Bab 16

Kitab Sembilan Bulan

IlustrasiNarasi
Ilustrasi Bab 16Tutup peti mati terbuka, ternyata belum dipaku. Tidak ada jenazah di dalamnya, hanya seorang gadis cantik dengan sepasang mata lebar. Itu tidak lain adalah Mu Nianci. Yang Kang terkejut dan dengan cepat ia mengulurkan tangannya untuk membantunya bangkit.

Guo Jing dan Huang Rong meninggalkan rumah kediaman keluarga Cheng dan sangat lelah karena mereka tidak tidur malam itu. Mereka tadinya ingin kembali ke penginapan untuk beristirahat, namun tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda yang terdengar kencang dari arah selatan menuju ke utara. Suara itu semakin dekat tetapi tiba-tiba berhenti. Rasa penasaran Huang Rong terusik, “Pasti ada sesuatu aneh. Kedengarannya menarik.” Memanfaatkan ilmu meringankan tubuhnya, ia bergegas pergi untuk melihatnya. Guo Jing mengikuti dari dekat.

Cukup mengejutkan bagi mereka, yang mereka lihat ternyata adalah Yang Kang sedang berdiri di pinggir jalan, memegang tali kekang kuda dan berbicara dengan Ouyang Ke. Guo Jing dan Huang Rong tidak ingin mendekat karena mereka tidak ingin terdeteksi. Mereka menyembunyikan diri cukup jauh. Keduanya berbicara dengan suara rendah sehingga yang bisa didengar Huang Rong hanyalah potongan-potongan kecil. Ouyang Ke menyebutkan ‘Yue Fei’ dan ‘kantor pemerintah Lin’an’, sementara Yang Kang mengatakan ‘ayahku’. Huang Rong penasaran, ia ingin mendekat, tetapi pada saat itu Ouyang Ke merangkapkan tangannya untuk berpamitan dan menuju ke timur bersama dengan semua murid perempuan, yang juga selir-selirnya.

Yang Kang tetap tinggal. Ia berdiri dengan tatapan kosong untuk beberapa saat, kemudian mendesah panjang dan menaiki kudanya. ”Xian Di, aku di sini,” panggil Guo Jing. Yang Kang mendengar suaranya dan terkejut tetapi tetap menghentikan kudanya. “Ge, kau juga di sini?” balasnya.

“Aku ketemu Nona Huang dan kami bertarung melawan Ouyang Ke, itulah sebabnya kita jadi tertunda,” jelas Guo Jing. Wajah Yang Kang memerah, ia merasa gelisah karena tidak yakin apakah Guo Jing mendengar pembicaraannya dengan Ouyang Ke. Wajah Guo Jing tetap tenang, jadi Yang Kang merasa lebih baik. “Orang ini tidak bisa berbohong,” pikirnya, “Dia tidak akan setenang ini kalau mendengar urusan itu.”

“Ge,” katanya, “apa kita harus cepat-cepat melanjutkan perjalanan kita malam ini, ataukah kita menginap di sini? Apa Nona Huang ikut pergi ke Yanjing bersama kita?”

“Bukan aku yang ikut kalian,” kata Huang Rong. “Kaulah yang ikut kami.”

“Apa bedanya?” kata Guo Jing sambil tersenyum. “Ayo kita kembali ke kuil dan beristirahat. Besok malam kita akan menikmati jamuan Kai Pang dan kemudian kita bisa melanjutkan perjalanan kita.”

Kemudian ketiganya berjalan kembali ke kuil. Huang Rong menyalakan lilin. Sambil membawa lilin, ia mengambil jarum yang ditembakkannya beberapa saat yang lalu. Saat ini cuaca semakin panas, jadi mereka menurunkan pintu dan membawanya keluar. Mereka bermaksud untuk tidur di halaman.

Tepat sebelum mereka tertidur, suara derap langkah kuda terdengar samar dari kejauhan. Mereka memiringkan kepala untuk mendengarkan. Suara itu datang dengan cepat dan terdengar seperti lebih dari satu kuda.

“Tiga kuda di depan, dikejar oleh lebih dari sepuluh orang,” tebak Huang Rong. Guo Jing tumbuh besar bersama dengan kuda, ia tahu persis jumlah kudanya.

“Ada enam belas orang yang mengejar,” kata Guo Jing. “Wah, wah, wah… kau tahu tidak?”

“Apa?” tanya Huang Rong.

“Tiga yang di depan itu kuda Mongolia,” jelas Guo jing. “Sedangkan yang lain-lainnya itu bukan. Untuk apa kuda Mongolia ada di tempat ini?” Ia bertanya-tanya.

Huang Rong menarik tangan Guo Jing dan mereka berjalan keluar gerbang kuil. Tiba-tiba terdengar suara mendesis bersamaan dengan anak panah terbang di atas kepala mereka. Ketiga pengendara kuda itu bergegas menuju kuil. Sebuah anak panah terbang dari para pengejar dan mengenai paha kuda terakhir. Kuda itu meringkik kesakitan, kakinya lemas. Keterampilan berkuda penunggangnya luar biasa, ia berhasil melompat tepat sebelum kudanya menyentuh tanah. Sepertinya penunggangnya tidak mengerti ilmu meringankan tubuh, dan langkahnya kakinya berat. Dua penunggang kuda lainnya menghentikan kudanya dan berbalik.

“Aku tidak apa-apa,” kata si penunggang kuda yang sekarang berjalan kaki. “Cepat pergi! Aku akan mengalihkan perhatian mereka!”

“Aku membantumu melawan musuh,” kata yang seorang lagi. “Pangeran keempat, kau jalan dulu!”

“Kalian ini bagaimana?” kata Si Pangeran Keempat.

Ketiganya berbicara dalam bahasa Mongolia. Guo Jing yang sedang mendengarkan merasa akrab dengan suara-suara itu. Mereka terdengar seperti Tolui, Jebe, dan Borchu. Ia benar-benar terkejut. “Apa yang mereka lakukan di sini?” pikirnya. Ia ingin mendekat, tetapi para pengejar sudah mengepung ketiga orang itu. Ketiga orang Mongolia itu ahli dalam menembakkan panah, sehingga para pengejar tidak berani mendekat dan menembakkan panah mereka sendiri dari kejauhan.

“Ayo naik!” teriak salah satu orang Mongolia, tangannya menunjuk ke tiang bendera. Ketiganya bergegas ke tiang bendera dan memanjat. Mereka berusaha mendapatkan posisi yang lebih baik.

Orang-orang yang mengejar mereka turun dan mengepung tiang bendera di semua sisi. Seseorang meneriakkan perintah dan empat tentara mengangkat perisai mereka tinggi-tinggi, mendekati tiang bendera dan mencoba memotongnya dengan pedang mereka.

“Kau salah,” kata Huang Rong. “Jumlah mereka hanya lima belas orang.”

“Aku tidak mungkin salah,” kata Guo Jing. “Mungkin yang seorang lagi sudah tewas.” Ia baru saja menutup mulutnya, ketika seekor kuda lain bergerak mendekat dari kejauhan. Ada seseorang datang bersamanya, tetapi orang itu sudah tewas, dengan sebatang anak panah tertancap di dadanya. Kakinya masih tertinggal di pedal, dan ia terseret oleh kudanya.

Guo Jing merangkak ke arahnya, lalu mencabut anak panah itu. Ketika ia memegang anak panah itu untuk memeriksanya, ia bisa merasakan bahwa anak panah itu terbuat dari besi yang ditempa, dan ada ukiran macan tutul di situ. Baginya itu jelas adalah anak panah milik gurunya, Jebe, yang lebih berat dari rata-rata anak panah lain. Kecurigaannya lenyap, ia berseru keras-keras, “Kalian yang di tiang, apa kalian Tolui, Guru Jebe, dan Guru Borchu? Ini Guo Jing!”

Ketiganya sangat gembira. “Bagaimana kau bisa ada di sini?” tanya mereka.

“Siapa yang mengejar kalian?” tanya Guo Jing.

“Prajurit Jin!” jawab Tolui.

Guo Jing meraih tubuh tentara Jin yang tewas itu, mengangkatnya, dan bergegas maju. Ia melemparkan mayat itu ke arah para prajurit di kaki tiang bendera. Mayat itu merobohkan dua tentara dan dua lainnya ketakutan, lalu melarikan diri.

Tiba-tiba dua bayangan putih menukik ke arah Guo Jing. Ia mengenali kedua elangnya, ia dan Hua Zheng membesarkan mereka di Mongolia. Kedua burung itu mengenali tuannya bahkan di kegelapan malam, mereka memekik keras dan turun ke bahu Guo Jing.

Huang Rong telah mendengar cerita Guo Jing tentang bagaimana ia menembak dua ekor elang dan bagaimana ia mengangkat sepasang elang sebagai teman bermainnya. Sekarang tiba-tiba ia melihat sendiri kedua elang putih itu, ia mengabaikan tentara di sekitarnya. Ia berlari ke arah Guo Jing dan berseru, “Biarkan aku bermain dengan mereka!” Ia mengulurkan tangannya untuk membelai bulu salah seekor elang. Tetapi elang itu tidak mengenal Huang Rong, jadi ia menggerakkan kepalanya untuk mematuk tangan Huang Rong dengan paruhnya. Untungnya Huang Rong cepat, kalau tidak punggung tangannya akan terluka.

Guo Jing buru-buru menarik burung-burung itu pergi. Huang Rong merajuk, “Burung peliharaanmu jahat!” Tapi sebenarnya ia senang, ia menundukkan kepalanya untuk melihat mereka lebih dekat.

“Rong’er, awas!” Guo Jing tiba-tiba berteriak. Dua anak panah melesat cepat ke arah dada Huang Rong. Ia mengabaikan anak panah dan dengan acuh tak acuh meraih saku prajurit yang tewas itu. Panah itu tepat mengenai sasaran, tetapi mereka mengenai armor landak yang lembut dan jatuh begitu saja di dekat kakinya. Huang Rong terus meraba-raba saku sampai ia menemukan beberapa daging kering dan memberikannya kepada burung.

“Rong’er, kau bermainlah dengan elang, aku akan membunuh beberapa tentara Jin!” kata GuoJing. Ia melompat untuk menyambar panah yang terbang ke arahnya, merentangkan telapak tangan kirinya dan dengan suara ‘kreekk’ mematahkan lengan tentara Jin di dekatnya.

“Dari mana datangnya anjing yang bikin masalah ini?” tiba-tiba terdengar sebuah suara dalam kegelapan. Anehnya, ia bicara dalam bahasa Han. Guo Jing terkejut, “Suara itu terdengar sangat akrab,” pikirnya. Pada saat itu beberapa senjata logam datang melintas ke arahnya bersamaan dengan dua kapak pendek menebasnya, satu menebas di dadanya, yang lain menebas ke arah perut bagian bawahnya.

Guo Jing melihat tenaga yang datang sangat dahsyat dan ia tahu penyerangnya bukanlah perwira biasa. Ia segera mengirimkan telapak tangannya menggunakan jurus Sang Naga Mengibaskan Ekor. Telapak tangannya mengenai bahu pria itu, menghancurkan tulang belikatnya menjadi berkeping-keping dan membuat orang itu melayang mundur beberapa kaki. Orang itu menjerit kesakitan. Tiba-tiba Guo Jing teringat, “Ini salah satu dari Empat Iblis dari Sungai Kuning, Kapak Maut Qian Qingjian.”

Guo Jing tahu bahwa kungfunya telah meningkat pesat beberapa bulan terakhir ini dan tentu saja ia berada di tingkat yang sama sekali berbeda dibandingkan ketika ia melawan Empat Iblis dari Sungai Kuning di Mongolia beberapa waktu lalu. Tapi untuk bisa memukul mundur musuh lebih dari sepuluh kaki hanya dengan satu pukulan? Sementara ia masih takjub memikirkan tenaga pukulannya sendiri, beberapa benda logam lain datang ke arahnya. Kali ini pedang dan tombak.

Guo Jing menduga mereka pasti Golok Pencabut Nyawa Shen Qinggang dan Tombak Pengejar Nyawa Wu Qinglie. Dengan tangan kanan membentuk kait, ia menangkap tombak di dekat kepalanya dan menariknya dengan keras. Wu Qinglie mencoba melawan, tetapi ia ditarik dan jatuh telungkup di depan Guo Jing. Tepat pada saat itu ketika Guo Jing melangkah mundur untuk menghindari bacokan, golok Shen Qinggang menebas tengkorak saudara laki-lakinya sendiri. Kaki Guo Jing terangkat dan menendang pergelangan tangan kanan Shen Qinggang. Seberkas cahaya biru melintas di malam yang gelap ketika goloknya terbang dari tangannya. Nyawa Wu Qinglie terselamatkan. Guo Jing kemudian mengangkat Wu Qinglie dan memutarnya ke arah kakak seperguruannya. Kedua bersaudara itu saling bertabrakan dan keduanya langsung pingsan.

Dari Keempat Iblis Sungai Kuning, hanya tiga yang tersisa, karena Cambuk Perenggut Nyawa Ma Qingxiong dibunuh oleh Lu Guanying ketika mencoba menyusup ke geng bajak Danau Tai. Ketiga orang ini adalah para pejuang elit tentara Jin yang mengejar Tolui dan rekan-rekannya. Prajurit Jin lainnya tidak menyadari bahwa pemimpin mereka telah jatuh karena kegelapan malam. Mereka masih melawan Tolui, Jebe dan Borchu dalam adu panah.

“Kalian tidak melarikan diri, apa kalian semua ingin mati di sini?” bentak Guo Jing. Ia bergegas menuju ke kerumunan tentara musuh, memukul dan melemparkan mereka ke mana-mana. Segera para prajurit itu panik dan berhamburan ke segala arah. Shen Qinggang dan Wu Qinglie perlahan sadar, kepala mereka terasa sakit. Pandangan mereka masih kabur, tetapi mereka sadar bahwa orang-orang mereka telah bubar, jadi mereka juga melarikan diri. Mereka secara tidak sengaja menemukan Qian Qingjian dan membangunkannya. Ia bergumam tidak jelas, tetapi melihat prajurit lainnya telah melarikan diri, ia mengabaikan rasa sakitnya dan mereka berlari ke arah yang berbeda.

Jebe dan Borchu adalah pemanah ulung. Mereka terus menembakkan panah dan berhasil membunuh tiga tentara Jin lagi. Tolui memandang ke bawah dan melihat bahwa saudara angkatnya telah membubarkan musuh. Ia senang dan berseru, “Anda1! Apa kabarmu?” Ia turun dari tiang bendera ke tanah.

Guo Jing dan Tolui saling berpegangan tangan, mereka sangat senang sampai tidak bisa berkata-kata untuk beberapa saat. Sesaat kemudian Jebe dan Borchu bergabung dengan mereka. “Tiga orang Han yang memegang perisai memblokir panah kami, mencegah kami menembak mereka,” kata Jebe. “Jika Jing’er tidak datang untuk menyelamatkan kita, kita tidak akan bisa minum air jernih Sungai Onon lagi.”

Guo Jing menarik tangan Huang Rong untuk membiarkannya bertemu dengan Tolui dan teman-temannya. “Ini adalah saudara angkatku,” katanya memperkenalkan.

“Maukah kamu memberiku dua elang putih ini?” tanya Huang Rong sambil tersenyum. Tolui tidak mengerti bahasa Han dan penerjemahnya melarikan diri ketika mereka diserang oleh tentara Jin. Kedengarannya suara Huang Rong jernih dan menyenangkan di telinga, tetapi ia sebenarnya tidak tahu apa yang dikatakannya.

Guo Jing mengabaikan permintaan Huang Rong. “Anda, mengapa kau membawa elang ke sini?” tanyanya.

“Ayah mengirimku untuk menemui Kaisar Song, kami ingin membuat kesepakatan antara pihak Utara dan Selatan, sehingga kami dapat mengirimkan pasukan bersama dan menyerang Jin dari kedua arah,” jelas Tolui. “Adikku mengira aku akan bertemu denganmu di sini, jadi ia mengirim elang ini untukmu. Tebakannya benar, aku memang bertemu denganmu di sini.”

Ketika Guo Jing mendengar Tolui menyebut nama Hua Zheng, ia terdiam. Ia tahu bahwa ia jatuh cinta kepada Huang Rong. Ketika ia terkadang memikirkan Hua Zheng, ia merasa itu tidak benar. Tapi ia tidak tahu bagaimana menyelesaikan masalah tersebut, dan berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya. Tapi sekarang setelah mendengar apa yang dikatakan Tolui, ia kebingungan. Satu-satunya yang terpikir adalah, “Dalam sebulan ini aku akan pergi ke Pulau Bunga Persik, dan ayah Rong’er mungkin akan membunuhku. Tidak ada gunanya memikirkan hal itu sekarang.” Oleh karena itu ia menoleh ke arah Huang Rong dan memberitahu dia, “Kedua burung ini milikku. Kau bisa mengajak mereka bermain.”

Huang Rong senang sekali, ia mencari banyak daging kering untuk diberikan kepada kedua ekor burung itu.

Tolui menceritakan bagaimana ayahnya, Genghis Khan, meraih kemenangan atas Jin di beberapa wilayah, tetapi jumlah tentara Jin sangat banyak. Mereka memperkuat diri dan selama bertahun-tahun memperkuat benteng mereka, sehingga untuk sementara mereka berhasil mempertahankan perbatasan. Oleh karena itu Genghis Khan mengirim Tolui untuk melakukan kontak dengan Song Selatan, dan membentuk aliansi dengan Song untuk menyerang Jin. Sayangnya mereka bertemu dengan para tentara Jin dan tidak dapat menghindari pertempuran. Teman-teman mereka tewas dan hanya mereka bertiga yang berhasil melarikan diri dan lari ke sini.

Guo Jing teringat ketika itu di Rumah Awan ia mendengar Yang Kang meminta Mu Nianci untuk pergi ke Lin’an dan menemui Perdana Menteri Shi Miyuan, untuk memintanya membunuh utusan Mongolia. Pada saat itu ia tidak memahami secara spesifik apa maksudnya, tetapi sekarang ia tahu bahwa Jin telah mengetahui konspirasi tersebut dan mengirim Yang Kang untuk mencegah Song dan Mongol membentuk aliansi.

Tolui melanjutkan, “Sepertinya Jin sudah bertekad untuk membunuhku, untuk mencegah Mongolia dan Dinasti Song membentuk aliansi. Pangeran Keenam sendiri secara pribadi memimpin pasukan untuk menangkapku.”

“Wanyan Honglie?” tanya Guo Jing terkejut.

“Betul!” jawab Tolui. “Dia memakai helm emas. Aku melihatnya dengan jelas, dan bahkan menembakkan tiga anak panah ke arahnya. Sayangnya diblokir perisai pengawalnya.”

Guo Jing sangat gembira, “Rong’er, Kang Di”! Wanyan Honglie ada di sini. Ayo cepat kita cari dia!” Huang Rong dengan cepat setuju, tetapi Yang Kang tidak terlihat. Guo Jing tidak sabar, ia berteriak, “Rong’er, kau pergi ke timur, aku akan mencari ke barat.” Kedua orang itu menggunakan ilmu meringankan tubuh mereka dan berlari sangat cepat ke arah yang berlawanan.

Setelah beberapa kali Guo Jing berhasil mengejar beberapa tentara Jin yang melarikan diri. Ia menangkap salah satu dari mereka dan menemukan bahwa memang Pangeran Keenam Wanyan Honglie yang secara pribadi memimpin para pengejar, tetapi prajurit itu tidak mengetahui keberadaannya.

“Kami sudah meninggalkan Pangeran tanpa mempedulikan keselamatannya. Kalau kami kembali, maka kami pasti akan dihukum mati. Karena itu kami membuang seragam kami dan bersembunyi di antara orang-orang biasa,” kata prajurit itu.

Guo Jing berbalik dan melanjutkan pengejarannya. Saat itu hampir subuh, tapi mereka tidak menemukan Wanyan Honglie. Ia tahu musuh yang menjadi dalang peristiwa yang menimpa ayahnya sudah dekat, tapi sepertinya tidak terjangkau. Ia merasa geram dan penasaran.

Ia bergegas maju agak lebih jauh dan tiba di areal hutan kecil di mana ia melihat bayangan putih melintas. Itu adalah Huang Rong. Keduanya bertemu, saling memandang dan tahu mereka tidak menemukannya. Dengan kecewa mereka memutuskan untuk kembali ke kuil.

“Wanyan Honglie memimpin cukup banyak pasukan mengejar kami. Dia menunggang kuda yang cepat. Kurasa sekarang dia pasti sudah kembali untuk memanggil bala bantuan untuk menangkap kita,” kata Tolui menganalisa situasi. “Anda, aku sekarang ini menanggung beban tugas dari ayahku. Aku tidak bisa tinggal lama. Kita berpisah di sini. Adikku memintaku menyampaikan pesan ini, ‘Tolong pulang ke Mongolia secepat mungkin’.”

Guo Jing setuju dengan apa yang dikatakannya, tetapi ia kuatir akan sulit bagi mereka untuk bertemu lagi di masa depan. Hatinya terasa berat. Ia memeluk Tolui, Jebe dan Borchu, lalu mengucapkan selamat tinggal kepada mereka. Tanpa banyak bicara. Mereka menaiki kuda mereka dan memacunya dengan kencang. Suara derap kaki kuda berangsur-angsur menghilang, meninggalkan kepulan debu kuning di kejauhan.

“Ayo kita bersembunyi dan menunggu Wanyan Honglie kembali,” usul Huang Rong. “Kalau pasukannya banyak, kita hanya akan mengikuti mereka dan mencoba membunuhnya di malam hari. Bagaimana menurutmu?”

Guo Jing sangat senang. Ia memuji Huang Rong tanpa henti. Huang Rong juga sangat senang, ia tersenyum dan berkata, “Itu bukan apa-apa, aku hanya memakai taktik umum Pindah dari pantai ke kapal2.”

“Aku akan pergi ke hutan untuk menyembunyikan kuda kita,” kata Guo Jing. Ia berjalan menuju halaman belakang kuil dan tiba-tiba melihat sesuatu yang berkilauan di rerumputan di bawah sinar matahari pagi. Ia membungkuk untuk melihat lebih dekat dan ternyata benda itu adalah sebuah helm emas, bertatahkan tiga permata besar. Guo Jing mengambilnya dan berjalan kembali ke Huang Rong. “Menurutmu ini apa?” bisiknya.

“Helm emas Wanyan Honglie?” tebak Huang Rong.

“Tepat sekali!” bisik Guo Jing lagi. “Aku yakin dia masih bersembunyi di sekitar sini. Kita menyebar untuk mencarinya.”

Huang Rong berbalik, tangannya menekan dinding dan ia melayang di atas dinding dalam waktu singkat. “Aku akan mencari dari atas, kau dari bawah,” serunya. Guo Jing memasuki kuil.

“Ilmu meringankan tubuhku bagus tidak?” panggil Huang Rong.

Guo Jing kaget, ia berhenti di tengah jalan. “Bagus sekali,” katanya. “Kenapa?”

“Lalu kenapa kau belum memujiku?” kata Huang Rong sambil tertawa.

Guo Jing menghentakkan kakinya dengan kesal. “Anak bandel, kau masih bercanda pada saat seperti ini!”

Huang Rong hanya tertawa sambil mengangkat tangannya. Ia segera beranjak ke halaman belakang.

Saat Guo Jing sibuk melawan tentara Jin, Yang Kang mengamati dari satu sisi. Meskipun dalam kegelapan ia masih bisa mengenali Pangeran Keenam Wanyan Honglie. Meskipun Yang Kang tahu sekarang ia bukan ayahnya, ia tetaplah orang yang membesarkan Yang Kang selama lebih dari delapan belas tahun. Ia telah menjadi figur ayah bagi Yang Kang selama ini. Yang Kang melihat bagaimana Guo Jing membubarkan tentara Jin, jika Wanyan Honglie terlihat oleh Guo Jing, ia pasti akan tewas. Itu saat kritis dan Yang Kang tidak punya banyak waktu untuk berpikir, jadi ia melompat ke medan pertempuran. Saat itu Guo Jing sedang melemparkan tubuh para prajurit Jin ke udara. Kuda Wanyan Honglie ketakutan, jadi ia sibuk memegang kendali. Yang Kang mencengkeramnya dari belakang dan menariknya ke tempat aman.

Fu Wang, ini aku, Kang’er. Jangan bersuara!” bisik Yang Kang, mendesak. Guo Jing masih bertarung dan perhatian Huang Rong tertuju pada elang. Malam itu gelap, jadi tidak ada yang melihatnya dengan Wanyan Honglie bergerak menuju halaman belakang kuil.

Yang Kang diam-diam mendorong pintu ke sayap barat, dan keduanya bersembunyi di sana. Telinga mereka masih bisa mendengar teriakan perang di luar, diikuti oleh suara tentara Jin yang berlari menjauh. Akhirnya mereka mendengar suara ketiga orang Mongolia yang berbicara dengan Guo Jing.

Wanyan Honglie mengira ia sedang bermimpi, “Kang’er,” bisiknya, “Apa yang membawamu ke sini?”

“Itu sungguh kebetulan,” jawab Yang Kang. “Ah… tapi orang bermarga Guo itu bermaksud mencelakaimu.”

Saat itu Wanyan Honglie mendengar Guo Jing dan Huang Rong akan berpisah untuk mencarinya. Ia juga melihat bagaimana Guo Jing mengalahkan Tiga Iblis dari Sungai Kuning dan betapa dahsyat dan cepatnya ia mengalahkan dan membunuh banyak tentara Jin. Jika Guo Jing menemukan mereka berdua, apa yang akan terjadi? Ia bergidik tanpa sadar.

“Fu Wang, kalau kita pergi sekarang, aku kuatir kita akan kepergok. Kita bersembunyi di sini dulu, mereka akan pergi pada akhirnya. Kita akan menunggu sampai mereka jauh, lalu kita bisa pergi dengan hati-hati,” kata Yang Kang.

“Itu bukan ide yang buruk,” kata Wanyan Honglie. Ia berhenti, lalu bertanya, “Kang’er, kenapa kau memanggilku Fu Wang, dan bukan ayah3?”

Yang Kang terdiam, ia teringat nasib mendiang ibunya dan hatinya dipenuhi dengan emosi yang bergejolak.

Wanyan Honglie berkata perlahan, “Kamu sedang memikirkan ibumu, kan?” Ia merentangkan tangannya untuk memegang tangan Yang Kang dan tangan itu sedingin es, basah oleh keringat Yang Kang.

Yang Kang dengan lembut menarik tangannya. Ia mengganti topik pembicaraan, “Ilmu bela diri Guo Jing tinggi. Dia ingin balas dendam untuk ayahnya. Dia bertekad untuk menemukan dan membunuhmu. Dia juga berteman baik dengan banyak sekali pendekar kungfu. Kau tidak mungkin melawannya. Kupikir akan lebih menguntungkan kalau kau tidak kembali ke Yanjing selama enam bulan atau lebih.”

Wanyan Honglie teringat apa yang terjadi di Desa Niu dekat Lin’an sembilan belas tahun yang lalu. Ia sedih. Selain itu ia juga merasa bersalah, jadi ia terdiam cukup lama. “Baiklah,” akhirnya dia berkata. “Aku akan menghindari Yanjing untuk sementara waktu. Kau sudah pergi ke Lin’an? Apa yang dikatakan Perdana Menteri Shi?”

“Aku belum ke sana,” jawab Yang Kang dengan dingin.

Wanyan Honglie mendengar keanehan dalam nada suaranya dan menduga bahwa Yang Kang mungkin sudah tahu tentang kisah hidupnya sendiri. Tapi mengapa Yang Kang menyelamatkannya? Mungkinkah ia rencana rencana lain?

Kedua pria itu telah hidup bersama selama delapan belas tahun sebagai ayah dan anak. Mereka saling mencintai. Tapi sekarang ketika mereka bersama di ruangan kecil itu, Yang Kang tiba-tiba merasa ada kebencian yang mendalam di antara mereka. Ada pergumulan hebat di dalam hatinya. “Hanya dengan satu pukulan telapak tanganku, aku akan membalaskan dendam ayah dan ibuku, tapi bagaimana aku bisa melakukan hal itu? Yang Tiexin adalah ayah kandungku, tetapi apa yang diberikannya kepadaku? Mama biasanya memperlakukan Fu Wang dengan baik dan jika aku membunuhnya sekarang, apakah Mama akan menyukainya? Selain itu, kalau aku benar-benar menolak menjadi seorang pangeran, apakah aku akan berakhir mengembara di alam liar, melarat seperti Guo Jing?”

Ia masih tenggelam dalam pikiran yang menggelisahkan ini ketika Wanyan Honglie berkata, “Kang’er, kita punya hubungan ayah dan anak. Tidak peduli apa pun yang terjadi, kau adalah anakku dan aku mencintaimu. Dalam sepuluh tahun ini Jin Agung kita akan menaklukkan Song. Pada saat itu aku akan memiliki kekuatan dan otoritas yang sangat besar, dengan kekayaan dan kehormatan yang tidak terbatas. Negara yang indah ini, dunia fana ini, pada akhirnya akan jatuh ke tanganmu.”

Yang Kang memahami dampak dari ucapan itu. Wanyan Honglie bercita-cita menjadi Kaisar. Memikirkan tentang ‘kekayaan dan kehormatan tak terbatas’, jantungnya berdebar kencang dan diam-diam ia berpikir, “Dengan kekuatan Kekaisaran Jin, tidak akan sulit untuk menghancurkan Song. Mongolia akan menimbulkan masalah lain, tetapi itu hanya sementara. Mereka tak lebih hanyalah sekelompok orang barbar dengan keterampilan berkuda dan memanah yang sangat baik. Tidak ada yang istimewa. Keterampilan manajemen Fu Wang luar biasa. Pangeran Kekaisaran Jin mana lagi yang bisa dibandingkan dengan dia? Ketika semua yang dikatakannya itu terlaksana, aku pasti akan menjadi putra mahkota.” Berpikir demikian, darahnya mendidih. Ia mengulurkan tangannya untuk meraih tangan Wanyan Honglie. “Ayah, anakmu pasti akan membantumu dalam usaha besar ini.”

Wanyan Honglie menyadari tangan Yang Kang menjadi hangat. Ia senang. “Aku Li Yuan, kau Li Shimin.”4

Yang Kang hendak menjawab ketika mereka tiba-tiba mendengar suara di belakang mereka. Keduanya terpaku. Dengan cepat mereka menoleh. Hari sudah pagi dan sinar matahari yang cerah masuk melalui jendela. Mereka melihat tujuh atau delapan peti mati berserakan di seluruh ruangan. Ternyata sayap barat ini adalah tempat sementara bagi orang mati sebelum dimakamkan. Mereka mendengarkan dengan seksama. Suara itu terdengar seperti berasal dari salah satu peti mati.

“Suara apa itu?” tanya Wanyan Honglie.

“Mungkin tikus,” jawab Yang Kang. Saat itu mereka mendengar Guo Jing dan Huang Rong berbicara di luar tentang helm emas. kemudian bercanda sambil mencari-cari mereka.

“Celaka!” pikir Yang Kang. “Helm emas Ayah tertinggal di luar! Ini bisa jadi malapetaka.” Dengan suara rendah ia berkata, “Aku akan membawa mereka pergi.” Diam-diam ia membuka pintu dan melompat keluar menuju ke atap.

Huang Rong sedang berada di atap ketika tiba-tiba ia melihat sesosok bayangan melintas di puncak atap. “Bagus! Dia ada di sini!” Ia berlari ke arah bayangan itu, tapi bayangan itu dengan cepat melompat ke bawah dan menghilang di salah satu sudut.

Guo Jing mendengar suaranya dan bergegas datang. “Dia tidak mungkin lari jauh,” kata Huang Rong. “Mungkin bersembunyi di hutan.”

Keduanya hendak lari ke dalam hutan ketika tiba-tiba terdengar suara dari semak-semak dan keluarlah Yang Kang. Guo Jing sangat terkejut. “Kang Di, kau dari mana saja?” tanyanya. “Kau melihat Wanyan Honglie?”

“Wanyan Honglie ada di sini?” tanya Yang Kang, pura-pura terkejut.

“Dia justru komandan pasukan itu,” sahut Guo Jing. “Lihat, helmnya ada di sini.”

“Jadi begitu,” kata Yang Kang.

Huang Rong memperhatikan bahwa ekspresi mukanya tidak biasa. Ia juga ingat Yang Kang bicara dengan Ouyang Ke sebelumnya, jadi ia curiga. “Kami mencarimu kemana-mana beberapa saat yang lalu. Kau ada di mana?” tanyanya.

“Kemarin aku terlalu banyak makan makanan aneh,” kata Yang Kang. “Rasanya aku keracunan makanan, jadi aku tadi buang air di sana.” Ia menunjuk ke arah hutan kecil.

Huang Rong tidak percaya, tapi ia juga merasa tidak nyaman untuk menantangnya. “Kang Di,” kata Guo Jing, “Ayo kita cari dia bersama-sama.”

Yang Kang kuatir, ia tidak yakin apakah Wanyan Honglie sudah melarikan diri atau masih di sini, tapi wajahnya tidak menunjukkan perasaan apa-apa. “Dia datang ke sini cari mati! Bagus,” katanya, “Kalian cari ke timur, aku akan pergi ke arah barat.”

“Boleh juga begitu,” kata Guo Jing. Ia segera berjalan ke timur dan mendorong pintu ke arah Jie Xiao Tang5.

“Kakak Yang,” kata Huang Rong. “Kurasa orang itu bersembunyi di sebelah barat. Ayo kita lihat.”

Yang Kang mengerang dalam hati, tapi wajahnya berpura-pura senang. “Ayo kita pergi, cepat!” katanya. “Jangan sampai dia lari.” Segera keduanya mencari dari ruangan ke ruangan.

Keluarga Liu dari Baoying awalnya merupakan keluarga penting sepanjang era Dinasti Song, tentu saja kuil leluhur mereka sangat besar. Karena perang dengan Jin, kuil ini sebagian terbakar dan beberapa anggota keluarga Liu terbunuh. Oleh karena itu sebagian kuil itu dibiarkan menjadi reruntuhan tanpa ada upaya untuk membangunnya kembali.

Dengan tatapan dingin, Huang Rong mengamati Yang Kang membuka pintu yang penuh debu dan sarang laba-laba satu per satu. Ia mencari di setiap ruangan. Akhirnya mereka sampai di sayap barat. Huang Rong melihat debu tebal di lantai dan di atas debu itu tercetak beberapa jejak kaki yang — kelihatannya — baru saja dibuat. Ada beberapa bekas tangan di pintu yang tertutup juga. “Disini!” ia berteriak dengan penuh semangat.

Guo Jing dan Yang Kang mendengarnya berteriak. Guo Jing senang, sementara Yang Kang cemas. Keduanya bergegas ke arahnya.

Huang Rong menendang pintu hingga terbuka, tetapi yang mengejutkannya adalah, yang dilihatnya hanya beberapa peti mati tanpa ada tanda-tanda bekas kehadiran Wanyan Honglie.

Yang Kang sangat lega, ia tahu Wanyan Honglie pasti sudah kabur, tetapi ia memasuki ruangan dan berteriak dengan keras, “Wanyan Honglie, pengkhianat! Di mana kau bersembunyi? Ayo keluar!”

“Kakak Yang,” kata Huang Rong sinis. “Dia pasti sudah lama mendengar suara kita. Kau tidak usah berbaik hati memberi tahu dia kalau kita ada di sini.”

Yang Kang malu, mukanya memerah. “Nona Huang, jangan bercanda.” Dari malu ia berubah jadi marah.

“Jangan hiraukan dia, Kang Di. Rong’er memang suka bercanda,” Guo Jing tersenyum. Ia menundukkan kepalanya dan berkata, “Lihat di sini, semua jejak kaki ini kelihatannya masih baru. Memang dia ada di sini.”

“Cepat, kita harus mengejarnya!” desak Huang Rong. Saat menoleh, ia mendengar suara dari belakangnya. Ketiganya ketakutan. Mereka melihat peti mati bergerak sedikit.

Huang Rong memang selalu takut pada peti mati, dan sejak memasuki ruangan ini ia merasa mual. Sekarang sebuah peti mati tiba-tiba bergerak dengan sendirinya, ia berteriak dan memegang lengan Guo Jing erat-erat. Tetapi meskipun hatinya ciut, otaknya masih bekerja. “Pengkhianat itu… pengkhianat itu bersembunyi di dalam peti mati,” katanya dengan suara gemetar.

Yang Kang tiba-tiba menunjuk ke luar, “Hei! Itu dia!” Tanpa menunggu jawaban ia bersiap untuk berlari keluar. Tapi Huang Rong lebih cepat, ia mengulurkan tangannya ke belakang dan mencekal pembuluh darah utama Yang Kang. “Kau pernah melihat hantu?” ia mencibir.

Yang Kang merasa sebagian tubuhnya mati rasa, ia tidak bisa bergerak. “Kau… kau mau apa?” ia tampak cemas.

Guo Jing sangat gembira. “Betul! Ia pasti di dalam peti mati…” katanya sambil mendekati deretan peti mati itu dengan langkah lebar, dan mengangkat tangannya, bersiap-siap seandainya ia mendadak berhadapan dengan Wanyan Honglie keluar dari salah satunya.

“Ge, hati-hati!” seru Yang Kang. “Jangan-jangan ada mayat hidup di situ!”

Huang Rong memelintir tangan Yang Kang dengan kesal sampai ia jatuh ke lantai. “Kau masih ingin menakut-nakuti aku ya?” omelnya. Ia sangat yakin Wanyan Honglie pasti ada di dalam peti mati, tapi ia masih tetap takut. Bagaimana kalau betul-betul ada mayat hidup di dalamnya?

“Jing Gege, jangan buru-buru!” katanya dengan suara gemetar.

“Kenapa?” tanya Guo Jing sambil menoleh.

“Pokoknya tahan tutupnya,” kata Huang Rong. “Jangan sampai… jangan sampai benda itu keluar…”

Guo Jing tersenyum. “Mana ada mayat hidup?” Tapi ia melihat Huang Rong benar-benar takut, maka ia melompat ke dekat peti mati dan menghiburnya. “Dia tidak bakal bisa merangkak keluar.”

Huang Rong masih cemas, ia agak ragu, dan kemudian berkata, “Jing Gege, biarkan kupukul peti mati itu menggunakan Pi Kong Zhang6, kau tetap membuka mata. Entah hantu atau Wanyan Honglie, aku akan membelah peti mati itu. Lalu kita akan melihat itu orang yang menangis atau hantu yang meratap!”

Begitu selesai bicara, ia mengerahkan tenaga ke telapak tangannya, mengambil jarak dua langkah dan mengarahkan telapak tangannya ke peti mati. Telapak Tangan Kosong miliknya tidak sekuat Lu Chengfeng, karena itu dia harus memukul peti mati itu secara langsung. Sebenarnya bisa dilakukan dari jarak jauh.

“Ini tidak benar,” kata Yang Kang. “Kau memukul tutupnya, mayat itu bisa langsung menjulurkan kepalanya dan menggigit tanganmu. Itu tidak akan bagus!”

Ia berhasil membuat Huang Rong makin ketakutan. Ia menggigil dan menghentikan gerakannya. Tiba-tiba terdengar teriakan dari dalam peti mati. Itu suara wanita. Huang Rong melompat. Ia sangat ketakutan. “Hantu perempuan!” jeritnya. Sambil mengayunkan tangannya ia berlari keluar dan berteriak, “Cepat! Keluar dari sini!”

Guo Jing berani. “Kang Di, ayo kita angkat tutupnya, dan kita lihat ada apa,” katanya.

Yang Kang basah kuyup oleh keringat dingin, tapi bagaimana ia bisa menolak permintaan Guo Jing? Tentunya ia tidak bisa menjadi musuh dari pasangan Guo — Huang ini. Tapi kemudian ia mendengar suara wanita itu lagi, jadi ia bergegas ke depan untuk mengangkat tutup peti mati. Mereka menggunakan pisau untuk mendongkrak tutupnya dan bersama-sama mereka membuka tutupnya, yang sebenarnya belum dipaku ke peti mati.

Guo Jing mengerahkan tenaga ke tangannya, siap menyerang kepala mayat hidup, kalau ada. Tetapi ketika ia melongok ke bawah, ia melongo. Tidak ada hantu, itu seorang gadis muda yang cantik, dengan sepasang mata lebar menatap mereka. Itu tidak lain adalah Mu Nianci.

Yang Kang terkejut tapi sekaligus gembiira, dan dengan cepat ia mengulurkan tangannya untuk membantu Mu Nianci bangkit dan keluar dari situ.

“Rong’er, cepat sini!” seru Guo Jing. “Lihat siapa yang ada di sini.”

Huang Rong memejamkan mata sambil memalingkan mukanya ke luar. “Aku tidak mau lihat!” katanya.

“Tapi ini Mu Mei Mei,” desak Guo Jing.

Dengan mata kirinya masih tertutup, Huang Rong mengintip dengan mata kanannya. Ia melihat Yang Kang memeluk seorang wanita yang mirip Mu Nianci. Ia merasa lega dan dengan malu-malu memasuki ruangan lagi. Siapa wanita itu kalau bukan Mu Nianci?

Huang Rong melihat wajah Mu Nianci tampak kuyu dan dua titik air mata mengalir di pipinya. Ia tidak bisa bergerak. Huang Rong membuka totokannya dan bertanya, ”Jiejie, kenapa kau ada di sini?”

Mu Nianci sudah cukup lama tertotok, seluruh tubuhnya terasa kaku dan napasnya tidak teratur. Huang Rong membantu dengan mengusap punggungnya. Setelah beberapa saat, kira-kira waktu yang dibutuhkan untuk minum secangkir teh, Mu Nianci memberitahunya, “Aku tertangkap dan ditawan.”

Huang Rong memperhatikan bahwa totokan itu terletak di tengah telapak kaki, titik akupuntur Yong Quan. Ini jarang digunakan oleh para ahli silat di Dataran Tengah. Jadi dengan kepastian delapan puluh hingga sembilan puluh persen ia menebak, “Apakah bajingan itu Ouyang Ke?” Mu Nianci tidak menjawab, tapi ia mengangguk.

Hari itu ketika ia mencoba menghubungi Mei Chaofeng demi Yang Kang, ia ditangkap oleh Ouyang Ke di dekat tumpukan tengkorak dan ditotok. Setelah Huang Yaoshi memainkan seruling gioknya untuk membubarkan ular dan membantu Mei Chaofeng, Selir Ouyang Ke dan ketiga gembala ularnya tidak sadarkan diri karena suara seruling, dan Ouyang Ke melarikan diri. Saat fajar para selir dan penggembala ular terbangun dan menemukan Mu Nianci terbaring miring, tidak bisa bergerak. Mereka membawanya kepada majikan mereka. Ouyang Ke mencoba memperkosanya, tetapi ia bertekad untuk berjuang sampai mati. Meskipun Ouyang Ke sombong dan cabul, tapi ia selalu membanggakan dirinya sebagai pria yang elegan dan berbudaya. Kungfunya tinggi dan wajahnya tampan, jadi ia bisa dengan mudah meluluhkan hati wanita. Kalau ia menggunakan kekerasan dan memaksa, ia pasti akan berhasil memperkosanya. Tapi ia akan merusak nama Gunung Onta Putih. Karena kebanggaannya itu, Mu Nianci beruntung dan mampu mempertahankan kesuciannya.

Setelah itu mereka tiba di Baoying dan Ouyang Ke menyembunyikannya di dalam salah satu peti mati kuil leluhur Liu. Ia kemudian mengirim selirnya untuk ‘mengundang’ beberapa wanita muda cantik dari keluarga kaya, termasuk Nona Cheng. Saat itulah Kai Pang turun tangan yang menimbulkan pertempuran. Ouyang Ke pergi dengan tergesa-gesa. Ia punya beberapa orang wanita beberapa hari terakhir ini, jadi ia tidak ingat lagi Mu Nianci masih berada di dalam salah satu peti mati. Jika Guo Jing dan yang lainnya tidak mencari Wanyan Honglie, ia akan mati kelaparan di dalam peti mati.

Bagi Yang Kang ini kejutan yang menyenangkan bisa bertemu dengan orang yang dicintainya di sini. Dengan wajah penuh perasaan ia berkata, “Mei Mei istirahat saja dulu di sini, aku akan merebus air minum untukmu.”

“Kau mana bisa merebus air?” Huang Rong tersenyum, “Biar aku membantumu. Jing Gege, ikut aku.” Ia berpikir untuk meninggalkan keduanya sendirian untuk melepaskan kerinduan mereka, tetapi Mu Nianci duduk tegak. “Tunggu sebentar!” ia berkata tanpa senyum, “Yang Gongzi, aku mengucapkan selamat kepadamu atas kekayaan dan kehormatanmu yang tak terbatas di masa depan.”

Yang Kang merasakan rona merah menjalar ke seluruh wajahnya, tetapi hatinya menjadi dingin. “Dia pasti mendengar percakapanku dengan Fu Wang di sini.” Ia berdiri diam tak tahu harus berbuat apa.

Mu Nianci melihat dia tertekan dan hatinya luluh. Ia tidak tega mengungkapkan rahasia bahwa dialah yang melepaskan Wanyan Honglie, karena takut Guo Jing dan Huang Rong akan membunuhnya karena marah.

“Kau memanggilnya ‘Ayah’, itu lebih baik, kan? Jauh lebih intim daripada memanggilnya ‘Fu Wang’ ya?” katanya dengan dingin. Yang Kang merasa sangat malu. Ia menundukkan kepalanya dan tidak mengatakan apa-apa.

Huang Rong tidak tahu apa yang sedang terjadi. Dia pikir wanita ini kesal dan menyalahkan Yang Kang karena tidak datang lebih awal untuk menyelamatkannya. Ia menarik lengan baju Guo Jing dan berbisik, “Ayo keluar, aku yakin mereka berdua akan segera berbaikan.” Guo Jing tersenyum dan ikut dengannya.

“Ayo kita dengarkan apa yang mereka katakan,” kata Huang Rong begitu mereka sampai di halaman.

Guo Jing tersenyum. “Jangan sengaja bikin masalah, aku tidak mau.”

“Baguslah!” Huang Rong merajuk. “Hanya saja, jangan kecewa kalau aku mendengar sesuatu yang menarik dan aku tidak memberitahumu tentang hal itu.” Ia melompat ke atap, berjalan diam-diam kembali ke sayap barat dan mendengar Mu Nianci berbicara dengan kasar.

“Kau memanggil musuh ayahmu. Aku bisa masih memahami itu mengingat hubungan masa lalumu. Kau akan bisa mengatasinya. Tapi ternyata kau juga bermimpi, kau ingin menghancurkan negara leluhurmu sendiri, ini… ini…” Mencapai titik ini ia sangat marah sampai tidak bisa melanjutkan.

Yang Kang tersenyum gugup. “Mei Mei, aku…” katanya lembut, tapi Mu Nianci memotongnya. “Siapa Mei Mei? Jangan sentuh aku!” dia berteriak. ‘Plakk’ Tangannya meninggalkan bekas merah di wajah Yang Kang.

Huang Rong terkejut. “Mereka sungguh-sungguh ribut, aku harus menghentikan mereka,” pikirnya. Masuk melalui jendela ia tertawa dan berkata, “Aiyo! Bahkan jika kalian saling tidak setuju, tolong jangan pakai kekerasan.” Tapi ia berhenti di tengah jalan saat melihat pipi Mu Nianci padam sementara Yang Kang sangat pucat. Ia hendak membuka mulutnya lagi, tapi Yang Kang tiba-tiba berteriak, “Bagus! Kau bertemu yang baru dan meninggalkan yang lama. Hatimu sudah ditempati orang lain, jadi kau memperlakukanku seperti ini.”

“Kau… kau ngomong apa sih?” Mu Nianci tergagap. Yang Kang mencibir, “Kau dan orang bernama Ouyang itu. Kungfunya sepuluh kali lebih baik dari aku, tentu saja kau akan segera menghapus aku dari hatimu.”

Mu Nianci begitu marah, sampai tangan dan kakinya terasa sedingin es. Ia nyaris pingsan.

Huang Rong menyela, “Yang Dage, kau tidak boleh bicara sembarangan. Kalau Mu Jiejie memang menyukainya, kenapa bajingan itu harus menotoknya dan membiarkannya kelaparan di dalam peti mati?”

Karena malu Yang Kang menjadi marah. “Kebenaran itu baik, tapi kemunafikan juga baik. Dia ditahan oleh bajingan itu selama beberapa waktu dan dia telah kehilangan kepolosannya. Bagaimana dia dan aku bisa bersama lagi?”

Mu Nianci sungguh-sungguh marah. “Kau… kau… maksudmu aku kehilangan kepolosan apa?”

“Kau ada di tangan orang itu selama berhari-hari. Dia pasti memelukmu, kau pasti memeluknya. Bagaimana kau bisa menjaga kemurnianmu yang sebening kristal itu?” Yang Kang mengejek, gayanya membuat Mu Nianci lebih naik darah lagi.

Mu Nianci benar-benar tidak bisa menahan diri lagi. Ia lelah dan marah. Serangan terakhir ini terlalu kejam untuk ditanggungnya. Ia muntah darah dan jatuh ke belakang.

Yang Kang menyadari kata-katanya terlalu kejam. Melihatnya seperti itu ia merasa menyesal dan ingin memeluk dan menghiburnya. Lalu ia ingat bahwa Mu Nianci tahu rahasianya. Huang Rong telah mengungkapkan kecurigaannya sebelum ini. Jika Mu Nianci membuka mulutnya, nyawanya akan berada dalam bahaya. Selain itu ia menguatirkan ayahnya. Jadi tanpa berkata apa-apa ia berbalik, bergegas keluar dan melompati tembok.

Huang Rong harus memijat dada Mu Nianci cukup lama sebelum akhirnya sadar. Ia luar biasa tenang dan bahkan tidak menangis. “Mei Mei,” katanya dengan tenang, “Aku pinjam belati yang kuberikan padamu sebelumnya.”

“Jing Gege!” Huang Rong berseru dengan keras, “Kau bisa ke sini?” Guo Jing dengan cepat datang. “Tolong berikan belati milik Yang Dage kepada Mu Jiejie,” kata Huang Rong.

“Tentu saja,” Guo Jing menurut. Ia mengeluarkan belati dari sakunya. Itu belati yang diambil oleh Zhu Cong dari Mei Chaofeng. Belati itu masih terbungkus selembar kulit tipis. Kulit itu penuh dengan karakter yang ditato dengan jarum. Guo Jing tidak menyadari bahwa karakter itu sebenarnya adalah bagian kedua dari Jiu Yin Zhen Jing. Ia dengan santai membuka gulungan kulit itu dan memberikan belati itu kepada Mu Nianci.

Huang Rong juga mengeluarkan belati dari sakunya. Ia dengan lembut berkata, “Belati Jing Gege ada di tanganku. Belati Yang Dage sekarang ada di tanganmu. Jiejie, ini adalah takdir yang akan menyatukan kalian berdua. Kau punya ketidaksepakatan, tapi untuk saat ini tolong jangan sedih. Ayahku dan aku juga punya beberapa perbedaan pendapat. Jing Gege dan aku akan pergi ke Yanjing untuk mencari Wanyan Honglie. Jiejie, tolong jangan biarkan hatimu gelisah. Mengapa kau tidak ikut dengan kami? Kita bisa berjalan santai bersama. Aku yakin Yang Dage akan kembali mencarimu.”

Guo Jing bingung, “Yang Xiandi?” Huang Rong menjulurkan lidahnya. “Dia membuat Jiejie marah. Jiejie menamparnya dengan keras. Mu Jiejie, kalau Kakak Yang tidak menyukaimu, kenapa dia tidak membalas waktu kau menamparnya? Kungfunya lebih kuat darimu. Pertengkaran antara kalian…” Ia ingin bilang ‘pertengkaran antara kalian berdua sepertinya sudah kebiasaan’ (ia mengacu pada Lomba Mencari Jodoh), tapi melihat Mu Nianci sedang sedih, ia jadi tidak tega membuat lelucon.

“Aku tidak akan pergi ke Yanjing,” kata Mu Nianci, “Kalian juga tidak usah pergi. Selama setengah tahun berikutnya si bangsat Wanyan Honglie itu tidak akan berada di Yanjing. Dia takut kepada kalian. Guo Dage, Mei Mei, kalian orang baik, hidup kalian juga harus baik…” Ia tersedak, menutupi wajahnya dan bergegas menuju pintu. Dengan lompatan lebar ia pergi.

Huang Rong melihat melihat darah yang dimuntahkan Mu Nianci tadi berceceran di lantai. Ia ragu-ragu sejenak, dan pada akhirnya merasa tidak nyaman, jadi ia juga melompati tembok dan mengejarnya, dan melihat Mu Nianci di bawah pohon willow besar di kejauhan. Sinar matahari terpantul pada bilah belati yang dipegangnya. Mu Nianci mengangkat belati tinggi di atas kepalanya. Huang Rong cemas, ia pikir Mu Nianci akan bunuh diri. Ia berteriak keras, “Kakak! Tolong jangan…!” Tapi jarak di antara mereka terlalu jauh, ia tidak akan bisa menghentikannya. Beruntung Mu Nianci hanya mengangkat tangan kirinya sambil memegangi rambutnya. Dengan tebasan belati di tangan kanannya, ia memotong segumpal besar rambut, melemparkannya ke tanah dan melarikan diri.

“Jiejie! Jiejie…!” seru Huang Rong. Tapi Mu Nianci pura-pura tidak mendengar, dan terus berlari pergi.

Huang Rong menatap kosong ke kejauhan, ia melamun. Ia melihat gumpalan rambut lembut menari di angin pagi. Beberapa saat kemudian sebagian rambut itu tersebar ke sawah, sebagian masuk ke kali, sebagian terbang ke pepohonan yang berbaris di jalan dan sebagian lagi mengikuti debu yang berhembus entah kemana. Huang Rong selalu lembut, riang, dan nakal sejak masa kecilnya. Ia tertawa saat bahagia, menangis atau merajuk saat tidak senang. Kata ‘kecemasan’ tidak pernah ada dalam kamusnya. Tapi sekarang setelah melihat apa yang baru saja terjadi, ia tidak bisa menahan kesedihan agar tidak merayap ke dalam hatinya. Sekarang, ia tahu tentang dunia kecemasan.

Ia perlahan berjalan kembali ke kuil dan memberi tahu Guo Jing apa yang terjadi pada Mu Nianci. Guo Jing tidak tahu mengapa kedua orang itu berselisih. Ia hanya berkata, “Aku tidak mengerti mengapa Mu Jiejie mempermasalahkan urusan seperti itu. Kupikir sifatnya terlalu kaku.”

“Bagaimana mungkin seorang wanita yang dipeluk oleh orang asing kehilangan kepolosannya? Bahkan orang yang dicintainya tidak lagi menghormatinya atau peduli padanya.” pikir Huang Rong. Ia tidak memiliki petunjuk tentang alasan di balik semua itu, jadi ia menepisnya dari pikiran sebagai ‘seperti itulah adanya’ dan membiarkannya berlalu begitu saja. Ia perlahan berjalan ke halaman belakang dan duduk di pilar. Otaknya dipenuhi dengan berbagai pikiran. Ia menutup matanya dan tertidur.

Malam itu juga Li Sheng dan anggota Kai Pang lainnya mengadakan perjamuan untuk menghormati pemimpin mereka, Hong Qigong, dan juga untuk memberi selamat kepada Guo Jing dan Huang Rong. Mereka menunggu sampai sekitar tengah malam tetapi Hong Qigong masih belum juga muncul. Li Sheng mengetahui kebiasaan ketuanya yang tidak umum dan ia tidak terlalu memikirkannya. Ia terus menyajikan arak untuk Guo Jing dan Huang Rong, dan mereka minum sepuasnya. Orang-orang dari Kai Pang sangat menghormati keduanya, jadi percakapan mereka menyenangkan. Nona Cheng secara pribadi menyiapkan makanan, menyediakan empat panci besar berisi arak berkualitas baik, dan mengirimkan semuanya melalui para pelayannya.

Setelah perjamuan selesai, Guo Jing dan Huang Rong mendiskusikan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Wanyan Honglie tidak akan berada di Yanjing, jadi akan sulit menemukannya dalam waktu singkat. Perjanjian Pulau Bunga Persik semakin dekat. Guo Jing harus segera kembali ke Jiaxing dan berkonsultasi dengan keenam gurunya tentang tindakan apa yang akan mereka ambil.

Huang Rong mengangguk setuju. “Menurutku sebaiknya enam gurumu tidak pergi ke Pulau Bunga Persik,” tambahnya. “Kamu pernah bertarung dengan ayah dan menerima pukulannya, bagi dia memukul beberapa kepala lagi bukan masalah besar, kan? Kalau kau tidak setuju, biar aku yang memukul kepalamu beberapa kali lagi. Kalau keenam gurumu bertemu ayahku lagi, apa bagusnya?”

“Kau benar,” kata Guo Jing. “Tapi kau tidak perlu memukul kepalaku.”

Keesokan paginya keduanya berkuda ke arah selatan. Saat itu awal bulan keenam dan cuaca sangat panas. Penduduk asli Jiangnan punya pepatah, ‘hari keenam bulan keenam, telur bebek dimasak oleh matahari’. Bepergian di bawah terik matahari mereka sangat sengsara. Jadi mereka akan bergegas pagi-pagi sekali dan kemudian diteruskan di malam hari, mereka beristirahat di siang hari.

Beberapa hari kemudian mereka tiba di Jiaxing. Karena lebih awal dari waktu yang ditentukan, Enam Orang Aneh belum tiba. Guo Jing menulis surat dan menitipkannya kepada pemilik penginapan Paviliun Dewa Mabuk, memintanya untuk mengantarkan surat itu secara langsung ke Enam Orang Aneh di Jiangnan saat mereka tiba di awal bulan ketujuh.

Dalam surat itu ia menjelaskan bahwa ia telah bertemu dengan Huang Rong dan akan pergi ke Pulau Bunga Persik untuk memenuhi janjinya, dan dengan ditemani putri kesayangan Huang Yaoshi seharusnya tidak akan ada masalah besar. Ia meminta enam gurunya untuk tidak cemas dan mereka tidak perlu menemaninya, dan seterusnya.

Meskipun ia mengatakannya seperti itu, sebenarnya ia takut karena Huang Yaoshi sangat aneh. Ia pikir akan lebih mungkin menemui masalah daripada keberuntungan. Ia takut Huang Rong akan merasa cemas, jadi ia tidak mengatakan apapun kepadanya. Mengetahui bahwa keenam gurunya tidak harus berada dalam bahaya adalah satu-satunya penghiburan baginya.

Pasangan itu menuju ke timur. Setelah Zhoushan, mereka menyewa perahu dan melanjutkan perjalanan melalui laut. Huang Rong tahu bahwa para pelaut lokal takut pada Pulau Bunga Persik, seperti beberapa orang yang takut pada ular beludak atau kalajengking. Tidak ada yang berani berlayar dalam jarak empat puluh li dari pulau. Jika ia menyebutkan nama Pulau Bunga Persik, tidak peduli berapa banyak uang yang ia tawarkan, tidak ada yang mau mengambilnya. Jadi ia bilang mereka akan memancing udang di pulau terdekat. Baru setelah mereka cukup jauh dari pantai, ia menyuruh tukang perahu untuk mengubah arah ke utara. Tukang perahu ketakutan, tetapi Huang Rong mengayunkan belati di depan dadanya. Kilau dingin dan terang terpancar dari bilahnya sehingga ia tidak punya pilihan selain menuruti permintaan mereka.

Saat perahu mendekati pulau, Guo Jing mencium aroma bunga di tengah bau laut yang asin. Ia mengalihkan pandangannya ke arah pulau. Pulau itu hijau dan subur, penuh dengan pohon dan semak berwarna-warni. Ada yang berwarna hijau, ada yang merah, ada yang kuning, dan ada yang ungu. Pulau itu tampak seperti taman bunga besar.

Huang Rong tersenyum. “Indah sekali, kan?” katanya.

Guo Jing menghela nafas, “Aku belum pernah melihat begitu banyak bunga indah sepanjang hidupku,” jawabnya.

Huang Rong sangat senang. Ia tersenyum dan menjelaskan, “Coba datang di bulan ketiga, bunga persik mekar sepenuhnya. Itu sangat indah. Shifu tidak mau mengakui bahwa kungfu ayahku adalah nomor satu di dunia, tetapi dia tidak bisa menyangkal fakta bahwa keterampilan berkebun ayahku tak tertandingi. Sayang sekali ia hanya tertarik pada makanan dan minuman, dia bahkan tidak tahu apa itu bunga atau tanaman yang baik. Dia orang kasar.”

“Kau ngomong soal Shifu di belakangnya,” omel Guo Jing. “Itu kebiasaan buruk.” Huang Rong menjulurkan lidah dan melucu.

Mereka menunggu sampai perahu lebih dekat sebelum mereka melompat ke darat. Kuda merah Guo Jing juga melompat ke pantai. Tukang perahu telah mendengar banyak cerita horor tentang pulau itu. Dikatakan bahwa Penguasa Pulau Bunga Persik akan membunuh tanpa mengedipkan mata, bahwa ia suka mengorek jantung, paru-paru, hati, dan usus orang. Begitu penumpangnya turun, ia memutar kemudi, ingin segera meninggalkan pulau itu.

Huang Rong mengeluarkan batangan perak sepuluh liang dan melemparkannya ke perahu. Dengan suara berdenting batangan perak itu mendarat di haluan. Tukang perahu tidak mengharapkan imbalan sebesar itu. Ia tampak senang, tetapi masih tidak berani tinggal di dekat pulau itu lebih lama lagi.

Berada di rumah lagi Huang Rong sangat gembira. “Ayah! Ayah! Rong’er pulang!” ia berteriak keras. Ia kemudian berlari ke depan untuk memanggil Guo Jing.

Guo Jing melihatnya berbelok ke timur lalu ke barat, di antara bunga-bunga dan segera menghilang dari pandangannya. Ia buru-buru mengejarnya, tapi setelah beberapa zhang ia sudah kehilangan jejaknya. Ia melihat ada jalan menuju timur, selatan, barat dan utara, tapi tidak tahu mana yang harus dipilihnya.

Ketika ia secara sembarangan memilih arah dan berjalan sebentar, ia sepertinya kembali ke tempat semula. Ia teringat jaalan-jalan setapak di Rumah Awan. Huang Rong mengatakan bahwa meskipun tata letak rumah itu diatur dengan luar biasa, masih kalah dibandingkan dengan Pulau Bunga Persik, yang tata letaknya didasarkan pada elemen yin-yang dan buka-tutup. Jika ia memaksakan diri untuk berjalan di tempat yang indah dan hampir ajaib ini, ia hanya akan menghabiskan tenaga dengan sia-sia. Jadi ia memutuskan untuk duduk saja di bawah pohon persik dan menunggu Huang Rong menjemputnya. Siapa sangka setelah menunggu setengah hari Huang Rong masih belum juga datang. Ia melihat ke sekeliling, ke segala arah, tetapi bahkan tidak melihat satu pun bayangan manusia, bahkan tidak ada satu suara pun yang terdengar. Ia sungguh-sungguh tersesat!

Dengan cemas ia berdiri dan memanjat ke atas pohon terdekat. Sekali lagi ia melihat ke segala arah. Di selatannya ada laut, di barat ada bukit batu tandus, di utara dan timur ada hutan bunga dari segala jenis dan warna. Ia bahkan tidak bisa melihat ujungnya. Kepalanya menjadi pusing. Ia tidak melihat apapun yang menyerupai tembok atau cerobong asap. Ia bahkan tidak mendengar gonggongan anjing. Ini sangat sunyi dan sepi sehingga membuatnya takut.

Dengan ia buru-buru meluncur turun dari pohon dan berlari dengan panik menuju ke hutan yang gelap. Ia tiba-tiba berhenti di tengah jalan dan dengan cemas berpikir, “Celaka! Aku berlari tanpa tujuan! Kalau Ronger datang mencariku, ia tidak akan menemukanku!” Setelah memikirkan hal ini ia berbalik dan berlari kembali, tapi ia tersesat lagi! Ia bahkan tidak dapat menemukan titik awal sebelum terjebak ke situ.

Kuda merah kecilnya semula mengikutinya dari dekat, tetapi ketika ia berlari di antara semak-semak dan memanjat pohon, kuda itu juga hilang. Langit semakin gelap dan Guo Jing tidak tahu harus berbuat apa. Jadi ia hanya duduk di tanah dan menunggu Huang Rong. Untunglah tempat itu tertutup rerumputan hijau yang lebat, jadi ia bisa duduk dengan nyaman.

Ia juga mulai lapar dan haus. Pikirannya mengembara ke makanan lezat yang biasa disiapkan Huang Rong untuk Hong Qigong dan ia jadi semakin lapar. Tiba-tiba sebuah pikiran muncul di benaknya. “Bagaimana jika ayah Rong’er mengurungnya? Ia tidak akan bisa menyelamatkanku. Masa aku diam saja dan mati kelaparan di hutan ini?”

Ia ingat permusuhan dengan ayah Huang Rong yang masih harus diselesaikannya. Ia juga ingat ia bahkan belum membalas kebaikan guru-gurunya. Kemudian pikirannya mengembara ke ibunya di Mongolia yang jauh. Kalau dia mati di sini, siapa yang akan merawatnya? Dengan pikiran yang berat ini ia menjadi lelah dan tertidur.

Di tengah malam ia bermimpi, ia sedang dalam perjalanan dengan Huang Rong. Mereka mengunjungi sebuah danau dekat Yanjing. Mereka sampai di tempat yang indah dan Huang Rong menyanyikan lagu dengan suara lembut. Tiba-tiba terdengar suara lain ikut bernyanyi, itu adalah seruling bambu. Ia terbangun, kaget. Suara seruling masih terdengar di udara. Guo Jing bangkit dan melihat sekeliling. Bulan bersinar terang di langit, dan aroma harum bunga-bunga menebal di malam yang gelap. Suara seruling terdengar dari kejauhan, ternyata ia bukan sedang bermimpi!

Guo Jing sangat senang. Ia berjalan menuju suara seruling mengikuti jalan di depannya. Jalan itu berkelok-kelok, dan terkadang tidak ada jalan di depannya, tetapi suara seruling masih terdengar dari depan. Ia ingat jalan setapak di Rumah Awan, jadi ia mengabaikan jalan yang berkelok-kelok dan langsung menuju ke arah suara. Jika ada pohon atau semak di depannya, ia hanya memanjat atau melompati mereka.

Suara seruling semakin jelas. Guo Jing berjalan lebih cepat. Mengitari tikungan ia tiba di area semak berbunga putih. Lapisan demi lapisan bunga berkilau di bawah sinar bulan yang cerah. Begitu banyak, mereka tampak seperti danau putih kecil. Di tengah bunga-bunga putih itu ia melihat sesuatu yang besar dan tinggi, tampak kokoh. Di sini suara seruling tiba-tiba berubah. Terkadang tinggi, terkadang rendah, terkadang suara itu datang dari depan, terkadang berpindah ke belakang. Ia mengira suara itu datang dari timur, tetapi ketika ia bergegas ke timur, suara itu pindah ke barat, ketika ia mengejar ke utara, suara itu dengan cepat berpindah ke selatan. Kedengarannya seperti lebih dari sepuluh orang memainkan seruling di sekelilingnya. Suara seruling ini benar-benar membuatnya gila.

Setelah berlarian seperti itu beberapa saat, kepala Guo Jing terasa berputar, jadi ia memutuskan untuk berhenti berlari dan langsung berjalan menuju benda besar di tengah danau bunga putih itu. Ternyata itu adalah kuburan. Ada sebuah batu nisan di depan makam dengan tulisan, Makam harum Nyonya Pemilik Pulau Bunga Persik Feng Heng, dalam sebelas karakter besar.

Ini pasti makam ibu Rong’er, pikir Guo Jing. “Rong’er kehilangan dia sejak masih kecil, itu sangat menyedihkan.” Ia berlutut di depan makam dan bersujud empat kali untuk memberikan penghormatan.

Suara seruling tiba-tiba berhenti ketika Guo Jing sedang berlutut. Segala sesuatu di sekitarnya terasa sunyi, tetapi begitu ia berdiri, suara seruling itu berlanjut. “Aku tidak peduli ini pertanda keberuntungan atau sial, aku akan mengikuti suaranya,” pikir Guo Jing.

Sekali lagi ia berjalan di antara tumbuh-tumbuhan mengikuti seruling. Dan lagi-lagi karakteristik suara seruling itu berubah. Mula-mula terdengar seperti tawa, namun tiba-tiba berubah menjadi amarah. Hal itu mempengaruhi perasaannya tanpa akhir. Denyut nadi Guo Jing semakin cepat, “Kenapa nada ini begitu enak di telingaku?” pikirnya, terpesona.

Irama lagu itu meningkat, mendesaknya untuk bangun dan menari. Guo Jing merasakan dorongan itu, wajahnya memerah dan ia merasakan darahnya mengalir semakin cepat melalui ratusan pembuluh darahnya. Ia segera duduk di tanah dan bermeditasi seperti yang diajarkan Ma Yu kepadanya, menyalurkan tenaga dalamnya ke seluruh tubuh.

Mula-mula hatinya terguncang, beberapa kali ia merasakan dorongan untuk berdiri dan menari mengikuti irama. Setelah menarik dan menghembuskan napas beberapa kali, hatinya menjadi tenang, pikirannya menjadi jernih. Tidak peduli irama seruling itu berubah seperti apapun, ia mendengarnya seperti suara ombak laut, atau seperti angin sepoi-sepoi di puncak pohon. Ia merasakan dan tian-nya penuh dengan energi, seluruh tubuhnya terasa nyaman. Ia tidak lagi merasa lapar atau haus. Ia tahu bahwa ketika ia mencapai keadaan ini, elemen eksternal tidak akan dapat mempengaruhinya lagi. Ia perlahan membuka matanya dan melihat dalam kegelapan sekitar dua zhang jauhnya, sepasang mata cerah menatap lurus ke arahnya.

Ia terkejut. “Binatang apa itu?” pikirnya sambil melompat mundur beberapa langkah. Tapi tiba-tiba mata itu menghilang. “Pulau Bunga Persik ini benar-benar aneh,” pikirnya. “Bahkan macan tutul atau rubah yang gesit tidak akan bisa bergerak secepat itu.” Ia ragu sejenak dan kemudian mendengar suara napas yang agak memburu. Itu pernapasan manusia. Kemudian ia menyadari, “Itu manusia! Mata berbinar itu miliknya. Aku tidak melihatnya lagi karena dia menutup matanya, tapi dia sebenarnya masih di sini.” Berpikir begitu ia lalu menertawakan kebodohannya sendiri, tetapi tidak jelas baginya apakah orang itu sebetulnya teman atau musuh, jadi ia tidak berani bersuara dan hanya membuka matanya lebar-lebar untuk mengamati dengan tenang.

Pada saat itu irama seruling mendayu-dayu, membawa perasaan yang penuh gairah dan merayu menyerupai seorang wanita yang mendesah dan mengerang, lalu bergumam pelan, di saat lain suara itu mejadi liar dan bergairah.

Guo Jing masih muda dan meskipun ia telah berlatih kungfu sejak kecil, ia tidak tahu banyak tentang hubungan seksual. Ia merasa irama seruling itu mempengaruhi emosinya dan melodinya mempesona jiwa, tapi ia tidak terlalu memikirkannya. Tetapi tidak demikian halnya dengan pria yang satunya. Ia terengah-engah dan mengerang pelan. Kedengarannya ia sedang berjuang dengan seluruh kekuatannya hanya untuk menahan bujukan yang datang dari seruling.

Hati Guo Jing tergerak oleh belas kasihan terhadap pria ini, dan perlahan ia mendekatinya. Pepohonan di tempat ini lebat dan bulan bersinar terang, namun sinar bulan tidak dapat menembus rimbunnya dahan dan dedaunan. Guo Jing berjalan mendekat dan baru kemudian samar-samar ia bisa melihat penampilan pria itu. Ia sedang duduk bersila. Rambutnya panjang hampir menyentuh tanah dan alis, kumis dan jenggotnya juga panjang menutupi mulut dan hidungnya. Tangan kirinya di dadanya, tangan kanannya di punggungnya.

Guo Jing tahu bahwa itu adalah salah satu posisi untuk melatih tenaga dalam yang diajarkan oleh Dan Yang Zi, Ma Yu, di atas bukit tandus di padang rumput Mongolia. Itu adalah teknik untuk menutup hati dan pikiran seseorang. Kalau orang menguasainya dengan sempurna, bahkan jika guntur bergemuruh dan kilatan cahaya, atau air menyembur dan menciptakan tanah longsor, semua itu tidak akan mengganggunya sama sekali. Pria ini sepertinya memiliki ilmu tenaga dalam tingkat tinggi ini, tapi kenapa ia tidak bisa mengendalikan diri dan takut akan suara seruling?

Irama seruling semakin cepat dan tubuh pria itu bergoyang dan berkedut. Beberapa kali ia melompat beberapa meter dari tanah dan setelah berjuang sekuat tenaga ia akhirnya bisa duduk lagi. Guo Jing melihat siklus ini terjadi beberapa kali. Ia akan tenang sesaat, lalu gelisah, sebelum menjadi tenang lagi, tetapi siklusnya makin lama makin pendek. Guo Jing tahu bahwa pria itu kalah dalam pertarungan, jadi ia mulai menguatirkan keselamatannya.

Seruling itu memainkan dua melodi yang lebih rumit lagi dengan lembut. Tiba-tiba pria itu berteriak, “Sudahlah! Sudahlah” dan hendak melompat. Guo Jing menyadari waktunya sangat kritis, tanpa pikir panjang ia bergegas maju dan mengulurkan tangannya menekan bahu pria itu. Tangan kanannya menotok jalan darah Da Zhui Xue di lehernya. Ia ingat ketika berlatih di tebing Mongolia itu, setiap kali pikirannya bermasalah dan tidak dapat mencapai ketenangan, Ma Yu akan dengan lembut mengetuk titik akupuntur Da Zhui miliknya dan itu membantu menenangkannya. Tenaga dalamnya tidak sekuat Ma Yu sehingga ia tidak bisa membantu pria ini mengatasi suara seruling, tetapi karena pukulannya tepat, lelaki tua berambut gondrong itu bisa menenangkan diri. Ia menutup matanya dan sepertinya ia mulai terkendali.

Dalam hati Guo Jing senang. Tiba-tiba ada yang memakinya. ”Xiao Chusheng! Kau mengacaukan urusanku!” Seruling itu tiba-tiba berhenti. Guo Jing menoleh dan tidak melihat siapa pun, tapi suara itu terdengar seperti Huang Yaoshi. Ia jadi cemas dan menyesali perbuatannya. “Aku tidak tahu orang tua berambut panjang ini baik atau jahat, dan aku membantunya tanpa pikir panjang. Aku jelas membuat ayah Rong’er lebih marah. Kalau orang tua ini ternyata penganut ajaran sesat atau penjahat, maka aku baru saja melakukan kesalahan besar!”

Ia mendengar napas orang itu berangsur-angsur mulai teratur. Guo Jing menahan keinginannya untuk bertanya. Ia hanya duduk diam di hadapannya, memejamkan mata dan memanfaatkan waktu untuk bermeditasi. Dengan segera ia bisa menenangkan diri dan mencapai keadaan hampa. Ia lupa waktu dan membuka matanya ketika bintang pagi mulai meredup di bawah cahaya fajar.

Matahari pagi bersinar melalui pepohonan dan bunga-bunga, menyinari wajah orang tua itu. Guo Jing bisa melihatnya dengan jelas sekarang, rambut dan janggutnya tidak seluruhnya putih dan hanya Tuhan yang tahu sudah berapa tahun pisau cukur tidak menyentuh kepalanya. Ia tampak seperti manusia primitif yang tinggal di gua-gua.

Tiba-tiba orang tua itu membuka matanya. Sinar matanya cerah dan berbinar-binar. Ia tersenyum ringan dan bertanya, “Di antara Tujuh Pendekar Quanzhen itu, siapa yang jadi gurumu?”

Guo Jing melihat wajahnya yang ramah, ia menjadi tenang. Ia membungkuk dan berkata, ”Dizi Guo Jing, memberi salam kepada qianbei! Dizi murid Tujuh Pendekar dari Jiangnan!”

Orang tua itu tampak terkejut. “Tujuh Pendekar dari Jiangnan? Itu Ke Zhen’E dan lain-lainnya. Mana mungkin mereka mengajarimu tenaga dalam Quanzhen?”

“Sebenarnya, Ma Dao Zhang yang menghabiskan dua tahun mengajar murid ini, tetapi ia tidak mengijinkanku masuk ke dalam pintu gerbang Perguruan Quanzhen,” jawab Guo Jing.7

Orang tua itu tertawa terbahak-bahak dan kemudian membuat ekspresi lucu. Ia terlihat sangat lucu, seperti anak kecil yang sedang bercanda. “Jadi begitu,” katanya, “Bagaimana kau datang ke Pulau Bunga Persik?”

Huang Daozhu yang menyuruhku datang,” jawab Guo Jing.

Air muka orang tua itu mendadak berubah. “Untuk apa?” tanyanya.

“Dizi menyinggung Huang Daozhu,” jawab Guo Jing. “Dizi datang ke sini untuk menerima nasib.”

“Kau bicara sejujurnya?” tanya orang tua itu.

“Dizi tidak berani berbohong,” jawab Guo Jing.

Orang tua itu menganggukkan kepalanya. “Bagus sekali! Duduk!” katanya memerintah.

Guo Jing duduk di atas batu besar dan ia dapat melihat dengan jelas bahwa orang tua itu sedang duduk di dalam gua, di dinding batu.

“Selain guru-gurumu, siapa lagi yang mengajarimu kungfu?” tanya orang tua itu lagi.

“Dewa Pengemis Sembilan Jari, Hong Qianbei yang baik…” kata Guo Jing.

Air muka orang tua itu berubah lagi. Agak aneh, tampaknya seperti ia ingin tersenyum tapi ditahan. “Hong Qigong juga mengajarimu kungfu?” selanya.

Muka orang tua itu tampak seperti kegirangan dan sekaligus iri. “Kau juga bisa Delapan Belas Jurus Penakluk Naga? Ilmu itu sangat menakjubkan! Bagaimana kalau kau mengajari aku? Aku akan mengangkatmu jadi guruku.” Tapi kemudian ia menggeleng-gelengkan kepalanya. “Tidak bisa! Tidak mungkin! Sebagai murid Si Tua Hong tenaga dalammu tidak bisa sekuat itu. Apa Pengemis Hong itu mengajarimu tenaga dalam?”

Orang tua itu mendongak dan berpikir keras, “Kelihatannya dia sangat muda. Kalaupun dia latihan tenaga dalam di dalam perut ibunya pun, tetap saja hanya tenaga delapan belas atau sembilan belas tahun. Bagaimana dia bisa menahan suara seruling, dan aku tidak?” Ia tenggelam dalam pikirannya sejenak, lalu memandang Guo Jing dari atas ke bawah dan mengulang lagi dari bawah ke atas. Ia mengulurkan telapak tangan kanannya dan berkata, “Dorong telapak tanganku. Aku ingin menguji kungfumu.”

Guo Jing menurut, ia mengulurkan telapak tangan kanannya dan mendorong. Pria tua itu berkata, ”Qi di dan tian dan dorong keras-keras!” Guo Jing mengerahkan tenaganya. Pria tua itu menarik telapak tangannya sedikit lalu mendorong keras sambil berteriak, “Awas!”

Guo Jing merasakan gelombang tenaga yang kuat mendorongnya. Ia tidak bisa menahannya, jadi ia menggunakan tangan kirinya untuk memperkuat telapak tangan kanannya. Anehnya orang tua itu membalik telapak tangannya dan mendorong pergelangan tangan Guo Jing dengan empat jari. Kekuatan jari-jari ini cukup untuk membuat Guo Jing terbang mundur tujuh atau delapan langkah hingga punggungnya menabrak pohon. Baru saat itulah Guo Jing berhasil berdiri dengan mantap.

“Kungfunya tidak jelek, tapi juga tidak ada yang luar biasa,” gumam orang tua itu. “Tapi bagaimana dia bisa menahan Irama Gelombang Laut Biru dari Si Sesat Tua Huang?”

Guo Jing merasa dadanya sesak, ia heran, “Kungfu orang ini kira-kira setingkat dengan Shifu dan Huang Yaoshi. Bagaimana mungkin ada pendekar sekaliber dia di Pulau Bunga Persik? Mungkinkah dia Racun Barat atau Kaisar Selatan?” Segera setelah ia ingat Racun Barat, hatinya menjadi dingin, “Apa mungkin aku tertipu akal bulusnya?” Ia buru-buru mengangkat telapak tangannya di bawah sinar matahari dan memeriksanya. Ia tidak melihat peradangan atau tanda hitam, ia merasa lega, setidaknya ia tidak diracuni.

“Kau bisa menebak siapa aku?” tanya orang itu sambil tertawa.

“Dizi mendengar orang mengatakan bahwa di dunia persilatan ada lima pendekar besar. Pendiri Perguruan Quanzhen, Wang Qianbei telah meninggal dunia, dizi pernah bertemu dengan Dewa Pengemis Sembilan Jari, Hong Shifu, dan juga pemilik Pulau Bunga Persik. Apa mungkin Lao Qianbei ini Ouyang Qianbei atau Kaisar Duan?”

“Kau pikir kungfuku setara dengan Pengemis Utara dan Si Sesat Timur ya?” tanya orang tua itu sambil tersenyum.

“Kungfu dizi biasa saja, dan pengalaman dizi juga tidak banyak, dizi tidak berani bicara sembarangan. Tapi waktu qianbei mendorong dizi tadi, dizi bisa bilang dengan yakin bahwa selain Hong Shifu dan Huang Daozhu, dizi belum pernah bertemu orang lain yang punya tenaga sebesar itu,” kata Guo Jing.

Orang tua itu senang sekali mendengar pujian Guo Jing, mukanya terlihat seperti anak-anak yang kegirangan. “Aku bukan Racun Barat Ouyang Feng, dan juga bukan Kaisar Duan,” katanya sambil tersenyum lebar. “Ayo tebak lagi.”

Guo Jing ragu-ragu. “Dizi pernah bertemu dengan seseorang yang namanya terkenal seperti Hong Shifu, namanya Qiu Qianren. Tapi kungfu orang itu biasa saja. Dizi benar-benar tidak pintar, dizi tidak bisa menebak nama qianbei,” katanya.

Orang tua itu tertawa terbahak-bahak. “Margaku Zhou,” katanya. “Kau bisa menebak sekarang?”

“Ah, kau Zhou Botong?” sembur Guo Jing. Saat kata-kata itu keluar dari mulutnya, Guo Jing terpaku. Menyebutkan nama tokoh senior begitu saja bisa dianggap tidak sopan. Ia dengan cepat membungkuk dan meminta maaf, “Dizi sudah bersikap tidak hormat, Zhou Qianbei tolong maafkan dizi.”

Orang tua itu tertawa. “Kau benar! Aku Zhou Botong. Namaku memang Zhou Botong, dan kau memanggilku Zhou Botong. Kapan kau bersikap tidak hormat? Pendiri Aliran Quanzhen, Wang Chongyang, adalah kakak seperguruanku. Ma Yu, Qiu Chuji, dan yang lainnya adalah keponakan seperguruanku. Kau bukan murid Quanzhen, kau tidak perlu memanggilku Qianbei ini, Qianbei itu, panggil saja aku Zhou Botong.”

“Dizi mana berani begitu?” kata Guo Jing.

Zhou Botong sudah lama tinggal di Pulau Bunga Persik, ia bosan dan sekarang Guo Jing tiba-tiba datang. Bicara dengannya, ia menemukan kelegaan, ia sangat senang. Tiba-tiba sebuah pikiran aneh muncul di benaknya. “Sobat kecil, bagaimana kalau kau dan aku menjadi saudara angkat?” tanyanya.

Tidak peduli seaneh apa ucapannya tadi, yang ini adalah yang paling aneh dari semuanya. Guo Jing melongo, ia menatap Zhou Botong tak percaya, ia pikir Zhou Botong sedang bercanda. Setelah beberapa saat akhirnya ia membuka mulutnya, “Dizi jauh di bawah Pendeta Ma dan Pendeta Qiu. Dizi seharusnya memanggil qianbei sebagai Tai Shifu.”

Zhou Botong melambaikan tangannya. “Kungfuku berasal dari kakak seperguruanku. Ma Yu, Qiu Chuji, dan yang lainnya tidak menganggapku senior mereka. Mereka juga tidak menghormatiku sebagai senior. Kau bukan anakku, aku bukan ayahmu. Kita tidak punya perbedaan generasi tua-muda.” Saat berbicara ia mendengar langkah kaki mendekat, seorang pelayan tua muncul membawa keranjang makanan. Zhou Botong berseri-seri, “Makanan kita datang!”

Pelayan membuka keranjang dan mengeluarkan empat piring makanan, dua kendi arak dan keranjang anyaman penuh nasi. Ia meletakkan makanan di depan Zhou Botong di atas sebuah batu besar, menuangkan dua cawan arak dan berdiri diam di satu sisi.

“Di mana Nona Huang? Kenapa dia tidak datang mencariku?” tanya Guo Jing. Pelayan itu menggelengkan kepalanya, menunjuk ke telinga dan mulutnya, menandakan bahwa dia tuli dan bisu.

“Huang Yaoshi menusuk gendang telinganya. Kau bisa menyuruhnya membuka mulut lebar-lebar dan melihatnya,” kata Zhou Botong sambil terkekeh.

Guo Jing memberi isyarat, meminta pelayan itu untuk membuka mulutnya. Guo Jing kaget dan ketakutan. Lidah pelayan itu telah dipotong menjadi dua.

“Para pelayan Pulau Bunga Persik semuanya seperti itu,” kata Zhou Botong. “Kau sudah datang ke sini, dan kalau kau tidak mati, kau juga akan berakhir seperti mereka.”

Guo Jing mendengar apa yang dikatakannya dan terdiam lama. “Bagaimana mungkin ayah Rong’er begitu kejam?” pikirnya.

“Si Sesat Tua Huang itu menyiksaku setiap malam,” lanjut Zhou Botong. “Aku tidak ingin mengaku kalah. Tadi malam aku hampir jatuh ke tangannya, kalau bukan karenamu, adikku, usahaku selama lebih dari sepuluh tahun untuk melawannya mungkin akan hancur dalam satu malam. Ayo adik kecil, kita punya arak dan makanan. Hari ini kita akan bersumpah untuk menjadi saudara angkat, di masa depan kita akan berbagi rejeki dan menanggung kesulitan bersama. Tahun itu ketika Wang Chongyang dan aku menjadi saudara angkat, ia juga menentang dengan segala cara… Mengapa? Kau benar-benar tidak tahu? Kungfu kakak seperguruanku, Wang Chongyang, jauh lebih tinggi dari aku. Itu sebabnya dia tidak mau bersumpah menjadi saudara denganku. Apa kungfumu juga jauh lebih tinggi dari aku? Kukira tidak.”

“Kungfu dizi jauh di bawahmu,” jawab Guo Jing. “Aku tidak pantas mengangkat saudara denganmu.”

“Kalau kau bilang untuk mengangkat saudara orang harus punya tingkat kungfu yang sama, maka aku harus bersumpah saudara dengan Si Tua Huang, atau Racun Tua,” kata Zhou Botong. “Itu konyol! Aku hanya suka bertarung dengan mereka! Apa kau mau aku bersumpah saudara dengan orang tuli dan bisu ini?” Ia menunjuk ke pelayan tua itu dan melompat-lompat marah.

Guo Jing melihat wajahnya yang merah dan ia cepat-cepat berkata, “Dizi dan Qianbei terpisah dua generasi. Kalau dizi mengikuti arahan Qianbei, orang akan menertawakan kita dan mengejek dizi. Kalau dizi bertemu Pendeta Ma dan Pendeta Qiu, dizi akan sangat malu.”

“Kau banyak pertimbangan ini-itu. Kau tidak mau bersaudara denganku karena aku terlalu tua,” gerutunya. Zhou Botong menutupi wajahnya dan menangis sambil tanpa sadar menarik jenggotnya.

Guo Jing dengan gugup melambaikan tangannya, “Dizi akan melakukan apa pun yang Qianbei perintahkan.”

Zhou Botong menangis lebih keras lagi. “Kau bilang begitu karena paksaanku, kau terpaksa setuju, itu tidak masuk hitungan. Nantinya kalau ada orang bertanya, kau akan bilang itu sepenuhnya salahku. Aku tahu kau tidak mau memanggilku kakakmu.”

Guo Jing diam-diam merasa geli. Masa orang setua itu tidak bertingkah sesuai usianya. Ia melihatnya mengambil piring dan melemparkannya ke luar, ia ngambek dan tidak mau makan lagi. Pelayan tua itu segera mengambilnya, ia tidak tahu apa yang sedang terjadi dan jadi ketakutan.

Guo Jing tidak punya pilihan, sambil menahan tawa ia berkata, “Karena Kakak sudah begitu baik, masa Adik tidak mau menerima? Ayo kita menggunakan tanah sebagai pengganti dupa dan menjadi saudara angkat.”

Zhou Botong tersenyum di balik air matanya. “Aku sudah bersumpah di depan Si Sesat Huang, selama aku tidak bisa mengalahkannya, aku tidak akan pernah meninggalkan lubang ini kecuali untuk buang air besar atau kencing. Aku akan bersujud di dalam, kau bersujud di luar,” katanya.

“Kalau kau tidak bisa mengalahkan Huang Qianbei, kau akan tinggal di lubang ini seumur hidupmu?” pikir Guo Jing. Tapi ia tidak mengatakan apa-apa dan hanya berlutut di tanah.

Zhou Botong berlutut di sampingnya, dengan tegas ia berkata, “Hari ini Bocah Tua Nakal8, Zhou Botong, dan Guo Jing bersumpah saudara9. Kami akan saling berbagi suka dan duka. Kalau aku melanggar sumpah ini, semoga kungfuku musnah, supaya aku bahkan tidak bisa melawan anak anjing atau anak kucing.”

Guo Jing mendengar ia menyebut dirinya ‘Bocah Tua Nakal’, dan sumpahnya agak aneh, ia tidak bisa menahan senyum. Zhou Botong menatapnya. “Buat apa kau senyam-senyum? Ayo cepat ucapkan sumpahmu.” Guo Jing dengan cepat mengucapkan sumpahnya, lalu keduanya menyiramkan arak ke tanah. Guo Jing kemudian memberi hormat kepada kakak angkatnya yang baru.

Zhou Botong tertawa terbahak-bahak dan berteriak keras, “Cukup! Cukup!” Ia menuangkan arak lagi dan minum. “Si Sesat Tua Huang itu sangat pelit, hanya memberiku arak hambar. Suatu hari seorang nona kecil datang dan membawakan arak yang enak. Sayang sekali dia tidak pernah datang lagi.”

Guo Jing ingat Huang Rong pernah menceritakan bagaimana ia mencuri arak dan membawanya ke Zhou Botong, karena itu ia dimarahi oleh ayahnya. Ini membuatnya meninggalkan pulau itu dengan marah. Sepertinya Zhou Botong tidak menyadarinya. Guo Jing lapar sepanjang hari, ia tidak ingin minum arak apapun, tetapi ia makan lima mangkuk besar nasi. Sekarang setidaknya ia kenyang. Begitu keduanya selesai makan, pelayan tua itu membersihkan dan mengambil kembali sisa makanannya.

“Adikku,” tanya Zhou Botong. “Bagaimana caramu menyinggung Si Tua Huang itu, coba ceritakan kepada kakakmu ini.”

Guo Jing kemudian menceritakan bagaimana ia secara tidak sengaja membunuh Chen Xuanfeng waktu masih kecil. Bagaimana di Rumah Awan ia bertarung dan mengalahkan Mei Chaofeng, bagaimana Huang Yaoshi mempersulit Enam Orang Aneh dari Jiangnan, bagaimana karena itu ia berjanji untuk datang ke Pulau Bunga Persik dalam waktu satu bulan untuk mati, ia memberi tahu Zhou Botong segalanya.

Zhou Botong suka mendengarkan cerita, ia menundukkan kepalanya, menyipitkan mata, dan mendengarkan dengan antusias. Ketika Guo Jing menceritakan sesuatu secara singkat, ia akan menanyakan setiap detilnya. Setiap kali Guo Jing berhenti sejenak, ia mendesaknya, “Lalu apa yang terjadi?”

“Lalu aku tiba di sini,” kata Guo Jing mengakhiri ceritanya.

Zhou Botong ragu sejenak. “Hmm… jadi ternyata gadis cilik yang cantik itu adalah putri dari Si Sesat Huang. Dia baik kepadamu. Mengapa dia menghilang segera setelah tiba di pulau ini? Pasti ada alasannya, mungkin Si Sesat Tua Huang mengurungnya.”

Kekuatiran Guo Jing tergambar jelas di mukanya. ”Dizi juga berpikir begitu…”

Muka Zhou Botong berubah. “Kau bilang apa?” bentaknya.

Guo Jing baru sadar ia membuat kesalahan, dan buru-buru berkata, “Adikmu barusan ngomong sembarangan, tolong jangan pedulikan aku, Kakak!”

Zhou Botong tersenyum. “Caramu memanggilku tidak boleh salah. Kalau kau harus memanggilku dengan nama apa pun, lebih baik kau memanggilku Laopo, atau Mama, atau Nu’er. Enggak, jangan sampai salah!,” ujarnya. Guo Jing setuju.

Zhou Botong menyandarkan kepalanya dan bertanya, “Coba tebak bagaimana aku bisa sampai di sini?”

“Adikmu baru saja ingin bertanya,” kata Guo Jing.

“Ceritanya panjang, aku akan menceritakan selengkapnya,” kata Zhou Botong. “Kau pernah dengar lima pendekar besar, Sesat Timur, Racun Barat, Kaisar Selatan, Pengemis Utara, dan Dewa Pusat, mengadakan pertarungan di Hua Shan?”

Guo Jing menganggukkan kepalanya. “Aku dengar dari cerita orang.”

“Saat itu di tengah musim dingin di Hua Shan,” lanjut Zhou Botong. “Puncaknya tertutup salju tebal. Lima orang pendekar bertarung selama tujuh hari tujuh malam berturut-turut. Pada akhirnya Sesat Timur, Racun Barat, Kaisar Selatan, dan Pengemis Utara mengakui bahwa kakak seperguruanku, Wang Chongyang adalah nomor satu di dunia. Kau tahu tahu mengapa kelima orang itu bertarung di Hua Shan?”

“Soal itu adikmu belum pernah dengar,” jawab Guo Jing.

“Itu karena sebuah kitab…” kata Zhou Botong.

Jiu Yin Zhen Jing!” seru Guo Jing.

“Betul!” kata Zhou Botong. “Adikku, kau masih muda, tapi pengetahuanmu tentang urusan dunia persilatan tidak dangkal! Kau tahu asal-usul Kitab Sembilan Bulan itu?”

“Soal itu aku sungguh tidak tahu,” kata Guo Jing.

Zhou Botong dengan main-main menarik telinga dan rambutnya yang panjang dan wajahnya menunjukkan bahwa ia sangat puas dengan dirinya sendiri. “Beberapa saat yang lalu kau menceritakan cerita yang sangat menarik, sekarang…”

“Yang kuceritakan bukan sekedar cerita, itu benar-benar terjadi,” sela Guo Jing.

“Apa bedanya? Asalkan enak didengar,” kata Zhou Botong. “Banyak orang menghabiskan hidup mereka untuk makan, tidur, kencing dan berak. Kalau orang-orang itu menceritakan setiap detail kehidupan mereka, Lao Wantong bisa mati sesak napas!”

Guo Jing menganggukkan kepalanya. “Betul,” katanya. “Lalu kenapa Dage tidak menceritakan soal Jiu Yin Zhen Jing itu?”

“Kaisar Hui Zong di tahun Zheng He ingin mengumpulkan semua kitab dan buku dari aliran Tao dari seluruh dunia. Dia ingin mengedarkan buku-buku itu, yang semuanya terdiri dari 5481 bab. Mereka menyebutnya Panduan Agama Tao tentang Kehidupan Abadi. Kaisar menugaskan seseorang untuk memimpin pelaksanaan misi itu, dia disebut Huang Shang10…”

“Dia juga dari keluarga Huang?” tanya Guo Jing.

“Bah! Apa sih istimewanya keluarga Huang?” Zhou Botong meludah. “Orang ini tidak ada kaitannya dengan Si Sesat Tua Huang Yaoshi, jangan salah kaprah! Banyak orang bermarga Huang di dunia ini, Anjing Kuning11 atau Kucing Kuning12 juga bermarga Huang.”

Dalam hati Guo Jing merasa seekor anjing kuning atau kucing kuning juga belum tentu punya nama yang mengandung karakter ‘Huang’, tapi ia tidak ingin berdebat, maka ia membiarkan Zhou Botong meneruskan uraiannya.

“Si Sesat Tua Huang itu juga tidak sepintar Huang Shang ini,” lanjut Zhou Botong. Guo Jing ingin mengatakan, “Ternyata dia juga orang yang sangat cerdas.” Tapi kalimat itu terhenti di ujung lidahnya.

“Huang Shang yang ini sangat takut akan membuat kesalahan dalam penulisan kanon, karena jika Kaisar mengetahuinya nanti, kepalanya pasti akan copot! Makanya ia membaca berulang-ulang setiap jilid untuk memastikan karyanya bebas dari kesalahan. Di luar dugaan setelah beberapa tahun mempelajari kitab suci, dia jadi sangat akrab dengan doktrin Tao, dia telah menemukan kunci utama ilmu silat di dalamnya. Dia tidak punya guru, jadi dia melatih sendiri ilmu tenaga dalam dan tenaga luar, dan menjadi pendekar besar kungfu. Saudaraku, Huang Shang ini jauh lebih pintar darimu. Aku tidak punya kecerdasan seperti dia dan kurasa kau juga tidak.”

“Tentu saja,” kata Guo Jing. “Kalau aku harus mempelajari lebih dari lima ribu bab tulisan kitab suci, akan membutuhkan waktu seumur hidup hanya untuk membacanya dari awal sampai akhir. Bagaimana aku bisa memahami kungfu yang ada di dalamnya?”

Zhou Botong menghela nafas. “Orang-orang cerdas seperti ini masih ada di dunia saat ini,” katanya, “Tapi kalau kau ketemu orang-orang seperti ini, kemungkinan besar kau akan mengalami nasib sial!”

Guo Jing tidak setuju dengan pandangannya dan diam-diam berpikir, “Rong’er sangat cerdas, tapi sejak aku bertemu dengannya aku selalu menemukan keberuntungan. Bagaimana dia bisa mengatakan ‘sial’?” Tapi dia bukan tipe orang yang suka berdebat, jadi ia menyimpan pikirannya dalam hati.

“Huang Shang sudah menguasai kungfu, tapi dia masih memegang jabatan di pemerintahan,” lanjut Zhou Botong. “Ada saatnya tiba-tiba muncul gerakan keagamaan di kerajaan, mereka menyebut diri mereka Sekte Ming. Dikatakan bahwa gerakan ini berasal dari Asia Tengah, sebuah tempat bernama Persia. Para pengikut Sekte Ming ini, pertama – tidak menyembah Maha Guru Lao, kedua – tidak menyembah roh leluhur, ketiga – tidak menyembah Buddha. Mereka hanya menyembah setan asing tua. Mereka tidak makan daging atau minum arak. Mereka vegetarian. Kaisar Hui Zong hanya percaya pada ajaran Tao, jadi segera setelah dia tahu tentang kultus setan13 ini, dia mengeluarkan dekrit kekaisaran yang menugaskan Huang Shang untuk memberantasnya. Tanpa diduga, ada banyak ahli kungfu di antara anggota sekte tersebut. Mereka tidak takut mati dan melawan Huang Shang dan pasukannya, membuat mereka tak berdaya. Setelah beberapa pertempuran, Huang Shang dan pasukannya menderita kekalahan besar. Huang Shang sangat marah. Dia keluar dan menantang para ahli kungfu Mo Jiao untuk bertarung satu lawan satu. Dia secara pribadi membunuh beberapa raja dan beberapa utusan. Bagaimana dia bisa tahu bahwa orang yang dia bunuh adalah murid dari tokoh Wulin yang terkenal? Beberapa orang dari mereka adalah paman guru, bibi, saudara, atau keluarga dekat mereka. Tentu saja orang-orang itu sangat marah dan mereka berkumpul untuk menghadapinya. Mereka memarahinya karena tidak menangani urusan sesuai dengan aturan main di dunia persilatan, yang dijawab oleh Huang Shang, ‘Aku adalah pejabat pemerintah dan bukan bagian dari dunia persilatan. Aku tahu apa soal adat istiadat dunia persilatan kalian?’ Mereka yang keluarga atau kerabatnya terbunuh berdebat, ‘Kalau kau bukan bagian dari dunia persilatan, lalu dari mana kau belajar kungfu? Apa maksudmu gurumu hanya mengajarimu kungfu tetapi tidak mengajarimu apa pun tentang peraturan di dunia persilatan?’ Huang Shang menjawab, ‘Aku tidak punya guru.’ Tentu saja mereka tidak percaya, jadi mereka terlibat dalam perdebatan sengit. Menurutmu apa yang terjadi?”

“Mereka mulai bertarung,” kata Guo Jing.

“Sudah jelas, kan?” kata Zhou Botong. “Kungfu Huang Shang sangat aneh, dan tidak ada orang yang pernah melihatnya sebelum itu. Karena itu dia dengan mudah bisa membunuh banyak orang dari mereka. Tapi musuhnya sangat banyak dan dia juga terluka dalam pertarungan, sehingga dengan putus asa dia melarikan diri. Musuh-musuh itu kemudian membantai orang tua, istri dan semua anak-anaknya.”

Mendengarkan bagian ini, Guo Jing menghela nafas. Ia berpikir bahwa orang yang berlatih kungfu pasti akan membunuh orang lain. Huang Shang ini tidak berbeda. seandainya ia tidak berlatih kungfu, ia tidak akan mengalami tragedi seperti itu.

“Si Huang Shang itu lari ke tempat sepi dan bersembunyi di sana,” lanjut Zhou Botong. “Di sana dia mencoba mengingat kembali kungfu musuhnya satu per satu. Dia dengan susah payah merenungkan bagaimana cara mengalahkan mereka satu per satu. Dia memutuskan bahwa begitu dia berhasil mengembangkan kungfu tandingan, dia akan kembali dan membalas dendam. Lama berlalu sebelum akhirnya dia bisa menguasai kungfu baru. Dia sangat senang dan berharap segera bisa membalaskan dendam keluarganya. Setelah itu dia meninggalkan gunung untuk mencari musuhnya. Di luar dugaan, orang yang dicarinya telah menghilang. Menurutmu apa yang terjadi pada mereka?”

“Mungkin musuhnya sudah tahu niatnya dan mereka tahu kungfunya sangat hebat, jadi mereka ketakutan dan bersembunyi,” tebak Guo Jing.

Zhou Botong menggelengkan kepalanya, “Bukan, bukan. Waktu kakak seperguruanku menceritakan soal ini, dia juga memintaku menebak apa yang terjadi dan aku juga mengatakan hal yang sama. Aku bahkan membuat tujuh atau delapan tebakan lain, tapi tidak ada yang benar.”

“Yah, kalau Dage menebak tujuh atau delapan kali tapi tidak satu pun benar maka aku tidak perlu menebak sama sekali. Bahkan kalau aku menebak tujuh puluh atau delapan puluh kali, aku pasti akan salah,” kata Guo Jing.

Zhou Botong tertawa terbahak-bahak, “Tidak bakalan, kau tidak punya kesempatan sama sekali! Baiklah, karena kau mengaku kalah, aku tidak akan menyuruhmu menebak lagi. Sebenarnya musuhnya yang berlusin-lusin itu sudah mati.”

Guo Jing berteriak tidak percaya. “Itu aneh! Mungkin teman-temannya atau mungkin murid-muridnya membalas dendam dan membunuh semua musuhnya?” katanya bertanya-tanya.

Sekali lagi Zhou Botong menggelengkan kepalanya, “Wah, bukan, bukan! Kau meleset seratus sampai delapan ribu li dari sasaran. Dia tidak punya murid. Dia seorang pejabat pemerintah, dan teman-temannya adalah sarjana, bukan pendekar silat, bagaimana mereka bisa membalas dendamnya?”

Guo Jing menggaruk kepalanya. “Mungkin mereka terserang suatu penyakit dan mati semua kena wabah?”

“Juga salah! Musuh-musuhnya terpencar, beberapa tinggal di Shandong, beberapa berasal dari Huguang, beberapa dari Hebei dan Liangzhe. Masa mereka bisa mati kena wabah yang sama?” tanya Zhou Botong, tapi kemudian ia berseru. “Ah! Ya ya! Itu benar! Beberapa wabah bisa membunuhmu di mana pun kau berada, bahkan jika kau lari ke ujung bumi. Kau bisa menebak wabah macam apa itu?”

Guo Jing menyebutkan tifus, cacar, disentri dan enam atau tujuh jenis penyakit lainnya, tapi Zhou Botong menggelengkan kepalanya. Akhirnya Guo Jing berseru, “Penyakit kaki dan mulut!” Kemudian ia pura-pura terkejut, menutup mulutnya, berdiri dan menepuk kepalanya dengan tangan kiri dan tertawa terbahak-bahak. “Aku bercanda! Penyakit kaki dan mulut adalah wabah ternak sapi di padang rumput Mongolia, itu tidak akan menyerang manusia.”

Zhou Botong juga tertawa terbahak-bahak. “Semakin kau menebak, kau jadi makin aneh. Huang Shang mencari kemana-mana sebelum akhirnya menemukan salah satu musuhnya. Itu seorang wanita. Ketika mereka awalnya bertarung, dia hanya seorang gadis berusia enam belas atau tujuh belas tahun, tetapi ketika Huang Shang menemukannya, dia sudah jadi seorang nenek berusia enam puluh tahun…”

Guo Jing melongo “Ini benar-benar aneh! Ah, benar, dia pasti menyamar jadi wanita tua supaya Huang Shang tidak mengenalinya.”

“Dia tidak menyamar,” jawab Zhou Botong. “Bayangkan saja, Huang Shang punya lusinan musuh, dan masing-masing dari mereka adalah ahli silat, masing-masing berasal dari perguruan kungfu atau keluarga terhormat. Bisa kau bayangkan betapa mendalam dan rumitnya masing-masing kungfu mereka? Dia ingin mengalahkan keahlian unik setiap orang, berapa banyak waktu yang dihabiskannya dengan susah payah untuk mencapai hasil seperti itu? Dia bersembunyi di daerah pegunungan terpencil dan rajin berlatih. Siang dan malam hanya kungfu yang memenuhi pikirannya, dia tidak peduli dengan hal lain, tanpa dia sadari semuanya itu makan waktu lebih dari empat puluh tahun.”

Guo Jing terperanjat. “Empat puluh tahun lebih!”

“Ya, benar,” tegas Zhou Botong. “Waktu kau benar-benar asyik mempelajari ilmu silat, empat puluh tahun akan berlalu dengan cepat. Aku sudah berada di sini selama lima belas tahun, tapi tidak terasa selama itu. Ketika Huang Shang melihat gadis muda itu telah berubah menjadi seorang nenek tua, hatinya dipenuhi emosi. Wanita tua itu sakit, terbaring di tempat tidur dan sekarat. Tanpa dia mengangkat tangan pun, dia akan mati dalam beberapa hari. Sakit hati dan kebencian puluhan tahun lenyap begitu saja tanpa bekas. Saudaraku, semua orang harus mati. Wabah yang kutanyakan sebelumnya adalah kematian. Ketika waktumu tiba, kau tidak bisa lari.”

Guo Jing diam-diam setuju. Zhou Botong melanjutkan, “Saudaraku dan tujuh muridnya, hari demi hari, mengabdikan diri untuk mencapai kesempurnaan hidup. Tetapi coba kasih tahu aku, apa memang mungkin untuk mengolah tubuh ajaib yang tidak akan tersentuh kematian? Itulah alasan aku tidak ingin mengikuti cara hidup hidung kerbau.”

Guo Jing melamun. Zhou Botong melanjutkan, “Beberapa musuh Huang Shang berusia sekitar empat puluh atau lima puluh tahun, tambahkan empat puluh tahun lebih, bagaimana mungkin mereka tidak mati? Hahaha… Sebenarnya ia tidak perlu repot-repot melatih ilmu silatnya dan mengembangkan teknik baru, yang harus dia lakukan hanyalah hidup lebih lama dari musuh-musuhnya. Empat puluh tahun lebih dan Surga yang akan menangani musuh untuknya.”

Guo Jing mengangguk. “Yah, kalau begitu mustinya aku mencari Wanyan Honglie untuk membalas dendam atau tidak?” pikirnya.

Zhou Botong kembali berkata, “Tetapi belajar kungfu dengan rajin bisa membawa kesenangan yang tak ada habisnya dalam hidup seseorang. Jika seseorang tidak berlatih kungfu, hal menarik apa lagi yang layak dilakukan? Ada mainan dan gadget yang tak ada habisnya di dunia, tetapi setelah bermain dengan mereka untuk beberapa saat kau akhirnya akan bosan. Dengan kungfu, semakin sering kau mainkan, semakin menarik jadinya. Saudaraku, kau setuju?”

Guo Jing hanya membuat suara ‘hmm’ tanpa keyakinan, tidak menunjukkan persetujuan atau ketidaksetujuannya. Ia mengakui bahwa mempelajari kungfu bisa menyenangkan, tapi itu juga kerja keras. Ia telah berlatih kungfu sejak masih sangat kecil, dan ia tidak bisa mengatakan bahwa pelatihan itu ‘menyenangkan’. Ia harus bekerja keras dan menderita, tanpa satu hari pun waktu luang.

Zhou Botong melihat ia tidak terlalu tertarik, “Mengapa kau tidak bertanya apa yang terjadi selanjutnya?” tanyanya.

Guo Jing buru-buru berkata, “Benar! Apa yang terjadi selanjutnya?”

Zhou Botong merajuk, “Kalau kau tidak kadang-kadang mendorongku, aku akan kehilangan minat untuk menceritakan kisah itu lagi.”

“Ya, ya, Dage, apa yang terjadi selanjutnya?” desak Guo Jing.

“Huang Shang berpikir, ‘Aku tahu, aku sudah tua sekarang dan tidak punya waktu terlalu lama untuk pekerjaan yang baik.’ Dia sudah menjalani lusinan tahun beratnya berusaha menguasai teknik bela diri dari hampir setiap perguruan kungfu di dunia. Tapi setelah bertahun-tahun, siapa yang akan menikmati pekerjaannya? Bagaimana dia bisa membiarkan pekerjaan seumur hidupnya sia-sia begitu saja? Oleh karena itu, dia memutuskan untuk menyusun teknik yang dikuasainya menjadi buku dua jilid. Buku apa itu?”

“Apa itu?” tanya Guo jing.

“Nah, jangan bilang kau tidak bisa menebak!” kata Zhou Botong.

Guo Jing berpikir sejenak. “Apa itu Jiu Yin Zhen Jing?”

“Kita sudah bicara setengah harian tentang asal-usul Jiu Yin Zhen Jing, kenapa masih tanya?” omel Zho Botong.

Guo Jing tersenyum. “Yah, adikmu cuma takut salah tebak lagi.”

Zhou Botong melanjutkan, “Setelah menyusun Jiu Yin Zhen Jing, Huang Shang menulisnya sebagai buku sastra terselubung, kakak seperguruanku kemudian mengetahuinya. Huang Shang menyembunyikan buku itu di tempat yang sangat rahasia, sehingga selama puluhan tahun tidak ada yang mengetahui keberadaannya. Entah kenapa buku ini muncul kemudian dan dunia persilatan sedang bermasalah. Semua orang ingin memegangnya. Itu adalah situasi anjing-makan-anjing. Kakak seperguruanku mengatakan bahwa para pendekar yang memperebutkan buku ini dan kehilangan nyawa mereka berasal dari seluruh penjuru dunia persilatan. Jumlahnya lebih dari seratus orang. Setiap kali seseorang memegangnya dan berlatih selama setengah tahun atau satu tahun, orang lain akan menemukan orang itu dan merebut buku itu. Siapa yang tahu berapa kali siklus itu berulang atau berapa nyawa yang harus dibayar. Orang yang mendapatkannya akan berusaha menghindari orang lain, tetapi orang yang mengejarnya sangat banyak dan pada akhirnya mereka akan selalu menemukan orang itu. Terkadang mereka menggunakan kekerasan, terkadang tipu daya dan aku tidak tahu berapa kali buku itu berpindah tangan.”

“Kalau itu masalahnya, maka buku ini sebenarnya adalah hal kutukan bagi umat manusia,” kata Guo Jing. “Kalau Chen Xuanfeng tidak memiliki buku ini, dia akan dapat hidup damai dengan Mei Chaofeng di desa terpencil dan Huang Daozhu tidak akan mencarinya. Kalau Mei Chaofeng tidak memiliki buku ini, dia tidak akan berada dalam kondisi buruk seperti hari ini.”

“Saudaraku, mengapa kau punya perasaan seburuk itu tentang buku itu?” tanya Zhou Botong. “Kungfu yang terkandung di dalam Jiu Yin Zhen Jing sangat mendalam dan luar biasa indah. Kalau seseorang bisa mempelajarinya sedikit saja, bagaimana mungkin kehidupan orang itu tidak berubah? Meskipun sudah menimbulkan bencana, apa hubungannya dengan itu? Bukankah aku mengatakan bahwa tidak semua orang mati karenanya?”

“Dage,” kata Guo Jing, “Itu karena kau begitu terpesona oleh kungfu.”

“Tidak perlu dikatakan lagi,” Zhou Botong tersenyum. “Mereka yang berlatih kungfu punya kesenangan yang tak ada habisnya. Orang biasa sangat bodoh, sebagian suka belajar untuk menjadi pejabat pemerintah, sebagian lagi menyukai emas atau perhiasan yang indah, beberapa menyukai wanita cantik, tetapi mereka yang menemukan kesenangan dalam ilmu silat bisa berbuat lebih banyak dalam keadaan darurat!”

“Aku sudah belajar sedikit kungfu yang dangkal, tetapi aku belum belajar untuk mendapatkan kesenangan tanpa akhir dari semua itu,” kata Guo Jing.

Zhou Botong menghela nafas. “Anak bodoh, anak bodoh, lalu mengapa kau berlatih ilmu silat?“.

“Guru-guruku menyuruh aku latihan, maka aku latihan,” jawab Guo jing.

Zhou Botong menggelengkan kepalanya. “Wah, kau benar-benar bodoh,” katanya. “Kuberitahu ya, seorang pria mungkin tidak menyukai apa yang dia makan, dia mungkin tidak mencintai hidupnya sendiri, tetapi dia tidak bisa tidak berlatih kungfu!”

Guo Jing menjawab sambil berpikir, “Saudaraku ini benar-benar kecanduan kungfu, dan itulah sebabnya dia bertingkah sangat gila.” Ia berkata, “Aku lihat Hei Feng Shuang Sha mempraktekkan kungfu dari Jiu Yin Zhen Jing, ternyata benar-benar jahat. Itu sama sekali tidak bisa dipraktekkan.”

Zhou Botong menggelengkan kepalanya. “Hei Feng Shuang Sha itu tidak berlatih dengan benar. Jiu Yin Zhen Jing itu lurus dan jujur, mana bisa jahat?”

Guo Jing melihat sendiri kungfu Mei Chaofeng, karena itu ia tidak percaya apa yang barusan didengarnya.

Zhou Botong bertanya, “Cerita kita sampai di mana tadi?”

“Kau bilang orang-orang di seluruh dunia saling berebut Jiu Yin Zhen Jing,” jawab Guo jing.

“Itu benar!” kata ZhouBotong. “Setelah itu masalah terus menjadi lebih besar dan lebih rumit sehingga orang-orang seperti Pemimpin Aliran Quanzhen, Majikan Pulau Bunga Persik, Si Tua Huang dan Ketua Kai Pang Hong harus turun tangan. Kelima orang itu sepakat untuk bertemu di Gunung Hua dan mengadakan kontes. Siapa pun yang punya kungfu tertinggi akan mendapatkan buku itu.”

“Dan buku itu jatuh ke tangan kakak seperguruanmu?” tanya Guo Jing.

Mata Zhou Botong berbinar. “Itu benar! Kakak seperguruanku Wang Chongyang dan aku teman baik, dia belum menjadi pendeta waktu kami jadi teman baik. Kemudian dia mengajari aku ilmu bela diri. Dia bilang aku latihan kungfu seperti orang gila dan terlalu serius, itu tidak cocok dengan cara Tao mencari kedamaian dan kesempurnaan. Itulah alasannya meskipun kungfuku berasal dari Quanzhen, kakak seperguruanku tidak membiarkan aku menjadi pendeta Tao. Tepatnya, itulah yang kuharapkan. Di antara murid-murid kakak seperguruanku, Qiu Chuji adalah yang punya kungfu paling tinggi. Kakak seperguruanku tidak menyukainya dan bilang Qiu Chuji menghabiskan terlalu banyak waktu untuk latihan kungfu dan lalai mengembangkan keyakinan Taonya. Dia bilang siapa pun yang ingin latihan kungfu harus melakukannya dengan rajin, sedangkan mereka yang memasuki jalan Tao harus melakukannya dengan hati yang sederhana. Keduanya tidak berjalan bersama dengan baik. Ma Yu mewarisi keyakinan Tao dari kakak seperguruanku, tetapi kungfunya sebenarnya lebih rendah dari Qiu Chuji dan Wang Chuyi.”

Wang Zhenren dari Quanzhen, bagaimana dia bisa menjadi seorang Pendeta Besar Tao, dan sekaligus ahli kungfu?” tanya Guo Jing.

“Bakat alaminya sangat luar biasa. Dia mampu menguasai ilmu silat dengan cukup mudah, sementara aku harus berlatih keras dan rajin.” jawab Zhou Botong. “Tadi kita cerita sampai di mana? Kenapa kau mengalihkan perhatianku?”

Guo Jing tersenyum. “Kau tadi bilang kakak seperguruanmu mendapatkan Jiu Yin Zhen Jing.”

“Itu benar,” kata Zhou Botong. “Setelah dia mendapatkan buku itu, dia tidak belajar apa-apa. Dia memasukkan buku itu ke dalam kotak batu dan menguburnya di bawah batu besar tempat dia duduk bermeditasi setiap hari. Rasanya aneh dan aku tanya ada apa. Dia tersenyum tetapi tidak mengatakan apa-apa. Aku jadi cemas, tapi dia hanya menyuruhku pergi dan memikirkannya. Coba tebak… mengapa dia melakukan hal itu?”

“Dia takut seseorang akan datang dan mencurinya?” tanya Guo Jing.

Zhou Botong berulang kali menggelengkan kepalanya, “Tidak, tidak! Siapa yang berani mencuri barang milik Guru Quanzhen, kecuali orang itu sudah bosan hidup?”

Guo Jing termenung lama. Tiba-tiba ia melompat dan berseru, “Benar! Buku itu harus disembunyikan baik-baik, atau lebih baik lagi, itu seharusnya dibakar!”

Zhou Botong tercengang, ia menatap Guo Jing tajam-tajam. “Kakakku saat itu mengatakan hal yang sama, tapi setiap kali dia akan melakukannya, dia ragu-ragu di saat-saat terakhir. Saudaraku, kau tidak sepintar itu, bagaimana kau bisa menebaknya?” tanyanya.

Guo Jing tersipu. “Kupikir kungfu Wang Zhenren sudah nomor satu di dunia, bahkan kalau dia berlatih sendiri dari kitab itu, dia akan tetap menjadi nomor satu. Aku juga berpikir bahwa niatnya pada pertemuan pedang di Hua Shan bukan untuk menjadi yang nomor satu, tetapi untuk mendapatkan Jiu Yin Zhen Jing ini. Dia menginginkannya, bukan untuk mendapatkan keuntungan, melainkan untuk menghindari pertumpahan darah lebih lanjut di antara para pendekar Wulin.”

Zhou Botong mengangkat kepalanya dan melihat ke langit, ia tampak seperti orang yang kehilangan semangat. Ia terdiam lama. Guo Jing jadi kuatir, ia takut telah mengatakan sesuatu yang salah dan menyinggung saudara barunya ini, yang punya temperamen aneh. Akhirnya Zhou Botong menghela nafas dan bertanya, “Bagaimana kau bisa memikirkan kebenaran ini?”

“Aku tidak tahu,” kata Guo Jing sambil menggaruk kepalanya. “Aku hanya mengira karena buku ini telah menyebabkan banyak kematian, bahkan jika itu adalah buku yang berharga, masih lebih baik jika dihancurkan.”

“Aku tahu alasannya, tapi aku tidak pernah memahaminya,” kata Zhou Botong. “Kakak seperguruanku sering bilang aku pintar dan secara alamiah berbakat untuk belajar kungfu, juga saya punya tekad untuk mencapai sukses, tapi katanya, pertama-tama aku terlalu terpesona dengan kungfu, dan kedua, aku tidak punya kepedulian terhadap orang lain. Bahkan kalaupun aku punya waktu seumur hidup untuk melatih diri dengan keras, aku tidak akan pernah mencapai kesempurnaan. Pada saat itu aku mendengarkannya, tetapi tidak mempercayainya dan kupikir, ‘Apa hubungannya latihan untuk menggerakkan kepalan atau tendangan atau menggunakan pedang dengan soal hati?’ Sekitar sepuluh tahun terakhir ini aku merenungkannya dan aku tidak bisa mempercayainya lagi. Saudaraku, hatimu lurus, pikiranmu luas. Sayang sekali kakak seperguruanku meninggal, kalau tidak aku yakin dia akan sangat menyukaimu, dan aku yakin dia akan menurunkan kungfunya yang tak tertandingi itu kepadamu. Kalau saja dia tidak mati…” Mengingat almarhum kakaknya, dia tiba-tiba membungkuk di atas batu dan menangis tersedu-sedu.

Guo Jing tidak begitu mengerti apa yang dikatakannya, tetapi melihat saudaranya menangis sedih, ia tidak bisa menahan rasa iba. Setelah beberapa saat, Zhou Botong tiba-tiba mengangkat kepalanya dan berkata, “Ah! Cerita kita belum selesai, mari kita selesaikan, lalu kita bisa menangis lagi. Sampai dimana kita? Kenapa kau tidak membujukku supaya tidak menangis?”

Guo Jing tersenyum dan berkata, “Kau memberitahuku tentang bagaimana Wang Zhenren menyembunyikan Jiu Yin Zhen Jing di bawah batu besar.”

Zhou Botong menepuk pahanya dan berkata, “Benar! Dia menyembunyikan buku itu di bawah batu besar. Aku bertanya apa aku boleh melihatnya, tetapi dia marah. Setelah itu aku tidak berani menanyakannya lagi. Dunia persilatan kembali menikmati kedamaian dan ketenangan untuk sementara waktu. Kemudian kakak seperguruanku meninggal, dan pada saat kematiannya terjadi gangguan yang cukup besar di dunia persilatan.”

Ketika Guo Jing mendengar nada suaranya ia jadi gelisah, jelas bahwa gangguan itu pasti tidak kecil. Ia membuka telinganya dan mendengarkan dengan penuh perhatian. Zhou Botong melanjutkan, “Kakak seperguruanku sadar bahwa dia tidak dapat menghindari kematiannya yang akan segera terjadi, karena itu dia mengatur agar kami mengurus urusannya yang belum selesai. Dia bahkan memintaku untuk mengeluarkan Jiu Yin Zhen Jing dan membawanya kepadanya. Dia menyiapkan api dan hendak membakar buku itu. Tetapi setelah mengelus-elus buku itu agak lama, dia menghela nafas panjang dan berkata, ‘Buku ini adalah hasil kerja keras seorang senior seumur hidupnya, bagaimana bisa kita hancurkan? Air bisa mengapungkan perahu, namun juga dapat menenggelamkannya, kita harus melihat apakah generasi mendatang memanfaatkannya dengan baik. Tapi aku melarang murid-murid perguruan kita untuk mempraktekkan apa yang ada di buku ini, supaya orang tidak dapat menuduhku ingin mengakangi buku ini untuk keuntungan pribadi.’ Setelah mengucapkan kata-kata itu, dia menutup matanya dan meninggal. Malam itu juga, bahkan belum jam ketiga, sesuatu terjadi di kuil.”

“Ah!” Guo Jing berteriak. Zhou Botong melanjutkan, “Malam itu juga aku begadang dengan tujuh murid generasi pertama Quanzhen dan terus berjaga di sisi peti mati. Sekitar tengah malam musuh datang. Mereka semua pendekar hebat. Tujuh Pendekar Quanzhen segera keluar dan melawan musuh dalam pertempuran. Mereka takut musuh akan menodai jenazah guru mereka. Akulah satu-satunya yang tersisa menjaga peti mati. Aku mendengar seseorang di luar berteriak, ‘Cepat serahkan Jiu Yin Zhen Jing, kalau tidak pelipismu akan terbakar habis.’ Saya melihat ke luar dan tahu-tahu perutku terasa dingin. Aku melihat seorang laki-laki berdiri di dahan pohon dan tubuhnya bergoyang mengikuti gerakan dahan. Itu demonstrasi Qinggong yang luar biasa. Saat itu aku berpikir, ‘Qinggong itu jauh lebih bagus dari aku, kalau dia mau, aku ingin mengangkatnya jadi guruku.’ Tapi kemudian aku berubah pikiran, ‘Itu salah! Itu salah! Orang ini pasti datang untuk mencuri Jiu Yin Zhen Jing, bukan hanya aku tidak boleh tunduk, malah aku harus melawannya.’ Aku tidak mengenalnya, tapi suka atau tidak, aku harus melawannya. Jadi aku melompat keluar dan bertarung dengannya di atas pohon. Aku melawannya selama tiga puluh atau empat puluh jurus dan aku jadi takut. Musuh itu beberapa tahun lebih muda dariku, tetapi kungfunya sangat dahsyat, sehingga aku kesulitan mengimbanginya. Akhirnya bahuku terpukul oleh telapak tangannya dan jatuh dari pohon.”

“Kungfumu begitu tinggi, dan tetap kalah? Siapa orang itu?” tanya Guo Jing.

Zhou Botong menjawab pertanyaan itu dengan balas bertanya, “Kau tidak bisa menebak?”

Guo Jing berpikir sejenak, kemudian berseru, “Racun Barat!”

“Ah!” Zho Botong takjub. “Dari mana kau bisa tahu?”

Guo Jing menjawab, “Adikmu berpikir bahwa orang-orang yang kungfunya lebih tinggi darimu pastilah orang-orang yang terlibat dalam pertandingan besar di Hua Shan. Hong Shifu baik hati, terus terang dan jujur. Kaisar Duan adalah seorang Kaisar, dia tidak akan merendahkan diri sampai mencuri milik orang lain. Adikmu tidak tahu karakter asli Huang Daozhu dengan baik, tapi dia orang yang sombong, dan bukan tipe orang yang akan mengambil keuntungan dari kondisi genting orang lain dan menjadi pencuri!”

Dari balik semak-semak bunga tiba-tiba terdengar suara yang jernih dan lantang berseru, “Penilaian Xiao Chusheng ini ternyata bagus!”

Guo Jing melompat ke arah sumber suara itu, tapi gerakan orang itu terlalu cepat. Guo Jing bahkan tidak bisa melihat bayangannya, hanya pohon-pohon yang masih bergoyang dan kelopak bunga berguguran ke tanah.

“Saudaraku, sudahlah!” panggil Zhou Botong. “Itu tadi Si Sesat Tua Huang. Dia sudah jauh.”

Guo Jing kembali ke depan gua, sementara Zhou Botong berkomentar, “Sesat Tua Huang ahli dalam teknik lima elemen yang menakjubkan dan aneh, dia mengatur tumbuh-tumbuhan ini sesuai dengan jebakan ala Zhuge Liang di masa lalu.”14

“Prinsip Zhuge Liang!” seru Guo Jing takjub.

Zhou Botong menghela nafas, “Benar. Huang Laoxie ahli dalam musik, catur, kaligrafi dan lukisan, pengobatan, ramalan, dan ilmu perbintangan, juga pertanian dan irigasi, ekonomi dan strategi militer. Tidak ada yang tersembunyi darinya, tidak ada yang tidak dia kuasai. Sayang sekali dia suka menyulitkan Lao Wantong dan kalau bertarung, aku belum tentu menang. Begitu dia terbang ke timur dan barat di antara tumbuh-tumbuhan ini, tidak ada yang bisa menangkapnya.”

Guo Jing terdiam lama. Ia sedang memikirkan betapa menakjubkannya kemampuan Huang Yaoshi dan ia sungguh terpesona. Setelah beberapa saat ia teringat ceritanya dan bertanya, “Kakak, kau terkena pukulan Racun Barat dan jatuh dari pohon. Apa yang terjadi selanjutnya?”

Zhou Botong menepuk pahanya dengan keras. “Benar! Kali ini kau tidak lupa mengingatkanku tentang cerita itu,” serunya. “Aku terkena telapak tangan Ouyang Feng, rasa sakitnya memasuki jantung dan paru-paruku, dan aku tidak bisa bergerak selama setengah hari. Aku melihatnya bergegas ke ruang berkabung, tetapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku terluka parah. Kemudian aku mengertakkan gigi, dan dengan taruhan nyawa aku mengejarnya. Aku melihatnya berdiri di depan peti mati kakak seperguruanku. Dia mengulurkan tangannya untuk mengambil buku dari meja di depan peti mati. Aku mengerang dalam hati. Aku bukan tandingannya dan keponakanku belum kembali dari pertempuran melawan musuh lain di luar. Pada saat kritis ini terdengar suara retakan yang keras, tutup kayu peti mati terbuka dan terbang, meninggalkan lubang menganga di peti mati!”

“Ouyang Feng memukul peti mati itu sampai terbuka dan menghancurkannya?” tanya Guo Jing.

“Tidak, tidak!” jawab Zhou Botong. “Ternyata kakak seperguruanku sendiri yang menggunakan telapak tangannya untuk menghancurkan tutup peti mati itu.”

Setelah mendengar cerita yang aneh dan tidak masuk akal ini, mata Guo Jing terbelalak dan ia melongo. Tidak mampu berkomentar.

Footnotes

  1. Istilah dalam bahasa Mongolia untuk mewakili panggilan kepada saudara angkat. Karena istilah ini bermakna sangat lain dalam bahasa Indonesia, sebaiknya perhatikan konteks dialog. Saya berusaha untuk membuatnya berbeda supaya jangan membingungkan. Salah satu kebetulan yang menguntungkan adalah, dalam saduran ini saya tidak pernah menggunakan istilah ‘Anda’ dalam bahasa Indonesia untuk mewakili ‘kau’, dan kalau bermaksud menekankan sopan-santun saya cenderung memakai istilah bahasa aslinya, seperti Qianbei, atau orang ketiga tunggal.

  2. Yi An Jiu Chuan (移岸就船), tidak ditemukan salah satu pepatah kuno atau kata-kata mutiara yang berhubungan dengan hal ini. Sepertinya ini hanya karangan Jin Yong.

  3. Dalam keseharian Yang Kang sudah terbiasa memanggil Wanyan Honglie dengan sebutan ‘Die’ (爹), yang sudah umum bagi seorang anak kepada ayahnya. Meskipun panggilan ‘Fu Wang’ menunjukkan rasa hormat, dan terasa jauh lebih tinggi, tetapi itu juga menimbulkan jarak yang lebar dalam hubungan keluarga. Wanyan Honglie tidak menyukai hal ini. Kedua panggilan itu sama-sama bisa diterjemahkan secara sederhana menjadi ‘ayah’, tetapi menimbulkan efek yang sangat berbeda.

  4. Li Yuan adalah ayah dari Li Shimin, dan adalah pendiri Dinasti Tang. Kerja sama antara keduanya dengan sukses menggulingkan Dinasti Sui, dan mengukuhkan Dinasti Tang. Di kemudian hari ketika terjadi persaingan dalam pewarisan tahta antara Li Shimin dan dua orang kakaknya, Li Shimin mengambil tindakan drastis. Ia menjebak kedua kakaknya dan membunuh mereka. Ia bahkan secara pribadi melepaskan anak panah yang menewaskan kakaknya Li Jiancheng yang adalah saingan utamanya. Karena takut Li Shimin akan melakukan tindakan yang lebih brutal lagi di kemudian hari, setelah itu ayahnya mengangkatnya menjadi Putra Mahkota. Tak lama kemudian Sang Kaisar memutuskan untuk pensiun, maka Li Shimin melenggang ke tahta.

  5. Dalam versi bahasa Inggris terjemahan fans hanya ditulis ‘Jie Xiao Tang’ tanpa karakter aslinya. Makna karakter Xiao (孝) adalah ‘berbakti’, sedangkan Tang (堂) adalah ruang/gedung/aula. Istilah ini mengacu ke sebuah ruangan dalam kuil. Tidak ditemukan karakter yang cukup meyakinkan untuk ‘Jie’, kecuali yang bermakna ‘perayaan’ (节). Karena itu saya membiarkan istilah tersebut seperti aslinya.

  6. Pi Kong Zhang (劈空掌) bisa diartikan ‘Telapak Tangan Kosong Pembelah’. Ini jelas sebuah kungfu tangan kosong, barangkali hanya kungfu biasa, tidak ada yang istimewa.

  7. Maksud Guo Jing adalah dia tidak dianggap sebagai murid resmi Ma Yu.

  8. Lao Wantong (老顽童), yang secara literal berarti ‘Bocah Tua Nakal’, atau lebih tepatnya ‘Orang tua yang suka bermain-main’, adalah julukan Zhou Botong (周伯通).

  9. Jin Lan (金兰), secara literal berarti ‘Anggrek Emas’. Maknanya adalah persaudaraan atau pertemanan yang sangat dekat. Istilah ini banyak digunakan untuk mengangkat saudara. Dampak dari sumpah seperti ini adalah kedua belah pihak harus rela saling berkorban dalam membela saudaranya, bahkan sampai ke tingkat pengorbanan nyawa.

  10. Sebenarnya istilah Huang Shang (皇上) berarti ‘Kaisar’. Tetapi kemungkinan besar tokoh Huang Shang yang diceritakan oleh Zhou Botong bernama 黄上, atau bahkan Shang tersebut memakai karakter yang sama sekali lain.

  11. Huang Gou (黄狗) berarti ‘Anjing Kuning’.

  12. Huang Mao (黄猫) berarti ‘Kucing Kuning’.

  13. Mo Jiao (魔教) artinya adalah ‘Ajaran Setan’. Sekte Ming dijuluki ‘Pengikut Ajaran Setan’ karena praktek mereka tidak sesuai dengan apa yang dianut oleh sebagian besar orang pada saat itu, dan akhirnya Kekaisaran menentang ajaran mereka.

  14. Zhuge Liang adalah seorang politisi dan ahli strategi di jaman Tiga Negara, yang membela Liu Bei. Salah satu karya terbesarnya yang masih dikagumi orang sampai detik ini adalah mengatur jebakan dengan jalan berkelok-kelok membentuk jaringan yang sulit dipecahkan. Ia mengaturnya berdasarkan prinsip-prinsip Ba Zhen Du (八阵图, Delapan Diagram), diagram itu sendiri dikembangkan dari Ba Gua (八卦), yang berkaitan erat dengan Taoisme.