengah jalan, di luar kota ini, untuk merampas kuda Guo Jing. Lalu mereka mengobrol tentang hal-hal kecil seperti pakaian, perhiasan, dan lain sebagainya. “Gong Zi lebih suka kau”, “Gong Zi pasti sedang memikirkan kau”, dan seterusnya. Ke Zhen’E dengan marah menaikkan alisnya, tapi ia tidak bisa menutup telinganya, dan ia mendengar setiap kalimat dari pembicaraan itu.

“Kalau kita hadiahkan kuda berkeringat darah kepada Gong Zi,” kata orang yang lain lagi. “Hadiah apa yang kau harapkan sebagai balasannya?”

“Ya dia pasti akan lebih sering tidur denganmu,” jawab yang lainnya, sambil tertawa.

Orang yang pertama protes, dan mereka terus saling menggoda sambil cekikikan. “Ssstt, hati-hati,” kata yang satu. “Jangan sampai rencana kita bocor, karena mereka kelihatannya juga tidak gampang…”

“Yang perempuan di sana itu,” kata yang lain lagi. “dia membawa pedang. Pasti jagoan kungfu. Dia juga agak cantik. Kalau dia sepuluh tahun lebih muda, pasti Gong Zi bakal tertarik sama dia…”

Ke Zhen’E tahu bahwa mereka sedang membicarakan Han Xiaoying, dan ia makin marah. “Si ‘Gong Zi’ yang mereka bicarakan itu pastilah bukan orang yang patut dikagumi.” pikirnya. Kedelapan wanita itu sudah selesai makan, dan sekarang mereka berjalan keluar ruangan, menaiki onta mereka dan pergi.

Setelah mereka pergi, Ke Zhen’E bertanya kepada Guo Jing, “Jing’Er, menurutmu kemampuan delapan perempuan itu bagaimana?”

“Perempuan yang mana?” tanya Guo Jing heran.

“Mereka berpakaian seperti laki-laki,” kata Zhu Cong. “Dan kau tidak sadar ya?”

“Siapa yang tahu Gunung Onta Putih?” tanya Ke Zhen’E. Ternyata tidak ada yang pernah mendengar nama itu. Ke Zhen’E menceritakan isi pembicaraan yang barusan didengarnya. Semua Orang Aneh itu menyimpulkan bahwa para wanita yang tidak tahu malu itu tidak kurang nekad, tapi keberanian mereka untuk merampas milik orang yang punya ilmu lebih tinggi sungguh-sungguh lucu.

“Dua orang dari mereka,” kata Han Xiaoying. “punya hidung besar dan mata hijau. Kelihatannya mereka bukan orang Han.”

“Benar sekali,” kata Han Baoju. “Dan onta putih seperti itu hanya ada di wilayah Barat.”

“Kalau mereka mau mencuri kuda,” kata Ke Zhen’E. “sebetulnya itu bukan masalah besar, tapi mereka juga bilang bahwa banyak nama-nama tokoh yang berbahaya mau berkumpul di Yanjing. Ini pasti ada hubungannya dengan rencana untuk merusak Dinasti Song. Ini bisa berakibat sangat buruk ke rakyat kita! Karena kita kebetulan sudah mendengar soal ini, maka kita tidak bisa cuci tangan begitu saja.”

“Sudah pasti tidak,” kata Quan Jinfa. “tapi janji kita di Jiaxing juga sudah dekat. Kita tidak bisa buang waktu lagi.” Mereka ragu-ragu, karena kelihatannya tidak mungkin bisa melaksanakan dua misi sekaligus.

“Jing’Er berangkat dulu,” kata Nan Xiren, tiba-tiba.

“Yang dimaksud Si Ge adalah,” jelas Han Xiaoying. “Jing’Er berangkat ke Jiaxing sendirian. Kita akan menyusul setelah kita selesai mengurus masalah pertemuan di Yanjing itu.” Nan Xiren mengangguk.

“Kami belum menjelaskan selengkapnya soal ini,” kata Zhu Cong. “Pokoknya tepat pada tanggal dua puluh empat, bulan tiga, tepat tengah hari, kau harus hadir di Paviliun Dewa Mabuk, meskipun langit ambruk menimpa kepalamu!”

Guo Jing mengangguk tanda setuju.

“Wanita-wanita itu mau mencuri kudamu,” kata Ke Zhen’E. “Tapi kau tidak perlu berkelahi dengan mereka. Kudamu sangat cepat, mereka tidak bakal bisa mengejarmu. Kau punya tugas yang lebih penting, tidak perlu terlibat masalah yang tidak ada gunanya, dan bisa mengganggu urusanmu.”

“Kalau delapan perempuan itu berani bikin masalah,” kata Han Baoju. “Tujuh Orang Aneh dari Jiangnan yang akan berurusan dengan mereka semua.”

Zhang Ahsheng sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu, tetapi mereka berenam masih memakai julukan ‘Tujuh Orang Aneh’, tidak pernah melupakan hubungan erat mereka dengan saudara yang sudah meninggal di dalam setiap tindakan.

Guo Jing mengucapkan selamat jalan kepada semua gurunya. Mereka semua menyaksikan bagaimana dia bertarung melawan Empat Iblis dari Sungai Kuning, dan mereka tidak terlalu kuatir akan keselamatannya. Pemuda itu sudah membuktikan bahwa ia tahu bagaimana cara menggunakan semua kungfu yang sudah mereka ajarkan. Karenanya mereka berani melepas Guo Jing sendirian. Di satu pihak, mereka sekarang memikirkan pertemuan para penjahat di Yanjing, dan mereka sama sekali tidak bisa tinggal diam. Di lain pihak, seorang anak muda harus terjun sendirian di dunia Jianghu, untuk belajar tentang sesuatu yang tidak bisa diajarkan oleh guru mana pun juga.

Pada saat berpisah, mereka masing-masing memberikan nasihat khusus untuk Guo Jing. Seperti biasanya, Nan Xiren adalah orang terakhir yang bicara. “Kalau kau merasa tidak bisa mengalahkan musuh,” katanya. “Lari!”

Karena tahu secara alamiah Guo Jing punya sifat keras kepala dan berkemauan keras, ia cenderung merasa lebih baik mati daripada menyerah. Kalau bertemu seorang ahli, ia pasti akan bertarung sampai titik terakhir, meskipun resikonya adalah maut. Ini alasan Nan Xiren memberinya nasihat sederhana seperti itu.

“Ilmu silat tidak ada batasnya,” kata Zhu Cong. “Seperti kata pepatah: ‘Di atas langit masih ada langit’, jadi untuk manusia, pasti akan selalu ada orang lain yang lebih kuat. Sekuat apapun dirimu, suatu saat nanti pasti kau akan bertemu dengan orang lain yang lebih kuat. Pria sejati harus tahu kapan saatnya mundur, kalau memang perlu. Pada saat menghadapi situasi berbahaya, kita perlu meredakan amarah dan emosi kita. Ini maksud dari pepatah: ‘Kalau orang memelihara tanah dan hutan dengan baik, maka ia tidak perlu takut kekurangan kayu bakar’. Mendengarkan nasihat bukan sikap pengecut! Kalau jumlah musuh terlalu banyak, dan kau memang tidak bisa melawan, memang tidak perlu terlalu nekad. Ingat baik-baik nasihat Si Shifu!”

Guo Jing mengiyakan, dan kowtow kepada semua gurunya, sebelum menaiki kudanya dan berpacu menuju ke Selatan. Ia merasa sangat sedih harus berpisah dari guru-gurunya, yang sudah membimbingnya selama lebih dari sepuluh tahun. Air mata bergulir di pipinya. Ia juga teringat akan ibunya, yang ditinggalkannya sendirian di tengah padang rumput. Tentu saja ibunya tidak kekurangan sesuatu apapun, karena Genghis Khan dan Tolui berjanji untuk menjaga ibunya. Tapi kesendiriannya saat itu membuatnya merasa berat, dan ia mulai memikirkan ibunya.

Setelah berkuda sekitar sepuluh li, ia tiba di daerah pegunungan. Jalanan sangat berangin di dasar lembah itu, dan didominasi oleh lereng terjal yang dihiasi oleh bebatuan aneh. Karena ini pengalaman pertamanya menghadapi dunia luar, mau tidak mau ia merasa agak ngeri menghadapi situasi alam yang menakutkan seperti itu. Dengan sebelah tangan memegang gagang pedangnya, ia berhenti sejenak dan tersenyum. “Kalau San Shifu melihat aku begini, gemetar dan takut, pasti dia akan tertawa.”

Jalanan itu mulai menanjak, dan menyempit. Setelah melewati sebuah tikungan, Guo Jing tiba-tiba melihat sekelompok benda putih di depannya. Empat orang wanita berpakaian serba putih, menunggang empat ekor onta putih, sedang menghalangi jalan. Guo Jing menarik tali kekang kudanya, dan berhenti. Dari kejauhan ia berteriak, “Permisi! Boleh aku lewat?”

Keempat wanita itu tertawa. “Laki-laki kecil,” kata yang seorang. “Kau takut ya? Ayo sini! Kami tidak akan memakanmu!” Guo Jing tidak tahu harus berbuat apa, mukanya memerah. Apa dia bisa numpang lewat dengan baik-baik? Atau harus menerobos dengan cara paksa, kalau perlu memakai senjata?

“Kudamu tidak jelek,” kata yang lain. “Ayo sini, coba aku lihat dulu.” Ia bicara kepada Guo Jing seolah-olah bicara dengan seorang anak kecil. Guo Jing merasa marah, tapi tata letak jalanan itu membuatnya kuatir. Di sebelah kanannya ada sebuah tebing curam. Di sebelah kiri ada jurang yang diselimuti kabut tebal, yang dasarnya tidak bisa dilihat.

“Da Shifu,” pikir Guo Jing. “memberi nasihat supaya jangan cari masalah. Kalau aku maju ke arah mereka dengan cepat, wanita-wanita itu pasti akan minggir untuk memberi jalan!” Ia menghentak tali kekang kudanya, dan menjepit dengan kedua kakinya. Kuda merah itu melesat ke depan seperti anak panah. Dengan pedang di tangan, Guo Jing berseru, “Kalian dengar! Biarkan aku lewat! Kalau sampai ada yang jatuh ke jurang, itu bukan salahku!” Dalam sekejap mata, ia tiba di depan keempat wanita itu. Mereka melompat turun dari onta dan berusaha merenggut pelana kuda. Dengan sebuah ringkikan kuda itu melompat melewati punggung onta! Guo Jing mendapat kesan bahwa ia sedang terbang di awan, lalu mendarat di belakang musuh-musuhnya, yang sama terkejutnya seperti dia.

Mendengar teriakan marah di belakangnya, ia berpaling dan melihat dua senjata rahasia sedang terbang ke arahnya. Teringat nasihat guru-gurunya, ia tidak berani menangkap senjata itu dengan tangan kosong karena takut senjata itu beracun. Ia melambaikan topi kulitnya untuk mencegat kedua senjata itu.

“Bagus!” seru dua orang dari wanita-wanita itu. “Kungfu bagus!”

Guo Jing merunduk untuk memeriksa topinya. Ia melihat dua senjata mirip anak panah kecil dengan mata perak dan dilengkapi duri ikan yang sangat tajam. Ini senjata maut! Ia merasa marah dan terganggu. “Di antara kita tidak ada dendam,” katanya kepada diri sendiri. “Kalian cuma mengincar kudaku, tapi tidak ragu-ragu menyerang untuk membunuh aku!” Ia menyelipkan kedua senjata itu ke saku bajunya, lalu membiarkan kudanya berpacu semaunya tanpa menahannya lagi karena takut keempat wanita itu mengejarnya. Kuda itu berlari secepat angin, da dalam waktu kurang dari satu jam mereka telah mencapai lebih dari 80 li. Mungkin saja ada beberapa jebakan lagi setelah itu, tetapi karena ia berpacu secepat itu, mereka tidak punya kesempatan untuk melakukannya. Setelah istirahat sejenak, ia melanjutkan perjalanan. Sebelum malam tiba, ia sudah sampai di Kalgan, sudah pasti para wanita itu jauh tertinggal di belakangnya.

Kalgan, yang terletak di persimpangan jalan perdagangan antara Utara dan Selatan, adalah kota kecil tetapi sangat hidup, dipenuhi oleh para pedagang baik dari Utara maupun Selatan. Yang paling banyak dijual adalah bulu-bulu binatang. Sambil memegang tali kekang kudanya, Guo Jing melihat-lihat sekelilingnya dengan penuh rasa ingin tahu. Ia belum pernah melihat suasana kota yang begitu penting dan ramai, dan semuanya terasa baru baginya. Ketika melewati sebuah rumah makan besar, ia merasa sangat lapar. Ia mengikat kudanya di depan pintu, lalu masuk. Setelah duduk di sebuah meja, ia memesan sepiring besar daging dan dua potong roti panggang. Dan karena selera makannya besar, ia langsung makan dengan cara orang Mongolia, membungkus daging dengan roti, kemudian menggigitnya. Ketika sedang menikmati makanannya, ia mendengar suara ribut-ribut di depan pintu. Kuatir akan kudanya, ia buru-buru berlari ke arah pintu depan.

Kuda merah itu sedang menikmati makanannya sendiri tanpa bersuara. Dua orang pelayan terlihat sedang marah-marah kepada seorang pemuda kurus, yang berpakaian compang-camping. Pemuda itu kelihatannya berusia sekitar lima belas atau enam belas tahun. Ia memakai topi kulit tua yang sudah berlubang-lubang di kepalanya. Tangan dan mukanya kotor. Begitu kotornya sampai orang tidak bisa melihat mukanya dengan jelas. Ia memegang sebuah bakpao sambil tertawa konyol, memperlihatkan dua baris gigi putih yang bagus, yang agak kontras dengan keseluruhan penampilannya. Matanya yang hitam, dan sangat hidup, bersinar tajam.

“Hei!” seru salah seorang pelayan. “Ayo pergi!”

“Boleh,” kata pemuda itu. “kau suruh aku pergi, ya sudah, aku pergi!” Ketika ia hendak berjalan meninggalkan tempat itu, si pelayan menghalanginya. “Tinggalkan bakpao itu!” Ia mengembalikan bakpao itu, tapi ternyata ‘tanda tangannya’ sudah tertera di atas bakpao putih itu, yang sudah jelas tidak mungkin lagi dijual. si pelayan sangat marah, lalu melayangkan tinjunya ke arah pemuda itu, yang dengan gesit dihindar.

Guo Jing merasa kasihan melihat dia, dan berpikir bahwa ia pasti sedang sangat lapar. Karena itu ia segera menengahi dan berkata, “Tidak usah kasar. Biar aku yang bayar.”

Ia mengambil bakpao itu, lalu memberikannya kepada si pemuda, yang melihatnya sekilas dan berkata, “Bakpao ini tidak enak! Aduuhh… kasihan, ayo ambil, ini untukmu!” Ia melemparkan bakpao itu kepada seekor anjing kurus, yang langsung mengunyahnya dengan senang hati.

“Betul-betul pemborosan!” kata si pelayan, merasa jijik. “Makanan enak diberikan kepada anjing!”

Guo Jing merasa kecewa, karena sebelumnya ia yakin bahwa pemuda itu sedang sangat kelaparan. Ia kembali ke mejanya dan melanjutkan makan. Si pemuda mengikutinya masuk dan tetap diam di situ, menatapnya lekat-lekat. Guo Jing merasa agak terganggu dan bertanya, “Kau juga mau makan?”

“Dengan senang hati,” kata si pemuda sambil tertawa. “Aku bosan sendirian, aku sedang mencari teman.”

Ia berbicara dengan aksen Jiangnan, dan itu sangat menggembirakan bagi Guo Jing. Ibunya berasal dari Lin’an, propinsi Zhejiang, dan semua gurunya berasal dari Jiaxing. Sejak kecil ia sudah terbiasa mendengar aksen Jiangnan. Pemuda tanggung itu duduk di atas meja. Guo Jing segera memanggil pelayan. Ketika pelayan itu melihat tangan kotor dan pakaian yang compang-camping, ekspresi mukanya menjadi kurang enak. Setelah beberapa kali dipanggil barulah, akhirnya, ia datang, sambil menyeret kakinya, membawakan piring dan mangkuk.

“Wah,” kata pemuda itu. “rupanya kau kira aku tidak pantas makan di sini ya? Bah! Makananmu yang paling enak pun belum tentu memenuhi seleraku!”

“Ah, tentu,” kata pelayan itu. “Kami pasti akan melayani dengan senang hati, Gong Zi. Masalahnya adalah, kami belum tahu apakah ada yang mau membayar…”

“Apapun yang aku pesan,” desak pemuda itu sambil memandang Guo Jing. “kau mau traktir apa tidak?”

“Pasti… pasti…!” kata Guo Jing. Ia menoleh kepada pelayan, “Cepat siapkan satu piring daging panggang, dan setengah piring hati kambing!” Bagi dia, daging panggang dan hati kambing adalah makanan yang sangat istimewa. “Kau minum arak?” ia bertanya kepada pemuda itu.

“Tunggu,” jawab si pemuda. “Jangan buru-buru makan daging. Kita mulai dengan buah-buahan. Eh, pelayan! Pertama-tama, kami minta empat buah kering, empat buah segar, dua manisan dan asinan, dan juga empat buah yang diawetkan pakai madu!”

Tidak menyangka akan mendapat pesanan semacam itu, si pelayan terkejut. “Gong Zi mau buah dan manisan apa?”

“Di tempat kecil ini, di kota kecil yang payah ini,” kata si pemuda lagi. “Pasti susah untuk dapat sesuatu yang bagus. Jadi kami memang harus puas dengan apa yang ada. Empat buah kering itu adalah leci, longan, jujube tim, dan gingko. Yang segar, pokoknya yang sedang musim. Untuk manisan, cherry wangi, dan plum, dan jahe, tapi aku tidak tahu apa kau bisa menemukan itu semua di sini. Untuk yang diawetkan pakai madu, kau boleh bawa jeruk dengan aroma mawar, anggur, buah persik bersalut gula, dan potongan buah pir.” Pengetahuan soal nama-nama makanan itu sangat mengesankan si pelayan, ia tidak berani lagi berlagak pintar.

“Tidak ada ikan segar atau udang segar untuk menemani arak,” lanjut si pemuda. “Jadi kami harus puas dengan delapan makanan biasa…”

“Gong Zi mau pesan apa lagi?” tanya si pelayan.

“Tentunya,” kata si pemuda lagi. “Kalau tidak kujelaskan sedetil mungkin, kau pasti salah! Berikut adalah delapan hidangan: ayam kukus, kaki bebek goreng, sup lidah ayam, perut rusa dalam arak beras, iga sapi dengan kucai, kelinci dalam kelopak bunga krisan, tumis paha babi hutan, dan kaki babi dalam cuka jahe… Aku hanya memilih hidangan sederhana, tidak ada gunanya menyebutkan yang lebih canggih.” Mulut si pelayan menganga.

“Delapan jenis makanan itu,” kata si pelayan. “agak mahal! Untuk membuat kaki bebek dan sup lidah ayam, kita perlu banyak bebek dan ayam.”

“Gong Zi ini yang bayar,” kata si pemuda sambil menunjuk Guo Jing. “Maksudmu dia tidak mau bayar, begitu ya?”

Si pelayan melihat Guo Jing memakai mantel bulu yang sangat mahal. “Kalaupun kau tidak mau bayar,” pikirnya. “mantel bulu itu sudah cukup untuk melunasi semua harga makanan itu.” Ia bertanya lagi dengan nada mendesak, “Masih ada yang lainnya lagi?”

“Kau juga harus bawa dua belas macam makanan untuk menemani nasi, dan delapan macam dimsum.” Si pelayan tidak berani bertanya apa tepatnya nama-nama bahan makanan lainnya itu, ia takut si pemuda akan menyebutkan sejumlah makanan yang tidak tersedia di situ. Ia segera pergi dan menyuruh para koki untuk menyediakan semua makanan yang terbaik.

“Arak apa yang Gong Zi suka?” ia kembali untuk bertanya. “Kami punya arak beras putih yang berusia sepuluh tahun. Bagaimana kalau mulai dengan dua porsi?”

“Boleh,” jawab si pemuda.

Tak lama kemudian ia kembali untuk menyajikan buah-buahan dan kue-kue. Guo Jing mencicipi setiap piring. Ia sangat takjub karena melihat begitu banyak makanan lezat yang sebelumnya bahkan tidak pernah diketahuinya. Si pemuda itu bicara terus, ia menceritakan budaya dan kebiasaan lokal, menceritakan aneka macam anekdot dan tokoh-tokoh populer di daerah Selatan. Guo Jing terpesona melihat gayanya dan pengetahuannya yang luas. Guru Guo Jing yang kedua adalah seorang pelajar dan sastrawan yang berpengetahuan luas, tetapi Guo Jing yang mencurahkan seluruh perhatian dan waktunya untuk kungfu, dan hanya sempat belajar dari Zhu Cong di waktu senggang, yang mana sangat jarang ada, hanya tahu tentang beberapa tokoh yang sebetulnya sudah umum diketahui orang. Di matanya Guo Jing, pemuda tanggung ini punya pengetahuan dan kepandaian setingkat Zhu Cong, dan itu membuatnya sangat heran. “Aku yakin,” pikirnya. “anak yang kelihatannya mirip pengemis miskin ini sebetulnya seorang yang sangat terpelajar dan berbudaya tinggi. Sepertinya orang Han betul-betul sangat lain dibandingkan dengan orang-orang Mongolia.”

Setengah jam kemudian semua makanan itu siap disajikan. Diperlukan dua meja besar untuk menghidangkan semua makanan yang dipesan pemuda itu. Si pemuda tanggung minum sangat sedikit, dan makan juga sangat sedikit, dan hanya puas dengan makanan yang kurang berbumbu. Tiba-tiba ia memanggil si pelayan, lalu marah-marah. “Arak beras ini usianya lima tahun! Berani benar kau bawa ke sini!”

“Pesanan Gong Zi agak sulit,” kata pengelola rumah makan itu, yang datang untuk minta maaf. “Kami mohon maaf. Yang sebenarnya adalah, tempat yang sederhana ini tidak punya arak yang sebagus itu, kami harus meminjamnya dari rumah makan yang lebih besar, Rumah Perayaan Abadi. Umumnya, orang memang tidak bisa menemukan arak yang tua di Kalgan.”

Pemuda itu memberi isyarat untuk menyingkirkan arak itu, lalu kembali lagi ke pembicaraannya dengan Guo Jing, menanyakan seribu pertanyaan mengenai padang rumput dan Mongolia. Karena guru-gurunya sudah memperingatkan supaya ia berhati-hati agar identitasnya tidak terbongkar, maka Guo Jing hanya bercerita tentang berburu hewan liar, serigala, memanah burung elang, pacuan kuda, dan sebagainya. Anak itu mendengarkan dengan kagum, kadang-kadang ia bertepuk tangan, melontarkan pertanyaan-pertanyaan tajam, dan seringkali ia tertawa lepas kekanak-kanakan.

Guo Jing hidup dan dilahirkan di padang rumput. Ia tentu saja punya hubungan akrab dengan Tolui dan Hua Zheng. Tetapi Temujin yang sangat menyayangi Tolui seringkali menginginkan Tolui terus ada di dekatnya, karena itu ia jarang punya waktu untuk bermain-main. Sedangkan Hua Zheng, ia sangat keras kepala dan seringkali bertengkar dengan Guo Jing, yang sering menolak untuk memenuhi permintaannya. Meskipun akhirnya mereka selalu saling memaafkan, tetapi hubungan mereka bukan terlalu lancar. Tapi dengan anak ini sangat berbeda, mereka makan sambil mengobrol santai, sehingga Guo Jing, tidak tahu apa sebabnya, merasakan kegembiraan yang tidak pernah ia alami sebelumnya.

Biasanya ia jarang bicara, dan ia juga mengalami kesulitan untuk mengekspresikan diri. Orang harus menanyakan sesuatu kepadanya untuk memaksanya menjawab dengan ragu-ragu. Han Xiaoying dengan lembut bercanda dan mengatakan bahwa Guo Jing pastilah murid favorit gurunya yang keempat, karena mengadopsi motto ‘Diam Adalah Emas’. Tapi sekarang, cukup mengejutkan, ternyata ia bicara dengan lancar tanpa henti, tanpa menyembunyikan apapun tentang kehidupannya, kecuali ilmu silatnya, dan hal-hal yang berkaitan dengan Temujin. Ia bahkan menceritakan hal-hal yang konyol dan bodoh. Ia jadi agak lupa diri, dan pada saat tertentu memegang tangan kiri pemuda itu, yang membuatnya agak terkejut. Tangan itu lembut, halus dan lentur, seolah-olah tanpa tulang. Anak itu tersenyum kecil dan menundukkan kepalanya. Guo Jing memperhatikan bahwa meskipun muka anak itu kotor, tetapi kulit di lehernya seputih batu pualam. Ia merasa hal ini agak aneh, tapi ia tidak memikirkannya lebih lanjut.

“Yah, kita terlalu banyak bicara,” kata pemuda itu sambil menarik tangannya. “Semuanya sudah dingin sekarang. Masakan ini, dan juga nasi…”

“Ya,” kata Guo Jing. “Tapi ini masih bagus kok.” Anak itu menggelengkan kepalanya. “Kalau begitu biar kita suruh mereka memanaskannya…”

“Jangan,” kata anak itu. “Kalau sudah dipanaskan, maka sudah tidak enak lagi.” Ia memanggil pelayan dan menyuruhnya menyingkirkan semua makanan itu, dan menyiapkan yang baru, dengan bahan-bahan yang segar. Si pengelola, para koki dan pelayan merasa bahwa perilaku ini sangat aneh, tapi mereka segera menyiapkannya. Orang-orang Mongolia selalu memperlakukan tamu mereka secara istimewa, lagipula saat itu adalah untuk pertama kalinya Guo Jing memegang banyak uang, dan ia tidak memahami nilainya. Tapi kalaupun ia tahu, ia tetap akan memboroskan sepuluh kali lipat lebih banyak uang tanpa mengedipkan mata, karena ia merasa cocok dengan pemuda itu dan ia merasa sangat senang ditemani. Setelah makanan baru dihidangkan, baru makan beberapa suap ia merasa sangat kenyang.

“Betul-betul tolol,” pikir si pelayan. “Berandalan cilik ini mengambil keuntungan besar dan mempermainkanmu.” Ia memberikan tagihan yang harus dibayar, semuanya mencapai angka sembilan belas tail dan tujuh puluh empat bao. Guo Jing mengeluarkan sebatang uang emas (yuan bao), dan menyuruh pelayan itu menukarnya menjadi tail di sebuah tempat penukaran uang terdekat, yang kemudian digunakannya untuk membayar semua harga makanan mereka. Ketika mereka meninggalkan rumah makan itu, angin dari Utara bertiup sangat kencang. Pemuda tanggung itu kelihatannya kedinginan. Ia menggigil. “Aku sudah cukup merepotkan… Sekarang saatnya kita berpisah.”

Guo Jing merasa pakaian anak itu tidak cukup tebal untuk menghangatkan tubuhnya. Ia melepaskan mantel bulu hitam yang dipakainya, lalu memakaikannya di bahu pemuda itu. “Xiongdi,” katanya. “Aku merasa kita sudah lama kenal. Tolong terima mantel ini.” Ia masih punya sisa empat batang emas dari Genghis Khan. Ia mengambil dua batang, lalu menyelipkannya di kantong mantel itu. Tanpa mengucapkan terima kasih, anak itu memakai mantel tersebut, dan agak buru-buru menjauhkan dirinya dari Guo Jing. Setelah berjalan kira-kira sepuluh langkah, ia berpaling dan melihat Guo Jing sedang menuntun kudanya. Ia mengamatinya. Ia tahu bahwa Guo Jing tidak ingin mereka berpisah begitu saja. Ia kemudian merangkapkan kedua tangannya. Guo Jing buru-buru mendekat dan bertanya, “Xiongdi masih perlu sesuatu lainnya?”

“Aku masih belum tahu siapa nama Da Ge,” katanya sambil tersenyum.

“Betul juga,” kata Guo Jing tertawa. “Kita lupa soal itu. Margaku Guo, namaku Jing. Dan Xiongdi sendiri?”

“Margaku Huang, namaku Rong.”

“Tujuanmu kemana?” tanya Guo Jing. “Kalau kau mau ke Selatan, kita bisa jalan bersama. Bagaimana?”

“Aku tidak mau ke Selatan,” kata Huang Rong sambil menggelengkan kepalanya. Tiba-tiba ia berkata, “Da Ge, aku masih lapar…”

“Baiklah,” kata Guo Jing senang. “Ayo kita makan sama-sama.”

Kali ini Huang Rong memilih Rumah Perayaan Abadi, restoran utama di Kalgan. Dekorasinya persis sama dengan bangunan mewah di ibukota Song jaman dulu, Bianliang (Kaifeng). Kali ini Huang Rong tidak memesan makanan terlalu banyak, hanya empat piring kue-kue dan sepoci teh longjing (green tea populer dari propinsi Zhejiang). Mereka meneruskan obrolan mereka sebelumnya.

Karena sudah tahu Guo Jing punya dua ekor elang putih, Huang Rong merasa sangat tertarik. “Bagus sekali,” katanya. “Aku tidak tahu sebenarnya mau pergi kemana. Besok aku akan pergi ke Mongolia, untuk menangkap dua ekor elang putih, untuk senang-senang!”

“Itu tidak mudah ditemukan,” jelas Guo Jing.

“Lalu bagaimana caramu menemukannya?” tanya Huang Rong.

Guo Jing tidak menjawab dan hanya tersenyum. “Bukit-bukit di Mongolia sangat berbahaya,” pikirnya. “dan anginnya sangat keras dan dingin. Mana mungkin anak muda kurus ini bisa bertahan.”

“Kau tinggal di mana?” tanyanya. “Kenapa tidak pulang saja?”

Huang Rong menitikkan air mata. “Ayahku tidak menginginkan aku lagi.”

“Kenapa?” yanya Guo Jing.

“Dia mengurung seseorang,” jawab Huang Rong. “dan tidak mau membebaskan orang itu. Aku merasa kasihan karena dia kesepian. Jadi aku bawakan makanan enak dan menemaninya ngobrol. Ayahku marah dan memaki-maki aku, jadi aku melarikan diri di tengah malam.”

“Aku yakin ayahmu pasti sedang memikirkan engkau saat ini,” kata Guo Jing. “Dan ibumu?”

“Dia sudah lama meninggal, sejak masih sangat kecil aku sudah tidak punya ibu.”

“Kalau sudah cukup bersenang-senang, lebih baik pulang.”

“Ayah tidak menginginkan aku lagi,” kata Huang Rong sambil menangis.

“Itu tidak mungkin!” kata Guo Jing.

“Lalu kenapa dia tidak mencari aku?” tanya Huang Rong.

“Mungkin dia masih mencari-cari, tapi belum ketemu…”

“Mungkin kau benar,” kata Huang Rong, yang sudah berubah dari menangis menjadi tertawa. “Kalau sudah puas bersenang-senang, aku akan pulang! Tapi mula-mula, aku ingin menangkap dua ekor elang putih dulu!” Mereka kembali saling bercerita mengenai apa saja yang pernah mereka lihat dan alami. Guo Jing menceritakan tentang insiden dengan delapan orang wanita berbaju putih, yang menyamar menjadi laki-laki, dan ingin merampas kudanya. Huang Rong bertanya tentang kuda merah kecil itu, bagaimana karakternya, kemampuannya, dan ia tempaknya merasa sangat iri. Ia menenggak tehnya dan berkata sambil tersenyum “Da Ge, aku mau minta sesuatu yang sangat berharga. Kau setuju atau tidak?”

“Tentu saja, kenapa tidak?”

“Yang aku mau justru kudamu yang berkeringat darah itu!”

“Baik,” kata Guo Jing tanpa ragu. “dengan senang hati akan kuberikan kepadamu!”

Sebenarnya Huang Rong hanya bercanda. Ia tahu jelas Guo Jing sangat menyayangi kudanya. Mereka baru saja kenal, dan itu hanya secara kebetulan, ia jadi ingin tahu bagaimana cara pemuda yang baik itu menolak permintaannya yang sangat tidak pantas itu. Tetapi cara Guo Jing menjawab dengan sangat sederhana dan murah hati membuatnya sangat terkejut. Ia merasa sangat terharu sampai tidak bisa bicara, dan ia hampir tidak bisa menahan air matanya, dan ia menyembunyikan mukanya di antara kedua tangannya. Melihat itu, Guo Jing bahkan lebih terkejut. “Xiongdi,” katanya agak cemas. “kau kenapa? Kurang sehat?”

Huang Rong mengangkat kepalanya. Ia baru menangis, tapi sekarang senyum lebar menghiasi wajahnya. Air mata menghapus kotoran yang menempel di mukanya, dan memperlihatkan kulit yang putih bersih seperti batu pualam. “Da Ge,” katanya. “Ayo kita pergi!”

Guo Jing membayar, lalu mereka pergi dari restoran itu. Guo Jing mengambil kudanya, dan mengelus-elusnya dengan lembut sambil berbisik, “Aku memberikanmu kepada seorang teman baik. Kau harus menurut, terutama sekali jangan bersikap urakan!” Lalu ia berkata kepada Huang Rong, “Ayo, Xiongdi, naik ke atas kuda!”

Kuda merah kecil itu biasanya tidak mau ditunggangi oleh orang lain, tetapi beberapa hari belakangan itu ia tampak jauh lebih tenang. Karena majikannya sudah memberikan perintah, maka ia tidak memberontak. Huang Rong melompat ke atas kuda dan Guo Jing melepaskan tali kekang yang sedang dipegangnya. Ia menepuk leher kuda itu dengan ringan. Kuda dan penumpangnya pun menghilang di antara kepulan debu. Guo Jing menunggu sampai mereka sama sekali tak terlihat lagi, lalu ia berbalik.

Sudah larut malam ketika ia memesan kamar di sebuah penginapan. Ketika ia hendak mematikan api lilin dan beristirahat, tiba-tiba ia mendengar suara ketukan di pintu. Ia mengira bahwa itu Huang Rong yang kembali lagi. Ia merasa sangat senang. “Itu kau ya, Xiongdi?” katanya sambil berlari ke pintu. “Bagus sekali!”

“Ini ayahmu!” jawab sebuah suara serak. “Apanya yang bagus?”

Merasa sangat terkejut, pemuda itu segera membuka pintu, dan melihat lima orang pria di bawah remang-remang cahaya lilin. Setelah melihat mereka lebih teliti, ia merasa punggungnya gemetar. Empat orang dari mereka yang membawa golok, tombak, cambuk dan kapak, adalah Empat Iblis Sungai Kuning, yang pernah bertarung melawan dia di bukit itu. Yang kelima adalah seorang pria kurus sekitar empat puluh tahunan, dengan wajah gelap dan panjang, dengan tiga benjolan besar di bagian depan kepalanya, yang menambah jelek keseluruhan penampilannya. Pria kurus itu terkekeh sambil melangkah lebar memasuki kamarnya. Ia duduk dengan sikap arogan di atas kang1, lalu berpaling untuk mengamati Guo Jing.

Orang tertua dari Empat Iblis Sungai Kuning, yang bersenjata golok, Shen Qinggang, mengumumkan dengan nada dingin, “Ini paman guru kami, Hou Tonghai, yang dijuluki ‘Naga Berkepala Tiga’! Ayo cepat, kowtow di hadapan Hou Daxia!”

Gou Jing sadar bahwa dirinya tersudut. Ia tidak mampu mengalahkan Empat Iblis Sungai Kuning kalau mereka maju bersama-sama, apalagi Hou Tonghai, yang dapat dipastikan jauh lebih kuat. “Kalian mau apa?” desaknya, sambil merangkapkan tangannya untuk memberi salam.

“Mana guru-gurumu?” tanya Hou Tonghai.

“Guru-guruku tidak di sini,” jawab Guo Jing.

“Hm!” dengus Hou Tonghai. “Kalau begitu kuberi waktu setengah hari! Kalau aku membunuhmu sekarang, orang akan bilang bahwa aku, Naga Berkepala Tiga, menganiaya orang yang lebih lemah. Besok, tepat di tengah hari, aku tunggu Enam Orang Aneh dari Jiangnan, di Hutan Pinus Hitam, sepuluh li ke arah Barat dari sini.” Ia menginggalkan kamar itu tanpa menunggu jawaban Guo Jing. Wu Qinglie, mengunci pintu dari luar kamar.

Guo Jing mematikan lilin dan berbaring di atas tempat tidur, dan melihat dari kertas penutup jendela ada bayangan orang mondar-mandir di luar kamar tanpa henti. Sudah jelas musuh menjaganya dengan ketat. Tak lama kemudian, ia mendengar suara berisik di atas atap, kedengarannya ada orang yang sedang mengetuk genteng dengan senjatanya, sambil berkata, “Sobat kecil, tidak usah berpikir soal lari, ayahmu sedang mengawasi engkau.” Menyadari bahwa ia tidak mungkin melarikan diri, Guo Jing berbaring diam sambil menatap langit-langit kamar, bertanya-tanya dalam hati bagaimana caranya ia akan pergi dari sini besok. Ia tertidur bahkan sebelum menemukan langkah pertama bagi jalan keluar yang dipikirkannya.

Keesokan paginya, pelayan kamar datang membawa air panas untuk mandi, dan semangkuk mie untuk sarapan. Ia diikuti dari jarak dekat oleh Quan Qingjian, lengkap dengan sepasang kapak pendeknya. Guo Jing berpikir bahwa guru-gurunya sedang berada jauh dari situ dan hampir pasti tidak akan datang tepat waktu untuk menyelamatkan dia. Karena ia juga tidak mungkin melarikan diri, kenapa tidak melawan mati-matian, dan kemudian mati sebagai pria sejati! Guru keempatnya memberinya nasihat, “Kalau tidak sanggup melawan, lari!” Tapi kalau lari bahkan sebelum kena pukul, berarti tidak mengikuti nasihat itu dengan tepat… Nyatanya, sama sekali tidak sulit untuk lolos dari Quan Qingjian sendirian, karena dia bukannya terlalu cepat atau kuat. Seandainya saja nasihat Nan Xiren berbunyi, “Lari dari bahaya…!”, maka kemungkinan besar ia dengan segera akan angkat kaki, dan Quan Qingjian tidak bakalan sanggup mengejarnya. Si Naga Berkepala Tiga, Hou Tonghai itu meyakini bahwa Enam Orang Aneh ada di sekitar situ, dan mengingat popularitas mereka, pastilah mereka akan menjawab tantangannya. Ia sama sekali tidak mengira bahwa Guo Jing ternyata sama sekali sendirian.

Duduk di tempat tidurnya, ia lalu berlatih meditasi seperti yang diajarkan Ma Yu. Di sebelahnya Quan Qingjian mengacung-acungkan kapaknya sambil terus mengeritik caranya berlatih. Guo Jing sama sekali tidak peduli. Menjelang tengah hari, ia bangkit dan berkata kepada pengawasnya, “Ayo kita pergi!”

Ia membayar sewa kamar, lalu mereka berdua menuju ke arah Barat. Dalam jarak sepuluh li ke depan, ternyata mereka benar-benar melihat sebuah hutan pinus yang sangat lebat. Quan Qingjian meninggalkan Guo Jing dan berjalan memasuki hutan.

Pemuda itu mengeluarkan sebuah cambuk yang selalu dibawanya, lalu dengan hati-hati memasuki hutan. Ia maju perlahan-lahan sambil mengawasi sekelilingnya dengan cermat. Ia menelusuri sebuah jalan kecil sejauh lebih dari satu li tanpa melihat seorang pun. Semuanya sunyi, hanya kadang-kadang terdengar suara burung. Semakin jauh, ia jadi semakin yakin. “Tidak ada yang mengawasi aku,” pikirnya. “karena hutan ini sangat lebat, kenapa tidak bersembunyi? Sembunyi bukan melarikan diri.” Ketika ia hendak menyelinap ke sebuah semak-semak, ia mendengar suara orang memaki-maki dari sebelah atas. “Bangsat kecil! Tolol! Setan!”

Guo Jing melompat mundur, cambuknya dalam keadaan siap. Ia melihat ke atas, lalu tawanya meledak. Di sana ia melihat Empat Iblis Sungai Kuning, masing-masing dengan kedua tangan terikat ke belakang, tergantung di dahan pohon. Mereka meronta-ronta dengan putus asa, tapi tidak mampu melepaskan diri. Ketika melihat Guo Jing, mereka kembali memaki-maki.

“Kalian main ayunan ya?” tanya Guo Jing, masih tertawa. “Asyik ya? Selamat tinggal kalau begitu. Aku pergi dulu.” Setelah beberapa langkah, ia berbalik dan bertanya, “Bagaimana kalian bisa jadi seperti itu?”

“Sialan!” omel Quan Qingjian. “Kami diserang mendadak! Ini bukan cara laki-laki sejati!”

“Bocah,” kata Shen Qinggang. “kalau memang berani, turunkan kami. Ayo kita bertarung satu lawan satu, kalau kami sampai main keroyok, berarti kami yang pengecut!”

Guo Jing memang tidak terlalu cerdas, tapi juga bukan betul-betul bodoh. Ia tertawa lagi dan berkata, “Aku akui kalian memang pemberani, tidak usah berkelahi ah!” Karen takut Hou Tonghai, Si Naga Berkepala Tiga, akan muncul, ia tidak berminat tinggal lebih lama di situ. Ia buru-buru menyingkir dan kembali ke kota, membeli kuda, lalu meneruskan perjalanannya ke Selatan tanpa menundanya lagi.

“Siapa yang diam-diam membantuku?” pikirnya. “Keempat Iblis Sungai Kuning itu punya kungfu bagus. Siapa yang berhasil mengikat mereka semua dan menggantung mereka di atas pohon? Si Naga Berkepala Tiga itu, yang kelihatannya menakutkan, kenapa dia tidak muncul lagi? Guruku selalu bilang: ‘Kalau kau sudah berjanji, meskipun langit ambruk menimpa kepalamu, kau harus menepatinya’ Aku menepati janji, tapi kalau dia sendiri yang tidak datang, itu bukan salahku!”

Perjalanannya lancar tanpa gangguan. Dalam sehari ia tiba di Yanjing, ibukota Kekaisaran Jin, kota paling makmur di negeri itu. Bahkan ibukota Song yang lama, Bianliang, atau yang baru, Lin’an, tidak bisa menandingi kemegahannya. Guo Jing yang dibesarkan di padang rumput tidak pernah menyaksikan pemandangan seperti itu, yang mendekati pun tidak. Bangunan-bangunannya berwarna merah, pintu-pintunya megah, dekorasinya sangat indah, bentuk bangunan itu semuanya kokoh dan mencengangkan. Rumah-rumah penduduk bagian depannya dihias dengan anggun. Papan penunjuk jalan tampak berdiri kokoh di mana-mana. Aneka macam barang-barang mewah dipajang di toko-toko sepanjang jalan. Orang-orang berpakaian mewah warna-warni tampak memenuhi kedai-kedai teh atau arak. Sepertinya udara dipenuhi suara musik. Bau harum parfum tercium di udara. Guo Jing tidak tahu harus berpaling ke arah mana. Di hadapannya ada begitu banyak benda yang bahkan sepuluh persen dari semuanya tidak dapat ia kenali. Karena tidak berani memasuki restoran yang terlihat terlalu mewah, ia lalu memilih sebuah kedai kecil, di mana ia makan dengan cepat, lalu meneruskan langkahnya jalan-jalan berkeliling kota itu. Tiba-tiba ia mendengar suara sorak-sorai dan melihat kerumunan orang di kejauhan, yang sepertinya sedang menonton sebuah pertunjukan.

Terdorong oleh rasa ingin tahu, ia mendekat dan membaur di antara para penonton. Mereka berdesak-desakan mengelilingi sebuah lapangan terbuka yang luas. Di tengah-tengahnya tertancap sebuah umbul-umbul dengan tulisan yang dibordir, berbunyi: ‘Lomba Mencari Jodoh’. Di dekat umbul-umbul itu ada dua orang sedang saling berhadapan dalam adu ilmu silat. Yang pertama adalah seorang gadis berbaju merah, dan yang lain adalah seorang pria bertubuh besar dan gemuk. Guo Jing segera melihat bahwa gadis itu, yang setiap gerakannya terukur dan terkendali, memiliki kungfu yang bagus, sedangkan orang gemuk itu kelihatannya bukan lawannya. Setelah beberapa jurus, si gadis berpura-pura ceroboh, lalu si gendut itu maju menyerang dengan kedua kepalannya mengarah ke dada lawan. Si gadis melangkah mundur dengan ringan, lalu tangan kirinya berputar cepat untuk mendorong punggung lawannya, yang kemudian terjungkal ke tanah. Ia bangkit berdiri dengan tubuh berdebu, dan rasa malu terlihat jelas di wajahnya. Ia segera menghilang di tengah keramaian. Para penonton bersorak memuji gadis itu.

Ia merapikan beberapa helai rambut yang jatuh menutupi wajahnya, lalu kembali ke dekat umbul-umbul. Guo Jing mengamatinya lebih teliti. Ia berusia sekitar delapan belas atau sembilan belas tahun, sangat anggun, dan wajahnya teramat sangat cantik. Tiupan angin membuat umbul-umbul itu berkibar. Di setiap sisinya ada sebuah tombak besi, dan sepasang tombak pendek yang dipajang berdiri di atas tanah.

Gadis itu berbicara dengan suara rendah dengan seorang pria setengah baya. Pria itu mengangguk, lalu maju ke depan dan merangkapkan tangannya untuk memberi salam kepada para penonton. “Nama saya Mu Yi, saya datang dari Shandong. Saya mengunjungi kota ini bukan untuk mencari untung atau ketenaran. Karena anak saya sudah cukup umur untuk meletakkan sisir di rambutnya, dan dia tidak punya tunangan. Dia pernah berikrar, dan meskipun dia tidak mencari seorang kaya atau berpangkat, dia akan menerima seorang pendekar yang terhormat. Ini alasannya kami memberanikan diri untuk mengadakan perlombaan supaya dia bisa menemukan seorang suami. Semua anak muda, yang berusia di bawah tiga puluh tahun, dan belum menikah, boleh menghadapi anak saya. Jika dapat mengalahkan anak saya dalam satu jurus, maka saya akan menikahkan anak saya dengan dia. Kami sudah berkeliling negeri dari Selatan ke Utara, tapi para ahli silat semuanya sudah menikah, dan yang lebih muda ternyata tidak berani mencoba, inilah alasannya mengapa pasangan yang sesuai belum ditemukan. Yanjing adalah tempat di mana ‘harimau dan naga tersembunyi di balik bayangan’. Pasti ada banyak pendekar dan pemberani di sini. Kalau tindakan saya rasanya terlalu berani, saya sungguh-sungguh minta maaf.”

Orang bernama Mu Yi itu kelihatannya kokoh dan kuat, tetapi punggungnya agak bongkok. Rambutnya sudah memutih, dan mukanya penuh keriput. Ia terlihat sangat melankolis dan mengenakan pakaian kasar, tambalannya di mana-mana, sedangkan gadis itu berpakaian dengan warna hidup. Setelah mengakhiri pidatonya, Mu Yi diam sejenak untuk mendengarkan. Ia mendengar komentar-komentar yang kurang senonoh, tetapi tidak satu pun berani maju. Ia memandang ke arah langit, dan melihat bahwa awan gelap sedang berkumpul di atas mereka, dan angin bertiup lebih kencang.

“Kelihatannya mau hujan,” gumamnya kepada diri sendiri. “Gelap sekali, hari ini…” Ia berbalik dan mencabut umbul-umbul itu dari tempatnya, dan bersiap untuk menyimpannya. Dua suara dari arah barat dan timur terdengan serempak, “Tunggu dulu!” dan dua orang pria melompat ke arena pertandingan.

Tawa para penonton pun meledak ketika melihat mereka. Orang yang muncul dari arah timur itu bertubuh gendut dan terlihat sudah tua. Ia berewokan lebat dan setidaknya sudah berusia lima puluh tahun. Yang muncul dari arah barat ternyata lebih lucu lagi, ia seorang biksu berkepala botak.

“Apa yang kalian tertawakan?” kata si gendut. “Pertandingan ini kan untuk mencari jodoh. Aku belum menikah. Kenapa aku tidak boleh mencoba keberuntunganku?”

“Leluhurku Yang Mulia,” kata si biksu sambil terkekeh. “Kalaupun kau menang, kau tidak ingin gadis ini, yang secantik bunga, langsung jadi janda, kan?”

“Dan kau,” kata si gendut marah. “Buat apa kau ada di sini?”

“Kalau aku bisa memiliki gadis secantik itu,” kata si biksu. “Aku berhenti jadi biksu!” Para penonton dengan segera ramai lagi.

Gadis itu mengerutkan keningnya, jelas sekali ia merasa sebal. Ia melepaskan kerudung yang dipakainya, dan bersiap untuk mulai bertarung lagi. Mu Yi memegang tangannya dan berusaha menenangkannya, lalu ia memasang kembali umbul-umbul itu di tempatnya semula. Si biksu dan orang gemuk itu meneruskan perdebatan mereka, dan asling berebut untuk lebih dahulu bertarung dengan gadis itu.

“Kenapa kalian tidak langsung adu jotos saja,” usul para penonton mengolok-olok mereka. “Pemenangnya berhak untuk bertarung dengan gadis itu.”

“Baik,” kata si biksu. “Sobat tua, mari kita main-main sebentar!” Ia melancarkan serangan dengan tinjunya, yang dihindari oleh si gendut dengan merendahkan kepalanya, sebelum mengirimkan pukulan balasan.

Guo Jing mengenali kungfu yang digunakan oleh si biksu itu sebagai kungfu Shaolin, sedangkan si gendut ternyata melatih ilmu ‘Lima Jurus’. Berarti keduanya memakai kungfu dari luar (baik pendiri kuil maupun pelopor ilmu silat Shaolin adalah orang India). Si biksu itu memamerkan kegesitannya, sementara si gendut, terlepas dari usianya yang jauh lebih tua, ternyata mengandalkan tenaganya yang besar. Si biksu secara beruntun mengirimkan tiga pukulan ke arah perut si gendut, yang sejauh ini lebih banyak bertahan, dan menunggu kesempatan untuk mendaratkan kepalan kanannya dengan telak ke kepala si biksu. Pukulan itu masuk ke sasaran dengan telak, dan si biksu ambruk ke tanah, pusing sebentar, lalu mendapatkan kembali kesadarannya. Ia mencabut sebuah pisau dari balik jubahnya, dan langsung menyerang lawannya. Para penonton berteriak terkejut. Si gendut melompat ke belakang, lalu mengeluarkan sebuah cambuk besi yang sejak awal dililitkan ke pinggangnya. Keduanya sekarang bersenjata! Mereka mulai bergebrak lagi, masih sama-sama bernafsu, tapi sekarang lebih berbahaya. Para penonton bersorak sambil melangkah mundur, takut terkena senjata nyasar.

Mu Yi mendekati keduanya dan berkata dengan suara lantang, “Hentikan! Kita berada di ibukota Kekaisaran, tidak boleh memegang senjata!” Kedua orang itu sudah saling terbawa emosi, dan tidak mendengarkan larangannya. Mu Yi tiba-tiba melompat ke depan dan menendang pisau si biksu jauh-jauh, sambil merampas ujung cambuk. Ia menarik cambuk itu dengan paksa, si gendut tidak mampu bertahan dan melepaskan cambuknya. Mu Yi melemparkan cambuk itu ke tanah. Kedua orang itu tidak berani bertarung lagi, dan mereka segera mengambil senjata masing-masing dengan muka malu, lalu menghilang di antara kerumunan penonton.

Kemudian terdengar suara keliningan dari lonceng kecil aksesori kuda, diikuti oleh datangnya sekelompok orang yang terlihat flamboyan. Beberapa puluh pengawal datang bersama dengan seorang bangsawan muda. Ia melihat ke arah umbul-umbul itu dan mengamati gadis itu baik-baik dari kepala sampai ke ujung kaki. Lalu ia tersenyum, turun dari kudanya dan maju ke depan. “Inikah gadis yang sedang mencari jodoh melalui perlombaan ini?” tanyanya. Si gadis tersipu dan memalingkan mukanya tanpa menjawab. Mu Yi merangkapkan kedua tangannya untuk memberi salam, sambil berkata, “Nama saya Mu. Apa yang Gong Zhi harapkan?”

“Apa saja peraturan dalam perlombaan ini?” tanya pemuda itu. Mu Yi menjelaskan kepadanya. “Kalau begitu aku juga ingin mencoba keberuntunganku…” kata pemuda itu lagi. Ia seorang bangsawan muda dan tampan, berdandan dengan mantel bulu yang terlihat sangat mahal.

“Akhirnya seorang anak muda,” pikir Guo Jing. “yang bisa jadi pasangan serasi untuk gadis itu. Untungnya si gendut dan biksu tadi tidak ikut bersaing lagi, kalau tidak… kalau tidak…”

“Gong Zi pasti bercanda,” kata Mu Yi, merendah. Anak muda pesolek itu berdandan seperti bangsawan Jin, tetapi ia bicara dalam bahasa Han dengan sempurna, karena itu Mu Yi memanggilnya Gong Zi (pangglan umum untuk anak laki-laki yang terhormat).

“Apa maksudmu?” tanya pemuda itu.

“Kami hanya pengembara kasar, masa kami berani mengukur kemampuan Gong Zi? Dan ini juga bukan pertandingan silat biasa, karena ini akan menentukan jodoh putri saya. Jadi mohon maaf.”

“Sudah berapa lama kau mengadakan perlombaan ini?” tanya pemuda itu.

“Sudah lebih dari enam bulan kami berkeliling di jalan.”

“Selama itu, dan belum ada yang mampu mengalahkan anakmu?” kata pemuda itu, tidak percaya.

“Tidak diragukan lagi,” kata Mu Yi, tersenyum. “itu karena kebanyakan para ahli silat itu sudah menikah, atau memang mereka merasa putriku tidak layak untuk melawan mereka.”

“Baik, baiklah,” kata pemuda perlente itu. “Aku akan menguji…”

“Anak muda yang halus dan punya pembawaan berbeda ini,” pikir Mu Yi. “kalau ia dari keluarga biasa, pasti akan sangat cocok jadi suami anakku. Tapi sudah jelas, ia dari keluarga bangsawan. Dan kita sedang berada di ibukota Jin, keluarganya mungkin orang terkenal di Parlemen. Pendeknya, dia pasti kaya dan berpengaruh. Kalau anakku menang, ini bisa menjadi malapetaka bagi kami, kalau anakku kalah, bagaimana mungkin aku bisa mengawinkan anakku dengan orang macam dia?”

“Kami hanya pengembara di dunia persilatan,” kata Mu Yi. “Kami mana berani mengukur kekuatan melawan Gong Zi. Kami mohon maaf. Kami akan pergi.”

“Ini perlombaan bergengsi,” kata bangsawan muda itu sambil tertawa. “Percayalah, aku tidak akan mencelakai anakmu.” Ia berpaling kepada gadis itu dan berkata, “Gu Niang (Nona) menang kalau bisa menyentuh aku, bagaimana?”

“Dalam pertarungan, kita perlu menaati peraturan yang berlaku,” protes gadis itu.

“Ayo cepat mulai!” penonton bersorak. “Makin cepat kalian bertarung, makin cepat kalian menikah, dan makin cepat juga punya anak!” Para penonton tertawa. Gadis itu menaikkan alisnya, dan melepaskan kerudungnya dengan emosi. Ia merangkapkan kedua tangannya untuk memberi hormat, yang segera dibalas oleh bangsawan muda itu.

“Anak muda perlente ini dibesarkan di istana,” pikir Mu Yi. “Apa dia bisa kungfu? Sebaiknya cepat-cepat mengalahkan dia, lalu kita kabur dari sini untuk menghindari kesulitan.”

“Baiklah,” kata Mu Yi. “Mungkin Gong Zi ingin melepas mantel dulu?”

“Tidak perlu,” kata pemuda itu, masih tersenyum.

Para penonton yang sudah melihat ketangguhan gadis itu berpikir, kalau pemuda itu bersikap sembrono seperti ini, ia hanya akan menderita. Tapi beberapa orang lain berpikir bahwa keluarga Mu yang sudah berpengalaman di dunia persilatan pasti tidak akan menyinggung perasaan anak dari keluarga bangsawan. Mereka mungkin akan memberi dia muka.

“Apa kau percaya,” bisik salah seorang. “kalau keluarga Mu memang ingin mencari jodoh? Kelihatannya Si Tua Mu itu hanya memanfaatkan kecantikan dan kungfu anaknya untuk menipu uang orang tolol. Anak muda pesolek ini harus menjaga dompetnya!”

“Siap?” kata gadis itu. Si pemuda memiringkan tubuhnya ke kanan, dan lengan kiri jubahnya terbang dengan kecepatan kilat menuju ke arah bahu gadis itu. Terkejut melihat kecepatan serangan itu, si gadis mengelak dengan memiringkan tubuhnya, dan lolos dari serangan itu. Tapi ternyata lawannya tidak berhenti sampai di situ, dengan cepat lengan jubah kanannya menyambar ke arah kepala si gadis, mengancam kedua sisi. Gadis itu melompat ke belakang secepat anak panah.

“Bagus!” seru si pemuda. Lalu ia menerjang maju tanpa memberi kesempatan kepada gadis itu untuk mendaratkan kakinya ke atas tanah. Masih di udara, gadis itu memutar tubuhnya dan menyerang untuk mempertahankan diri, ia melancarkan tendangan dengan kaki kirinya ke arah hidung si pemuda. Ia buru-buru mundur, dan mereka berdua sama-sama mendarat di atas tanah. Pemuda itu sudah melancarkan tiga jurus serangan, sementara si gadis bertahan dengan mengandalkan kegesitannya. Dalam hati mereka sama-sama mulai timbul rasa hormat terhadap lawannya, dan mereka saling mengawasi dengan lebih cermat. Gadis itu tersipu dan mengambil inisiatif menyerang. Pertarungan dimulai lagi, tetapi kali ini lebih sengit. Pemuda itu seolah-olah berubah menjadi bayangan yang berkilau, sedangkan si gadis terlihat mirip awan merah.

Guo Jing melihat dengan takjub. “Kedua anak muda ini kira-kira seusiaku,” pikirnya. “tapi kungfu mereka sudah begitu tinggi. Ini luar biasa! Mereka pasti bisa menjadi pasangan yang serasi. Kalau mereka menikah, di waktu senggang mereka bisa pura-pura main ‘Lomba Mencari Jodoh’ lagi. Pasti sangat menyenangkan!” Dengan mulut ternganga ia menonton pertandingan itu dengan penuh harap. Tiba-tiba gadis itu mencengkeram jubah lawannya, lalu merobeknya dengan paksa. Ia segera melompat mundur, sambil memegang ‘hadiah’ itu.

“Gong Zi,” kata Mu Yi. “Kami mohon maaf!” Lalu ia berpaling kepada putrinya. “Ayo kita pergi!”

“Tidak secepat itu,” kata pemuda itu dengan muka kurang senang. “Ini belum selesai!” Ia memegang kedua sisi mantelnya, lalu menariknya kuat-kuat, yang menyebabkan kancing-kancing mantel yang terbuat dari batu pualam itu terlepas. Salah seorang pelayan membantunya melepas mantel, sedangkan yang lain sibuk memungut kancing-kancingnya yang terlepas. Di bawah mantel itu si pemuda mengenakan pakaian berwarna hijau, ditambah dengan sabuk hijau di pinggangnya. Segala aksesori yang dipakainya membuat keseluruhan penampilannya semakin memikat. Ia mengangkat telapak tangan kirinya dan mengirim serangan, memamerkan kungfu yang sebenarnya. Tiupan angin yang sangat keras lewat dalam jarak sangat dekat dengan gadis itu.

Guo Jing, Mu Yi, dan putrinya terdiam. “Bagaimana mungkin,” pikir mereka. “seseorang yang kelihatannya begitu halus, menguasai kungfu yang begitu kejam dan brutal?”

Anak muda itu tidak lagi main-main, serangannya sangat kuat sehingga lawannya tidak bisa lagi mendekatinya.

“Kelihatannya kita punya seorang ahli silat yang hebat di sini,” pikir Guo Jing. “gadis itu pasti bukan tandingannya. Kelihatannya perkawinan itu sudah pasti. Dan aku cukup puas melihat mereka… Guruku yang keenam pernah bilang bahwa ada sekelompok orang yang istimewa di wilayah pusat ini. Sebenarnya bangsawan muda ini punya jurus tangan kosong dengan variasi canggih. Kalau sampai kami berdua bertarung, aku tidak yakin akan menang melawan dia.”

Mu Yi juga sudah bisa memperkirakan hasil akhir pertandingan itu, ia berseru, “Anakku, tidak ada gunanya diteruskan. Gong Zi jauh lebih kuat dari kamu!”

“Anak muda ini punya kungfu yang bagus,” pikir Mu Yi. “Dia tidak kelihatan seperti anak dari keluarga tertentu yang malas, suka berjudi, dan suka pergi ke pelacuran. Aku mau tanya soal keluarganya. Kalau dia tidak ada hubungannya dengan salah satu keluarga pejabat Jin, aku akan merestui perkawinan mereka. Masa depan anakku akan aman…” Ia berteriak meminta mereka berhenti bertarung. Tetapi pertarungan itu sudah terlanjur sengit, dan mereka tidak mau berhenti.

“Kalau aku mau melukaimu sekarang ini,” pikir pemuda itu. “gampang sekali. Tapi aku tidak tega melakukannya.” Tiba-tiba telapak tangan kirinya berubah menjadi cakar, dan ia mencengkeram pergelangan tangan gadis itu. Karena terkejut, gadis itu berusaha melepaskan diri. Anak muda itu mendorong perlahan ke depan, dan gadis itu kehilangan keseimbangan. Begitu ia hampir terjatuh, tangan kanan lawannya menariknya dengan lembut, dan ia jatuh ke pelukannya. Para penonton bersorak-sorai meriah dan mulai saling bergumam, membuat keadaan menjadi sangat ramai.

Gadis itu tersipu, ia merasa sangat malu dan memohon dengan suara rendah, “Cepat lepaskan aku!”

“Panggil aku ‘sayang’, baru aku lepaskan,” jawab si pemuda sambil tertawa. Merasa gusar karena ketidaksopanan itu, gadis itu meronta, tapi pemuda itu memeluknya dengan erat, ia tidak bisa melepaskan diri.

Mu Yi melangkah maju dan berkata, “Gong Zi sudah menang, tolong lepaskan anakku!” Tawa pemuda itu meledak, tapi ia tidak melepaskan gadis itu.

Kehilangan kesabarannya, gadis itu lalu mengirim tendangan ke arah solar plexus dari lawannya, berusaha memaksanya melepaskan dia. Pemuda itu sungguh-sungguh melepaskan tangan kanannya, menangkis tendangan itu, dan langsung menangkap kakinya. Teknik merebut dan menahan yang digunakannya nyaris sempurna, sepertinya ia mampu merampas apapun yang diinginkannya. Gadis itu panik, dan berusaha melepaskan kakinya dengan cara menariknya secara paksa. Ia memang berhasil, tetapi itu membuatnya kehilangan sepatu kecilnya yang dihiasi bordiran bunga merah. Ia terduduk di tanah dengan kepala tertunduk, mukanya memerah karena malu, ia memeluk kakinya yang memakai kaus kaki putih. Bangsawan muda itu tersenyum sambil mendekatkan sepatu yang berhias bunga merah itu ke hidungnya, lalu menciumnya. Dalam situasi semacam ini para berandalan sudah pasti tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk saling berkomentar tak senonoh. (Masyarakat Tionghoa di jaman itu beranggapan bahwa kaki adalah salah satu bagian paling erotis di tubuh perempuan, karena itu pemandangan yang sedang terjadi adalah sangat memalukan bagi gadis itu).

“Namamu siapa?” tanya Mu Yi.

“Tidak berharga untuk disebutkan,” jawab pemuda itu sambil tertawa. Ia memakai mantelnya kembali, melirik sekilas ke arah gadis itu, lalu menyimpan sepatu itu di dalam saku bajunya. Pada saat itu tiupan angin bertambah kencang, dan butiran salju yang besar-besar mulai turun.

“Kami tinggal di Penginapan Keberuntungan,” kata Mu Yi. “Di sebelah Barat kota ini. Mari kita ke sana bersama-sama, supaya bisa membuat rencana ke depan.”

“Rencana apa?” kata pemuda itu. “Ini mulai hujan salju. Aku harus segera pulang!”

Mu Yi berubah pucat. “Kau memenangkan pertandingan ini, dan aku sudah berjanji mau menikahkan putriku. Ini urusan serius dan tidak boleh diremehkan!”

Si bangsawan muda tertawa terbahak-bahak. “Kita bersenang-senang dengan ilmu silat,” katanya. “itu tadi lumayan menarik… tapi urusan menikah, haha… aku harus menolak kehormatan itu!”

Mu Yi sangat marah, ia tidak bisa bersuara. “Kau… kau…”

“Kau anggap apa Pangeran Muda kami?” kata salah seorang pelayan. “Kau kira Gong Zi akan menikahi anak perempuan seorang pesilat kasar dari Jianghu? Mimpi ya? Mimpi!”

Mu Yi sangat marah, tanpa berpikir lagi ia memukul pelayan itu dengan sangat keras. Si bangsawan muda tidak meminta penjelasan sama sekali. Ia menyuruh orang membawa pelayannya pergi, dan ia sedang bermaksud menaiki kudanya.

“Kau mau mempermainkan kami!” teriak Mu Yi. Ia mencengkeram lengan kiri pemuda itu. “Sampai kapan pun juga, anakku tidak boleh menikah dengan orang yang tidak tahu aturan2 semacam engkau. Ayo kembalikan sepatunya!”

“Dia yang memberikannya kepadaku,” kata Pangeran itu sambil tertawa santai. “Kenapa kau yang harus terganggu? Aku memenangkan lomba, aku menolak perkawinan, tapi aku menerima hadiah hiburan.” Ia memutar tangannya dan melepaskan diri dari cengkeraman Mu Yi.

“Tidak bisa begitu!” seru Mu Yi, gemetar karena marah. Ia melompat dan menghantam dengan kedua tangannya ke arah pelipis lawan. Pemuda itu meletakkan kakinya di pedal kuda, dan mendorong dirinya ke dalam arena.

“Kalau aku bisa mengalahkanmu, Lautouzi (老头子),” katanya sambil tertawa lagi. “kau tidak akan memaksaku menjadi menantumu lagi ya?”

Baik panggilan maupun sikap tersebut sangat kurang ajar. Mendengar itu para penonton mendadak diam. Hanya beberapa orang berandalan yang masih tertawa.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Mu Yi mengencangkan ikat pinggangnya, lalu menyerang pemuda itu. Si pemuda tahu bahwa Mu Yi sangat marah, ia tidak berani meremehkan serangan itu. Ia mengelak, lalu membalas dengan pukulan ke arah perut lawannya. Mu Yi mengelak, dan membalas dengan telapak tangan ke arah bahunya. Si pemuda berbalik, lalu mengulurkan tangan kirinya ke bawah tangan kanan Mu Yi. Gerakan ini sangat keji, dan dilakukan tanpa sepengetahuan lawan. Tapi Mu Yi mengangkis dengan tepat, dan menampar pipi Pangeran Muda itu dengan kedua tangannya.

Pada saat itu, apa pun juga cara yang akan dipakainya, Si Pangeran tidak akan bisa mengelak dari tamparan itu. Ia cemberut, menggigit bibirnya, dan bermaksud menggunakan teknik lain. Kedua tangannya melayang secepat kilat, dan kesepuluh jarinya tertancap di punggung tangan Mu Yi. Ketika ia menarik tangannya, semua ujung jarinya berlumuran darah. Para penonton menjerit terkejut. Gadis itu dengan panik segera menolong ayahnya. Ia merobek ujung jubahnya untuk membalut luka Mu Yi, yang bercucuran darah.

Mu Yi mendorong putrinya menjauh. “Minggir,” katanya. “hari ini kalau bukan aku, pasti dia!”

Muka gadis itu berubah pucat, ia menatap Pangeran itu lekat-lekat, lalu mencabut sebuah belati dengan maksud untuk menghujamkannya ke jantung sendiri. Mu Yi terperanjat, dan segera bergerak untuk menghalangi maksud anaknya, dan si gadis tidak sempat lagi mengalihkan tikaman itu, belati itu tertancap ke tangan ayahnya.

Para penonton menghela nafas, mereka sangat menyayangkan tontonan yang begitu indah berakhir dengan berdarah. Bahkan para berandalan pun ikut berkomentar. Rata-rata dari mereka mengeluh tentang sikap tidak sopan Pangeran itu.

Ketika melihat ketidakadilan itu, Guo Jing tidak dapat menahan diri lagi. Ia menyeruak di antara para penonton, lalu maju ke depan. “Hei!” tegurnya. “Kalau seperti itu, kau salah!”

Setelah bingung sejenak, akhirnya Si Pangeran membalas, “Ah, salah ya? Kenapa harus benar?” Ppara pelayan Pangeran itu yang melihat pakaian Guo Jing seperti petani, dan mendengar ia bicara dengan aksen Selatan yang cukup kental, mulai menertawakannya.

Guo Jing yang tidak mengerti ejekan itu, berkata dengan serius, “Kau harus menikahi gadis ini.”

“Kalau aku tidak mau lalu kenapa?”

“Kalau kau tidak mau, lalu kenapa kau ikut bertanding? Di situ tertulis jelas, ‘Lomba Mencari Jodoh’!”

“Hei, Nak! Kenapa kau ikut campur?” balas pemuda itu dengan nada mengancam.

“Nona ini bukan hanya cantik,” kata Guo Jing. “Kungfunya juga juga sangat bagus. Kenapa kau tidak mau menikahinya? Apa kau tidak tahu, dia merasa sangat tersinggung sampai mau bunuh diri?”

“Kau betul-betul tolol, tidak ada gunanya menjelaskan…” kata pemuda itu sambil memutar tumitnya dan melangkah pergi.

Guo Jing menahannya. “Hei! Kenapa kau pergi begitu saja?”

“Kau mau apa?”

“Kan aku sudah bilang, kau harus menikahi gadis ini!”

Pemuda itu tertawa, dan ia meneruskan langkahnya untuk pergi dari situ.

Ketika Mu Yi melihat cara Guo Jing campur tangan, ia mengerti bahwa anak muda itu merasa tersinggung melihat sikap Si Pangeran, tetapi ia sangat naif dan tidak memahami seluk-beluk dunia persilatan. Ia mendekati Guo Jing dan berkata, “Xiao Xiongdi, jangan pedulikan dia! Selama aku masih bernafas, pasti aku akan membalas sakit hati ini!” Lalu ia berseru kepada Si Pangeran, “Setidaknya, tinggalkan namamu!”

“Aku sudah bilang, aku tidak mau memanggilmu ‘Ayah Mertua’,” jawab pemuda itu dengan kurang ajar. “Kenapa kau masih juga menanyakan namaku?”

Merasa sangat kesal, Guo Jing melompat ke depan dan berteriak, “Kalau begitu kembalikan sepatu nona itu!”

“Ini kan bukan urusanmu!” kata Pangeran itu dengan marah. “Kau suka sama nona itu ya?”

Guo Jing menggelengkan kepalanya dan berkata, “Tidak! Mau kembalikan atau tidak?” Si Pangeran mengeraskan tangannya, lalu tiba-tiba menampar Guo Jing dengan keras. Guo Jing secara refleks bergerak, menerapkan teknik untuk menghindar dan merampas, ia mencekal pergelangan tangan lawannya sambil menyilangkan kedua tangannya.

Pangeran itu mencoba menghindar dengan sia-sia. Terkejut dan marah, ia berteriak, “Kau mau mati ya?” Ia menendang perut bagian bawah Guo Jing.

Guo Jing meregangkan otot-ototnya dan mendorong Sang Pangeran kembali ke gelanggang. Jelas sekali orang itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang bagus, bukannya jatuh terjengkang, ia berhasil menjaga keseimbangan tubuhnya dan mendarat di atas kedua kaki. Ia melepas mantel brokatnya dan berseru, “Kau tidak mau hidup lagi rupanya ya? Kalau punya keberanian, ayo sini lawan aku!”

“Untuk apa aku berkelahi melawanmu?” Guo Jing menggelengkan kepalanya. “Karena kau tidak mau menikah dengan nona itu, maka kembalikan sepatunya.”

Para penonton yang melihat campur tangan Guo Jing, sangat ingin melihat kemampuannya, dan tidak berharap dia mundur begitu saja. Beberapa berandalan bahkan berseru, “Hanya bisa bicara, itu pendekar macam apa?”

Setelah dicekal oleh Guo Jing, Sang Pangeran menyadari bahwa kungfunya tidak lemah, terutama sekali ia merasa tenaga dalamnya sangat kuat. Ia dengan senang hati tidak akan bertarung, tapi tentu saja ia tidak mau kehilangan muka dengan mengembalikan sepatu bersulam itu begitu saja. Karena itu ia mengambil kembali mantelnya, tertawa, dan berbalik untuk meninggalkan tempat itu.

Guo Jing mencekal dari sisi luar mantelnya, dan mengulangi, “Kenapa pergi?”

Tiba-tiba Si Pangeran punya gagasan baru. Ia melemparkan mantelnya ke atas kepala lawannya, lalu mengirimkan pukulan ke arah dada. Terjebak dalam lilitan mantel, Guo Jing tidak bisa menghindar. Untungnya ia sempat menghabiskan dua tahun penuh berlatih tenaga dalam dengan Ma Yu, jadi pukulan tersebut, meskipun teras sangat menyakitkan, tapi tidak sungguh-sungguh melukainya. Terdorong emosi, ia secara beruntun mengirimkan sembilan tendangan cepat sambil mengubah-ubah gaya bertarungnya. Teknik ini dikembangkan oleh Han Baoju, yang sudah membuatnya berhasil menaklukkan beberapa lawan lain. Meskipun si murid belum bisa menyamai kemampuan Sang Guru, dan meskipun ia tidak bisa melihat karena sedang terbelit mantel, tendangan beruntun itu sangat merepotkan Si Pangeran, yang berhasil lolos dari tujuh tendangan pertama, namun terkena telak di bagian dada oleh dua tendangan berikutnya.

Kedua pemuda itu masing-masing melompat mundur. Guo Jing tidak bisa percaya bahwa lawannya bisa begitu licik. “Dia tahu jelas,” pikirnya. “bahwa dia sedang memasuki gelanggang untuk ‘mencari jodoh’. Dan dia menang, tapi menolak untuk menikahi nona itu! Dan bukan cuma itu, waktu aku coba bicara baik-baik, bukan hanya dia yang menyerang lebih dahulu, tapi juga memakai cara yang memalukan! Kalau aku tidak pernah latihan tenaga dalam, pasti tulang rusukku patah, dan aku sudah luka dalam!” Sebagai orang yang sederhana dan selalu terbuka, selalu hidup di tengah orang-orang yang cenderung baik, maka ia tidak mengerti soal kejahatan manusia. Meskipun dalam beberapa tahun belakangan ini, guru-gurunya selalu memperingatkan tentang akal bulus dan kelicikan yang akan selalu ada di tengah-tengah rimba persilatan, ia mendengarkan kata-kata tersebut seperti mendengarkan dongeng, dan tidak tinggal terlalu lama di benaknya karena memang belum pernah dialaminya sendiri. Saat itu ia sangat marah dan bingung, karena tidak bisa mempercayai bahwa tipu muslihat semacam itu sungguh-sungguh ada.

Pangeran muda yang marah terkena dua kali tendangan itu, menerjang ke arah Guo Jing, dengan kedua tinjunya terlebih dahulu. Guo Jing melawan, tetapi tidak bisa menghindari serangan beruntun yang menghujaninya, ia terpukul dan jatuh. Para pelayan tertawa. Sang Pangeran berkata sambil tertawa, “Jadi kau merasa bisa membela keadilan dengan ilmu-tiga-jurusmu ya? Pulanglah, dan bilang kepada Shimu supaya mengajarimu dua puluh tahun lagi!”

Kata-kata itu sungguh menghina, karena Shimu yang dimaksud adalah ‘Istri dari Sang Guru’, dengan maksud menghina guru Guo Jing. Si Pangeran tentu saja tidak tahu bahwa Guo Jing punya banyak guru, dan salah satunya memang perempuan, karena itu Guo Jing sama sekali tidak tersinggung. Ia bangkit berdiri dan menghimpun tenaga ke seluruh tubuhnya, sehingga rasa sakitnya lenyap. “Guruku tidak punya istri.” katanya.

“Kalau begitu suruh dia cepat menikah!”

Guo Jing baru saja ingin menjawab bahwa salah satu gurunya memang perempuan, tapi sayangnya ia tidak sempat berbuat begitu. Ia melihat Pangeran itu melangkah pergi, jadi ia buru-buru maju dengan tangan terangkat, dan berseru, “Ayo siap!”

Si Pangeran mengelak, Guo Jing melayangkan sebuah hook kanan ke arah muka, dan ditangkis oleh lawannya. Mereka berdua berdiri sambil menahan tangan lawan, sama-sama berusaha mengerahkan tenaga dalam untuk mengungguli musuhnya. Guo Jing agak lebih kuat, namun lawannya punya teknik yang lebih baik, maka agak sulit memperkirakan siapa yang lebih unggul.

Guo Jing menarik nafas dalam-dalam untuk menghimpun tanaganya, sementara lawannya ternyata mendadak melepaskan tekanannya. Guo Jing terjungkal ke depan, dan sementara ia berusaha mengendalikan keseimbangan tubuhnya, ia merasakan sebuah pukulan menyerangnya dari belakang. Ia cepat-cepat menghindar, tetapi karena keseimbangannya belum sepenuhnya pulih, ia tersandung. Ia menjatuhkan diri ke siku tangannya, lalu dengan gesit tubuhnya memantul kembali, dan ketika tubuhnya sedang berputar di udara, ia mengirimkan sebuah tendangan kaki kiri. Ketika melihat kecepatannya yang spektakuler dalam membalikkan keadaan itu, para penonton bersorak.

Si Pangeran Muda itu bergerak menjauh dan menyerang dengan kedua telapak tangannya. Yang pertama adalah tipuan untuk mengecoh lawan, yang kedua adalah serangan sebenarnya. Guo Jing kemudian menggunakan teknik ‘Mencabut Otot dan Memisahkan Tulang’, tangannya berkibar ke segala arah mengincar urat-urat dan persendian lawannya. Melihat betapa mengerikan serangan itu, lawannya mengubah taktik, ia menggunakan cara yang sama! Tetapi dengan beberapa perbedaan, karena teknik yang digunakan Guo Jing adalah hasil ajaran Zhu Cong, yang menyimpang dari ajaran ortodoks dari para ahli kungfu di dataran tengah. Kedua teknik yang mereka gunakan memang tampaknya sama, tetapi perbedaannya terletak pada cara mengeksekusi serangan tersebut. Yang seorang mengulurkan jari telunjuk dan jari tengah untuk menyerang jalan darah Yang Lao, di belakang pergelangan tangan, sedangkan yang lain berusaha mengait buku-buku jari lawan. Keduanya saling memahami dan tidak berani mengerahkan seluruh tenaganya, hanya sekedar memperagakan satu gerakan dan beralih ke gerakan lain. Setelah bergebrak sekitar empat puluh jurus, mereka masih tidak tahu siapa yang lebih unggul.

Salju terus turun, dan lapisan tipis menyelimuti kepala dan bahu dari para penonton yang mengelilingi mereka berdua. Mendadak Si Pangeran tampak seperti membuka celah pertahanan di bagian dadanya. Guo Jing tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu, dan mengarahkan jari telunjuknya untuk menotok ‘Ekor Perkutut’ lawan. Tetapi ia agak menahan diri ketika menggunakan serangan ini. “Kita tidak pernah bermusuhan,” pikirnya. “Aku tidak bisa menggunakan serangan maut!” Ia kemudian sengaja mengalihkan serangannya, dan menyentuh titik lain yang tidak penting di tubuh lawannya. Pangeran Muda itu punya cukup waktu untuk mencekal pergelangan tangannya dan menariknya, sambil menjegal kakinya, Guo Jing kehilangan keseimbangan, dan jatuh lagi.

Tangan Mu Yi baru saja dibalut oleh putrinya, dan ia mengamati pertarungan kedua anak muda itu Ia melihat Guo Jing jatuh untuk ketiga kalinya, dan mengerti bahwa anak muda itu tidak punya cukup pengalaman untuk menghadapi pemuda kurang ajar itu. Ia buru-buru membangunkannya dari tanah. “Xiao Xiongdi (adik kecil),” katanya. “sudahlah. Tidak ada gunanya berurusan dengan berandalan seperti ini lebih lama lagi.”

Guo Jing merasa pandangannya berkunang-kunang dan sekujur tubuhnya sakit, tapi ia merasa sangat marah. Ia menjauh dari Mu Yi dan menerjang lawannya, dengan pukulan beruntun yang lebih gencar lagi. Si Pangeran terkejut melihatnya masih terus menyerang meskipun berkali-kali terkena pukulan telak. Ia mundur tiga langkah. “Kau masih juga tidak menyerah?’ katanya. Guo Jing tidak menjawab tapi terus menyerang.

“Kalau kau masih tidak mau berhenti,” ancam Pangeran itu. “Aku akan terpaksa membunuhmu!”

“Kalau kau tidak mau mengembalikan sepatu itu,” balas Guo Jing. “Aku juga tidak bakalan selesai denganmu!”

“Tapi nona itu bahkan bukan adikmu,” kata Si Pangeran. “Kenapa kau harus ngotot mau jadi adik iparku sih?”

Kalimat ‘jadi adik ipar’ seseorang, itu mengandung arti menghina di ibukota Kekaisaran Jin itu, tetapi Guo Jing sama sekali tidak mengerti.

“Aku tidak kenal dia,” kata Guo Jing. “Dan dia juga bukan adikku.”

Pangeran itu tidak tahu lagi harus marah atau tertawa. Akhirnya ia berkata, “Ya kalau begitu hati-hatilah, tolol!”

Kedua anak puda itu meneruskan pertarungan mereka. Kali ini Guo Jing lebih hati-hati, dan ia tidak jatuh ke perangkap yang sama yang sudah disiapkan oleh Pangeran itu. Kenyataannya, kalau dilihat dari segi teknik bela diri, Pangeran itu memang lebih baik, tetapi Guo Jing berkelahi dengan cara barbar, dan ia pantang menyerah. Bahkan setelah terpukul, ia terus maju menyerang dan tidak mau mundur. Ia sudah pernah berkelahi dengan cara ini pada saat ia masih kecil, yaitu ketika menghadapi geng Dukhsh. Meskipun sekarang ia punya kegesitan yang didapat dari latihan seni bela diri, akan tetapi caranya berkelahi secara mendasar masih tetap sama, dan ia secara alamiah memang berkelahi dengan cara barbar. Ia sudah lupa anjuran gurunya yang keempat, “Kalau tidak mampu melawan, lari!” Di benaknya, formula yang lebih tepat sejak semula adalah “Kalau musuh tidak bisa dikalahkan, ngotot!”, hanya saja, ia tidak menyadari hal ini.

Tontonan itu menarik minat makin banyak, dan makin banyak penonton. Jalanan itu sudah penuh sesak. Angin semakin kencang, dan salju turun semakin lebat, tetapi tak satu penonton pun meninggalkan tempat itu.

Mu Yi yang sudah berpengalaman di dunia persilatan, tahu bahwa kalau pertarungan itu terus seperti ini, kerumunan penonton akan menarik perhatian pasukan istana, dan bisa jadi akan memancing mereka untuk turun tangan. Ia tahu bahwa mereka sebaiknya tidak mengambil resiko seperti itu. Tapi pemuda itu secara sukarela melibatkan diri untuk membantunya, dan ia tidak bisa meninggalkannya saat itu. Ia merasa gelisah. Ia menaikkan alisnya dan memandang ke arah kerumunan penonton, dan tiba-tiba ia melihat ada sekelompok orang yang sepertinya datang dari dunia persilatan. Sejauh ini ia begitu terpaku pada pertarungan itu sehingga ia tidak menyadari kehadiran mereka.

Ia kemudian bergerak perlahan, mendekati para pelayan Si Pangeran yang berdiri berkelompok. Mengamati mereka dari sudut matanya, ia melihat, di antara mereka, tiga karakter dengan ciri-ciri ahli kungfu. Yang pertama mengenakan pakaian biksu merah dan topi emas, itu adalah Biksu Tibet (Lama) yang jangkung. Yang kedua, berukuran sedang, memiliki rambut putih keperakan dan wajah kemerahan berseri-seri dengan kulit halus seperti bayi, tanpa kerutan. Ia mengenakan jubah panjang, tetapi orang tidak tahu apakah itu penganut agama Tao atau Buddha. Yang ketiga bertubuh sangat kecil, tetapi matanya yang seolah berlumuran darah memiliki tatapan tajam, dan ia memiliki kumis kecil yang angkuh.

Kehadiran wajah-wajah yang tidak umum ini mengejutkan Mu Yi. Ia kemudian mendengar salah satu pelayan berkata, “Shangren, tolong singkirkan orang bodoh ini dari kami! Jika ini terus berlanjut dan sesuatu yang serius terjadi pada Pangeran muda, kami para pelayan bisa mati!”

Zhi Shang De, atau Sang Kebajikan Tertinggi, adalah nama panggilan untuk Si Lama Tibet itu. Mendengar kalimat itu Mu Yi gemetar. “Jadi si bajingan cilik ini seorang pangeran! Kalau terjadi sesuatu pada pangeran itu, malapetaka akan menimpanya. Ternyata semua ahli silat ini adalah bagian dari istana, dan para pelayan itu memanggil mereka kemari untuk memohon bantuan bagi si pangeran itu.”

Biksu Tibet itu tersenyum tanpa mengatakan apa-apa. Si orang tua tertawa sambil berseru, “Zhi Shang De Lingzhi adalah tokoh terkenal di Tibet, dia mana bisa merendahkan diri untuk berkelahi dengan berandalan kelas teri macam ini. Itu terlalu merendahkan… Kalaupun terjadi sesuatu, paling buruk adalah Pangeran akan mematahkan kaki kalian, tidak sampai membunuh kalian, kan?”

“Lagipula,” sela si kecil yang bermata merah tajam. “Pangeran muda lebih unggul dari anak ini, kenapa kalian harus takut?” Perawakannya kecil, tetapi suaranya memekakkan telinga. Para penonton di sekitarnya melompat pada waktu mendengar ia bicara, dan mereka semua menatapnya. Merasa gugup melihat tatapannya yang mengerikan, mereka segera menundukkan kepala.

“Pangeran Muda kita sudah berlatih keras untuk menguasai ilmu yang satu ini,” kata si rambut perak. “Kalau kerja keras bertahun-tahun tidak bisa dipamerkan, dia akan merasa penasaran. Justru dia akan jengkel kalau ada orang yang membantu.”

“Liang Xiansheng,” kata si kecil itu. “Kira-kira jurus tangan kosong Pangeran kita ini berasal dari mana ya?”

“Peng Xiong,” kata si tua sambil tersenyum. “Mau menguji aku ya? Xiao Wangye (Pangeran Muda) menggunakan kombinasi kecepatan dan variasi rumit yang sulit dicari. Kalau aku tidak salah, dia belajar kungfu dari seorang Pendeta Tao dari Perguruan Quanzhen.”

Mu Yi sekali lagi terkejut. “Mana mungkin anak muda kurang ajar ini belajar dari Quanzhen?”

“Liang Xiansheng punya mata yang tajam,” kata si kecil lagi. “Kau tinggal di kaki gunung Yong Baishan, menghabiskan waktu untuk bermeditasi dan mempelajari obat-obatan. Orang bilang kau jarang sekali menginjakkan kaki di dataran tengah ini, tapi kau tahu banyak tentang ilmusilat dataran tengah, sungguh sangat mengagumkan.”

“Pujian Peng Xiong terlalu tinggi,” jawab si orang tua, sambil tersenyum.

“Tapi,” kata si kecil lagi. “para pendeta Quanzhen punya sifat yang sangat aneh dan tak terduga. Mana mungkin mereka bisa menerima Xiao Wangye sebagai murid, ini agak mengherankan.”

“Kalau Pangeran Keenam mau, mana ada orang yang tidak bisa dia rekrut? Seperti contohnya kau sendiri, Peng Xiong, kau pendekar terkenal di Shandong dan Shanxi, tapi buktinya sekarang kau sudah jadi bagian dari istana Pangeran.”

Si kecil mengiyakan. Lalu perhatian mereka kembali ke pertarungan itu. Mereka melihat bahwa Guo Jing sudah mengubah gaya bertarungnya lagi, gerakan telapak tangannya berirama pelan, pertahanannya sangat rapat. Si Pangeran berkali-kali mencoba untuk menerobos pertahanannya, namun selalu terpukul mundur.

“Menurutmu,” kata si tua, balas menguji si kecil. “dari mana asal kungfu anak muda itu?”

“Kungfunya campur aduk,” jawab si kecil setelah ragu sejenak. “orang bisa bilang bahwa dia punya beberapa orang guru.”

“Ketua Peng benar,” sela seorang pria yang berdiri di dekat situ. “Anak itu murid dari Tujuh Orang Aneh dari Jiangnan!”

Mu Yi mengamati orang yang baru bicara itu. Ia seorang pria kurus yang berwajah gelap dengan tiga benjolan besar di bagian depan kepalanya. “Dia memanggil orang itu ‘Ketua Peng’, apa mungkin dia si bandit Peng Lianhu, yang dijuluki Jagal Bertangan Seribu, yang menyembelih orang tanpa berkedip itu?” pikir Mu Yi. “Kalau Tujuh Orang Aneh dari Jiangnan, rasanya sudah lama sekali aku tidak mendengar kabar tentang mereka. Apa mungkin mereka masih hidup?”

Pada saat itu, si kurus yang bermuka gelap itu tiba-tiba meraung, “Hei, anak bandel! Akhirnya aku menemukanmu!” Ia menghunus sebuah tombak bercabang tiga, menggulung lengan bajunya, lalu terjun ke arena pertarungan. Mendengar suara berisik di belakangnya, Guo Jing menoleh, dan seketika itu hidungnya berhadapan dengan hidung pria denga tiga benjolan besar di kepalanya, sudah jelas adalah Hou Tonghai, paman guru dari Empat Iblis Sungai Kuning. Ia sangat terkejut dan cemas, ia ragu-ragu, tak tahu harus berbuat apa. Si Pangeran dengan cepat memanfaatkan keragu-raguan ini dengan memukul bahunya, yang segera membawa Guo Jing kembali ke gelanggang pertarungan.

Para penonton yang melihat Hou Tonghai memasuki areal pertarungan dengan senjata di tangan, merasa bahwa ia bermaksud membantu salah satu pihak, dan mereka berpendapat bahwa hal itu tidak pantas, karenanya mereka langsung mencemooh. Mu Yi yang sudah tahu bahwa ia adalah bagian dari orang-orang istana, maju selangkah, siap menghadapinya seandainya ia bermaksud melakukan sesuatu untuk melawan Guo Jing, meskipun tetap waspada karena jumlah musuh jauh lebih banyak. Tetapi Hou Tonghai ternyata bukan marah kepada Guo Jing, ia melabrak ke sisi lain dan masuk ke tengah-tengah para penonton, di mana ia melihat seorang pemuda tanggung yang terlihat lemah dan berpakaian compang-camping melompat setelah melihatnya, dan mencoba untuk kabur. Si Naga Berkepala Tiga itu bergegas mengejarnya, diikuti oleh empat orang lain.

Dari sudut matanya Guo Jing melihat bahwa anak muda itu ternyata adalah Huang Rong, teman baru yang belum lama dikenalnya di Kalgan. Hou Tonghai mengejarnya dengan senjata di tangan, bersama dengan Empat Iblis Sungai Kuning. Merasa sangat kuatir, ia melompat ke belakang. “Sebentar!” katanya. “Tunggu sebentar, nanti kita teruskan lagi!”

Si Pangeran Muda yang sudah lelah merasa tidak berminat lagi untuk melanjutkan pertarungan. Kejadian itu sungguh sangat kebetulan. “Kalau kau mengaku kalah,” ejeknya. “kau boleh pergi…”

Kuatir akan keselamatan temannya, Guo Jing sudah bersiap untuk membantunya, ketika ia mendengar suara langkah kaki di belakangnya. Ternyata Huang Rong yang sudah kembali sambil menenteng sebuah sepatu bekas sambil tertawa. Hou Tonghai mengejar sambil berteriak-teriak memanggilnya, dan berusaha menyerangnya dengan tombak bermata tiga yang dibawanya. Tapi Huang Rong ternyata sangat gesit, senjata itu selalu luput dalam jarak yang sangat tipis. Pemuda tanggung itu dengan lincah menyelinap di antara kerumunan, lalu muncul lagi di sisi lain. Pada waktu Hou Tonghai mendekat, orang bisa melihat ada dua bekas telapak tangan berwarna hitam di pipinya. Jelas sekali bocak yang kelihatannya lemah itu berhasil menamparnya dua kali. Hou Tonghai mendorong semua orang yang menghalangi jalannya, dan akhirnya berhasil menerobos kerumunan, tetapi Huang Rong ternyata sudah jauh. Hou Tonghai membuat isyarat dengan tangannya, menunjukkan apa yang sedang ada di dalam benaknya. “Kalau aku tidak berhasil menangkap dan mencincangmu,” teriaknya, meledak-ledak karena marah. “aku tidak mau disebut laki-laki lagi!”

Huang Rong menunggu sampai Hou Tonghai mendekat, baru kemudian lari lagi. Tawa semua orang meledak. Pada saat itu, tiga orang pria yang terengah-engah muncul, mereka adalah tiga orang dari Empat Iblis Sungai Kuning, tanpa kehadiran Qian Qingjian, yang berjuluk Kapak Pengubur Keluarga.

Melihat tontonan tersebut, Guo Jing sangat terkejut dan sekaligus gembira. Ia berpikir, “Temanku ini pasti punya kungfu hebat. Waktu itu, kelihatannya dialah yang menyingkirkan Hou Tonghai, dan juga menggantung Empat Iblis Sungai Kuning di atas pohon!” Pihak lawan ternyata juga tidak kurang terkejutnya.

Lingzhi Shangren bertanya, “Dewa Ginseng, si pengemis cilik itu luar biasa gesit, kira-kira dari perguruan mana dia? Kelihatannya Hou Xiong sudah kalah…”

Juragan Gunung Yong Baishan yang berambut putih itu bernama Liang Ziweng, sejak muda sudah mengkonsumsi obat-obatan herbal dan ginseng alamiah, yang melindunginya dari proses penuaan. Ia tidak mengenali ilmu silat dari si pengemis cilik, jadi ia menggelengkan kepalanya. “Waktu aku di luar tembok perbatasan (antara Utara dan Selatan), aku sering mendengar bahwa Raja Naga dari Kelompok Iblis adalah jagoan yang sangat ditakuti. Tidak disangka adik seperguruannya begitu menyedihkan, bahkan tidak bisa menangani seorang anak kecil.”

Orang yang bertubuh kecil itu memang Peng Lianhu, seperti dugaan Mu Yi, ia teman baik Raja Naga dari Kelompok Iblis, yang sering bekerja sama dan dibantunya dalam razia perampokan. Ia mengerutkan kening tanpa bersuara. Ia tahu kungfu Hou Tonghai tidak buruk, dan ia tidak dapat menjelaskan mengapa orang itu sampai bisa dipermainkan semudah itu.

Gangguan dari Huang Rong dan Hou Tonghai membuat duel antara Guo Jing dan Pangeran Muda itu terhenti. Sang Pangerang jelas unggul atas Guo Jing, karena ia berhasil menjatuhkan musuhnya beberapa kali, tapi ia sendiri juga beberapa kali kena pukul dengan telak, jadi sekarang ia sudah sangat lelah. Ia menghapus keringat yang membasahi mukanya menggunakan syal yang dipakainya sebagai ikat pinggang.

Mu Yi yang sudah menyimpan umbul-umbulnya, memegang tangan Guo Jing untuk mengucapkan terima kasih dengan hangat, dan mendesaknya untuk segera meninggalkan tempat itu. Tiba-tiba suara langkah kaki kembali terdengar saat Huang Rong dan Hou Tonghai muncul kembali, masih kejar-mengejar. Yang di depan memegang dua potong kain, yang kelihatannya pas dengan pakaian pria yang mengejar di belakangnya. Baju yang robek itu memperlihatkan dada yang berbulu lebat. Tak lama kemudian, Wu Qinglie dan Ma Qingxiong dengan senjata di tangan, mereka mengikuti kedua orang di depannya sambil terengah-engah. Yang menghilang adalah Shen Qinggang, yang kelihatannya secara misterius berhasil disingkirkan oleh Huang Rong. Keributan itu mengundang tawa dan cemoohan para penonton.

Teriakan terdengar dari arah Barat, ketika puluhan prajurit dengan tongkat anyaman dari rotan di tangan berteriak sambil memukuli para penonton supaya minggir dan membuka jalan bagi sebuah tandu besar berwarna merah dan keemasan, yang diusung oleh enam orang pria berotot. ”Wang Fei!” seru pelayan dari kubu Si Pangeran Muda.

“Siapa Si Tolol yang kurang ajar, melapor kepada ibuku?” seru Sang Pangeran dengan suara menggelegar, sambil cemberut. Para pelayan yang tidak berani menjawab buru-buru menghampiri tandu itu, yang sudah berhenti di sebuah tempat kosong.

Suara wanita yang lembut terdengar dari dalam tandu, “Mengapa berkelahi? Ini sedang hujan salju, dan kau tidak memakai mantel. Kalau seperti ini kau bisa demam…”

Ketika mendengar suara itu dari kejauhan, Mu Yi seakan-akan disambar petir. “Mana mungkin?” pikirnya, terdiam. “Suaranya sangat mirip dia! Tapi itu tidak mungkin, dia seorang Putri Kekaisaran Jin… Mungkin aku terlalu sering memikirkan istriku, dan aku mulai sinting…” Terlepas dari segalanya, ia tidak bisa menahan diri untuk mendekati tandu itu. Ia melihat tangan mungil dengan sebuah saputangan keluar dari dalam tandu itu, lalu menghapus keringat dari wajah Si Pangeran Muda, yang mendengarkan kata-kata yang diucapkan dengan suara rendah, tak diragukan lagi, sedang menegur dan mencela. “Tapi, Niang…” kata Pangerang Muda itu. ”Hai’Er hanya sekedar main-main… tidak ada yang salah…”

“Cepat pakai mantelmu,” kata Sang Putri. “Dan kita pulang…”

“Kenapa suaranya bisa begitu mirip?” pikir Mu Yi, masih tercengang, melihat tangan mungil itu menghilang di balik tirai sutra, yang bersulam peoni dengan benang emas. Ia berusaha mengintip, tetapi tidak bisa melihat ke balik tirai berwarna terang itu.

Salah seorang pelayan memungut mantel majikannya dan berteriak kepada Guo Jing, “Binatang! Coba lihat mantel ini, semua gara-gara kau!” Salah seorang prajurit yang datang bersama Sang Putri mengangkat tongkat rotannya dan dengan kasar memukul kepala Guo Jing. Guo Jing menghindar, mencekal tangan dari prajurit itu, mengambil tongkatnya, dan kemudian mengganjalnya. Ia terjatuh dan Guo Jing mencambuknya dengan tongkat rotan itu, “Kau berani sembarangan menyerang dengan kejam?” teriaknya. Para penonton, yang sebagian sudah sempat dihajar menggunakan tongkat itu, bersorak meriah menghargai tindakannya. Prajurit lain berusaha membela temannya dan buru-buru maju, tapi Guo Jing menangkapnya, lalu saling membenturkan keduanya dan mendorong mereka pergi.

“Masih mau pamer?” seru Si Pangeran. Ia melompat ke arah Guo Jing, dan keduanya bertarung lagi. Sang Putri berseru menyuruhnya untuk menghentikan aksi itu, namun Si Pangeran kelihatannya tidak takut kepada ibunya. “Lihat aku, Niang,” serunya. “Petani brengsek ini melakukan banyak kejahatan di ibukota! Kalau tidak diberi pelajaran, dia tidak akan menghormati ayahnya!” Ia ingin memamerkan kemampuan terbaiknya, dan melipatgandakan serangannya. Guo Jing tidak mampu menangkis telapak tangannya yang ringan dan cepat, terpukul beberapa kali dan dua kali terhuyung-huyung.

Mu Yi sendiri masih terhipnotis oleh tandu itu. Salah satu sudut tirai itu terbuka sedikit, dan ia bisa melihat sepasang mata yang penuh perhatian, beberapa helai rambut, dan sebagian wajah seorang ibu, yang penuh kelembutan dan kuatir akan keselamatan putranya. Mu Yi diam terpaku.

Gerakan Guo Jing berubah menjadi lebih baik, tetapi ia berhadapan dengan seorang lawan yang punya semangat baru. Pangeran Muda itu mengirimkan serangan-serangan yang mematikan, berharap membuat lawannya terluka berat, untuk memastikan bahwa pertarungan itu sungguh-sungguh berakhir. Tetapi Guo Jing berkulit tebal, dan punya dasar Nei Gong yang baik, ia mampu bertahan terhadap serangan bertubi-tubi itu. Terlebih lagi, teknik Pangeran itu masih kurang canggih, tenaganya sangat terbatas karena usianya yang muda dan kurang pengalaman. Dalam beberapa kesempatan ia berusaha untuk menyerang Guo Jing menggunakan sepuluh jarinya yang membentuk cakar, teknik yang dipakainya untuk melukai Mu Yi, tetapi murid Tujuh Orang Aneh dari Jiangnan itu mempertahankan diri menggunakan ‘Mencabut Otot dan Memisahkan Tulang’. Ketika pertarungan itu mencapai puncaknya, Huang Rong dan Hou Tonghai kembali muncul kejar-mengejar. Kali ini, orang yang terakhir itu seperti memakai sehelai jerami panjang di rambutnya. Biasanya ini sebuah tanda bahwa ‘benda’ itu dijual. Helaian jerami di kepalanya berarti kepala tersebut dijual. Ini jelas adalah ulah Huang Rong, yang masih belum disadari Hou Tonghai karena ia terlalu sibuk mengejar buruannya. Sisa anggota Empat Iblis Sungai Kuning yang lain ternyata juga sudah menghilang, sudah jelas mereka disingkirkan dengan salah satu cara…

Liang Ziweng dan kawan-kawan berusaha memeras otak untuk menebak identitas Huang Rong. Mereka melihat Hou Tonghai berlari dengan cepat, tetapi ia tidak pernah berhasil menyamai bocah berpakaian compang-camping itu. “Apa mungkin anak ini anggota Kai Pang?” tanya Peng Lianhu, agak mendadak. Pada saat itu Kai Pang adalah kelompok terkuat yang ada di rimba persilatan. Liang Ziweng mengedutkan mukanya, tetapi tidak menjawab.

Kedua pemuda itu bertarung semakin cepat dan tenaga yang mereka gunakan juga semakin besar. Kadang-kadang Guo Jing menerima pukulan telak di bahunya, dan kadang-kadang Si Pangeran terkena tendangan di lututnya. Mereka bertarung habis-habisan, mengamuk dan terengah-engah, gangguan kecil saja bisa berakibat cedera fatal. Peng Lianhu dan Liang Ziweng sama-sama menyiapkan senjata rahasia mereka untuk melakukan intervensi bila perlu. Meskipun Guo Jing sangat keras kepala dan pantang menyerah, tetapi kungfunya masih belum cukup tangguh untuk mengatasi Si Pangeran Muda itu. Kedua ahli itu berusaha meyakinkan diri bahwa mereka akan dapat mengendalikan situasi pada saat yang tepat untuk mencegah terjadinya bencana.

Cara Guo Jing tumbuh dewasa sangat sulit dicari tandingannya. Ia lahir dan dibesarkan di padang rumput Mongolia, dan menjalani kerasnya kehidupan di sana. Ia telah mengalami perang, dan juga diperkeras oleh perang. Sebaliknya, Sang Pangeran, selalu hidup dalam kemewahan, sama sekali tidak mengherankan bahwa dalam pertarungan panjang yang brutal dan tak kenal belas kasihan tersebut, ia tersandung ketika mulai lelah. Tiba-tiba Guo Jing berteriak keras, mencengkeram kerah baju musuhnya, mengangkatnya tinggi-tinggi dan membantingnya dengan kasar ke tanah. Itu bukan salah satu teknik ajaran guru-gurunya maupun Ma Yu, tetapi teknik gulat gaya Mongolia yang unik, yang diajarkan oleh guru panahannya, Jebe.

Sang Pangeran segera bereaksi dengan cara melompat begitu menyentuh tanah, dan mencengkeram kaki Guo Jing sehingga keduanya terjatuh. Ia bangkit dengan cepat, merampas tombak panjang dari tangan seorang prajurit, dan menusukkannya ke perut Guo Jing. Guo Jing menggulingkan dirinya ke samping, sementara lawannya masih memegang tombak panjang dengan cekatan. Guo Jing berusaha merebut tombak itu, tetapi sia-sia.

“Hai’Er,” seru Sang Putri. “jangan lukai dia! Cukuplah kalau sudah menang!” Tetapi Si Pangeran yang merasa penasaran untuk menusuk Guo Jing dengan tombak, pura-pura tidak mendengar.

Guo Jing yang melihat ujung tombak berkilau beberapa inci dari hidungnya, menangkis dengan lengannya. Sesuatu ambruk di belakangnya. Ia menyambar umbul-umbul Mu Yi. Dengan menggunakan tiang sebagai tombak panjang, ia melawan tombak yang berputar-putar itu.

Sekarang keduanya memegang senjata. Guo Jing menggunakan teknik Tongkat Pengusir Setan yang diajarkan oleh Ke Zhen’E. Terlepas dari panjangnya tiang umbul-umbul itu yang agak mengganggunya, ia bisa menerapkan semua kehalusan teknik yang dikembangkan Ke Zhen’E untuk melawan Mei Chaofeng ini dengan sangat baik. Semua gerakannya menggunakan varian, yang kerap kali tak terduga, namun efektif. Terkesiap melihat keampuhan senjata itu, lawannya dipaksa untuk bertahan. Tapi ketangkasan Pangeran itu dalam menggunakan tombak masih tetap mengesankan.

Ketika Mu Yi melihat Pangeran itu memegang tombak, ia tercengang. Semua jurus yang diperagakannya sesuai dengan jurus tombak keluarga Yang. Teknik yang hanya diturunkan dari ayah ke anak ini sangat jarang terlihat, juga bahkan di Selatan. Sekarang ia tercengang ketika melihatnya di ibukota Kekaisaran Jin. Terlepas dari gerakannya yang gesit, tetapi versi jurus tombak tersebut tidak sepenuhnya ortodoks. Kelihatannya seperti kehilangan esensinya, seolah-olah ditiru tanpa pengetahuan yang benar dari pemiliknya yang sah. Para penonton melihat ayunan tombak dan tiang umbul-umbul yang saling silang, menghamburkan butiran salju ke segala arah.

Sang Putri yang menyaksikan putranya nyaris berkeringat darah, tidak dapat menahan kecemasannya lagi. “Hentikan!” serunya. “Hentikan, kalian berdua jangan berkelahi lagi!”

Mendengar kalimat tersebut, Peng Lianhu maju dengan langkah lebar memasuki arena. Ia memukul tiang umbul-umbul itu dengan brutal. Guo Jing merasakan sakit yang tajam di tangannya dan melepaskan tiang itu, yang dengan segera terbang jauh. Umbul-umbul itu terpentang lebar di atas salju, dan orang bisa membaca dengan jelas tulisan di atasnya yang berbunyi ‘Lomba Mencari Jodoh’. Sangat terkejut, Guo Jing bahkan tidak sempat melihat dengan jelas muka atau bayangan lawannya, ketika ia merasakan datangnya serangan. Ia melompat ke belakang, tetapi terlambat, telapak tangan Peng Lianhu sudah mencapai lengannya. Ia kehilangan keseimbangan dan jatuh.

“Xiao Wangye,” kata Peng Lianhu sambil tertawa. “Akan kusingkirkan anak muda yang tidak punya otak ini, supaya ia tidak bisa mengganggu lagi…” Ia mengangkat telapak tangannya, menarik nafas, dan mengirimkan pukulan brutal ke arah kepala Guo Jing. Guo Jing yang masih di atas tanah tahu bahwa ia tidak punya peluang sama sekali, kendatipun demikian ia mengangkat lengannya untuk menangkis. Si Kebaikan Tertinggi Lingzhi dan Dewa Ginseng Liang Ziweng saling bertukar pandang. Tangan anak muda itu akan hilang. Pukulan Si Jagal Bertangan Seribu sangat keji, dan pasti akan menghancurkan lengannya.

Pada saat kritis itu, sebuah teriakan keluar dari antara penonton. “Tahan!” Sesosok bayangan kelabu yang memegang sebuah senjata aneh melompat maju dan membungkus pergelangan tangan kanan Peng Lianhu. Peng Lianhu menarik dengan paksa, mematahkan dan menghancurkan senjata itu, lalu menyerang dengan tangan kirinya dengan segera. Orang itu mengelak dengan merendahkan kepalanya, sambil memegang pinggang Guo Jing dan membawanya menjauh. Para penonton melihat seorang Pendeta Tao setengah baya, memakai baju abu-abu, yang membawa sebuah kebutan di tangannya, yang mana sekarang hanya tersisa tangkainya. Helai-helai kebutan yang tercabut itu masih tersisa di pergelangan tangan Peng Lianhu. Mereka saling berpandangan. Meskipun hanya bergebrak satu jurus, tetapi mereka berdua sudah bisa mengukur kemampuan lawan.

“Tidak diragukan lagi, kau adalah Ketua Peng,” kata Si Pendeta. “Satu kehormatan besar bisa bertemu hari ini.”

“Dao Zhang terlalu sopan,” kata Peng Lianhu. “Boleh aku tahu nama Dao Zhang?”

Sang Pendeta, yang sedang ditatap lekat-lekat oleh semua orang, tidak menjawab. Ia melangkahkan kaki kirinya ke depan, lalu menariknya kembali. Orang bisa melihat dengan jelas, ditutupi oleh lapisan salju tipis, lubang sedalam sepuluh inci. Tekanan sederhana dari kakinya telah melubangi tanah begitu dalamnya, memamerkan kungfunya yang luar biasa.

Peng Lianhu terkejut dan berkata, “Apa benar Dao Zhang adalah ‘Dewa Berkaki Besi’, Matahari Batu Pualan, Wang?”

“Nah, sekarang Ketua Peng yang berlebihan,” jawab Si Pendeta. “Aku memang Wang Chuyi, tapi aku tidak pantas dijuluki Dewa.”

Peng Lianhu, Liang Ziweng, dan juga Si Kebajikan Tertinggi Lingzhi, tahu bahwa Wang Chuyi adalah anggota yang terkenal dari Perguruan Quanzhen. Namanya hanya sedikit di bawah popularitas Qiu Chuji. Mereka hanya pernah mendengar, tetapi belum pernah bertemu dengannya. Mereka mengamatinya dengan teliti. Ia seorang pria yang berperawakan halus, dengan janggut tipis di dagunya. Ia memakai kaus kaki putih yang sangat rapi, bersepatu abu-abu, dan terlihat sangat memperhatikan cara berpakaiannya. Kalau tidak menyaksikan sendiri apa yang baru saja diperagakannya, tidak akan ada orang yang percaya bahwa dia adalah seseorang yang dijuluki Dewa Berkaki Besi, yang menjejakkan sebelah kaki di atas tebing, dan terayun seperti daun teratai di angin, menimbulkan kesan sangat dalam bagi banyak pendekar di Hebei dan Shandong.

Wang Chuyi tersenyum sambil menunjuk ke arah Guo Jing dan berkata, “Aku sama sekali tidak mengenal anak muda ini. Tapi melihat dia ikut campur dengan gagah dan berani, aku sangat kagum. Itu sebabnya aku mengijinkan diriku sendiri memohon kepada Ketua Peng untuk membiarkan dia hidup.”

“Permintaan itu terlalu sopan,” kata Peng Lianhu. “dan kalau seorang anggota Perguruan Quanzhen yang ikut campur, siapa yang tidak akan memenuhi permintaannya?”

“Baiklah,” kata Wang Chuyi sambil merangkapkan kedua tangannya. “Terima kasih…”

Setelah berterima kasih kepada Peng Lianhu, Wang Chuyi menanyakan nama Guo Jing. Lalu ia berpaling, ekspresi mukanya berubah gelap ketika bertanya kepada Si Pangeran Muda, “Siapa namamu? Siapa nama gurumu?”

Si Pangeran, setelah mendengar nama Wang Chuyi, seketika merasa sakit, kalau bisa ia ingin segera menghilang. Tapi mata Wang Chuyi terus mengawasinya. “Namaku Wanyan Kang,” katanya, akhirnya. “Aku tidak bisa menyebutkan nama guruku.”

“Gurumu punya tahi lalat merah di pipi kirinya ya?” tanya Wang Chuyi. Wanyan Kang ingin mengalihkan pertanyaan itu dengan kepandaiannya bicara, tapi tatapan mengerikan dari Pendeta itu membuatnya takut. Ia menahan kalimat yang sudah di ujung lidahnya, dan menganggukkan kepala. “Sudah kuduga,” kata Wang Chuyi. “Kau murid dari Qiu Shixiong. Apa yang dikatakan gurumu sebelum mengajarimu ilmu silat?”

Wanyan Kang mengerti bahwa situasi sudah berubah menjadi tidak bisa dipertahankan lagi baginya. Ia berpikir, “Kalau Shifu tahu apa yang terjadi hari ini, segalanya bisa berubah jadi bencana.”

“Kalau Dao Zhang kenal guruku,” kata Wanyan Kang dengan sikap sopan. “Dao Zhang tentu pantas aku hormati. Bagaimana kalau singgah sebentar di kediamanku yang sederhana, supaya aku bisa mendengarkan beberapa nasihat dari Dao Zhang?” Sebelum Wang Chuyi sempat menjawab, ia berpaling kepada Guo Jing dan berkata sambil membungkukkan badan, “Setelah bertarung, barulah persahabatan bisa tumbuh.” Ia tersenyum. “Aku sangat mengagumi kungfu Guo Xiong. Aku mengundang kalian berdua untuk mampir supaya kita bisa saling berkenalan.”

“Dan bagaimana soal pernikahan?” tanya Guo Jing sambil menunjuk ke arah Mu Yi dan putrinya.

Wanyan Kang terlihat agak malu. “Soal ini masih perlu direnungkan…”

“Sobat kecil,” kata Mu Yi sambil melangkah mendekat dan menarik lengan jubah Guo Jing. “ayo kita pergi. Tidak usah memusingkan dia lagi.”

Wanyan Kang membungkuk lagi kepada Wang Chuyi, “Dao Zhang, aku akan menunggu di rumah. Dao Zhang hanya perlu bertanya di mana tempat kediaman Pangeran Zhao. Cuacanya sangat dingin, segala sesuatu membeku. Rasanya ini saat yang tepat untuk duduk bersama di sekeliling api sambil mengagumi salju. Kita harus minum-minum untuk merayakan pertemuan ini. Ia menaiki kudanya, yang sedang dipegang oleh pelayannya, lalu memacunya melewati kerumunan penonton tanpa kuatir akan menabrak seseorang. Ulahnya membuat Wang Chuyi marah. “Sobat kecil,” katanya kepada Guo Jing. “Ayo sini sebentar.”

“Aku harus menunggu sahabat baikku,” kata Guo Jing. Ketika ia mengatakan kalimat itu, ia melihat Huang Rong melompat dari antara kerumunan dan berseru kepadanya, “Jangan kuatir soal aku, aku akan segera menemukanmu!” Ia berbalik dan sosok mungilnya segera menghilang di antara kerumunan. Hou Tonghai, Si Naga Berkepala Tiga mengejar. Guo Jing berbalik dan kowtow di atas salju untuk berterima kasih kepada Wang Chuyi yang telah menyelamatkan nyawanya. Pendeta itu mengangkatnya dan memegang tangannya. Keduanya segera berjalan melewati kerumunan dan berlari ke pinggiran kota.


Gong Zi (公子)
Istilah yang cukup umum untuk memanggil seorang majikan muda laki-laki, atau seorang pria muda dari kalangan terhormat. Istilah ini juga bisa digunakan untuk memanggil seseorang dari kalangan bangsawan.
Wang Fei (王妃)
Istilah ini dipakai untuk memanggil seorang istri Raja, termasuk kalau Raja tersebut adalah seorang Raja Muda, seperti contohnya Wanyan Honglie. Dan istri di sini biasanya adalah seorang selir.
Hai'Er (孩儿)
Setara dengan 'Ananda' dalam istilah bahasa Indonesia. Ini bisa dipakai dua arah, seorang ayah atau ibu, dan orang tua lainnya akan memanggil anak kesayangannya dengan cara ini, dan si anak juga akan menempatkan dirinya sendiri sebagai orang ketiga tunggal untuk menunjukkan rasa hormatnya, dengan istilah ini.
Niang (娘)
Arti literalnya adalah 'Ibu'. Cukup menarik kalau kita teliti karakter tersebut, karena dalam konteks yang lebih modern (dan berbau Barat), karakter yang dipakai adalah (媽). Karakter sebelah kiri tetap sama, tetapi karakter sebelah kanan adalah karakter yang dipakai untuk mewakili 'Kuda', dengan penyebutan yang sama agak berbeda, "Ma". Tentunya disebutkan dua kali, "Mama" (媽媽). Untuk "Kuda", cara menyebutkannya agak diulur.

Footnotes

  1. Kang adalah istilah yang digunakan untuk sebuah tempat tidur di wilayah Utara Tiongkok, yang umumnya diatur sedemikian rupa sehingga menyerupai sebuah ‘oven’ dari batu bata. Dengan cara ini, tempat tidur itu sekaligus berfungsi sebagai pemanas di musim dingin.

  2. Umumnya untuk menghormati seseorang yang lebih tua, kalau belum mengenal namanya, seorang muda akan menyapa dengan sebutan Lao Qianbei, yang kira-kira berarti ‘Senior’, dan menempatkan dirinya sendiri sebagai orang ketiga tunggal dengan sebutan Wanbei, yang kurang lebih berarti ‘Junior’. Qianbei (前辈) adalah “Senior’, tambahan Lao (老) di depan biasanya ditujukan kepada seseorang yang jauh lebih tua, atau sesepuh. Sepanjang pertemuan dengan Mu Yi, si bangsawan muda itu tidak pernah menggunakan aturan yang sudah umum tersebut, sedangkan Mu Yi sendiri sepanjang waktu sudah merendahkan diri dengan memanggilnya Gong Zi, yang berarti ‘Tuan Muda’, yang juga umum dipakai untuk menyapa putra keluarga bangsawan. Mu Yi memang lebih tepat kalau memanggilnya dengan sebutan Xiao Wangye (小王爷), yang berarti Pangeran Muda, atau bisa jadi ‘Raja Muda’. Tetapi karena saat itu ia belum tahu kalau Wanyan Kang adalah seorang Pangeran, putra Raja Muda Zhao, Wanyan Honglie, maka ia sewajarnya memanggil Wanyan Kang dengan sebutan Gong Zi.